Oleh
Ustadz Zainal Abidin bin Syamsuddin, Lc
HAKIKAT BID’AH
Asal kata bid’ah adalah menciptakan (suatu hal yang baru) tanpa ada contoh
sebelumnya [1]. Sebagaimana firman Allah, Allah pencipta langit dan bumi. (Al
Baqarah : 117). Bahwa Allah menciptakan keduanya tanpa contoh sebelumnya [2].
Adapun bid’ah
menurut makna syar’i, ialah sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Imam Ibnu
Taimiyah, yaitu segala cara beragama yang tidak disyari’atkan oleh Allah dan
RasulNya; yakni yang tidak diperintahkan, baik dalam wujud perintah wajib atau
berbentuk anjuran [3], baik berupa keyakinan, ibadah dan muamalah.
Sedangkan menurut
Imam Asy Syathibi, bid’ah ialah suatu cara dalam beragama yang dibuat untuk
menandingi syari’at yang ada (yakni menyerupai cara ibadah yang disyari’atkan,
padahal hakikatnya tidaklah sama, bahkan bertentangan dengannya); tujuan
pelaksanaannya ialah untuk berlebihan dalam ibadah kepada Allah.
Jadi, yang dimaksud
dengan bid’ah, ialah segala bentuk praktek beragama yang tidak memiliki dalil
atau landasan hukum dalam agama yang mengindikasikan keabsahannya. Adapun yang
memiliki dasar dalam syari’at yang menunjukkan keberadaannya, maka secara
syari’at tidaklah dikatakan sebagai bid’ah, meskipun secara bahasa dikatakan
bid’ah. Maka setiap orang yang membuat-buat sesuatu, lalu menisbatkannya kepada
ajaran agama, namun tidak memiliki dalil atau landasan hukum dari agama, maka
hal itu termasuk bid’ah.
Setiap muslim wajib mentaati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik
ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup atau sesudah meninggal
dunia. Mentaati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk bagian dari
kesempurnaan cinta seseorang kepada Allah, sebagaimana firman Allah, Katakanlah
: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku”. [Ali Imran : 31].
Bahkan Allah
mengancam orang-orang yang menyelisihi sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menimpakan fitnah dan siksaan yang
pedih, seperti dalam firman Allah: Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi
perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih. [An Nur
: 63].
Setiap muslim
dilarang menyelisihi sunnah Rasul dan jalan orang-orang mukmin, sebagaimana
firman Allah: Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu. [An Nisa’ : 115].
Nabi menganjurkan
kepada semua Umat Islam untuk berpegang teguh dengan sunnah-sunnahnya
sepeninggal beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak membuat
perkara-perkara bid’ah. Dari Jabir bin Abdullah, bahwa Nabi bersabda dalam
khutbahnya:
أُوصِيكُمْ
بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ
مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا
بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ
فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Aku wasiatkan kepada
kalian untuk bertaqwa kepada Allah, patuh dan taat, walaupun dipimpin budak
Habasyi, karena siapa yang masih hidup dari kalian, maka akan melihat
perselisihan yang banyak. Maka berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah
para Khulafaur Rasyidin yang memberi petunjuk, berpegang teguhlah kepadanya dan
gigitlah dengan gigi geraham kalian. Waspadalah terhadap perkara-perkara baru
(bid’ah), karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah
adalah sesat”. [Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah].
Dari Abdullah bin
Mas’ud, ia berkata, “Hendaklah kalian mengikuti, dan janganlah kalian berbuat
kebid’ahan. Sungguh kalian telah dicukupkan dalam beragama dengan Islam ini”.
Imam Al Auza’i
berkata,”Bersabarlah kalian di atas sunnah. Tetaplah tegak sebagaimana para
sahabat tegak di atasnya. Katakanlah sebagaimana yang mereka telah katakan.
Tahanlah dirimu dari apa-apa yang mereka menahan diri darinya, dan ikutilah
jalan salafush shalih.”
Dalam rubik ini, saya akan menguraikan bahasan khusus seputar masalah bid’ah
dalam shalat tarawih yang banyak menyebar di tengah masyarakat, dan diyakini
sebagai perkara sunnah serta dianggap baik oleh sebagian besar orang awam.
Akibatnya sunnah-sunnah shalat tarawih yang dianjurkan, banyak kehilangan
bentuk dan kemurniannya. Di antara bid’ah yang lazim terjadi di masyarakat
seputar masalah shalat tarawih, ialah sebagai berikut.
Mayoritas imam masjid kurang memiliki akal sehat dan pengetahuan agama yang
baik. Hal itu nampak dari cara melakukan shalat. Bahwa hampir semua shalat yang
dilakukan, mirip dengan shalatnya orang yang sedang kesurupan, terutama ketika
shalat tarawih. Mereka melakukan shalat 23 raka’at hanya dalam waktu 20 menit,
dengan membaca surat Al ‘Ala atau Adh Dhuha.
Menurut semua
madzhab, dalam melakukan shalat tidak boleh seperti itu, karena ia merupakan
shalat orang munafik, sebagaimana firmanNya: “Dan apabila mereka berdiri untuk
shalat, maka mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ di hadapan
manusia dan tidak menyebut Allah, kecuali hanya sedikit sekali”. [An Nisa’ :
142].
Bentuk dan cara
shalat tarawih yang seperti itu, jelas bertentangan dengan cara shalat tarawih
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat dan ulama salaf. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
فَعَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا
بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ
فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Maka berpegang
teguhlah kepada sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin yang memberi
petunjuk, berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah dengan gigi geraham kalian.
Waspadalah terhadap perkara-perkara baru (bid’ah), karena setiap perkara yang
baru adalah bid’ah, dan setiap yang bid’ah adalah sesat”. [Abu Daud, Tirmidzi
dan Ibnu Majah]
Dan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
صَلُّوْا كَمَا
رَأَيْْتُمُوْنِيْ أُصَلِّي
“Shalatlah kamu
sekalian sebagaimana kalian melihat aku shalat”. [HR Bukhari, Muslim, Ahmad.
Lihat Irwaul Ghalil no: 213].
Ad Darimy
meriwayatkan, bahwa Abu Aliyah berkata,”Jika kami mendatangi seseorang untuk
menuntut ilmu, maka kami akan melihat ia shalat. Jika ia shalat dengan benar,
kami akan duduk untuk belajar dengannya. Dan kami berkata,’Dia akan lebih baik
dalam masalah lain’. Sebaliknya, jika shalatnya rusak, maka kami akan berpaling
darinya dan kami berkata,’ Dia akan lebih rusak dalam masalah yang lain”.[4]
Dan suatu hal yang
menguatkan lagi, bahwa demikian itu menjadi perkara bid’ah, karena dikerjakan
secara rutin dan permanen pada setiap bulan Ramadhan. Mereka beranggapan, bahwa
hal itu merupakan cara terbaik dalam menunaikan shalat tarawih.
Para ulama menganggap, bahwa membaca surat Al-An’am dalam satu raka’at dari
shalat tarawih termasuk perbuatan bid’ah, karena demikian itu tidak
bersandarkan kepada suatu dalil. Adapun hadits dari Ibnu Abbas dan Ubay bin
Ka’ab bahwa Rasulullah bersabda:
أُنْزِلَتْ سُوْرَةُ
الأَنْعَامِ جَمَّةً وَاحِدَةً يُشَيِّعُهَا سَبْعُوْنَ أَلْفَ مَلَكٍ
بِالتَّسْبِيْحِ وَالتَّحْمِيْدِ.
“Surat Al’An’am
diturunkan sekaligus dalam sekali tahapan yang dihantarkan oleh tujuh puluh
ribu malaikat sambil membaca tasbih dan tahmid”.
Banyak orang awam
yang tertipu dengan hadits ini. Padahal menurut Imam As Suyuthi, bahwa hadits
di atas adalah dhaif. Andaikata pun hadits tersebut shahih, juga sedikitpun
tidak ada anjuran yang bersifat sunnah dibaca dalam satu raka’at.
Membaca surat Al
An’am dalam satu raka’at bisa dikatakan bid’ah karena beberapa alasan sebagai
berikut. Pertama, mengkhususkan surat Al An’am menipu ummat, bahwa surat yang
lain kurang afdhal atau tidak baik untuk dibaca pada waktu shalat tarawih.
Kedua, bacaan tersebut hanya dikhususkan pada waktu shalat tarawih. Ketiga,
memberatkan kaum muslimin terutama orang awam, sehingga mereka akan marah atau
jengkel atau timbul kebencian terhadap ibadah. Keempat, yang demikian itu
menyelisihi sunnah, sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan
agar raka’at kedua lebih pendek daripada raka’at pertama, sementara bid’ah ini
telah merubah secara tolal sunnah tersebut dan melawan syari’at.[5]
Seorang imam mengumpulkan ayat-ayat sajadah ketika khataman Al Qur’an pada
shalat tarawih dalam raka’at terakhir, kemudian ia sujud bersama makmum. [6]
Mengumpulkan beberapa ayat yang mereka sebut dengan nama ayat-ayat
perlindungan, lalu dibaca secara keseluruhan di akhir raka’at dalam shalat
tarawih.[7]
Ucapan seorang bilal atau imam ketika hendak memulai shalat tarawih yang dibaca
dengan berjama’ah dan suara keras.[8]
صَلاَةَ
التَّرَاوِيْحِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ رَحِمَكُمُ اللهُ .صَلاَةَ التَّرَاوِيْحِ
آجَرَكُمُ اللهُ.
Kebid’ahan ini
banyak sekali menyebar di negeri ini. Dianggap sebagai sesuatu yang baik dan
sunnah, padahal hal tersebut tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabat. Padahal setiap cara ibadah dan
praktek agama yang tidak ada dalil atau landasan hukumnya, maka tertolak dan
dinyatakan sebagai perbuatan bid’ah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda.
مَنْ أَحْدَثَ فِي
أَمْرِنَا هَذَا مَالَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa yang
membuat-buat ibadah dalam ajaran kami ini (Islam) yang bukan merupakan bagian darinya,
maka amalan itu tertolak”. [HR Bukhari].
Berdzikir dengan dipandu seorang bilal setiap selesai shalat dua raka’at dari
shalat tarawih, maka perbuatan seperti ini termasuk bid’ah. Namun terkadang
bacaan dzikir dilakukan sendiri-sendiri dengan ringan, atau terkadang dzikir
tersebut dibaca secara berjama’ah.[9]
• Karena membuat tata cara baru dalam beribadah yang tidak pernah dicontohkan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan perbuatan bid’ah. Dari Jabir
bin Abdullah diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda : “Amma ba’du. Sesungguhnya
sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah
petunjuk Muhammad. Seburuk-buruk ibadah adalah yang dibikin-bikin, dan setiap
bid’ah itu adalah sesat”. [10]
• Dzikir tersebut
hanya dikhususkan pada waktu shalat tarawih saja, padahal mengkhususkan suatu
ibadah yang tidak berdasarkan dalil, maka hal itu termasuk perbuatan bid’ah dan
setiap bid’ah adalah sesat.
• Tindakan itu
boleh jadi memberatkan kaum muslimin terutama orang awam, sehingga menimbulkan
sikap kebencian terhadap ibadah.
• Perbuatan itu
dengan jelas telah menyelisihi sunnah. Sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak pernah menganjurkan membaca dzikir secara berjama’ah dalam shalat
tarawih. Begitu pula beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah
mengajarkan bacaan dzikir-dzikir tersebut. Maka bentuk dzikir seperti itu
bertentangan dengan sunnah Rasulullah dan kebiasaan para sahabat.
7. Mengkhususkan
Membaca Qunut Pada Shalat Tarawih.
Mengkhususkan qunut hanya pada pertengahan Ramadhan dalam shalat tarawih. Yang
demikian itu tidak pernah dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Imam Malik dalam kitab Mudawwanah Al Kubra menyatakan,”Tidak ada dalil shahih
yang bisa digunakan sebagai sandaran bagi orang yang mengkhususkan qunut dalam
shalat tarawih pada bulan Ramadhan, baik pada awal maupun akhir Ramadhan, atau
pada shalat witir [11].
8. Shalat Tarawih
Bersama-Sama Antara Kaum Laki-Laki Dan Kaum Wanita Dalam Satu Masjid.
Diantara kebid’ahan dan kemungkaran dalam masjid yang berkaitan dengan shalat
-terutama shalat tarawih- yaitu melakukan shalat berjamaah campur-baur antara
kaum laki-laki dan kaum wanita dalam satu masjid [12].
Dzikir berjama’ah dengan suara keras seperti koor pada setiap waktu istirahat
dalam shalat tarawih, merupakan perbuatan bid’ah [13]. Adapun lafadz dzikir yang
mereka baca secara berbeda-beda sesuai dengan perbedaan tempat dan daerah, maka
perbuatan seperti ini termasuk mengumpulkan berbagai macam keburukan dan
kebid’ahan, antara lain:
• Bid’ah dzikir
berjama’ah dengan suara koor.
• Bid’ah dalam menggunakan lafadz-lafadz dzikir yang tidak diajarkan oleh Rasulullah.
• Mengganggu kaum muslimin dengan suara keras, dan boleh jadi dzikir tersebut disampaikan lewat mikrofon atau pengeras suara.
• Membuat praktek ibadah baru dalam shalat tarawih yang tidak pernah dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
• Bid’ah dalam menggunakan lafadz-lafadz dzikir yang tidak diajarkan oleh Rasulullah.
• Mengganggu kaum muslimin dengan suara keras, dan boleh jadi dzikir tersebut disampaikan lewat mikrofon atau pengeras suara.
• Membuat praktek ibadah baru dalam shalat tarawih yang tidak pernah dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً
لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa yang
melakukan amalan yang tidak sesuai dengan ajaran kami, maka ibadahnya itu
tertolak”. [HR Muslim].
Bacaan dzikir yang diamalkan setiap selesai salam dari dua raka’at shalat
tarawih, dan (kemudian) hendak memulai raka’at yang baru, (dzikir seperti
ini) termasuk perbuatan bid’ah. Tata cara dan bacaan dzikir tersebut antara
lain:
Seorang bilal membaca:
فَضْلٌ مِنَ اللهِ
وَالنِّعْمَةُ يَا تَوَّابُ يَا وَاسِعَ الْمَغْفِرَةِ . أَللَّهُمَّ صَلِّ
وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ.
Lalu dijawab oleh para jama’ah shalat tarawih secara bersama-sama dengan suara keras
صَلُّوْا عَلَيْهِ,
……. أَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ. …….
Kemudian pada
raka’at-raka’at yang akhir mereka mendo’akan kepada khulafaurrasyidin yang
empat.
Do’a berjama’ah pada saat istirahat antara shalat tarawih dengan shalat witir
merupakan perbuatan bid’ah yang munkar. Begitu juga ketika hendak shalat witir,
bilal atau imam mengucapkan:
صَلُّوْا سُنَّةَ
الْوِتْرِ رَحِمَكُمُ اللهُ أَوْ آجَرَكُمُ اللهُ.
Kebanyakan mereka
yang mengamalkan bid’ah ini telah membuat bacaan do’a secara khusus, yang tidak
bersandar kepada satu dalilpun, dan tidak pernah diajarkan oleh para ulama
salaf mapun imam sunnah [14].
Melazimkan surat Al Ikhlas dan Muawidzatain dalam setiap raka’at terakhir dari
shalat witir, termasuk perbuatan bid’ah. Hal tersebut tidak pernah dicontohkan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ulama salaf dari kalangan para
sahabat dan tabi’in. Sementara sebagai orang awam terpesona dengan hadits Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan Imam Ath Thabrani dalam
Mu’jamul Ausath, dari Abu Hurairah dengan sanad yang lemah, karena terdapat
seorang perawi As Sary bin Ismail dan Miqdam bin Daud, yang keduanya merupakan
perawi yang dhaif. Begitu juga hadits serupa diriwayatkan oleh Imam Abu Daud
dalam Sunan-nya dan Imam At Tirmidzi dalam Sunan-nya, serta Ibnu Majah dalam
Sunan-nya, dari hadits Aisyah dengan sanad yang lemah.
Imam Al Mundziri
berkata, bahwa hadits ini diriwayatkan Abu Daud dan Tirmidzi serta Ibnu Majah
dari Aisyah dari Khushaif bin Abdurahman Al Harrani; telah dinyatakan sebagai
perawi yang lemah oleh kebanyakan para imam ahli hadits.
Ibnul Jauzi
berkata, ”Imam Ahmad dan Yahya Ibnu Main telah mengingkari dengan keras
tambahan Muawidzatain dalam raka’at akhir dari shalat witir [15].
Sebagian umat Islam ada yang menghentikan qiyamul lail atau shalat tarawih
setelah menyelesaikan khataman Al Qur’an, padahal perbuatan tersebut termasuk
bid’ah [16].
14. Membaca Dua Juz
Atau Lebih Dari Al-Qur’an Pada Shalat Tarawih Terakhir.
Membaca dua juz atau lebih pada malam terakhir dalam shalat tarawih. Ada juga
yang melazimkan dari mulai surat Adh Dhuha hingga selesai [17].
Demikianlah
penjelasan beberapa bid’ah seputar shalat tarawih, yang secara umum sudah
banyak tersebar di tengah masyarakat. Maka demi menjaga keutuhan ajaran Islam
dan melestarikan sunnah, serta memelihara pahala ibadah -terutama shalat
tarawih- maka saya mengajak kepada seluruh umat Islam agar meninggalkan kebiasaan
buruk dan perbuatan bid’ah dalam setiap bidang agama. Al Qur’an dan Sunnah
Rasul dengan tegas memperingatkan tentang bahaya bid’ah. Begitu pula para
sahabat dan para tabi’in yang mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan melakukan kebajikan juga memperingatkan bahaya bid’ah dengan
tegas
Diantara dalil dari
Al Qur’an yang memperingatkan tercelanya bid’ah, antara lain sebagai berikut.
Allah berfirman, ‘Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus,
maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena
jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu
diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa”. [Al An’Am : 153].
Jalan yang lurus
adalah jalan Allah yang wajib diikuti. Jalan itu adalah Sunnah. Sedangkan jalan
yang beraneka ragam dan corak itu hanyalah jalan ahli bid’ah yang melenceng
dari jalan yang lurus.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنِّيْ تَرَكْتُكُمْ
عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا
هَالِكٌ
“Sesungguhnya aku
telah meninggalkan untuk kalian ajaran putih bersih. Malamnya laksana siangnya.
Dan tidaklah seseorang yang menjauhinya, kecuali pasti akan mengalami kehancuran”.
[HR Ahmad dan Ibnu Majah].
مَنْ سَنَّ فِي
الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا
بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي
الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ
بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barangsiapa
memberi contoh yang baik dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala
orang yang mengerjakan perbuatan baik tersebut, tanpa mengurangi pahala-orang
itu sedikitpun. Dan barangsiapa memberi contoh yang buruk dalam Islam, maka ia
mendapatkan dosa dan dosa orang yang mengerjakan perbuatan dosa itu setelahnya,
tanpa mengurangi dosa orang-orang itu sedikitpun”. [HR Muslim]
Dari Abdullah bin
Mas’ud berkata, bahwa pernah pada suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam membuat suatu garis, lalu bersabda,”Ini adalah jalan Allah yang
lurus,” kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat garis-garis di
sebelah kanan dan kirinya, lalu bersabda, ”Ini adalah jalan-jalan, dan setiap
jalan tersebut terdapat syetan yang mengajak kepada jalan itu,” kemudian beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan firman Allah: “Dan bahwa (yang Kami
perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah
kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu
mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah
kepadamu agar kamu bertaqwa”. (Al An’am:153)”. [HR Ahmad dalam Musnad, Ad
Darimi, Al Hakim dalam Mustadrak dan Ibnu Abu Ashim dalam As Sunnah].
_______
Footnote
[1]. Mu’jamul Maqayis Fil Lughah, Ibnu Faris halaman 119.
[2]. Al I’tisham, oleh Asy Syatibi 1:49. Lihat juga Mufradat Al Fazhil Qur’an, Ar Raghib Al Asfahani, materi kata bada’a, halaman 111.
[3]. Fatawa Ibnu Taimiyah IV 107-108
[4]. As Sunnan Wal mubtadat, Syaikh Muhammad bin Abdussalam, Darul Fikr
[5]. Al Amru bin Ittiba’ Wan Nahyu Anil Ibtida’, Imam As Suyuthi, Maktabatul Qur’an.
[6]. Al Amru bin Ittiba’ Wan Nahyu Anil Ibtida’, Imam As Suyuthi, Maktabatul Qur’an.
[7]. Al Baits Ala Inkaril Bida’ Wal Hawadits, Abu Syamah Al Maqdisy, Darur Rayyah, Riyadh.
[8]. Mu’jamul Bida’, Raid bin Sabri bin Abi ‘Alfah, Darul Ashimah, halaman 98.
[9]. Al Hawadits Wal Bida’, Imam Abu Bakar At Thurthusy, Dal Ibnul Jauzy, Riyadh.
[10]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitab Al Jumu’ah; meringkas shalat dan khutbah 1:592 dengan nomor 867.
[11]. Al Hawadits Wal Bida’, Imam Abu Bakar At Thurthusy, Dal Ibnul Jauzy, Riyadh.
[12]. Bidaul Qurra’, Syaikh Bakr Abu Zaid, Darul Faruq Saudi.
[13]. Bidaul Qurra’, Syaikh Bakr Abu Zaid, Darul Faruq saudi.
[14]. Al Hawadits Wal Bida’, Imam Abu Bakar Ath Thurthusy, Dar Ibnul Jauzy, Riyadh, halaman 64.
[15]. Lihat Aunul Ma’bud Syah Sunan Abi Daud, Darul Kutubul Ilmiyah, Beirut Libanon. Bab Ma Yuqrqa’ Fil Witr.
[16]. Bidaul Qurra’, Syaikh Bakr Abu Zaid, Darul Faruq, Saudi.
[17]. Al Madkhal, Ibnul Haj 2/294, Darul Hadits, Mesir.
__________________
Share Ulang:
- Cisaat, Ciwidey
- Sumber: https://almanhaj.or.id/3145-seputar-bidah-shalat-tarawih.html