Status Ayah Tiri, Mahromkah?
Assalamualaikum wr.wb
Saya remaja perempuan yang sudah haidh, saya juga mengenakan
jilbab. Saya mempunyai ayah tiri, didepannya saya tidak mengenakan jilbab.
1. Apakah ayah tiri termasuk keluarganya ayah tiri adalah muhrim saya?
2. Apakah saya berdosa?
Dari Aromi Nathasya
Jawaban:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Ketika Seorang lelaki menikahi janda yang memiliki anak perempuan, dalam
bahasa syariat, status anak perempuan ini disebut rabibah bagi
suami ibunya.
Apakah rabibah ini mahram bagi suami ibunya?
Permasalahan ini telah Allah jelaskan dalam Alquran,
وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ
اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
“(Diantara wanita yang haram dinikahi adalah) Anak-anak (perempuan)
isterimu yang dalam asuhanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika
kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak
berdosa kamu mengawininya.” (QS. An-Nisa’: 23)
Ayat ini menjelaskan hubungan antara ayah tiri dengan rabibah (anak tiri)
bawaan istrinya. Kapan seorang rabibah berstatus sebagai mahram. Ada dua
pendapat ulama dalam memahami ayat ini kaitannya dengan hubungan kemahraman,
Pendapat pertama, bahwa seorang lelaki berstatus sebagai mahram bagi anak tirinya dengan satu syarat: jika dia telah kumpul dengan ibunya. Baik si anak itu tinggal dalam asuhan bapak tiri, maupun tinggalnya terpisah. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama.
Pendapat kedua, bahwa seorang lelaki berstatus sebagai mahram bagi anak tirinya dengan dua syarat:
a. Si suami belum campur dengan ibunya.
b. Rabibah tersebut tinggal bersama ayah tiri-nya.
Pendapat kedua ini adalah pendapat Ali bin Abi Thalib dan ulama madzhab dzahiriyah.
Dari Malik bin Aus, beliau bercerita:
Saya memiliki seorang istri. Dia meninggal dan dia telah melahirkan anakku.
Akupun sedih karenanya. Lalu Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu
menemuiku. Beliau bertanya, “Apa yang terjadi dengan dirimu?” “Istriku
meninggal.” Jawabku. Ali kembali bertanya, “Apakah dia punya anak
perempuan?” Aku jawab, “Ya, di Thaif.” “Apakah dia tinggal bersamamu?” Tanya
Ali mendetailkan. “Tidak, dia di Thaif.” Ali spontan menyarakan: “Nikahi dia
(anak perempuan istrimu).” Aku-pun teringat ayat Alquran: “Bagaimana dengna
firman Allah: ‘Anak-anak (perempuan) isterimu yang dalam asuhanmu dari isteri
yang telah kamu campuri’?” Kemudian Ali bin Abi Thalib menegaskan:
إنها لم تكن في حجْرك، إنما ذلك إذا كانت في حجرك
“Anak itu tidak berada dalam asuhanmu. Ayat itu berlaku jika si anak
tersebut tinggal bersamamu (dalam asuhanmu).” (Tafsir Ibn Katsir, 2/252).
Pendapat yang Lebih Kuat tentang Status Ayah Tiri
Ada satu riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang bisa kita jadikan acuan untuk menentukan pendapat yang paling kuat,
Bahwa Ummu Habibah – salah satu istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam – radhiallahu ‘anha pernah menawarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Ya Rasulullah, nikahilah Saudariku, Azat bintu Abi Sufyan.”
“Apakah kamu mengharapkan hal itu?” Tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Ya, karena aku pasti punya madu. Aku ingin yang menjadi maduku adalah saudariku.”
“Itu tidak halal bagiku.” Komentar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian Ummu Habibah memberi alasan, “Kami mendengar kabar, Anda akan menikahi putri Abu Salamah.”
“Putri Ummu Salamah?” Tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keheranan.
“Ya” Kata Ummu Habibah.”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan alasan mengapa hal itu dilarang,
إنها لو لم تكن ربيبتي في حجري ما حَلَّتْ لي، إنها لبنت أخي من
الرضاعة، أرضعتني وأبا سلمة ثُوَيْبَة فلا تَعْرضْن علي بناتكن ولا أخواتكن
“Andaikan dia bukan anak asuhanku, maka dia tidak halal bagiku. Dia adalah
anak saudara sepersusuanku. Tsuwaibah menyusuiku dan juga Abu Salamah. Karena
itu, janganlah kalian menawarkan untukku putriku atau saudaraku.” (HR. Bukhari
5101 dan Muslim 1449)
Dalam hadis ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan
alasan terlarangnya beliau nikah dengan putri Ummu Salamah adalah karena beliau
sudah menikah dengan ibunya, yaitu Ummu Salamah.
Karena itu, pendapat yang kuat dalam hal ini adalah pendapat mayoritas
ulama, bahwa syarat si rabibah bisa menjadi mahram, tidak harus tinggal
dalam asuhan ayah tirinya. Artinya meskipun si rabibah tinggal jauh dari ayah
tirinya, sementara si ayah tiri ini telah melakukan hubungan badan dengan
ibunya maka si ayah tiri ini menjadi mahram dengan putri istrinya.
Sementara keterangan dalam ayat: “yang dalam asuhanmu” ini hanya untuk
menceritakan umumnya, sehingga tidak bisa disimpulkan sebaliknya. Demikian
keterangan Ibnu Katsir dalam tafsirnya (2/251).
Karena ayah tiri anda adalah mahram bagi anda, maka anda boleh tidak
berjilbab di hadapannya.
Dijawab oleh ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)
_____
Share Ulang:
- Citramas, 7 Syawal 1440
- Sumber: https://konsultasisyariah.com/22476-apakah-ayah-tiri-termasuk-mahram.html