Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi
Shalat Witir
disyari’atkan dalam shalat malam dan disyari’atkan juga melakukan qunut yang
pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bagaimana ketentuan
qunut pada shalat Witir ini? Berikut penjelasannya.
Kata qunut, dalam bahasa Arab digunakan untuk beberapa pengertian, di antaranya
sebagai berikut.
حَافِظُوا عَلَى
الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
Peliharalah segala
shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam
shalatmu) dengan khusyu’. [al-Baqarah/2:238].
2. Doa. [1]
3. Taat dan senantiasa ibadah, sebagaimana terdapat dalam firman Allah Subanahu
wa Ta’ala :
وَمَرْيَمَ ابْنَتَ
عِمْرَانَ الَّتِي أَحْصَنَتْ فَرْجَهَا فَنَفَخْنَا فِيهِ مِنْ رُوحِنَا
وَصَدَّقَتْ بِكَلِمَاتِ رَبِّهَا وَكُتُبِهِ وَكَانَتْ مِنَ الْقَانِتِينَ
dan Maryam puteri
Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya
sebagian dari roh (ciptaan) Kami; dan dia membenarkan kalimat Rabbnya dan
kitab-kitab-Nya; dan adalah dia termasuk orang-orang yang taat.
[at-Tahrim/66:12].
Oleh karena itu,
Ibnul-Qayyim mengatakan: “Kata qunut digunakan untuk pengertian berdiri, diam,
berkesinambungan dalam ibadah, doa, tasbih dan khusyu’.”[2]
Adapun yang
dimaksudkan dalam pembahasan ini, ialah istilah qunut sebagai doa dalam shalat
pada tempat posisi yang khusus dari berdiri.[3]
Secara umum, para ulama memandang qunut dalam Witir disyariatkan, namun mereka
berselisih tentang hukumnya, wajib ataukah sunnah? Apakah juga disunnahkan
sepanjang tahun setiap malam, ataukah hanya saat Ramadhan saja atau di akhir
Ramadhan? [4]
Yang râjih –wallahu
a’lam- qunut Witir disunnahkan di sepanjang tahun, inilah pendapat madzhab
Hambali dan pendapat Ibnu Mas’ud, Ibrahiim, Ishâq dan ash-hab ar-ra’yi. Hal ini
berdasarkan amalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana terdapat
dalam riwayat Ubai bin Ka’ab Radhiyallahu anhu, ia berkata:
إِنَّ رَسُوْلَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُوْتِرُ فَيَقْنُتُ قَبْلَ
الرُّكُوْعِ. أخرجه ابن ماجه.
Sesungguhnya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan Witir lalu melakukan qunut
sebelum ruku`. [HR Ibnu Mâjah, dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Irwa`
al-Ghalil 2/167, hadits no. 426].
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan kepada al-Hasan bin ‘Ali
Radhiyallahu anhu untuk mengucapkan doa qunut, sebagaimana terdapat dalam
perkataan beliau Radhiyallahu anhu :
عَلَّمَنِيْ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَلِمَاتٍ أَقُوْلُهُنَّ فِي
قُنُوتِ الْوِتْرِ: ” اللَّهُمَّ اهْدِنِيْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ ، وَعَافِنِيْ فِيْمَنْ
عَافَيْتَ ، وَتَوَلَّنِيْ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ ، وَبَارِكْ لِيْ فِيْمَا
أَعْطَيْتَ ، وَقِنِيْ شَرَّ مَا قَضَيْتَ ؛ إِنَّكَ تَقْضِيْ وَلاَ يُقْضَى
عَلَيْكَ ، وَ إِنَّهُ لاَ يُذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ ، وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ
تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepadaku doa yang aku ucapkan
pada Witir: “Ya Allah, tunjukilah aku sebagaimana Engkau berikan petunjuk
(kepada selainku), berilah keselamatan sebagaimana Engkau berikan keselamatan
(kepada selainku), jadikanlah aku wali-Mu sebagaimana Engkau jadikan (selainku)
sebagai wali, berilah keberkahan kepadaku pada semua pemberian-Mu, lindungilah
aku dari kejelekan takdir-Mu; sesungguhnya Engkau mentakdirkan dan tidak
ditakdirkan, dan sesungguhnya tidak terhinakan orang yang menjadikan Engkau
sebagai wali, dan tidak mulia orang yang Engkau musuhi. Maha suci dan Maha
tinggi Engkau, wahai Rabb kami”. [HR Abu Dawud, dan dishahîhkan Syaikh
al-Albâni dalam Irwa` al-Ghalil, 2/172].
Demikian juga para sahabat
yang meriwayatkan shalat Witir Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
mereka tidak menyebutkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berqunut.
Seandainya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya terus-menerus,
tentulah para sahabat akan menukilkannya. Memang ada sahabat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, yaitu Ubai bin Ka’ab Radhiyallahu anhu yang meriwayatkan
qunut Witir Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini menunjukkan, bahwa
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang melakukannya, dan juga berisi
dalil bahwa qunut dalam Witir tidak wajib.[5]
Dalil lainnya,
yaitu amalan sebagian sahabat dan Tabi’in yang tidak melakukan qunut Witir, dan
sebagian lainnya hanya melakukannya pada bulan Ramadhan. Juga ada sebagian
lainnya melakukan qunut Witir sepanjang tahun.[6]
Perbedaan ini
disampaikan Imam at-Tirmidzi dalam pernyataan beliau: “Para ulama berbeda
pendapat dalam qunut Witir. ‘Abdullah bin Mas’ud memandang qunut Witir
dilakukan sepanjang tahun dan memilih melakukan qunut sebelum ruku’. Ini
merupakan pendapat dari sebagian ulama dan pendapat Sufyaan ats-Tsauri
rahimahullah, Ibnu al-Mubarak rahimahullah, Ishaaq rahimahullah dan Ahlu Kufah.
Diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, bahwa beliau tidak
qunut kecuali di separuh akhir dari bulan Ramadhan dan melakukannya setelah
ruku`. Inilah pendapat sebagian ulama, dan menjadi pendapat asy-Syafi’i
rahimahullah dan Ahmad rahimahullah”.[7]
Semua ini
menunjukkan qunut Witir tidak wajib. Sedangkan yang menunjukkan dilakukan di
sepanjang tahun, yaitu keumuman amalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
tidak dijelaskan kekhususannya dalam bulan tertentu. Ini menunjukkan, boleh
dilakukan sepanjang tahun, dan lebih utama lagi tidak terus-menerus
melakukannya sebagaimana yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Inilah yang dirâjihkan Syaikh al-Albâni dalam Shifat Shalat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam .[8] Wallahu a’lam.
Qunut dilakukan pada rakaat terakhir setelah membaca surat dan sebelum ruku’.
Inilah yang shahîh dari amalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara umum.
Namun, terkadang beliau juga melakukannya setelah ruku’ sebelum sujud. Dalinya
ialah sebagai berikut.
1. Hadits Ubai bin
Ka’ab Radhiyallahu anhu , ia berkata:
إِنَّ رَسُوْلَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُوْتِرُ فَيَقْنُتُ قَبْلَ
الرُّكُوْعِ. أخرجه ابن ماجه.
Sesungguhnya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwitir lalu melakukan qunut sebelum
ruku’. [HR Ibnu Majah dan dishahîhkan al-Albâni dalam Irwa’ al-Ghalil, 2/167
hadits no. 426].
2. Atsar Ibnu
Mas’ud Radhiyallahu anhu yang disampaikan Alqamah rahimahullah, ia berkata:
أَنَّ ابْنَ
مَسْعُوْدٍ وَأَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانُوْا
يَقْنُتُوْنَ فِي الْوِتْرِ قَبْلَ الرُّكُوْعِ. أخرجه ابن أبي شيبة.
Sungguh, dahulu
Ibnu Mas’ud dan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut
dalam Witir sebelum ruku’. [HR Ibnu Abi Syaibah, dan dikatakan oleh Syaikh
al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil (2/166): “Sanadnya baik dan ia sesuai syarat
Muslim,” setelah itu beliau berkata: “Kesimpulannya, bahwasanya yang shahih
benar dari para sahabat ialah qunut sebelum ruku’ dalam Witir”].
Demikianlah, qunut
Witir dilakukan sebelum ruku’. Namun, ada riwayat lain yang menunjukkan
bolehnya melakukan qunut Witir setelah ruku’. Yaitu riwayat Urwah bin az-Zubair
, ia berkata:
أَنَّ عَبْدَ
الرَّحْمنِ بْنَ عَبْدٍ الْقَارِي –وَ كَانَ فِيْ عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَاب
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَعَ عَبْدِ اللهِ بْنِ الأَرْقَمِ عَلَى بَيْتِ الْمَالِ
–قَالَ: أَنَّ عُمَرَ بْنِ الْخَطَاب رَضِيَ اللهُ عَنْهُ خَرَجَ لَيْلَةً فِيْ
رَمَضَانَ فَخَرَجَ عَبْدُ الرَّحْمنِ بْنُ عَبْدٍ الْقَارِي فَطَافَ
بِالْمَسْجِدِ ، وَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُوْنَ ، يُصَلِّي
الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ ، وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ ،
فَقَالَ عُمَرُ : وَاللهِ إِنِّيْ أَظُنُّ لَوْ جَمَعْنَا هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ
وَاحِدٍ ؛ لَكَانَ أَمْثَلَ. ثُمَّ عَزَمَ عُمَرُ عَلَى ذَلِكَ وَ أَمَرَ أُبَيَّ
أَنْ يَقُوْمَ لَهُمْ فِيْ رَمَضَانَ فَخَرَجَ عُمَرُ عَلَيْهِمْ وَالنَّاسُ
يُصَلُّوْنَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ ، فَقَالَ عُمَرُ : نِعْمَ الْبِدْعَةُ هِيَّ ،
وَالَّتِيْ يَنَامُوْنَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِيْ يَقُوْمُوْنَ -يريد: آخر
الليل- فَكاَنَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ أَوَّلَهُ وَكَانُوْا يَلْعَنُوْنَ
الْكَفَرَةَ فِيْ النِّصْفِ : اللَّهُمَّ قَاتِلِ الْكَفَرَةَ الَّذِيْنَ
يَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِكَ ، وَيُكَذِّبُوْنَ رُسُلَكَ ، وَلاَ يُؤْمِنُوْنَ
بِوَعْدِكَ ، وَخاَلِفْ بَيْنَ كَلِمَتِهِمْ ، وَأَلْقِ فِيْ قُلُوْبِهِمُ
الرَّعْبَ ، وَأَلْقِ عَلَيْهِمْ رِجْزَكَ وَعَذَابَكَ ، إِلهُ الْحَقِّ. ثُمَّ
يُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَِيَدْعُوْ
لِلْمُسْلِمِيْنَ بِمَا اسْتَطَاعَ مِنْ خَيْرٍ، ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ
لِلْمُؤْمِنِيْنَ . قَالَ: وَكَانَ يَقُوْلُ إِذَا فَرَغَ مِنْ لَعْنِهِ
الْكَفَرَةِ وَصَلاَتِهِ عَلَى النَّبِيِّ وَاسْتِغْفَارِهِ لِلْمُؤْمِنِيْنَ
وَالْمُؤْمِنَاتِ وَمَسْأَلَتِهِ : اللَّهُمَّ إِيَّاكَ نَعْبُدُ ، وَلَكَ
نُصَلِّي وَنَسْجُدُ ، وَإِلَيْكَ نَسْعَى وَنَحْفِدُ، وَنَرْجُوْ رَحْمَتَكَ
رَبَّنَا ، وَنَخَافُ عَذَابَكَ الْجِدِّ ، إِنَّ عَذَابَكَ لِمَنْ عَادَيْتَ
مُلْحَقٌ ، ثُمَّ يُكَبِّرُ وَيَهْوِي سَاجِداً)”.
Sesungguhnya
‘Abdur-Rahmân bin ‘Abdun al-Qâri –beliau, dahulu pada zaman ‘Umar bin
al-Khaththab bersama ‘Abdullah bin al-Arqam memegang Baitul Mal- berkata:
“Sesungguhnya ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu keluar pada malam hari
di bulan Ramadhan, lalu ‘Abdur-Rahmân bin ‘Abdun al-Qâri keluar dan
mengelilingi masjid dan mendapatkan orang-orang di masjid terbagi
berkelompok-kelompok tidak bersatu; seorang shalat sendiri dan yang lainnya
mengimami shalat sejumlah orang. Maka ‘Umar berkata: ‘Demi Allah! Saya pandang,
seandainya kita kumpulkan mereka pada satu imam saja, tentu akan lebih baik,’
kemudian ‘Umar bertekad untuk itu, dan ia memerintahkan ‘Ubai bin Ka’ab untuk
mengimami shalat malam mereka di bulan Ramadhan. Lalu ‘Umar Radhiyallahu anhu
keluar menemui mereka lagi dalam keadaan orang-orang shalat di belakang satu
imam, sehingga ‘Umar berkata: ‘Sebaik-baik bid’ah ialah ini dan yang tidur
(tidak ikut) lebih utama dari yang ikut shalat,’ -yang beliau inginkan (yang
shalat) di akhir malam (lebih utama)- karena orang-orang melakukan shalat
tarawih di awal malam. Mereka melaknat (mendoakan keburukan) bagi orang kafir
pada separuh bulan Ramadhan dengan doa: ‘Ya Allah, binasakanlah orang-orang
kafir yang menghalangi (manusia) dari jalan-Mu, mendustakan para rasul-Mu dan
tidak beriman dengan janji-Mu. Cerai-beraikan persatuan mereka dan timpakanlah
rasa takut di hati-hati mereka, serta timpakan siksaan dan adzab-Mu atas
mereka, wahai sesembahan yang haq,’ kemudian bershalawat kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berdoa untuk kebaikan kaum muslimin
semampunya, kemudian memohon ampunan untuk kaum mukminin”.
Beliau berkata:
“Apabila selesai melaknat orang-orang kafir, bershalawat kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, memohon ampunan untuk kaum mukminin dan
mukminat serta permintaan lainnya, ia mengucapkan: ‘Ya Allah, kami hanya
menyembah kepada-Mu, berusaha dan beramal hanya untuk-Mu, dan memohon rahmat
kepada-Mu, wahai Rabb kami, dan kami takut kepada adzab-Mu yang pedih.
Sesungguhnya adzab-Mu ditimpakan kepada orang yang Engkau musuhi,’ kemudian ia
bertakbir dan turun untuk sujud”. [HR Ibnu Khuzaimah dalam Shahîh-nya
2/155-156. Dikatakan oleh pentahqîqnya: “Isnadnya shahîh”.].
Kata “kemudian
bertakbir dan turun untuk sujud,” ini menunjukkan bahwasanya qunut Witir
dilakukan setelah ruku’, sebab, bila doa qunutnya dibaca setelah mambaca surat,
tentulah bertakbir untuk ruku’ bukan untuk sujud. Yang berarti menunjukkan,
bolehnya hal tersebut karena dilakukan di hadapan para sahabat, dan tidak ada
seorangpun yang mengingkarinya. Wallahu a’lam.
Dari nash-nash yang ada, nampaknya bacaan doa qunut tidak ada pembatasan dengan
bacaan tertentu. Di antara doa yang terbaik dalam qunut Witir, ialah doa yang
diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada al-Hasan bin ‘Ali
Radhiyallahu anhu, sebagaimana diriwayatkan beliau Radhiyallahu anhu :
عَلَّمَنِيْ
رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَلِمَاتٍ أَقُوْلُهُنَّ [إذا فرغت من قراءتي]
في قنوت الوتر : اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِي فِيمَنْ
عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ
وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ إِنَّكَ تَقْضِي وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ وَإِنَّهُ لَا
يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ وَلَا يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا
وَتَعَالَيْتَ، وَلاَ مَنْجَأَ مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ]
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepadaku doa yang aku ucapkan
(apabila selesai dari bacaan surat) dalam qunut Witir: “Ya Allah, tunjukilah
aku sebagaimana Engkau memberikan petunjuk (kepada selainku), berilah
keselamatan sebagaimana Engkau memberikan keselamatan (kepada selainku),
jadikanlah aku wali-Mu sebagaimana Engkau jadikan (selainku) sebagai wali,
berilah keberkahan kepadaku pada semua pemberian-Mu, lindungilah aku dari
kejelekan takdir-Mu, sesungguhnya Engkau mentakdirkan dan tidak ditakdirkan,
dan sesungguhnya tidak terhinakan orang yang menjadikan Engkau sebagai wali,
dan tidak mulia orang yang Engkau musuhi. Maha Suci dan Maha Tinggi Engkau,
wahai Rabb kami, dan tidak ada tempat keselamatan kecuali kepada-Mu”.[HR Abu
Dawud, dan doa ini dibawakan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shifat Shalat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , hlm. 180-181].
Pada bulan
Ramadhan, juga dibolehkan berdoa dengan doa yang ada dalam atsar Abdur-Rahman
bin ‘Abdun al-Qâri’ di atas.
Dalam hal ini, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn rahimahullah berkata:
“Yang shahîh, ialah mengangkat kedua tangan; karena hal itu benar telah
diamalkan ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu. ‘Umar bin al-Khaththab
adalah salah satu dari khulafa` ar-Rasyidin yang memiliki sunnah yang boleh
diteladani dengan dasar perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga
mengangkat kedua tangannya”.[9]
Begitu pula
mengangkat tangan dalam doa Witir telah dilakukan beberapa sahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana disampaikan oleh Muhammad bin Nashr
al-Marwazi rahimahullah dalam Mukhtashar Kitab al-Witri, hlm. 139-140. Di
antara mereka ialah Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, ‘Umar bin al-Khaththab
Radhiyallahu anhu dan Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
Tentang cara mengangkat tangan dalam doa qunut, Syaikh Muhammad bin Shâlih
al-‘Utasimîn rahimahullah menjelaskan: “”.[10]Para ulama menyatakan, mengangkat kedua
telapak tangan ke dada dan tidak mengangkatnya terlalu tinggi, karena doa ini
bukan doa ibtihal yang seorang melebihkan dalam mengangkat tanganya, namun doa
ini adalah doa permintaan. Kedua telapak tangan dan bagian dalamnya dibuka ke
arah langit. Demikianlah pendapat para ulama kami. Zhahir keterangan para
ulama, yaitu kedua tangan dikumpulkan seperti keadaan orang yang membutuhkan,
meminta dari orang lain agar memberinya sesuatu
Mengangkat tangan
ke dada juga dilakukan Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu dalam doa qunut Witir,
sebagaimana diriwayatkan al-Aswâd rahimahullah, ia berkata:
أَنَّ عَبْدَ اللهِ
بْنَ مَسْعُوْدٍ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِيْ الْقُنُوْتِ إِلَى صَدْرِهِ
Sesungguhnya
‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, dahulu mengangkat kedua tangannya
dalam qunut hingga dadanya. [HR al-Marwazi dalam Mukhtashar Kitab al-Witr, hlm.
139].
Demikian, beberapa
permasalahan tentang qunut Witir, mudah-mudahan bermanfaat.
Washallahu ‘ala
nabiyina Muhammad wa ‘ala ‘alihi washabihi ajma’ain.
Marâji`:
1. Asy-Syarhu al-Mumti’ ‘ala Zâd al-Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Shlih al-‘Utsaimîn, Tahqîq: Khalid bin Ali al-Musyaiqih, Muassasah Âsâm, Cetakan Kedua, Tahun 1416 H.
2. Mukhtashar Kitab al-Witir Muhammad bin Nashr al-Marwazi, karya Ahmad bin Ali al-Maqrizi, Tahqîq: Muhammad Ibrahim al-‘Ali dan Muhammad bin ‘Abdillah, Maktabah al-Manâr, Yordania, Cetakan Pertama, Tahun 1413H.
3. Shahîh Ibnu Khuzaimah, Tahqîq: Muhammad Musthafa al-A’zhami, al-Maktab al-Islami, Beirut, Cetakan Kedua, Tahun 1412 H.
4. Shifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni, Maktabah al-Ma’ârif, Riyadh, Cetakan Kedua, Tahun 1417.
5. Dan lain-lain.
1. Asy-Syarhu al-Mumti’ ‘ala Zâd al-Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Shlih al-‘Utsaimîn, Tahqîq: Khalid bin Ali al-Musyaiqih, Muassasah Âsâm, Cetakan Kedua, Tahun 1416 H.
2. Mukhtashar Kitab al-Witir Muhammad bin Nashr al-Marwazi, karya Ahmad bin Ali al-Maqrizi, Tahqîq: Muhammad Ibrahim al-‘Ali dan Muhammad bin ‘Abdillah, Maktabah al-Manâr, Yordania, Cetakan Pertama, Tahun 1413H.
3. Shahîh Ibnu Khuzaimah, Tahqîq: Muhammad Musthafa al-A’zhami, al-Maktab al-Islami, Beirut, Cetakan Kedua, Tahun 1412 H.
4. Shifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni, Maktabah al-Ma’ârif, Riyadh, Cetakan Kedua, Tahun 1417.
5. Dan lain-lain.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Syarhu al-Mumti’, 4/25.
[2]. Zâdul-Ma’ad, 1/276.
[3]. Shahîh Fikih Sunnah, 1/390.
[4]. Lihat Shahîh Fikih Sunnah, 1/390.
[5]. Shifat Shalat Nabi n , Syaikh al-Albâni, hlm. 179.
[6]. Lihat riwayat-riwayat dari mereka dalam kitab Mukhtashar Kitab al-Witri, hlm.118-129.
[7]. Sunan at-Tirmidzi, 2/329.
[8]. Shifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , hlm. 179.
[9]. Syarhu al-Mumti’, 4/24-25.
[10]. Syarhu al-Mumti’, 4/25.
[1]. Syarhu al-Mumti’, 4/25.
[2]. Zâdul-Ma’ad, 1/276.
[3]. Shahîh Fikih Sunnah, 1/390.
[4]. Lihat Shahîh Fikih Sunnah, 1/390.
[5]. Shifat Shalat Nabi n , Syaikh al-Albâni, hlm. 179.
[6]. Lihat riwayat-riwayat dari mereka dalam kitab Mukhtashar Kitab al-Witri, hlm.118-129.
[7]. Sunan at-Tirmidzi, 2/329.
[8]. Shifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , hlm. 179.
[9]. Syarhu al-Mumti’, 4/24-25.
[10]. Syarhu al-Mumti’, 4/25.
________
Share Ulang:
- Cisaat, Ciwidey
- Sumber: https://almanhaj.or.id/2592-bagaimana-qunut-witir-dilakukan.html