Kita jumpai sebagian orang yang
ragu-ragu melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar sesuai dengan
kemampuannya. Hal ini karena dia merasa bahwa dirinya belum sempurna,
merasa bahwa masih banyak sunnah atau kewajiban yang belum dia tunaikan,
dan juga merasa bahwa masih banyak perkara-perkara keburukan yang masih
dia lakukan.
Dan juga khawatir kalau dia hanya bisa memerintahkan orang lain, namun melupakan dirinya sendiri. Allah Ta’ala berfirman,
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Mengapa kamu suruh orang lain
(mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)-mu
sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu
berpikir?” (QS. Al-Baqarah [2]: 44)
Diriwayatkan dari sahabat Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, “Dikatakan kepada ‘Usamah, “Seandainya kamu temui si fulan (khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu) lalu kamu berbicara dengannya (menasihatinya).”
‘Usamah berkata, “Sungguh jika kalian
memandang aku tidak berbicara dengannya, selain setelah
kuperdengarkannya kepada kalian semua. Sungguh aku sudah berbicara
kepadanya secara rahasia, dan aku tidak membuka suatu pembicaraan yang
aku menjadi orang pertama yang membukanya. Aku juga tidak akan
mengatakan kepada seseorang yang seandainya dia menjadi pemimpinku,
bahwa dia sebagai manusia yang lebih baik, setelah kudengar dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Mereka bertanya, “Apa yang Engkau dengar dari sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
‘Usamah berkata, “Aku mendengar beliau bersabda,
يُجَاءُ
بِالرَّجُلِ يَوْمَ القِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ، فَتَنْدَلِقُ
أَقْتَابُهُ فِي النَّارِ، فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الحِمَارُ بِرَحَاهُ،
فَيَجْتَمِعُ أَهْلُ النَّارِ عَلَيْهِ فَيَقُولُونَ: أَيْ فُلاَنُ مَا
شَأْنُكَ؟ أَلَيْسَ كُنْتَ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَانَا عَنِ
المُنْكَرِ؟ قَالَ: كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَلاَ آتِيهِ،
وَأَنْهَاكُمْ عَنِ المُنْكَرِ وَآتِيهِ
“Pada hari kiamat akan dihadirkan
seseorang yang kemudian dia dilempar ke dalam neraka, isi perutnya
keluar dan terburai hingga dia berputar-putar bagaikan seekor keledai
yang berputar-putar menarik mesin penggiling gandum. Penduduk neraka
lalu berkumpul mengelilinginya seraya berkata, “Wahai fulan, apa yang
terjadi denganmu? Bukankah kamu dahulu orang yang memerintahkan kami
berbuat ma’ruf dan melarang kami berbuat munkar?”
Orang itu pun berkata, “Aku
memang memerintahkan kalian agar berbuat ma’ruf, tetapi aku sendiri
tidak melaksanakannya. Dan aku melarang kalian dari berbuat munkar,
namun aku malah mengerjakannya.” (HR. Bukhari no. 3267 dan Muslim no. 2989)
Namun sebagian orang salah paham
dengan hadits di atas. Karena dia menyangka bahwa seseorang tidak
selayaknya melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, sampai dia menyempurnakan
dirinya sendiri terlebih dahulu dengan melaksanakan semua kewajiban dan
menjauhi semua perkara yang terlarang.
Jika maksud hadits demikian, maka
tidak ada di dunia ini yang bisa menunaikan perintah Allah Ta’ala untuk
menunaikan amar ma’ruf nahi mungkar. Tidak ada di dunia yang berani
mengingatkan dan mengajarkan tentang keikhlasan, karena kita tidak tahu
apakah diri kita termasuk orang-orang yang ikhlas ataukah tidak. Tidak
ada di dunia yang berani mengingatkan agar kita terus berusaha
menyempurnakan keimanan, karena kita juga merasa bahwa keimanan kita
belum tentu sempurna sebagaimana yang Allah Ta’ala jelaskan ciri-ciri
orang yang beriman dengan keimanan yang sempurna.
Oleh karena itu, maksud hadits di atas adalah bahwa manusia itu memiliki dua kewajiban,
Kewajiban pertama, memerintahkan
dirinya sendiri untuk melakukan hal-hal yang ma’ruf dan melarang
dirinya sendiri untuk terjerumus dalam kemungkaran. Sehingga dia menjadi
orang yang mengamalkan ilmunya, dengan mengharap pahala dari Allah
Ta’ala dan takut terhadap siksa-Nya.
Kewajiban ke dua, dia memerintahkan orang lain untuk melakukan hal-hal yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar.
Jika seseorang sudah melaksanakan
salah satu dari keduanya, dan meninggalkan satu kewajiban yang lain,
maka yang tersisa adalah kewajiban yang belum dia tunaikan dan gugurlah
kewajiban yang lain sesuai dengan niat atau keikhlasannya. Dan tentu
saja, jika ditimbang dari sisi pelaksanaan kewajiban, orang yang sudah
melakukan salah satu dari dua kewajiban di atas tentu lebih baik
daripada yang tidak mengerjakan dua-duanya sama sekali. Dengan kata
lain, jika kita belum mampu melaksanakan semua kewajiban, maka minimal
kita tidak meninggalkan semua kewajiban tersebut.
Oleh karena itu, yang terbaik kita
lakukan adalah tetap berusaha memperbaiki diri sendiri, terus
introspeksi diri, dan juga terus mengingatkan orang lain sesuai dengan
kemampuan dan ilmu yang kita miliki.
[Selesai]
***
@Puri Gardenia i10, 11 Syawwal 1440/15 Juni 2019
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.or.id
Catatan kaki:
Disarikan dari kitab Afaatul Lisaan fii Dhau’il Kitaab was Sunnah, karya Syaikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al-Qahthani rahimahullahu Ta’ala, hal. 98-99.