Shaf Diselingi Jalan dan Sungai
Imam Syafi’i berpendapat jika Imam berada di dalam masjid sedangkan
makmum ada di luar masjid maka tidak mengapa jika terpisah sampai jarak 300
depa terhitung dari akhir bangunan masjid. Tidak mengapa pula jika ada pemisah
atau terhalang jalan, sungai besar yang bisa dilalui perahu dan dapat
direnangi. (Fiqhul Islam Wa’adillatuhu Jilid 2 Hal 353)
Al Hasan berkata : “Tidak mengapa engkau
shalat sedangkan antara engkau dan imam terdapat sungai” (Fathul Bari
Jilid 4 Hal. 397)
Imam Malik bin Anas (Madzhab Maliki) berpendapat adanya penghalang baik
sungai jalan atau tembok tidak mencegah sahnya shalat berjamaah selama ia bisa
mengetahui gerakan imam dan dapat mendengar takbirnya (komando gerakan imam).
Hal ini mengambil keumuman hadits :
Dari Anas bin Malik, beliau bersabda: “Sesungguhnya dijadikannya imam itu
untuk diikuti.” (H.R. Bukhari No. 365 dan
Ad-Darimi No. 1228)
Maka Imam Malik berpendapat sepanjang makmum dapat mengikuti gerakan
imam, dan dapat mendengar suara takbir imam, sah shalat berjamaahnya walaupun
terhalang jalan, sungai atau lainnya kecuali shalat jum’at yang memang
disyaratkan agar barisannya bersambung. Jika seorang makmum mengikuti imam
shalat jum’at di rumah yang bersebelahan dengan masjid maka shalatnya batal
karena bergabungnya itu adalah syarat sahnya shalat jum’at (Fiqhul Islam
Wa’adillatuhu Jilid 2 Hal 351)
Shaf Tidak Bersambung Di Lapangan
Abu Hanifah (generasi tabi’in) yaitu imam madzhab Hanafi berpendapat
bahwa shalat di lapangan hendaknya dalam satu barisan itu tidak kosong lebih
dari jarak 9 orang, sedangkan jika satu barisan shof itu ada kosong kurang dari
sembilan orang tidak mengapa.
Imam Syafi’i mengatakan jika imam dan makmum berada di padang pasir
(lapangan) jika barisan makmum terpisah dengan imam sampai jarak lebih dari 300
depa maka tidak mengapa dan sah shalat berjamaah asalkan tidak terhalang
dinding, pintu atau jendela atau jalan yang orang dan kendaraan berlalu lalang
di situ atau sungai besar yang memisahkan imam dan makmum.
Madzhab Hambali berpendapat jika imam dan makmum berada di lapangan maka
sholat berjamaah sah dengan syarat makmum dapat melihat punggung imam, maka
jika makmum tidak melihat imam atau sebagian dari punggung imam maka tidak sah
shalat berjamaah meskipun makmum masih dapat mendengar suara takbir imam.
Keharusan melihat punggung Imam oleh Imam Ahmad bin Hambal adalah berdasarkan
hadits Aisyah :
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Salam
berkata, telah mengabarkan kepada kami ‘Abdah dari Yahya bin Sa’id Al Anshari
dari ‘Amrah dari ‘Aisyah berkata, “Pada
suatu malam Rasulullah s.a.w.pernah shalat di kamarnya, saat itu dinding kamar
beliau tidak terlalu tinggi (pendek) hingga orang-orang pun melihat Nabi s.a.w.
berdiri shalat sendirian (munfarid). Lalu orang-orang itu pun berdiri dan
shalat di belakang beliau (bermakmum pada Beliau), hingga pada pagi harinya
orang-orang saling memperbincangkan kejadian tersebut. ” (H.R. Bukhari No. 687)
Hadits di atas menurut Imam Ahmad menunjukkan dibolehkannya terpisah dan
adanya penghalang antara Imam dan Makmum asalkan masih dapat melihat sebagian
punggung imam.
Sementara Imam Ahmad juga mengatakan tidak sah shalat berjamaah jika
antara imam dan makmum itu terpisah oleh sungai yang bisa dilewati perahu
demikian pula jika terputus oleh jalan yang cukup lebar bisa dilewati
kendaraan. (Fiqhul Islam wa ‘Adillatuhu Jilid 2 Hal. 354)
Sementara itu Imam Malik (Madzhab Maliki) secara total membolehkan
shalat di lapangan dimana Imam dan Makmum terpisah oleh jalan, sungai dan
dinding, sehingga sah shalat jamaahnya.
Shaf Terpisah Dengan Bangunan Bertingkat
Pada masa kini sebagian masjid ada yang bertingkat beberapa lantai. Maka
dalam hal ini ada empat kemungkinan yaitu :
- Imam Berada di Lantai Atas Sendirian Dan Makmum Berada di Lantai Bawah
- Imam Dan SebagianBarisan Makmum Ada Di Lantai Atas dan Sebagian Barisan Makmum Berada Di Lantai Bawah
- Imam Berada di Lantai Bawah Sendirian Dan Makmum Berada di Lantai Atas
- Imam Dan SebagianBarisan Makmum Ada Di Lantai Bawah dan Sebagian Barisan Makmum Berada Di Lantai Atas
Mari kita bahas hukum dari empat kemungkinan ini satu persatu :
A.
Imam Berada di Lantai Atas Sendirian Dan Makmum Berada di Lantai Bawah
Sebagian ulama mengatakan hal ini tidak boleh dengan berdalil pada
hadits yang melarang imam berada lebih tinggi dari makmum :
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Ibrahim
telah menceritakan kepada kami Hajjaj dari Ibnu Juraij telah mengabarkan kepada
saya Abu Khalid dari Adi bin Tsabit Al-Anshari telah menceritakan kepada saya :
“Seorang laki-laki yang pernah bersama Ammar bin Yasir sewaktu di Mada`in,
ketika iqamat shalat telah dikumandangkan, ‘Ammar maju untuk menjadi imam dan
dia berdiri di atas bangku panjang, sementara para makmum berada di bawahnya,
lalu Hudzaifah maju dan menarik tangan ‘Ammar dan ‘Ammar pun mengikutinya
hingga dia diturunkan ditempat yang sejajar oleh Hudzaifah. Setelah ‘Ammar
selesai shalat, Hudzaifah berkata kepadanya; Apakah kamu belum pernah mendengar
Rasulullah s.a.w. bersabda: “Apabila
seseorang mengimami suatu kaum, maka janganlah dia berdiri di tempat yang lebih
tinggi dari tempat mereka”, atau semisal ucapan tersebut. Ammar berkata;
“Maka dari itu saya mengikutimu tatkala kamu menarik tanganku”. (H.R. Abu Daud Jilid 1 Hal. 163 No. 506) Nashiruddin Al-Albani
menyatakan hadits ini hasan
Juga hadits berikut ini :
Dari Abu Mas’ud Al-Anshari ia berkata : “Rasulullah s.a.w. melarang imam untuk
berdiri di atas sesuatu sementara orang di belakangnya lebih rendah darinya”
(H.R. Daruqutni) Hadits ini dianyatakan hasan oleh Nashirudin Al-Albani dalam
Tamamul Minnah No. 281)
Jika kita melihat dua hadits di atas maka sepintas dapat disimpulkan
bahwa Imam berada lebih tinggi dari makmum adalah dilarang, jika tidak haram
maka hukumnya adalah makruh. Namun dalam hadits lain diceritakan bahwa
Rasulullah s.a.w. pernah shalat di atas mimbar sementara makmum
mengikuti di bawahnya :
Telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin ‘Abdullah
berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan berkata, telah menceritakan
kepada kami Abu Hazim berkata : “Orang-orang bertanya kepada Sahal bin Sa’d
tentang terbuat dari apa mimbar Rasulullah? Maka dia berkata, “Tidak ada
seorangpun yang masih hidup dari para sahabat yang lebih mengetahui masalah ini
selain aku. Mimbar itu terbuat dari batang pohon hutan yang tak berduri, mimbar
itu dibuat oleh seorang budak wanita untuk Rasulullah s.a.w. Ketika selesai
dibuat dan diletakkan, Rasulullah s.a.w. berdiri pada mimbar tersebut menghadap
kiblat. Beliau bertakbir dan orang-orang pun ikut shalat dibelakangnya, beliau
lalu membaca surat lalu rukuk, dan orang-orang pun ikut rukuk di belakangnya.
Kemudian beliau mengangkat kepalanya, lalu mundur ke belakang turun dan sujud
di atas tanah. Kemudian beliau kembali ke atas mimbar dan rukuk, kemudian
mengangkat kepalnya lalu turun kembali ke tanah pada posisi sebelumnya dan
sujud di tanah. Itulah keberadaan mimbar.” (H.R. Bukhari No. 364)
Maka Imam Syafi’i (Madzhab Syafi’i) berpendapat “Boleh
kalau imam bermaksud mengajari orang shalat (yakni dengan berdiri di tempat
yang tinggi) satu kali, (setelah itu) saya lebih menyukai Imam shalat sejajar
dengan makmum. Hal ini karena tidak pernah diriwayatkan dari Nabi s.a.w. bahwa
beliau shalat di atas mimbar, kecuali hanya satu kali saja (yaitu hadits dari
Sahl bin Sa’d)”(Al Umm Hal. 310)
Senada dengan Syafi’i Ibnu Hibban berkata, “Jika
seseorang menjadi imam lalu dia shalat sebagai imam orang-orang yang baru masuk
Islam sehingga ia berdiri di tempat yang lebih tinggi dari makmum untuk
mengajari mereka hukum-hukum shalat yang langsung dilihat mata, hal itu
diperbolehkan sesuai dengan hadits sahabat Sahl bin Sa’d. Tetapi, kalau
alasan ini tidak ada, janganlah ia shalat di tempat yang lebih tinggi dari
tempat makmum, sesuai dengan hadits dari sahabat Abu Mas’ud. Dengan demikian,
kedua hadits (yang melarang dan membolehkan) itu tidak saling membantah. (Shahih
Ibnu Hibban)
Sementara pendapat lain membolehkan secara mutlak dalam semua kondisi
(tidak hanya ketika mengajari shalat) Imam boleh sendirian di tempat lebih
tinggi (termasuk lantai atas) sementara makmum ada di bawahnya Ini adalah salah
satu pendapat dari Ashab Imam Ahmad bin Hambal (Madzhab Hambali), Ibnu Hazm
(Mazhab Zhahiri), dan Ad-Darimi.
Hal ini didukung oleh riwayat yang menceritakan bahwa posisi kamar
Rasulullah s.a.w. itu agak ke atas dari lantai masjid sebagaimana hadits
berikut :
Telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin
Mu’adz Al Ambari telah menceritakan kepada kami ayahku telah menceritakan
kepada kami Syu’bah dari Furat Al Qazzaz dari Abu Ath Thufail dari Abu Sarihah
Hudzaifah bin Usaid berkata: “Nabi s.a.w. berada di kamar sementara kami
berada dibawah, beliau melihat kami dari atas lalu bertanya: “Apa yang kalian
bicarakan?” (H.R. Muslim No. 5163)
Sedangkan para sahabat pernah bermakmum pada Nabi s.a.w. yang shalat ada
di kamarnya (yang posisinya lebih tinggi dari lantai masjid)
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Salam
berkata, telah mengabarkan kepada kami ‘Abdah dari Yahya bin Sa’id Al Anshari
dari ‘Amrah dari ‘Aisyah berkata, “Pada suatu malam Rasulullah s.a.w.pernah
shalat di kamarnya, saat itu dinding kamar beliau tidak terlalu tinggi (pendek)
hingga orang-orang pun melihat Nabi s.a.w. berdiri shalat sendirian (munfarid).
Lalu orang-orang itu pun berdiri dan shalat di belakang beliau (bermakmum pada
Beliau), hingga pada pagi harinya orang-orang saling memperbincangkan kejadian
tersebut. ” (H.R. Bukhari No. 687)
Dalam hadits lainnya diceritakan :
Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb
telah menceritakan kepada kami Husyaim telah mengabarkan kepadaku Yahya bin
Sa’id dari ‘Amrah dari Aisyah r.ah. dia berkata; Rasulullah s.a.w.
mengerjakan shalat di kamarnya, ternyata orang-orang mengikuti beliau dari
belakang kamarnya.” (H.R. Abu Daud No. 951)
Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits ini shahih.
Ada juga atsar dai Anas bin Malik :
Dari Anas bin Malik beliau melakukan shalat Jum’at
di rumah Abu Nafi’ di sebelah kanan masjid, di sebuah ruangan setinggi tubuh
manusia. Ruangan yang pintunya mengarah ke masjid, di kota Bashrah. Anas
mengikuti shalat Jum’at di tempat tersebut dan menjadi makmum. (Atsar R Sa’id bin Manshur sebagaimana dalam kitab Al-Muntaqa)
Abu ‘Abdullah berkata, ‘Ali Al Madini berkata,
Ahmad bin Hambal bertanya kepadaku (ali Madini) tentang hadits di atas. Ia
katakan, “Yang aku maksudkan bahwa Nabi s.a.w. posisinya lebih tinggi daripada
orang-orang. Maka tidak mengapa seorang imam posisinya lebih tinggi daripada
makmum berdasarkan hadits ini.” Sahl bin Sa’d berkata, “Aku katakan,
“Sesungguhnya Sufyan bin ‘Uyainah sering ditanya tentang masalah ini, ‘Apakah
Anda tidak pernah mendengarnya? ‘ Ahmad bin Hambal menjawab, “tidak.”
Ibnu Rajab juga mengisahkan sebuah percakapan
dengan Imam Ahmad yaitu ketika Beliau ditanya, “Bolehkah seseorang shalat di
atas loteng bermakmum dengan imam (di bawahnya)?” Beliau (Imam Ahmad) menjawab,
“Boleh, namun jika antara dia dengan imamnya ada jalan atau sungai, tidak
boleh.” Beliau ditanya lagi, “Ada riwayat Anas (bin Malik) shalat Jum’at di
loteng (rumah Abu Nafi’).” Beliau menjawab, “Pada hari Jum’at tidak ada jalan
orang-orang.” Ibnu Rajab menjelaskan bahwa yang dimaksud Imam Ahmad adalah
bahwa pada hari Jumat jalan-jalan penuh dengan orang-orang sehingga dapat
dianggap shaf-shaf bersambung. (Fathul Bari oleh Ibnu
Rajab)
Ibnu Rajab Al-Hambali berkata, “Shalat
pada tempat yang dibangun di atas tanah semacam sebuah ruangan di masjid atau
di atas loteng masjid, semuanya boleh dan tidak ada kemakruhan dalam hal ini
tanpa ada perbedaan” (Fathul Bari oleh Ibnu Rajab)
Namun sebagian Ulama kontemporer seperti Nashiruddin Al-Albani
membantahnya. Ia mengatakan bahwa penggunaan dalil dengan hadits Sahl bin Sa’d
tentang shalat Nabi di atas mimbar “Hal ini adalah
pendalilan yang aneh dari para imam tersebut. Keherananku hampir-hampir tidak
habis. Bagaimana bisa mereka berdalil untuk membolehkan hal itu secara mutlak,
padahal perbuatan beliau itu (jelas-jelas) terkait dengan pengajaran,
sebagaimana ucapan Nabi s.a.w. sendiri.” (Ats-Tsamarul Mustathab)
B.
Imam Dan Sebagian Barisan Makmum Ada Di Lantai Atas dan Sebagian Barisan Makmum
Berada Di Lantai Bawah
Jika imam ada di lantai atas dan beberapa barisan shof ada satu lantai
di belakangnya, maka barisan shof yang lain yang ada di lantai bawah dibolehkan
walaupun terpisah dinding. Pada dasarnya barisan makmum dan imam sejajar satu
lantai sehingga tidak perlu dipersoalkan. Adapun barisan makmum lainnya yang
ada di lantai bawah adalah dihukumi sama dengan kasus shof yang terhalang
dinding namun masih termasuk satu bangunan dengan masjid, maka tidak ada
perselisihan hukumnya adalah boleh.
C. Imam Berada
di Lantai Bawah Sendirian Dan Makmum Berada di Lantai Atas
Madzhab Syafi’i berkata bahwa atap masjid dan balkon masjid asalkan
masih merupakan bagian dari bangunan masjid maka itu dianggap termasuk masjid,
sehingga tidak mengapa makmum berada di atap masjid bermakmum pada imam di
bawahnya.
Madzhab Hambali mengatakan dibolehkan orang berada di atap masjid
bermakmum pada imam yang ada di bawahnya . Hal ini berdasarkan riwayat Abu
Hurairah bahwa ia (Abu Hurairah) pernah bersolat di bahagian atas masjid
mengikuti imam (yang berada di bawa) (Atsar R. Ibnu Abi
Syaibah)
Ibnu Hajar Asqolani mengatakan bahwa atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu
Abi syaibah dari riwayat Sholeh maula Tauamah. Sholeh berkata : “aku pernah
bersolat bersama Abu Hurairah di bagian atas masjid dengan mengikuti imam (di
bawahnya)“.
Sholeh ini adalah lemah tetapi Sa’id Ibnu Mansur telah meriwayatkan dari
jalan yang lain dari Abu Hurairah maka ia menguatkan riwayat Sholeh ini. Sa’id
bin Mansur juga meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Hasan Al Basri
tentang seorang lelaki yang shalat di tingkat atas bangunan mengikut imam.
Hasan Al Basri berkata: “tidak mengapa dengan keadaan ini”.
Dari Sa’di bin Salim telah berkata: “Aku melihat Salim bin Abdullah
shlat maghrib di bagian atas masjid dan ada lelaki lain bersamanya mengikuti
imam (di bawahnya)“. (Atsar R. Ibnu Abi Syaibah)
Imam Syaukani berkata :”Apabila lokasi makmum terlalu tinggi dari imam
misalkan 300 kaki dan makmum tidak dapat mengetahui gerakan imam, maka hal ini
terlarang berdasarkan ijma ulama, tanpa membedakan apakah shalat berjamaah
tersebut dilaksanakan di masjid atau bukan masjid (lapangan yaitu misal makmum
di atas tebing). Namun apabila jaraknya kurang dari 300 kaki, maka hukum
asalnya adalah boleh sehinggalah datang dalil yang melarang di mana keharusan
ini didukung oleh riwayat dari Abu Hurairah yang telah disebutkan di atas dan
perbuatan beliau itu tidak diingkari
D.
Imam Dan SebagianBarisan Makmum Ada Di Lantai Bawah dan Sebagian Barisan Makmum
Berada Di Lantai Atas
Jika imam ada di lantai bawah dan beberapa barisan shof berada satu
lantai di belakangnya, maka tidak ada yang peru dipersoalkan. Adapun barisan
shof yang lain yang ada di lantai atas jika terpisah dinding maka dihukumi
menurut pembahasan shalat terpisah dinding yaitu boleh karena masih satu
bangunan dengan masjid dan tidak mengapa jika terhalang dinding, pagar
dll., asalkan masih dapat mengetahui gerakan imam dan mendengar aba-aba takbir
imam. Apalagi jika tidak terpisah dinding (seperti balkon) dimana makmum
masih dapat melihat sebagian imam dan mendengar suara imam, maka sholat makmum
yang di atas itu sah dan dibolehkan.
Imam Dan Makmum Berbeda Bangunan
Menurut Madzhab Hanafi, Syafi’i dan Hambali tidak sah makmum yang
berbeda tempat dengan imam. Jika berbeda tempat dengan imam maka batal-lah
keikutsertaan dalam jamaah tersebut. Definisi berbeda nya tempat itu berbeda
beda lagi pendapat. Sebagain berpendapat terpisahnya barisan makmum
dengan imam, itu jika dipisahkan oleh shof wanita, tembok, jalanan, dan sungai.
Hal ini berdasarkan atsar (perkataan) sahabat Umar bin Khattab r.a. : “Seorang makmum yang terpisah tempatnya dengan imam
karena adanya sungai, jalan atau shof wanita, maka sholatnya tidak sah”
Menurut Madzhab Syafi’i jika imam dan makmum berada di dua
bangunan yang terpisah maka tergantung dari posisi bangunan makmum. Jika
bangunan makmum di belakang bangunan imam maka sah jamaahnya jika jaraknya
tidak melebihi 300 depa terhitung dari akhir bangunan tempat imam dan makmum
bisa mengetahui gerakan dan aba-aba imam. Tidak mengapa jika diselingi jalan
atau sungai antara satu bangunan dengan bangunan lainnya.
Jika bangunan itu di sebelah kanan atau kiri bangunan imam, maka
disyartkan barisan shalat bersambung dari satu bangunan ke bangunan lainnya dan
tidak mengapa jika ada satu sela kecil yang tidak memungkinkan orang shalat di
dalamnya.
Sedangkan untuk perahu yang terpisah maka Imam Syafi’i berpendapat :
Tidak mengapa jika imam berada di satu perahu dan makmum berada di perahu lain
sepanjang jaraknya tidak lebih dari 300 depa dan makmum bisa mengetahui gerakan
dan aba-aba imam. (Al Mughni Al Muhtaaj Jilid 1 Hal 248-251)
Madzhab Hambali mengatakan tidak sah jika
seseorang makmum berbeda gedung dengan imam hal ini berdasarkan riwayat
Anas bin Malik : Demikian pula tidak boleh seorang makmum berada di suatu unta
dan imam ada di unta yang lain atau makmum berada di satu kapal dan imam berada
di kapal yang lain. Namun Imam Ahmad bin Hambal membolehkan hal ini jika
situasinya dalam keadaan perang atau alasan lain yang tidak bisa dihindari. Hal
ini sebagaimana hadits bahwa Rasulullah s.a.w. pernah juga shalat berjamaah
dalam keadaan berada di unta masing-masing. (Kasysyaf Al Qinaa ‘ Jilid 1 Hal
579-580)
Telah menceritakan kepada kami Suraij bin Nu’man
Telah menceritakan kepada kami Umar bin Maimun bin Rammah dari Abu Sahl Katsir
bin Ziyad Al Bashri dari Amru bin Utsman bin Ya’la bin Murrah dari Bapaknya
dari Kakeknya, bahwa Rasulullah s.a.w. dan para sahabatnya sampai pada
daerah yang agak sempit sedangkan beliau masih berada di atas kendaraannya,
sementara langit menurunkan hujan dan
tanah yang ada di bawah mereka basah (berlumpur). Lalu datanglah waktu shalat,
beliau kemudian memerintahkan seorang muadzdzin untuk mengumandang adzan, lalu
muadzdzin tersebut adzan dan iqamah. Rasulullah s.a.w. kemudian maju ke depan
dengan tetap berada di atas kendaraannya, lalu beliau shalat bersama mereka.
Beliau shalat dengan berisyarat, menjadikan sujud lebih rendah daripada rukuk.
Atau beliau menjadikan sujudnya lebih rendah daripada ruku’nya.” (H.R. Ahmad No.16915). Salah seorang perawi hadits ini yaitu Utsman bin
Ya’la bin Murrah dikatakan Ibnu Hajar Asqolani dan Ibnu Qathan sebagai perawi
majhul (tidak dikenal) dan Adz-Dzahabi tidak menyebutkan biografinya dalam
Ats-Tsiqaat.
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Musa
berkata; telah menceritakan kepada kami Syababah bin Sawwar berkata; telah
menceritakan kepada kami Umar bin Ar Rammah Al bakhil dari Katsir bin Ziyad
dari Amru bin Utsman bin Ya’la bin Murrah dari Ayahnya dari Kakeknya bahwasanya
mereka bersama Nabi s.a.w. dalam sebuah perjalanan, hingga sampailah mereka
pada jalan sempit, lalu waktu shalat tiba sedangkan langit dalam keadaan hujan
dan kondisi tanah tergenang air. Rasulullah s.a.w. kemudian adzan di atas
kendaraannya, lalu beliau iqamah dan maju ke depan. Setelah itu beliau shalat
bersama para sahabat dengan merunduk, beliau menjadikan sujud lebih rendah dari
rukuk.” (H.R. Tirmidzi No. 376) Nashiruddin Al-Albani
menyatakan hadits ini dla’if dalam Kitab Dla’if Sunan Tirmidzi No. 65 karena
Utsman bin Ya’la bin Murrah adalah majhul (tidak dikenal)
Namun Abu Isa (Tirmdizi) berkata; “Hadits
ini derajatnya hasan dan gharib. Umar bin Ar Ramman Al Bakhil meriwayatkan
hadits ini secara gharib (asing), tidak diketahui ada hadits lain kecuali dari
haditsnya, dan tidak hanya satu orang ulama yang meriwayatkan darinya. Maka Tirmidzi
menaikkan derajat hadits ini yang semula dla’if karena terdapat
riwayatkan oleh ulama lain dari berbagai jalur maka yang dla’if tadi bisa
dinaikkan menjadi hasan.
Telah menceritakan kepadaku Yahya dari Malik dari
Hisyam bin Urwah bahwa Bapaknya berkata kepadanya, “Jika kamu dalam sebuah
perjalanan, sementara kamu ingin adzan dan iqamat, maka lakukanlah. Dan jika
mau, kamu boleh iqamat saja tanpa adzan.” Yahya berkata, “Saya mendengar Malik
berkata, “Tidak mengapa seorang laki-laki mengumandangkan adzan, meskipun ia di
atas kendaraannya.” (Atsar.R. Imam Malik dalam
Al-Muwatha’ No. 145)
Shalat yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. di atas kendaraan (Yang
dikisahkan pada hadits di atas) bersama-sama dengan para sahabat (berjamaah)
dengan didahului oleh adzan dan iqomah jelas adalah shalat fardhu, karena tidak
pernah shalat sunnah didahului adzan dan iqomah. Hal ini merupakan dalil bahwa
dalam situasi memang tidak memungkinkan untuk turun dari kendaraan (yaitu
karena hujan dan becek) maka shalat wajib di atas kendaraan adalah dibolehkan.
Sedangkan menurut Imam Malik (Madzhab Maliki) jika imam berada di
satu bangunan dan makmum berada di bangunan lain maka hal ini dibolehkan dan
sah shalat jamaahnya sepanjang makmum bisa mengetahui gerakan imam dan dapat
mendengar takbir imam. Adapun ketersambungan barisan shof hanya disyaratkan
pada shalat jum’at dan tidak disyaratkan pada shalat lainnya termasuk shalat
fardhu.
Sementara sebagian ulama lain membolehkan Imam dan Makmum terpisah
bangunan jika ada alasannya seperti masjid telah penuh. Hal ini berdasarkan
Atsar dari Hisyam bin Urwah, “Suatu saat aku
bersama ayahku datang (ke masjid). Ternyata kami dapati masjid telah penuh.
Kami pun tetap shalat bersama imam di sebuah rumah di sisi masjid, dan antara
keduanya ada jalan” (Atsar R. Abdurrazzaq, Jilid 3 Hal
82)
Dan Juga berdasarkan riwayat dari Anas bin Malik :
Dari Anas bin Malik beliau
melakukan shalat Jum’at di rumah Abu Nafi’ di sebelah kanan masjid, di sebuah
ruangan setinggi tubuh manusia. Ruangan yang pintunya mengarah ke masjid, di
kota Bashrah. Anas mengikuti shalat Jum’at di tempat tersebut dan menjadi
makmum. (Atsar R Sa’id bin Manshur sebagaimana dalam
kitab Al-Muntaqa)
Atsar dari Anas bin Malik di atas menjelaskan bahwa ia shalat jum’at
pada bangunan yang terpisah dari bangunan tempat imam berada, yaitu di sebuah
rumah yang terletak di sebelah kanan masjid di kota Basrah dan letaknya pun
lebih tinggi dari masjid.
Wallahua’lam
________
Share Ulang:
·
Citramas, Cinunuk