Kita sering menyaksikan terkadang ketika shalat jum’at atau shalat ‘idul
fitri dimana dihadiri jamaah yang sangat banyak sementara tempat tidak
mencukupi maka orang shalat dimana saja. Terlebih di Jakarta beberapa masjid
ada yang terletak di gang sempit, maka kami menjumpai jamaah shalat jum’at
kadang terpaut sangat jauh dari imam, ada yang terpisah tembok, ada yang
terputus menggerombol sendiri di bawah pohon dan seterusnya.
Hal yang sama kami pernah jumpai pula di masjidil haram di Makkah Al
Mukaromah, dimana kini lantai masjidil haram telah bersambung dengan koridor
pertokoan dari sebuah hotel kelas atas, maka barisan shof shalat meluber sampai
di depan pertokoan dan lift hotel. Ada sebagian orang membentuk shof tersendiri
dua tiga orang di dalam toko terpisah dari barisan shof lainnya di lobby hotel.
Maka timbul pertanyaan apakah sholat mereka sah atau kalaupun sah apakah
dihukumi munfarid (sholat sendirian) ataukah mendapat pahala sholat berjamaah?
Pada masa kini kita juga banyak menjumpai masjid bertingkat 2-3 lantai
dimana kadangkala imam shalat berada di lantai teratas atau terbawah sedangkan
jamaah yang berada di lantai lainnya tidak melihat imam dan hanya mendengarkan
komando imam dari loud speaker. Ada juga masjid yang menyediakan TV yang
menayangkan gerakan imam di lantai atasnya.
Maka timbul pertanyaan sejauh mana batasan bolehnya makmum terpisah
ruangan dan tidak melihat imam? Dan kalau itu dibolehkan maka bolehkah
bermakmum terhadap imam hanya mendengar dari radio saja? Atau melihat televisi
saja? Bolehkah kita bermakmum pada imam masjidil haram melalui siaran langsung
shalat taraweh di masjidil haram yang disiarkan televisi ??
Makmum Terpisah Menyendiri Di Belakang Barisan Jamaah
Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa suatu ketika seorang sahabat
bernama Abu bakrah r.a. pernah shalat menyendiri di belakang barisan/shof
Rasulullah s.a.w. yang sedang shalat berjamaah :
Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma’il
berkata, telah menceritakan kepada kami Hammam dari Al A’lam -yaitu Ziyad- dari
Al Hasan dari Abu Bakrah, bahwa dia
pernah mendapati Nabi s.a.w. sedang rukuk, maka dia pun ikut rukuk sebelum
sampai ke dalam barisan shaf. Kemudian dia menceritakan kejadian tersebut
kepada Nabi s.a.w. , Nabi s.a.w. lalu bersabda: “Semoga Allah menambah
semangat kepadamu, namun jangan diulang kembali.” (H.R. Bukhari No. 741)
Seandainya shalatnya tidak sah maka Rasulullah s.a.w. akan menyuruh Abu
Bakrah mengulang shalatnya. Adapun perkataan jangan diulangi lagi menunjukkan
ke-sunnah-an sehingga berkurangnya kesempurnaan atau keafdholan shalat
berjamaah. (Bustanul Ahbar Hal. 857)
Berdasarkan hadits di atas Abu Hanifah (Madzhab Hanafi), Imam Malik
(Madzhab Maliki) dan Imam Syafi’i (Madzhab Syafi’i) menganggap sah dan tetap
mendapat pahala berjamaah bagi orang yang shalat menyendiri di luar barisan
atau di belakang barisan, namun masih dalam satu masjid.
Walaupun demikian, Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berpendapat
walupun sah, hukumnya adalah makruh (tidak disukai) shalat berjamaah secara
terpisah menyendiri dari barisan. Dengan kata lain seandainya ia tidak
melakukan itu dan shalatnya bergabung dalam barisan, tentu pahalanya akan lebih
besar lagi.
Sedangkan Imam Ahmad bin Hambal (Madzhab Hambali) berpendapat bukan
hanya tidak mendapatkan pahala jamaah bahkan tidak sah shalatnya dan harus
mengulang shalatnya yaitu orang yang shalat menyendiri di belakang barisan
sampai satu rakaat penuh padahal ia bisa melihat barisan jamaah di depannya.
Kecuali jika hanya beberapa gerakan lalu ia berusaha bergabung dengan barisan
sehingga tidak sampai satu rakaat penuh menyendiri di luar barisan. Hal ini
berdasarkan hadits Rasulullah s.a.w. berikut ini :
(Ahmad bin Hanbal) berkata, telah
menceritakan kepada kami Abdushshamad dan Suraij berkata, telah
menceritakan kepada kami Mulazim bin ‘Amr telah menceritakan kepada kami
Abdullah bin Badr Abdurrahman bin ‘Ali menceritakannya, bapaknya, ‘Ali bin
Syaiban berkata : “(Rasulullahi
s.a.w.) melihat seorang laki-laki shalat di belakang shaf dan berdiri sendiri
sampai shalat selesai, maka Rasulullah s.a.w. bersabda: “Ulangilah shalatmu,
karena tidak sah shalat seseorang yang berdiri di belakang shaf sendirian.”
(H.R. Ahmad No. 15708) Hadits ini sanadnya shahih.
Imam Bukhari menjelaskan hadits di atas bahwa hadits tersebut khusus
untuk laki-laki (Fathul Bari Jilid 4 Hal. 395) Imam Syaukani berkata : ulama salaf berbeda pendapat mengenai sah tidaknya orang
yang shalat sendirian di belakang barisan (shof jamaah). Satu golongan mengatakan
tidak sah shalatnya. Yang lain membedakan antara laki-laki atau perempuan. Jika
laki-laki tidak sah dan wajib mengulangi shalatnya sedangkan jika perempuan
tidak wajib mengulangi shalatnya. Adapun orang yang berpendapat sah berpegang
pada hadits (kasus) Abu Bakrah yang sudah mengerjakan sebagian shalat di
belakang shof sedangkan Nabi s.a.w. tidak menyuruh mengulang shalatnya.
(Bustanul Ahbar Hal. 857)
Memang dalam hal ini ada pengecualian untuk barisan wanita, dimana
wanita walaupun hanya sendirian dianggap sah shof/barisannya. Hal ini karena
wanita tidak ditekankan untuk datang shalat berjamaah ke masjid hal ini
sebagaimana hadits berikut ini :
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim berkata,
telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Uyainah dari Ishaq bin ‘Abdullah dari Anas
bin Malik r.a., ia berkata, “Nabi
s.a.w. pernah melaksanakan shalat di rumah Ummu Sulaim, maka aku dan anak yatim
ikut di belakang beliau sedangkan Ummu Sulaim berdiri di belakang kami.”
(H.R. Bukhari No. 824 No. 685)
Ibnu Bathal menjadikan hadits di atas sebagai dalil sahnya shalat
sendirian (bagi laki-laki) di belakang imam. Jika hal ini dibolehkan bagi
wanita maka demikian pula untuk laki-laki juga dibolehkan (shalat sendirian di
belakang barisan). (Fathul Bari Jilid 4 Hal. 395)
Apabila Antara Imam dan Makmum Dalam Areal Masjid Terhalang Dinding
Sebagian ulama berpendapat tidak mengapa jika makmum dan imam terhalang
dinding asalkan masih dapat melihat gerakan imam dan mendengar takbir imam. Hal
ini berdasarkan hadits berikut :
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Salam
berkata, telah mengabarkan kepada kami ‘Abdah dari Yahya bin Sa’id Al Anshari
dari ‘Amrah dari ‘Aisyah berkata, “Pada
suatu malam Rasulullah s.a.w.pernah shalat di kamarnya, saat itu dinding kamar
beliau tidak terlalu tinggi (pendek) hingga orang-orang pun melihat Nabi s.a.w.
berdiri shalat sendirian (munfarid). Lalu orang-orang itu pun berdiri dan
shalat di belakang beliau (bermakmum pada Beliau), hingga pada pagi harinya
orang-orang saling memperbincangkan kejadian tersebut. ” (H.R. Bukhari No. 687)
Dalam hadits lainnya diceritakan :
Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb
telah menceritakan kepada kami Husyaim telah mengabarkan kepadaku Yahya bin
Sa’id dari ‘Amrah dari Aisyah r.ah. dia berkata; “Rasulullah s.a.w. mengerjakan shalat di kamarnya, ternyata
orang-orang mengikuti beliau dari belakang kamarnya.” (H.R. Abu Daud No. 951) Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits ini
shahih.
Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al
Mutsanna telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far telah menceritakan
kepada kami Abdullah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami Salim Abu Nadlr
maula Umar bin Ubaidullah, dari Busr bin Sa’id dari Zaid bin Tsabit ia berkata;
“Rasulullah s.a.w. memasang tenda
dari tikar pada sebuah tempat di Masjid, sehingga menjadikan sebuah kamar
tempat beliau shalat (malam). Melihat hal itu, beberapa orang sahabat
mendatangi tempat itu dan mereka shalat pula mengikuti Nabi s.a.w. shalat
(bermakmum pada Beliau) (H.R. Muslim No. 1301)
Maka berdasarkan hadits di atas jelas bahwa orang boleh bermakmum
mengikuti imam walaupun imam terpisah dinding dengan makmum selama makmum bisa
mengikuti gerakan imam dan mendengar aba-aba takbir dari imam.
Maka Imam Syafi’i (Madzhab Syafi’i) membolehkan makmum dan imam
terpisah asalkan masih dalam satu areal masjid walaupun mereka terpisah dalam
jarak tiga ratus depa atau terhalang tembok, sumur, dan pintu yang tertutup
atau imam shalat di awal masjid (depan) sedangkan makmum berada di ujung akhir
masjid asalkan tidak ada penghalang. (Mughni Al Muhtaaj Jilid 1 Hal.
248-251)
Al Hasan berkata : “Tidak mengapa engkau
shalat sedangkan antara engkau dan imam terdapat sungai” Abu Miljaz
berkata : “Boleh mengikuti imam meskipun antara
keduanya terpisah jalan atau tembok selama ia dapat mendengar takbirnya
(komandonya) imam” (Fathul Bari Jilid 4 Hal. 397)
Imam Malik bin Anas (Madzhab Maliki) berpendapat tidak ada syarat harus
satunya tempat antara imam dan makmum. Berbedanya tempat imam dan makmum tidak
mencegah sahnya shalat jamaah. Adanya penghalang baik sungai jalan atau tembok
tidak mencegah sahnya shalat berjamaah selama ia bisa mengetahui gerakan imam
dan dapat mendengar takbirnya (komando gerakan imam). Hal ini dibolehkan pada
semua sholat kecuali untuk shalat jum’at. Imam Malik berpendapat demikian
karena mengambil keumuman hadits :
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
‘Abdurrahim berkata, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun berkata,
telah mengabarkan kepada kami Humaid Ath Thawil dari Anas bin Malik, beliau
bersabda: “Sesungguhnya dijadikannya
imam itu untuk diikuti. Jika imam bertakbir maka takbirlah kalian, jika rukuk
maka rukuklah kalian, jika sujud maka sujudlah kalian, dan jika ia shalat
dengan berdiri maka shalatlah kalian dengan berdiri.” (H.R. Bukhari No. 365)
Telah mengabarkan kepada kami ‘Ubaidullah bin Abdul
Majid telah menceritakan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Anas bin Malik
Beliau s.a.w. bersabda : “Sesungguhnya
dijadikannya imam agar diikuti, maka janganlah kalian menyelisihinya” (H.R. Darimi No. 1228)
Maka Imam Malik berpendapat sepanjang makmum dapat mengikuti gerakan
imam, dan dapat mendengar suara takbir imam, maka sah shalat berjamaahnya
walaupun terhalang dinding, jalan, sungai atau lainnya kecuali shalat jum’at
yang memang disyaratkan agar barisannya bersambung. Jika seorang makmum
mengikuti imam shalat jum’at di rumah yang bersebelahan dengan masjid maka
shalatnya batal karena bergabungnya itu adalah syarat sahnya shalat jum’at
(Fiqhul Islam Wa’adillatuhu Jilid 2 Hal 351)
Shaf Terhalang Tiang
Sebagian ulama mengatakan bahwa tidak sah barisan shaf yang terhalang
tiang-tiang di antaranya. Maka jika ada tiang di situ hendaknya orang bergeser
ke depan atau ke belakang untuk membantuk shaf sehingga dari ujung kanan ke
kiri tidak diselingi oleh tiang-tiang. Pendapat ini berdasarkan atsar
(perkataan) Ibnu Mas’ud r.a. sebagai berikut :
Ibnu Mas’ud r.a. berkata: “Janganlah kamu menyusun shaf di antara tiang-tiang”.
Para ahli ilmu seperti Imam Ahmad dan Ishaq membenci barisan shaf antara
tiang-tiang. (AI-Qaulul Mubin Fi Akhthail Mushallin Hal. 231 oleh Syaikh
Masyhur Hasan Salman.)
Namun hal ini bukan merupakan pendapat mutlak karena sebagian besar
ulama lain berpegang pada keumuman bahwa sah shalat berjamaah walaupun terpisah
oleh tirai, dinding, pintu, jendela dan lainnya, apalagi hanya tiang. Hal ini
mengambil keumuman hadits yang sudah kami ungkapkan di atas bahwa para sahabat
pernah bermakmum pada Rasulullah s.a.w. sementara beliau berada di kamarnya
yang dipisahkan oleh dinding, dan suatu ketika dipisahkan oleh tirai dari
tikar.
Shaf Pria Diselingi Shaf Wanita
Imam Hanafi berpendapat bahwa tidak sah barisan jamaah pria yang
terhalang dengan shof wanita. Juga dimakruhkan jika seorang pria sholat
sementara di hadapannya ada seorang wanita yang juga sedang sholat. Abu Hanifah
mengambil keumuman hadits :
Dari Abdurrazaq dari Ibnu Mas’ud r.a. merafa’kan pada Rasulullah s.a.w. “Akhirkanlah
barisan mereka (wanita) sebagaimana Allah mengakhirkan mereka” (H.R. Thabrani)
Zayala’i mengatakan bahwa hadits di atas adalah hadits gharib (asing)
yang dirafa’kan (dikatakan bersambung pada Rasulullah s.a.w.mauquf (terputus)
pada perkataan Ibnu Mas’ud sehingga dianggap sebagai atsar (perkataan) Ibnu
Mas’ud dan bukan sabda Rasulullah s.a.w. (Nashab Ar-Raayah Jilid 2 Hal. 36)
Ada juga yang berdalil dengan perkataan Umar bin Khattab r.a. sebagai
berikut :
Umar r.a. berkata : “Seorang makmum yang terpisah dengan imam oleh sungai
atau jalan atau barisan wanita maka shalatnya tidak sah”
Namun Imam Nawawi berkata : ” atsar tersebut tidak ada asalnya”. Atsar
yang diriwayatkan dari Umar melalui jalur Laith bin Abi salim dari Tamim adalah
dla’if karena Laith ini adalah perawi dla’if dan Tamim tidak dikenal (majhul).
Sehingga atsar ini tidak dapat dijadikan dalil.
Hadits yang shahih menyebutkan tentang urutan shaf dalam shalat adalah
sebagai berikut :
Telah bercerita kepada kami Abu Ahmad dan Abdullah
bin Al Walid berkata; telah bercerita kepada kami Sufyan dari Abdullah bin
Muhammad bin ‘Aqil dari Jabir dari Nabi s.a.w. bersabda: “Sebaik-baik shof laki-laki adalah yang terdepan, yang paling jelek
adalah yang terakhir, sejelek-jelek shof wanita adalah yang terdepan dan yang
terbaik adalah yang terakhir“. (H.R. Ahmad No. 14024)
Ada juga yang berdalil dengan hadits :
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim berkata,
telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Uyainah dari Ishaq bin ‘Abdullah dari Anas
bin Malik r.a., ia berkata, “Nabi
s.a.w. pernah melaksanakan shalat di rumah Ummu Sulaim, maka aku dan anak yatim
ikut di belakang beliau sedangkan Ummu Sulaim berdiri di belakang kami.”
(H.R. Bukhari No. 824 No. 685)
Maka hadits-hadits di atas menunjukkan urutan shaf wanita yang harus di
belakang shaf laki-laki. Ibnu Hajar Asqolani mensyarah hadits di atas
mengatakan : “Hadits di atas menjadi dalil bahwa wanita jika sendirian tetap
tidak boleh satu shof dengan barisan laki-laki dan sah membentuk barisan walau
hanya seorang diri. Hadits ini menjelaskan bahwa wanita tidak boleh masuk
barisan laki-laki karena dikhawatirkan menimbulkan fitnah bagi laki-laki.
Walaupun demikian, apabila wanita menyalahi hal ini shalatnya tetap sah menurut
jumhur ulama kecuali madzhab Hanafi.
Menurut madzhab Hanafi rusak shalatnya laki-laki jika masuk di dalamnya
seorang wanita. Pendapat ini berdasarkan perkataan Ibnu Mas’ud : “Tempatkanlah mereka dibelakang sebagaimana Allah
menempatkan mereka”. Maka menurut Imam Hanafi perintah ini
mengindikasikan wajib sehingga jika dilanggar rusaklah shalatnya. (Fathul Bari
Jilid 4 Hal. 394)
Namun Zayala’i mengatakan bahwa hadits di atas adalah hadits gharib
(asing) yang dirafa’kan (dikatakan bersambung pada Rasulullah s.a.w.) Yang
benar adalah hadits tersebut mauquf (terputus) pada perkataan Ibnu Mas’ud
sehingga dianggap sebagai atsar (perkataan) Ibnu Mas’ud dan bukan sabda
Rasulullah s.a.w. (Nashab Ar-Raayah Jilid 2 Hal. 36)
Sedangkan menurut Mazhab Maliki, Hambali dan Syafi’i hadits yang
menyebutkan tentang urutan shof wanita di belakang laki-laki adalah sunnah
namun tidak membatalkan shalat barisan laki-laki maupun barisan wanita
seandainya shof wanita sejajar dengan laki-laki. Demikian pula jika ada seorang
wanita atau barisan wanita berada di shof laki-laki tidak batal shalatnya orang
yang berada di sampingnya atau belakangnya atau di depannya maupun shalat si
wanita itu sendiri, melainkan hanya berkurang kesempurnaanya (Fiqhul Islam Wa
‘Adillatuhu Jilid 2 Hal. 361)
Bersambung ke Jilid 2
______
Share Ulang:
- · Citramas, Cinunuk
- · Sumber: https://seteteshidayah.wordpress.com/?s=Terputus+%28Jilid+1%29