Islam Pedoman Hidup: Apakah sah shalat berjamaah dengan shaf terputus (jilid 1)?

Minggu, 16 Desember 2018

Apakah sah shalat berjamaah dengan shaf terputus (jilid 1)?



Kita sering menyaksikan terkadang ketika shalat jum’at atau shalat ‘idul fitri dimana dihadiri jamaah yang sangat banyak sementara tempat tidak mencukupi maka orang shalat dimana saja. Terlebih di Jakarta beberapa masjid ada yang terletak di gang sempit, maka kami menjumpai jamaah shalat jum’at kadang terpaut sangat jauh dari imam, ada yang terpisah tembok, ada yang terputus menggerombol sendiri di bawah pohon dan seterusnya.

Hal yang sama kami pernah jumpai pula di masjidil haram di Makkah Al Mukaromah, dimana kini lantai masjidil haram telah bersambung dengan koridor pertokoan dari sebuah hotel kelas atas, maka barisan shof shalat meluber sampai di depan pertokoan dan lift hotel. Ada sebagian orang membentuk shof tersendiri dua tiga orang di dalam toko terpisah dari barisan shof lainnya di lobby hotel. Maka timbul pertanyaan apakah sholat mereka sah atau kalaupun sah apakah dihukumi munfarid (sholat sendirian) ataukah mendapat pahala sholat berjamaah?

Pada masa kini kita juga banyak menjumpai masjid bertingkat 2-3 lantai dimana kadangkala imam shalat berada di lantai teratas atau terbawah sedangkan jamaah yang berada di lantai lainnya tidak melihat imam dan hanya mendengarkan komando imam dari loud speaker. Ada juga masjid yang menyediakan TV yang menayangkan gerakan imam di lantai atasnya.

Maka timbul pertanyaan sejauh mana batasan bolehnya makmum terpisah ruangan dan tidak melihat imam? Dan kalau itu dibolehkan maka bolehkah bermakmum terhadap imam hanya mendengar dari radio saja? Atau melihat televisi saja? Bolehkah kita bermakmum pada imam masjidil haram melalui siaran langsung shalat taraweh di masjidil haram yang disiarkan televisi ??

Makmum Terpisah Menyendiri Di Belakang Barisan Jamaah

Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa suatu ketika seorang sahabat bernama Abu bakrah r.a. pernah shalat menyendiri di belakang barisan/shof Rasulullah s.a.w. yang sedang shalat berjamaah :
Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma’il berkata, telah menceritakan kepada kami Hammam dari Al A’lam -yaitu Ziyad- dari Al Hasan dari Abu Bakrah, bahwa dia pernah mendapati Nabi s.a.w. sedang rukuk, maka dia pun ikut rukuk sebelum sampai ke dalam barisan shaf. Kemudian dia menceritakan kejadian tersebut kepada Nabi s.a.w. , Nabi s.a.w.  lalu bersabda: “Semoga Allah menambah semangat kepadamu, namun jangan diulang kembali.” (H.R. Bukhari No. 741)

Seandainya shalatnya tidak sah maka Rasulullah s.a.w. akan menyuruh Abu Bakrah mengulang shalatnya. Adapun perkataan jangan diulangi lagi menunjukkan ke-sunnah-an sehingga berkurangnya kesempurnaan atau keafdholan shalat berjamaah.  (Bustanul Ahbar Hal. 857)

Berdasarkan hadits di atas Abu Hanifah (Madzhab Hanafi), Imam Malik (Madzhab Maliki) dan Imam Syafi’i (Madzhab Syafi’i) menganggap sah dan tetap mendapat pahala berjamaah bagi orang yang shalat menyendiri di luar barisan atau di belakang barisan, namun masih dalam satu masjid.
Walaupun demikian,  Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berpendapat walupun sah, hukumnya adalah makruh (tidak disukai) shalat berjamaah secara terpisah menyendiri dari barisan. Dengan kata lain seandainya ia tidak melakukan itu dan shalatnya bergabung dalam barisan, tentu pahalanya akan lebih besar lagi.

Sedangkan Imam Ahmad bin Hambal (Madzhab Hambali) berpendapat bukan hanya tidak mendapatkan pahala jamaah bahkan tidak sah shalatnya dan harus mengulang shalatnya yaitu orang yang shalat menyendiri di belakang barisan sampai satu rakaat penuh padahal ia bisa melihat barisan jamaah di depannya. Kecuali jika hanya beberapa gerakan lalu ia berusaha bergabung dengan barisan sehingga tidak sampai satu rakaat penuh menyendiri di luar barisan. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah s.a.w. berikut ini :

(Ahmad bin Hanbal) berkata, telah menceritakan kepada kami Abdushshamad dan Suraij berkata, telah menceritakan kepada kami Mulazim bin ‘Amr telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Badr Abdurrahman bin ‘Ali menceritakannya, bapaknya, ‘Ali bin Syaiban berkata : (Rasulullahi s.a.w.) melihat seorang laki-laki shalat di belakang shaf dan berdiri sendiri sampai shalat selesai, maka Rasulullah s.a.w. bersabda: “Ulangilah shalatmu, karena tidak sah shalat seseorang yang berdiri di belakang shaf sendirian.”  (H.R. Ahmad No. 15708) Hadits ini sanadnya shahih.

Imam Bukhari menjelaskan hadits di atas bahwa hadits tersebut khusus untuk laki-laki (Fathul Bari Jilid 4 Hal. 395) Imam Syaukani berkata : ulama salaf berbeda pendapat mengenai sah tidaknya orang yang shalat sendirian di belakang barisan (shof jamaah). Satu golongan mengatakan tidak sah shalatnya. Yang lain membedakan antara laki-laki atau perempuan. Jika laki-laki tidak sah dan wajib mengulangi shalatnya sedangkan jika perempuan tidak wajib mengulangi shalatnya. Adapun orang yang berpendapat sah berpegang pada hadits (kasus) Abu Bakrah yang sudah mengerjakan sebagian shalat di belakang shof sedangkan Nabi s.a.w. tidak menyuruh mengulang shalatnya. (Bustanul Ahbar Hal. 857)

Memang dalam hal ini ada pengecualian untuk barisan wanita, dimana wanita walaupun hanya sendirian dianggap sah shof/barisannya. Hal ini karena wanita tidak ditekankan untuk datang shalat berjamaah ke masjid hal ini sebagaimana hadits berikut ini :

Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Uyainah dari Ishaq bin ‘Abdullah dari Anas bin Malik r.a., ia berkata, Nabi s.a.w. pernah melaksanakan shalat di rumah Ummu Sulaim, maka aku dan anak yatim ikut di belakang beliau sedangkan Ummu Sulaim berdiri di belakang kami.” (H.R. Bukhari No. 824 No. 685)

Ibnu Bathal menjadikan hadits di atas sebagai dalil sahnya shalat sendirian (bagi laki-laki) di belakang imam. Jika hal ini dibolehkan bagi wanita maka demikian pula untuk laki-laki juga dibolehkan (shalat sendirian di belakang barisan). (Fathul Bari Jilid 4 Hal. 395)

Apabila Antara Imam dan Makmum Dalam Areal Masjid Terhalang Dinding

Sebagian ulama berpendapat tidak mengapa jika makmum dan imam terhalang dinding asalkan masih dapat melihat gerakan imam dan mendengar takbir imam. Hal ini berdasarkan hadits berikut :
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Salam berkata, telah mengabarkan kepada kami ‘Abdah dari Yahya bin Sa’id Al Anshari dari ‘Amrah dari ‘Aisyah berkata, Pada suatu malam Rasulullah s.a.w.pernah shalat di kamarnya, saat itu dinding kamar beliau tidak terlalu tinggi (pendek) hingga orang-orang pun melihat Nabi s.a.w. berdiri shalat sendirian (munfarid). Lalu orang-orang itu pun berdiri dan shalat di belakang beliau (bermakmum pada Beliau), hingga pada pagi harinya orang-orang saling memperbincangkan kejadian tersebut. (H.R. Bukhari No. 687)

Dalam hadits lainnya diceritakan :
Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Husyaim telah mengabarkan kepadaku Yahya bin Sa’id dari ‘Amrah dari Aisyah r.ah. dia berkata; Rasulullah s.a.w. mengerjakan shalat di kamarnya, ternyata orang-orang mengikuti beliau dari belakang kamarnya.” (H.R. Abu Daud No. 951) Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits ini shahih.

Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami Salim Abu Nadlr maula Umar bin Ubaidullah, dari Busr bin Sa’id dari Zaid bin Tsabit ia berkata; Rasulullah s.a.w. memasang tenda dari tikar pada sebuah tempat di Masjid, sehingga menjadikan sebuah kamar tempat beliau shalat (malam). Melihat hal itu, beberapa orang sahabat mendatangi tempat itu dan mereka shalat pula mengikuti Nabi s.a.w. shalat (bermakmum pada Beliau) (H.R. Muslim No. 1301)

Maka berdasarkan hadits di atas jelas bahwa orang boleh bermakmum mengikuti imam walaupun imam terpisah dinding dengan makmum selama makmum bisa mengikuti gerakan imam dan mendengar aba-aba takbir dari imam.

Maka Imam Syafi’i (Madzhab Syafi’i)  membolehkan makmum dan imam terpisah asalkan masih dalam satu areal masjid walaupun mereka terpisah dalam jarak tiga ratus depa atau terhalang tembok, sumur, dan pintu yang tertutup atau imam shalat di awal masjid (depan) sedangkan makmum berada di ujung akhir masjid asalkan tidak  ada penghalang. (Mughni Al Muhtaaj Jilid 1 Hal. 248-251)

Al Hasan berkata : “Tidak mengapa engkau shalat sedangkan antara engkau dan imam terdapat sungai” Abu Miljaz berkata : “Boleh mengikuti imam meskipun antara keduanya terpisah jalan atau tembok selama ia dapat mendengar takbirnya (komandonya) imam” (Fathul Bari Jilid 4 Hal. 397)

Imam Malik bin Anas (Madzhab Maliki) berpendapat tidak ada syarat harus satunya tempat antara imam dan makmum. Berbedanya tempat imam dan makmum tidak mencegah sahnya shalat jamaah. Adanya penghalang baik sungai jalan atau tembok tidak mencegah sahnya shalat berjamaah selama ia bisa mengetahui gerakan imam dan dapat mendengar takbirnya (komando gerakan imam). Hal ini dibolehkan pada semua sholat kecuali untuk shalat jum’at.  Imam Malik berpendapat demikian karena mengambil keumuman hadits :

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdurrahim berkata, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun berkata, telah mengabarkan kepada kami Humaid Ath Thawil dari Anas bin Malik, beliau bersabda: Sesungguhnya dijadikannya imam itu untuk diikuti. Jika imam bertakbir maka takbirlah kalian, jika rukuk maka rukuklah kalian, jika sujud maka sujudlah kalian, dan jika ia shalat dengan berdiri maka shalatlah kalian dengan berdiri.” (H.R. Bukhari No. 365)

Telah mengabarkan kepada kami ‘Ubaidullah bin Abdul Majid telah menceritakan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Anas bin Malik Beliau s.a.w. bersabda : Sesungguhnya dijadikannya imam agar diikuti, maka janganlah kalian menyelisihinya (H.R. Darimi No. 1228)

Maka Imam Malik berpendapat sepanjang makmum dapat mengikuti gerakan imam, dan dapat mendengar suara takbir imam, maka sah shalat berjamaahnya walaupun terhalang dinding, jalan, sungai atau lainnya kecuali shalat jum’at yang memang disyaratkan agar barisannya bersambung. Jika seorang makmum mengikuti imam shalat jum’at di rumah yang bersebelahan dengan masjid maka shalatnya batal karena bergabungnya itu adalah syarat sahnya shalat jum’at (Fiqhul Islam Wa’adillatuhu Jilid 2 Hal 351)

Shaf Terhalang Tiang

Sebagian ulama mengatakan bahwa tidak sah barisan shaf yang terhalang tiang-tiang di antaranya. Maka jika ada tiang di situ hendaknya orang bergeser ke depan atau ke belakang untuk membantuk shaf sehingga dari ujung kanan ke kiri tidak diselingi oleh tiang-tiang. Pendapat ini berdasarkan atsar (perkataan) Ibnu Mas’ud r.a. sebagai berikut :

Ibnu Mas’ud r.a. berkata: “Janganlah kamu menyusun shaf di antara tiang-tiang”. Para ahli ilmu seperti Imam Ahmad dan Ishaq membenci barisan shaf antara tiang-tiang. (AI-Qaulul Mubin Fi Akhthail Mushallin Hal. 231 oleh Syaikh Masyhur Hasan Salman.)

Namun hal ini bukan merupakan pendapat mutlak karena sebagian besar ulama lain berpegang pada keumuman bahwa sah shalat berjamaah walaupun terpisah oleh tirai, dinding, pintu, jendela dan lainnya, apalagi hanya tiang. Hal ini mengambil keumuman hadits yang sudah kami ungkapkan di atas bahwa para sahabat pernah bermakmum pada Rasulullah s.a.w. sementara beliau berada di kamarnya yang dipisahkan oleh dinding, dan suatu ketika dipisahkan oleh tirai dari tikar.

Shaf Pria Diselingi Shaf Wanita

Imam Hanafi berpendapat bahwa tidak sah barisan jamaah pria yang terhalang dengan shof wanita. Juga dimakruhkan jika seorang pria sholat sementara di hadapannya ada seorang wanita yang juga sedang sholat. Abu Hanifah mengambil keumuman hadits  :

Dari Abdurrazaq dari Ibnu Mas’ud r.a. merafa’kan pada Rasulullah s.a.w. Akhirkanlah barisan mereka (wanita) sebagaimana Allah mengakhirkan mereka (H.R. Thabrani)

Zayala’i mengatakan bahwa hadits di atas adalah hadits gharib (asing) yang dirafa’kan (dikatakan bersambung pada Rasulullah s.a.w.mauquf (terputus) pada perkataan Ibnu Mas’ud sehingga dianggap sebagai atsar (perkataan) Ibnu Mas’ud dan bukan sabda Rasulullah s.a.w. (Nashab Ar-Raayah Jilid 2 Hal. 36)

Ada juga yang berdalil dengan perkataan Umar bin Khattab r.a. sebagai berikut :
Umar r.a. berkata : Seorang makmum yang terpisah dengan imam oleh sungai atau jalan atau barisan wanita maka shalatnya tidak sah

Namun Imam Nawawi berkata : ” atsar tersebut tidak ada asalnya”. Atsar yang diriwayatkan dari Umar melalui jalur Laith bin Abi salim dari Tamim adalah dla’if karena Laith ini adalah perawi dla’if dan Tamim tidak dikenal (majhul). Sehingga atsar ini tidak dapat dijadikan dalil.

Hadits yang shahih menyebutkan tentang urutan shaf dalam shalat adalah sebagai berikut :
Telah bercerita kepada kami Abu Ahmad dan Abdullah bin Al Walid berkata; telah bercerita kepada kami Sufyan dari Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqil dari Jabir dari Nabi s.a.w. bersabda: Sebaik-baik shof laki-laki adalah yang terdepan, yang paling jelek adalah yang terakhir, sejelek-jelek shof wanita adalah yang terdepan dan yang terbaik adalah yang terakhir. (H.R. Ahmad No. 14024)

Ada juga yang berdalil dengan hadits :
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Uyainah dari Ishaq bin ‘Abdullah dari Anas bin Malik r.a., ia berkata, “Nabi s.a.w. pernah melaksanakan shalat di rumah Ummu Sulaim, maka aku dan anak yatim ikut di belakang beliau sedangkan Ummu Sulaim berdiri di belakang kami.” (H.R. Bukhari No. 824 No. 685)

Maka hadits-hadits di atas menunjukkan urutan shaf wanita yang harus di belakang shaf laki-laki. Ibnu Hajar Asqolani mensyarah hadits di atas mengatakan : “Hadits di atas menjadi dalil bahwa wanita jika sendirian tetap tidak boleh satu shof dengan barisan laki-laki dan sah membentuk barisan walau hanya seorang diri. Hadits ini menjelaskan bahwa wanita tidak boleh masuk barisan laki-laki karena dikhawatirkan menimbulkan fitnah bagi laki-laki. Walaupun demikian, apabila wanita menyalahi hal ini shalatnya tetap sah menurut jumhur ulama kecuali madzhab Hanafi.

Menurut madzhab Hanafi rusak shalatnya laki-laki jika masuk di dalamnya seorang wanita. Pendapat ini berdasarkan perkataan Ibnu Mas’ud : “Tempatkanlah mereka dibelakang sebagaimana Allah menempatkan mereka”. Maka menurut Imam Hanafi perintah ini mengindikasikan wajib sehingga jika dilanggar rusaklah shalatnya. (Fathul Bari Jilid 4 Hal. 394)

Namun Zayala’i mengatakan bahwa hadits di atas adalah hadits gharib (asing) yang dirafa’kan (dikatakan bersambung pada Rasulullah s.a.w.) Yang benar adalah hadits tersebut mauquf (terputus) pada perkataan Ibnu Mas’ud sehingga dianggap sebagai atsar (perkataan) Ibnu Mas’ud dan bukan sabda Rasulullah s.a.w. (Nashab Ar-Raayah Jilid 2 Hal. 36)

Sedangkan menurut Mazhab Maliki, Hambali dan Syafi’i hadits yang menyebutkan tentang urutan shof wanita di belakang laki-laki adalah sunnah namun tidak membatalkan shalat barisan laki-laki maupun barisan wanita seandainya shof wanita sejajar dengan laki-laki. Demikian pula jika ada seorang wanita atau barisan wanita berada di shof laki-laki tidak batal shalatnya orang yang berada di sampingnya atau belakangnya atau di depannya maupun shalat si wanita itu sendiri, melainkan hanya berkurang kesempurnaanya (Fiqhul Islam Wa ‘Adillatuhu Jilid 2 Hal. 361)

Bersambung ke Jilid 2
______


Share Ulang: