Islam Pedoman Hidup: Bagaimana Qunut Witir Dilakukan?

Minggu, 10 Juni 2018

Bagaimana Qunut Witir Dilakukan?


Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi


Shalat Witir disyari’atkan dalam shalat malam dan disyari’atkan juga melakukan qunut yang pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bagaimana ketentuan qunut pada shalat Witir ini? Berikut penjelasannya. 

PENGERTIAN QUNUT
Kata qunut, dalam bahasa Arab digunakan untuk beberapa pengertian, di antaranya sebagai berikut.
1. Khusu’, sebagaimana terdapat dalam firman Allah Subanahu wa Ta’ala :
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
Peliharalah segala shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’. [al-Baqarah/2:238].

2. Doa. [1]
 

3. Taat dan senantiasa ibadah, sebagaimana terdapat dalam firman Allah Subanahu wa Ta’ala :

وَمَرْيَمَ ابْنَتَ عِمْرَانَ الَّتِي أَحْصَنَتْ فَرْجَهَا فَنَفَخْنَا فِيهِ مِنْ رُوحِنَا وَصَدَّقَتْ بِكَلِمَاتِ رَبِّهَا وَكُتُبِهِ وَكَانَتْ مِنَ الْقَانِتِينَ

dan Maryam puteri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami; dan dia membenarkan kalimat Rabbnya dan kitab-kitab-Nya; dan adalah dia termasuk orang-orang yang taat. [at-Tahrim/66:12]. 

Oleh karena itu, Ibnul-Qayyim mengatakan: “Kata qunut digunakan untuk pengertian berdiri, diam, berkesinambungan dalam ibadah, doa, tasbih dan khusyu’.”[2] 

Adapun yang dimaksudkan dalam pembahasan ini, ialah istilah qunut sebagai doa dalam shalat pada tempat posisi yang khusus dari berdiri.[3] 

HUKUM QUNUT DALAM WITIR

Secara umum, para ulama memandang qunut dalam Witir disyariatkan, namun mereka berselisih tentang hukumnya, wajib ataukah sunnah? Apakah juga disunnahkan sepanjang tahun setiap malam, ataukah hanya saat Ramadhan saja atau di akhir Ramadhan? [4] 

Yang râjih –wallahu a’lam- qunut Witir disunnahkan di sepanjang tahun, inilah pendapat madzhab Hambali dan pendapat Ibnu Mas’ud, Ibrahiim, Ishâq dan ash-hab ar-ra’yi. Hal ini berdasarkan amalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana terdapat dalam riwayat Ubai bin Ka’ab Radhiyallahu anhu, ia berkata:

إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُوْتِرُ فَيَقْنُتُ قَبْلَ الرُّكُوْعِ. أخرجه ابن ماجه.
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan Witir lalu melakukan qunut sebelum ruku`. [HR Ibnu Mâjah, dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Irwa` al-Ghalil 2/167, hadits no. 426]. 

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan kepada al-Hasan bin ‘Ali Radhiyallahu anhu untuk mengucapkan doa qunut, sebagaimana terdapat dalam perkataan beliau Radhiyallahu anhu :

عَلَّمَنِيْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَلِمَاتٍ أَقُوْلُهُنَّ فِي قُنُوتِ الْوِتْرِ: ” اللَّهُمَّ اهْدِنِيْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ ، وَعَافِنِيْ فِيْمَنْ عَافَيْتَ ، وَتَوَلَّنِيْ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ ، وَبَارِكْ لِيْ فِيْمَا أَعْطَيْتَ ، وَقِنِيْ شَرَّ مَا قَضَيْتَ ؛ إِنَّكَ تَقْضِيْ وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ ، وَ إِنَّهُ لاَ يُذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ ، وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepadaku doa yang aku ucapkan pada Witir: “Ya Allah, tunjukilah aku sebagaimana Engkau berikan petunjuk (kepada selainku), berilah keselamatan sebagaimana Engkau berikan keselamatan (kepada selainku), jadikanlah aku wali-Mu sebagaimana Engkau jadikan (selainku) sebagai wali, berilah keberkahan kepadaku pada semua pemberian-Mu, lindungilah aku dari kejelekan takdir-Mu; sesungguhnya Engkau mentakdirkan dan tidak ditakdirkan, dan sesungguhnya tidak terhinakan orang yang menjadikan Engkau sebagai wali, dan tidak mulia orang yang Engkau musuhi. Maha suci dan Maha tinggi Engkau, wahai Rabb kami”. [HR Abu Dawud, dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Irwa` al-Ghalil, 2/172].

Demikian juga para sahabat yang meriwayatkan shalat Witir Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka tidak menyebutkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berqunut. Seandainya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya terus-menerus, tentulah para sahabat akan menukilkannya. Memang ada sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Ubai bin Ka’ab Radhiyallahu anhu yang meriwayatkan qunut Witir Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini menunjukkan, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang melakukannya, dan juga berisi dalil bahwa qunut dalam Witir tidak wajib.[5] 

Dalil lainnya, yaitu amalan sebagian sahabat dan Tabi’in yang tidak melakukan qunut Witir, dan sebagian lainnya hanya melakukannya pada bulan Ramadhan. Juga ada sebagian lainnya melakukan qunut Witir sepanjang tahun.[6] 

Perbedaan ini disampaikan Imam at-Tirmidzi dalam pernyataan beliau: “Para ulama berbeda pendapat dalam qunut Witir. ‘Abdullah bin Mas’ud  memandang qunut Witir dilakukan sepanjang tahun dan memilih melakukan qunut sebelum ruku’. Ini merupakan pendapat dari sebagian ulama dan pendapat Sufyaan ats-Tsauri rahimahullah, Ibnu al-Mubarak rahimahullah, Ishaaq rahimahullah dan Ahlu Kufah. Diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, bahwa beliau tidak qunut kecuali di separuh akhir dari bulan Ramadhan dan melakukannya setelah ruku`. Inilah pendapat sebagian ulama, dan menjadi pendapat asy-Syafi’i rahimahullah dan Ahmad rahimahullah”.[7] 

Semua ini menunjukkan qunut Witir tidak wajib. Sedangkan yang menunjukkan dilakukan di sepanjang tahun, yaitu keumuman amalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak dijelaskan kekhususannya dalam bulan tertentu. Ini menunjukkan, boleh dilakukan sepanjang tahun, dan lebih utama lagi tidak terus-menerus melakukannya sebagaimana yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah yang dirâjihkan Syaikh al-Albâni dalam Shifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .[8] Wallahu a’lam. 

KAPAN QUNUT DILAKUKAN DALAM SHALAT?
Qunut dilakukan pada rakaat terakhir setelah membaca surat dan sebelum ruku’. Inilah yang shahîh dari amalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara umum. Namun, terkadang beliau juga melakukannya setelah ruku’ sebelum sujud. Dalinya ialah sebagai berikut. 
1. Hadits Ubai bin Ka’ab Radhiyallahu anhu , ia berkata:

إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُوْتِرُ فَيَقْنُتُ قَبْلَ الرُّكُوْعِ. أخرجه ابن ماجه.

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwitir lalu melakukan qunut sebelum ruku’. [HR Ibnu Majah dan dishahîhkan al-Albâni dalam Irwa’ al-Ghalil, 2/167 hadits no. 426].

2. Atsar Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu yang disampaikan Alqamah rahimahullah, ia berkata:

أَنَّ ابْنَ مَسْعُوْدٍ وَأَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانُوْا يَقْنُتُوْنَ فِي الْوِتْرِ قَبْلَ الرُّكُوْعِ. أخرجه ابن أبي شيبة.

Sungguh, dahulu Ibnu Mas’ud dan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut dalam Witir sebelum ruku. [HR Ibnu Abi Syaibah, dan dikatakan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil (2/166): “Sanadnya baik dan ia sesuai syarat Muslim,” setelah itu beliau berkata: “Kesimpulannya, bahwasanya yang shahih benar dari para sahabat ialah qunut sebelum ruku’ dalam Witir”].

Demikianlah, qunut Witir dilakukan sebelum ruku’. Namun, ada riwayat lain yang menunjukkan bolehnya melakukan qunut Witir setelah ruku’. Yaitu riwayat Urwah bin az-Zubair , ia berkata:

أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمنِ بْنَ عَبْدٍ الْقَارِي –وَ كَانَ فِيْ عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَاب رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَعَ عَبْدِ اللهِ بْنِ الأَرْقَمِ عَلَى بَيْتِ الْمَالِ –قَالَ: أَنَّ عُمَرَ بْنِ الْخَطَاب رَضِيَ اللهُ عَنْهُ خَرَجَ لَيْلَةً فِيْ رَمَضَانَ فَخَرَجَ عَبْدُ الرَّحْمنِ بْنُ عَبْدٍ الْقَارِي فَطَافَ بِالْمَسْجِدِ ، وَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُوْنَ ، يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ ، وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ ، فَقَالَ عُمَرُ : وَاللهِ إِنِّيْ أَظُنُّ لَوْ جَمَعْنَا هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ ؛ لَكَانَ أَمْثَلَ. ثُمَّ عَزَمَ عُمَرُ عَلَى ذَلِكَ وَ أَمَرَ أُبَيَّ أَنْ يَقُوْمَ لَهُمْ فِيْ رَمَضَانَ فَخَرَجَ عُمَرُ عَلَيْهِمْ وَالنَّاسُ يُصَلُّوْنَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ ، فَقَالَ عُمَرُ : نِعْمَ الْبِدْعَةُ هِيَّ ، وَالَّتِيْ يَنَامُوْنَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِيْ يَقُوْمُوْنَ -يريد: آخر الليل- فَكاَنَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ أَوَّلَهُ وَكَانُوْا يَلْعَنُوْنَ الْكَفَرَةَ فِيْ النِّصْفِ : اللَّهُمَّ قَاتِلِ الْكَفَرَةَ الَّذِيْنَ يَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِكَ ، وَيُكَذِّبُوْنَ رُسُلَكَ ، وَلاَ يُؤْمِنُوْنَ بِوَعْدِكَ ، وَخاَلِفْ بَيْنَ كَلِمَتِهِمْ ، وَأَلْقِ فِيْ قُلُوْبِهِمُ الرَّعْبَ ، وَأَلْقِ عَلَيْهِمْ رِجْزَكَ وَعَذَابَكَ ، إِلهُ الْحَقِّ. ثُمَّ يُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَِيَدْعُوْ لِلْمُسْلِمِيْنَ بِمَا اسْتَطَاعَ مِنْ خَيْرٍ، ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ لِلْمُؤْمِنِيْنَ . قَالَ: وَكَانَ يَقُوْلُ إِذَا فَرَغَ مِنْ لَعْنِهِ الْكَفَرَةِ وَصَلاَتِهِ عَلَى النَّبِيِّ وَاسْتِغْفَارِهِ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَمَسْأَلَتِهِ : اللَّهُمَّ إِيَّاكَ نَعْبُدُ ، وَلَكَ نُصَلِّي وَنَسْجُدُ ، وَإِلَيْكَ نَسْعَى وَنَحْفِدُ، وَنَرْجُوْ رَحْمَتَكَ رَبَّنَا ، وَنَخَافُ عَذَابَكَ الْجِدِّ ، إِنَّ عَذَابَكَ لِمَنْ عَادَيْتَ مُلْحَقٌ ، ثُمَّ يُكَبِّرُ وَيَهْوِي سَاجِداً)”.

Sesungguhnya ‘Abdur-Rahmân bin ‘Abdun al-Qâri –beliau, dahulu pada zaman ‘Umar bin al-Khaththab bersama ‘Abdullah bin al-Arqam memegang Baitul Mal- berkata: “Sesungguhnya ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu keluar pada malam hari di bulan Ramadhan, lalu ‘Abdur-Rahmân bin ‘Abdun al-Qâri keluar dan mengelilingi masjid dan mendapatkan orang-orang di masjid terbagi berkelompok-kelompok tidak bersatu; seorang shalat sendiri dan yang lainnya mengimami shalat sejumlah orang. Maka ‘Umar berkata: ‘Demi Allah! Saya pandang, seandainya kita kumpulkan mereka pada satu imam saja, tentu akan lebih baik,’ kemudian ‘Umar bertekad untuk itu, dan ia memerintahkan ‘Ubai bin Ka’ab untuk mengimami shalat malam mereka di bulan Ramadhan. Lalu ‘Umar Radhiyallahu anhu keluar menemui mereka lagi dalam keadaan orang-orang shalat di belakang satu imam, sehingga ‘Umar berkata: ‘Sebaik-baik bid’ah ialah ini dan yang tidur (tidak ikut) lebih utama dari yang ikut shalat,’ -yang beliau inginkan (yang shalat) di akhir malam (lebih utama)- karena orang-orang melakukan shalat tarawih di awal malam. Mereka melaknat (mendoakan keburukan) bagi orang kafir pada separuh bulan Ramadhan dengan doa: ‘Ya Allah, binasakanlah orang-orang kafir yang menghalangi (manusia) dari jalan-Mu, mendustakan para rasul-Mu dan tidak beriman dengan janji-Mu. Cerai-beraikan persatuan mereka dan timpakanlah rasa takut di hati-hati mereka, serta timpakan siksaan dan adzab-Mu atas mereka, wahai sesembahan yang haq,’ kemudian bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berdoa untuk kebaikan kaum muslimin semampunya, kemudian memohon ampunan untuk kaum mukminin”.
Beliau berkata: “Apabila selesai melaknat orang-orang kafir, bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, memohon ampunan untuk kaum mukminin dan mukminat serta permintaan lainnya, ia mengucapkan: ‘Ya Allah, kami hanya menyembah kepada-Mu, berusaha dan beramal hanya untuk-Mu, dan memohon rahmat kepada-Mu, wahai Rabb kami, dan kami takut kepada adzab-Mu yang pedih. Sesungguhnya adzab-Mu ditimpakan kepada orang yang Engkau musuhi,’ kemudian ia bertakbir dan turun untuk sujud”. [HR Ibnu Khuzaimah dalam Shahîh-nya 2/155-156. Dikatakan oleh pentahqîqnya: “Isnadnya shahîh”.]. 

Kata “kemudian bertakbir dan turun untuk sujud,” ini menunjukkan bahwasanya qunut Witir dilakukan setelah ruku’, sebab, bila doa qunutnya dibaca setelah mambaca surat, tentulah bertakbir untuk ruku’ bukan untuk sujud. Yang berarti menunjukkan, bolehnya hal tersebut karena dilakukan di hadapan para sahabat, dan tidak ada seorangpun yang mengingkarinya. Wallahu a’lam.

BACAAN DOA QUNUT
Dari nash-nash yang ada, nampaknya bacaan doa qunut tidak ada pembatasan dengan bacaan tertentu. Di antara doa yang terbaik dalam qunut Witir, ialah doa yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada al-Hasan bin ‘Ali Radhiyallahu anhu, sebagaimana diriwayatkan beliau Radhiyallahu anhu :
عَلَّمَنِيْ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَلِمَاتٍ أَقُوْلُهُنَّ [إذا فرغت من قراءتي] في قنوت الوتر : اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ إِنَّكَ تَقْضِي وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ وَإِنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ وَلَا يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ، وَلاَ مَنْجَأَ مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepadaku doa yang aku ucapkan (apabila selesai dari bacaan surat) dalam qunut Witir: “Ya Allah, tunjukilah aku sebagaimana Engkau memberikan petunjuk (kepada selainku), berilah keselamatan sebagaimana Engkau memberikan keselamatan (kepada selainku), jadikanlah aku wali-Mu sebagaimana Engkau jadikan (selainku) sebagai wali, berilah keberkahan kepadaku pada semua pemberian-Mu, lindungilah aku dari kejelekan takdir-Mu, sesungguhnya Engkau mentakdirkan dan tidak ditakdirkan, dan sesungguhnya tidak terhinakan orang yang menjadikan Engkau sebagai wali, dan tidak mulia orang yang Engkau musuhi. Maha Suci dan Maha Tinggi Engkau, wahai Rabb kami, dan tidak ada tempat keselamatan kecuali kepada-Mu”.[HR Abu Dawud, dan doa ini dibawakan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , hlm. 180-181]. 

Pada bulan Ramadhan, juga dibolehkan berdoa dengan doa yang ada dalam atsar Abdur-Rahman bin ‘Abdun al-Qâri’ di atas.

MENGANGKAT TANGAN DALAM DOA QUNUT WITIR

Dalam hal ini, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn rahimahullah berkata: “Yang shahîh, ialah mengangkat kedua tangan; karena hal itu benar telah diamalkan ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu. ‘Umar bin al-Khaththab adalah salah satu dari khulafa` ar-Rasyidin yang memiliki sunnah yang boleh diteladani dengan dasar perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga mengangkat kedua tangannya”.[9] 

Begitu pula mengangkat tangan dalam doa Witir telah dilakukan beberapa sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana disampaikan oleh Muhammad bin Nashr al-Marwazi rahimahullah dalam Mukhtashar Kitab al-Witri, hlm. 139-140. Di antara mereka ialah Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu dan Abu Hurairah Radhiyallahu anhu

CARA MENGANGKAT TANGAN DALAM DOA QUNUT

Tentang cara mengangkat tangan dalam doa qunut, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utasimîn rahimahullah menjelaskan: “”.[10]Para ulama menyatakan, mengangkat kedua telapak tangan ke dada dan tidak mengangkatnya terlalu tinggi, karena doa ini bukan doa ibtihal yang seorang melebihkan dalam mengangkat tanganya, namun doa ini adalah doa permintaan. Kedua telapak tangan dan bagian dalamnya dibuka ke arah langit. Demikianlah pendapat para ulama kami. Zhahir keterangan para ulama, yaitu kedua tangan dikumpulkan seperti keadaan orang yang membutuhkan, meminta dari orang lain agar memberinya sesuatu
Mengangkat tangan ke dada juga dilakukan Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu dalam doa qunut Witir, sebagaimana diriwayatkan al-Aswâd rahimahullah, ia berkata: 

أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ مَسْعُوْدٍ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِيْ الْقُنُوْتِ إِلَى صَدْرِهِ

Sesungguhnya ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, dahulu mengangkat kedua tangannya dalam qunut hingga dadanya. [HR al-Marwazi dalam Mukhtashar Kitab al-Witr, hlm. 139].

Demikian, beberapa permasalahan tentang qunut Witir, mudah-mudahan bermanfaat.

Washallahu ‘ala nabiyina Muhammad wa ‘ala ‘alihi washabihi ajma’ain. 

Marâji`:
1. Asy-Syarhu al-Mumti’ ‘ala Zâd al-Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Shlih al-‘Utsaimîn, Tahqîq: Khalid bin Ali al-Musyaiqih, Muassasah Âsâm, Cetakan Kedua, Tahun 1416 H.
2. Mukhtashar Kitab al-Witir Muhammad bin Nashr al-Marwazi, karya Ahmad bin Ali al-Maqrizi, Tahqîq: Muhammad Ibrahim al-‘Ali dan Muhammad bin ‘Abdillah, Maktabah al-Manâr, Yordania, Cetakan Pertama, Tahun 1413H.
3. Shahîh Ibnu Khuzaimah, Tahqîq: Muhammad Musthafa al-A’zhami, al-Maktab al-Islami, Beirut, Cetakan Kedua, Tahun 1412 H.
4. Shifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni, Maktabah al-Ma’ârif, Riyadh, Cetakan Kedua, Tahun 1417.
5. Dan lain-lain.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Syarhu al-Mumti’, 4/25.
[2]. Zâdul-Ma’ad, 1/276.
[3]. Shahîh Fikih Sunnah, 1/390.
[4]. Lihat Shahîh Fikih Sunnah, 1/390.
[5]. Shifat Shalat Nabi n , Syaikh al-Albâni, hlm. 179.
[6]. Lihat riwayat-riwayat dari mereka dalam kitab Mukhtashar Kitab al-Witri, hlm.118-129.
[7]. Sunan at-Tirmidzi, 2/329.
[8]. Shifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , hlm. 179.
[9]. Syarhu al-Mumti’, 4/24-25.
[10]. Syarhu al-Mumti’, 4/25.
________
Share Ulang: