Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi akhir zaman dan da’i
yang menyeru kepada jalan Allah dengan ilmu dan keterangan.
Amma ba’du. Saudara-saudaraku sekalian kaum muslimin
-semoga Allah semakin mempererat tali persaudaraan kita karena-Nya- perjalanan
hidup kita di alam dunia merupakan sebuah proses perjuangan untuk menggapai
keridhaan-Nya. Kita hidup bukan untuk berhura-hura atau memuaskan hawa nafsu
tanpa kendali agama. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan
tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah (hanya)
kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Saudara-saudaraku
sekalian -semoga Allah menumbuhkan kecintaan yang dalam di dalam hati kita
kepada al-Qur’an, as-Sunnah dan para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum–
sebagaimana kita sadari bersama bahwa agama Islam adalah ajaran yang sempurna.
Tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang yang tidak paham dan orang yang
menyombongkan dirinya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada
hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian, Aku telah cukupkan
nikmat-Ku atas kalian, dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian.” (QS.
Al-Maa’idah: 3)
Saudara-saudaraku sekalian
-semoga Allah mencurahkan hidayah dan taufik-Nya kepada kita untuk meniti jalan
yang lurus dan tidak berpaling darinya- Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Barangsiapa yang menentang Rasul setelah petunjuk
terang benderang baginya dan dia malah mengikuti selain jalan orang-orang yang
beriman, maka Kami akan membiarkan dia terombang-ambing di dalam kesesatan yang
dipilihnya, dan Kami akan memasukkan dirinya ke dalam neraka jahannam. Dan
sungguh jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS.
An-Nisaa’: 115)
Bagi kita ajaran atau
Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri dari kehancuran dan mata air yang
akan mengalirkan kesejukan iman. Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu mengisahkan
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wajib
bagi kalian untuk berpegang teguh dengan Sunnah/ajaranku dan ajaran para
khalifah yang berpetunjuk lagi lurus sesudahku, berpegang teguhlah dengannya
dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham serta jauhilah perkara-perkara baru
yang diada-adakan (dalam agama), sebab setiap yang diada-adakan itu adalah
bid’ah. Dan setiap bid’ah pasti sesat.”(HR. Abu Dawud dan Tirmidzi,
Tirmidzi menilai hadits ini hasan)
Oleh karena itu sudah
semestinya kita -sebagai orang yang mengaku beriman- untuk mengembalikan segala
bentuk perselisihan kepada Hakim yang paling bijaksana yaitu Allah subhanahu
wa ta’ala. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Kemudian
apabila kalian berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah
(al-Qur’an) dan rasul (as-Sunnah), hal itu pasti lebih baik bagi kalian dan
lebih bagus hasilnya, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari
akhir.” (QS. An-Nisaa’: 59)
Mujahid dan para ulama
salaf yang lainnya menafsirkan perintah kembali kepada Allah dan rasul yang
terdapat dalam ayat ini dengan mengatakan yaitu kembali kepada Kitabullah dan
Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Ibnu
Katsir rahimahullah mengatakan, “Ini merupakan perintah dari
Allah ‘azza wa jalla yang menunjukkan bahwa segala sesuatu yang
diperselisihkan orang -dalam hal pokok agama maupun cabang-cabangnya- maka
perselisihan itu harus diselesaikan dengan merujuk kepada Al-Kitab dan
As-Sunnah. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah ta’ala (yang
artinya), “Apa saja perkara yang kalian perselisihkan maka keputusannya
dikembalikan kepada Allah.” (QS. Asy-Syura: 10). Maka apa pun yang
telah diputuskan oleh Al-Kitab dan As-Sunnah serta didukung oleh dalil yang
benar dari keduanya itulah kebenaran, “dan tiada lagi sesudah kebenaran
melainkan kesesatan.” (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim,
jilid 2 hal. 250).
Di hadapan kita
terdapat persoalan yang telah membuat lisan sebagian orang melontarkan
tuduhan-tuduhan yang tak pantas kepada Ahlus Sunnah dan dakwahnya, bahkan
saking getolnya memuja keyakinan sufi yang dianggapnya benar maka dia pun tidak
segan melontarkan ucapan-ucapan aneh yang menunjukkan kerancuan aqidah yang
tertancap di dalam dadanya.
Orang tersebut -semoga
Allah menunjukinya- berkata, “Kita berasal dari Allah. Menyembah hanya untuk
Allah, Hidup dan mati di dalam Allah. Karena kita bagian dari Allah.” Orang
tersebut -semoga Allah menunjukinya- berkata, “Allah ada di mana-mana. Tapi
bukan berarti ada di mana-mana. Seluruh dunia ini terjadi [karena] Campur
tangan Allah. Karena Allah tidak tidur. Di dalam diri kita ada Tuhan, manusia
sendiri yang membuat HIJAB (batasan) kepada Allah.” Orang tersebut -semoga
Allah menunjukinya- berkata, “Akan tetapi Dzat Tuhan dapat dijumpai dan menyatu
dalam diri manusia. Karena sebegitu dekatnya…” Orang tersebut -semoga Allah
menunjukinya- berkata, “Seluruh Imam Madzhab pada Akhirnya kembali kepada Sufi.
Kecuali Wahabi…” ?!
Baiklah, memang pahit
di lidah dan panas di telinga, namun terpaksa kalimat-kalimat ini kami sebutkan
di sini demi menerangkan kebenaran dan membantah kebatilan, semoga Allah
memberikan taufik kepada kita untuk bersatu di atas kebenaran, Allahul
musta’aan.
Sebagai jalan untuk
memecahkan persoalan ini maka akan saya kutip ucapan indah dari orang yang sama
yang telah mengucapkan kalimat-kalimat di atas. Orang tersebut -semoga Allah
menambahkan hidayah kepada-Nya- mengatakan dengan jujur dan tulus, “Maka
sebaiknya kita tanya dulu kepada Orang yang lebih tahu daripada Kita, Karena di
atas langit masih ada langit.” Alangkah bagus ucapannya sebab bersesuaian
dengan sebuah firman Allah yang mulia (yang artinya), “Maka bertanyalah
kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui suatu perkara, dengan dasar
keterangan dan kitab-kitab…” (QS.An-Nahl: 43-44). Tentu saja tempat
kita bertanya adalah para ulama yang mengikuti pemahaman Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Insya Allah
ucapan dan keterangan mereka akan kami sebutkan untuk menenangkan hati dan
pikiran kita.
Sebelum lebih jauh
menanggapi hal ini, dengan memohon taufik dari-Nya maka kami perlu kemukakan
beberapa hal di sini agar duduk perkaranya menjadi jelas dan tidak terjadi
kesalahpahaman.
Saudaraku sekalian
-semoga Allah mengokohkan kita di atas kebenaran, bukan di atas kebatilan-
ajaran Sufi yang populer dan kata orang mengajarkan penyucian jiwa, pendekatan
diri kepada Allah serta membuang jauh-jauh ketergantungan hati kepada dunia
serta mengikatkan hati manusia hanya kepada Allah, kita telah akrab dengan istilah
ini. Meskipun demikian, sebagai muslim yang baik tentunya kita tidak akan
berbicara dan bersikap kecuali dengan landasan dalil dari Allah ta’ala.
Allah berfirman (yang artinya), “Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang
kamu tidak memiliki ilmu tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan
hati, itu semua pasti dimintai pertanggung jawabannya.” (QS.
Al-Israa’: 36)
Saudaraku sekalian,
sesungguhnya perkara penyucian jiwa, melembutkan hati dan pendekatan diri
kepada Allah serta melepaskan ketergantungan hati kepada dunia dan mengikatkan
hati manusia kepada Rabbnya merupakan ajaran Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam tanpa kita ragukan barang sedikit pun. Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Sungguh Allah telah mengaruniakan nikmat bagi orang-orang
yang beriman ketika mengutus rasul dari kalangan mereka sendiri, yang
membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan jiwa mereka, dan mengajarkan
kepada mereka Al-Kitab dan Al Hikmah (As-Sunnah) padahal sebelumnya mereka dulu
berada di dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Ali Imran: 164). Maka
tugas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah membacakan dan
menerangkan ayat-ayat Allah, menyucikan jiwa manusia dari berbagai kotoran dosa
dan kesyirikan, dan mengajarkan Al-Kitab dan As-Sunnah kepada mereka.
Oleh karena itulah
apabila kita membuka kitab-kitab hadits akan kita jumpai di sana sebuah bab
khusus yang menyebutkan riwayat-riwayat hadits Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang mengajarkan penyucian jiwa dan melembutkan hati.
Contohnya di dalam Sahih Bukhari, Al-Bukhari rahimahullah menulis
Kitab Ar-Riqaaq (hal-hal yang dapat melembutkan hati), di sana
beliau membawakan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
terkait dengan hal ini sebanyak seratus hadits lebih, yaitu hadits no. 6412-6593
(lihat Sahih Bukhari cet. Maktabah Al-Iman, halaman.
1306-1332)
Demikian juga murid
Al-Bukhari yaitu Muslim rahimahullah membuat Kitab Ar-Riqaaq,
Kitab At-Taubah, Kitab Shifatul Munafiqin wa ahkamuhum,
Kitab Shifatul qiyamah wal jannah wan naar, dan lain sebagainya
hingga Kitab Az-Zuhd wa raqaa’iq yang mencantumkan dua ratus
hadits lebih tentang penyucian jiwa dan hal-hal yang terkait dengannya di dalam
Sahihnya (lihat Sahih Muslim yang dicetak bersama Syarah
Nawawi, hal. 5-259). Demikian pula di antara para ulama ada yang menyusun kitab
khusus tentangnya seperti Adz-Dzahabi yang menulis kitab Al-Kaba’ir tentang
dosa-dosa besar. An-Nawawi yang menulis Riyadhush Shalihin yang
mencakup berbagai pembahasan tentang penempaan diri dan penyucian jiwa. Shifatu
Shafwah dan Al-Latha’if karya Ibnul Jauzi. Bahkan
banyak kitab hadits yang dinamakan dengan kitab Az-Zuhd, seperti Az-Zuhd karya
Abu Hatim Ar-Razi, Az-Zuhd karya Abu Dawud, Az-Zuhd karya
Imam Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain, semoga Allah merahmati mereka semua.
Bukankah dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an, kemudian riwayat-riwayat hadits
sahih serta penjelasan ulama yang ada di dalam kitab-kitab tersebut kita dapat
mempelajari bagaimanakah menyucikan jiwa, bagaimana mendekatkan diri kepada
Allah dan bagaimana melepaskan ketergantungan hati kepada selain-Nya…
Inilah
pelajaran-pelajaran akhlak dan penyucian jiwa yang disampaikan oleh para ulama
kepada kita. Sehingga kalau yang dimaksud sufi adalah itu semua (penyucian jiwa
dsb) maka akan kita katakan bahwa itulah yang diajarkan oleh Ahlus Sunnah wal
Jama’ah alias manhaj salaf kepada umat manusia. Oleh sebab itu Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata mengenai salah satu sifat
Ahlus Sunnah, “Mereka memerintahkan untuk sabar ketika tertimpa musibah,
bersyukur ketika lapang, serta merasa ridha dengan ketetapan takdir yang terasa
pahit. Mereka juga menyeru kepada kemuliaan akhlak dan amal-amal yang baik,
mereka meyakini makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Orang
beriman yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhlaknya.’…”
(Aqidah Wasithiyah, hal. 87). Kalau ajaran menyucikan diri dan
menggantungkan hati hanya kepada Allah -sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi
dan para sahabat- disebut sufi maka saksikanlah bahwa saya adalah seorang sufi!
Namun, ketahuilah
saudaraku -semoga Allah merahmatimu- kalau kita cermati lebih jauh ajaran sufi
atau tasawuf dan berbagai macam tarekat yang dinisbatkan ke dalamnya beserta tetek
bengek ajaran dan lontaran-lontaran aneh yang mereka angkat, niscaya
akan teranglah bagi kita bahwa sebenarnya ajaran Sufi yang berkembang hingga
hari ini -di dunia secara umum ataupun dinegeri kita secara khusus- telah
banyak menyeleweng dari rambu-rambu Al-Kitab dan As-Sunnah. Sebagaimana pernah
disinggung oleh Buya HAMKA rahimahullah di dalam pidatonya
dalam acara penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar
di Mesir pada tanggal 21 Januari 1958 -lima puluh tahun yang silam-, beliau
mengatakan, “Daripada gambaran yang saya kemukakan selayang pandang itu,
dapatlah kita memahamkan bagaimana sangat perlunya pembersihan aqidah daripada
syirik dan bid’ah dan ajaran tasawuf yang salah, yang telah menimpa negeri kami
sejak beberapa zaman, dan perlunya kepada kemerdekaan pikiran dan memperbaharui
paham tentang ajaran Islam sejati.” (Sejarah Perkembangan Pemurnian Ajaran
Islam di Indonesia, penerbit Tintamas Djakarta, hal. 6-7)
Inilah ucapan yang
adil dan bijak dari orang besar seperti beliau. Berikut ini akan kami kutip
penjelasan yang diberikan oleh Bapak Hartono Ahmad Jaiz -semoga Allah membalas
kebaikannya- yang telah memaparkan mengenai sejarah ajaran sufi ini di dalam
bukunya ‘Tasawuf Belitan Iblis’. Beliau mengatakan: “Abdur Rahman
Abdul Khaliq, dalam bukunya Al-Fikrus Shufi fi Dhauil Kitab was Sunnah menegaskan,
tidak diketahui secara tepat siapa yang pertama kali menjadi sufi di kalangan
ummat Islam. Imam Syafi’i ketika memasuki kota Mesir mengatakan, “Kami
tinggalkan kota Baghdad sementara di sana kaum zindiq (aliran yang menyeleweng,
aliran yang tidak percaya kepada Tuhan, berasal dari Persia, orang yang
menyelundup ke dalam Islam, berpura-pura –menurut Leksikon Islam, 2, hal 778)
telah mengadakan sesuatu yang baru yang mereka namakan assama’ (nyanyian).
Kaum zindiq yang
dimaksud Imam Syafi’i adalah orang-orang sufi. Dan assama’ yang
dimaksudkan adalah nyanyian-nyanyian yang mereka dendangkan. Sebagaimana
dimaklumi, Imam Syafi’i masuk Mesir tahun 199H. Perkataan Imam Syafi’i ini
mengisyaratkan bahwa masalah nyanyian merupakan masalah baru. Sedangkan kaum
zindiq tampaknya sudah dikenal sebelum itu. Alasannya, Imam Syafi’i sering
berbicara tentang mereka, di antaranya beliau mengatakan: “Seandainya seseorang
menjadi sufi pada pagi hari, maka siang sebelum zhuhur ia menjadi orang yang
dungu.” Dia (Imam Syafi’i) juga pernah berkata: “Tidaklah seseorang
menekuni tasawuf selama 40 hari, lalu akalnya (masih bisa) kembali normal
selamanya.” (Lihat Talbis Iblis, hal 371). Sekian nukilan
kami dari Tasawuf Belitan Iblis.
Pembaca sekalian, dari
keterangan di atas kita mengetahui bahwa Imam Syafi’i rahimahullah sendiri
termasuk ulama yang mengecam kaum sufi dan ajaran tasawufnya yang menyimpang.
Agar tidak terlalu berpanjang-lebar, maka baiklah untuk membuktikan
penyimpangan mereka akan kita akan kutip kembali pendapat dan keyakinan mereka
beserta komentar atas kerancuan yang ada di dalamnya, Allahlah pemberi petunjuk
dan pertolongan kepada kita.
Pertama:
Orang tersebut -semoga
Allah menunjukinya- berkata, “Kita berasal dari Allah. Menyembah hanya untuk
Allah, Hidup dan mati di dalam Allah. Karena kita bagian dari Allah.”
Tanggapan:
Yang menjadi masalah
di sini adalah ucapannya “(kita) Hidup dan mati di dalam Allah. Karena kita
bagian dari Allah.” Apakah maksud dari ucapan ini? Apakah artinya manusia
adalah bagian dari Allah sebagaimana makna yang bisa secara langsung ditangkap
dari ucapannya ataukah yang lainnya? Kalau yang dimaksud adalah yang pertama,
maka sangat jelas kebatilannya. Allah bukan hamba dan hamba bukan Allah. Allah
berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia
melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56). Ayat ini
menunjukkan bahwa manusia adalah ciptaan Allah, alias hamba dan bukan tuhan atau
bagian dari tuhan!
Kalau ada orang yang
meyakini demikian -dirinya adalah Allah- maka dia telah kafir. Lantas kalau
yang dimaksud adalah makna yang lain, kita akan bertanya apa maknanya? Kalau
pun maksud yang mereka inginkan benar, maka kita katakan bahwa ucapan-ucapan
semacam ini adalah ucapan yang tidak pada tempatnya bahkan bid’ah! Adakah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan demikian?
Adakah para sahabat, imam yang empat mengajarkan demikian? Bacalah kitab-kitab
tafsir dan hadits… Wajarlah apabila Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Seandainya
seseorang menjadi sufi pada pagi hari, maka siang sebelum dhuhur ia menjadi
orang yang dungu.” Cobalah kaum sufi itu berguru kepada Imam Syafi’i.
Beliau rahimahullah mengatakan, “Aku beriman kepada Allah
serta apa yang datang dari Allah sebagaimana yang diinginkan oleh Allah. Dan
aku beriman kepada Rasulullah serta apa yang disampaikan oleh Rasulullah
sebagaimana yang diinginkan oleh Rasulullah.” (lihat Lum’at Al-I’tiqad).
Apakah Allah atau Rasul-Nya mengajarkan kepada kita bahwa kita adalah bagian
dari-Nya? Kita hidup dan mati di dalam diri-Nya? Allah Maha suci dari ucapan
mereka.
Kedua:
Orang tersebut -semoga
Allah menunjukinya- berkata, “Allah ada di mana-mana. Tapi bukan berarti ada di
mana-mana. Seluruh dunia ini terjadi [karena] Campur tangan Allah. Karena Allah
tidak tidur. Di dalam diri kita ada Tuhan, manusia sendiri yang membuat HIJAB (batasan) kepada Allah.”
Tanggapan:
Aneh bin ajaib!
Menurutnya Allah di mana-mana tapi tidak ada di mana-mana. Di dalam diri kita
-katanya- ada Tuhan… [?] Maha suci Allah… Ucapan semacam inilah yang membuat
orang semakin bertambah dungu -sebagaimana disinggung oleh Imam Syafi’i di
atas-, adakah orang berakal yang mengucapkan perkataan seperti ini, “Allah ada
di mana-mana tapi tidak ada di mana-mana” Allahu akbar! Apakah ada anak kecil
yang mengatakan, “Saya laki-laki tapi bukan laki-laki” [?]
Padahal Allah ta’ala sendiri
berfirman tentang diri-Nya (yang artinya), “Ar-Rahman menetap tinggi di
atas Arsy.” (QS. Thaha: 5). Bagaimanakah kita memahami ayat ini? Ibnu
Katsir rahimahullah berkata, “Jalan yang selamat dalam hal ini
adalah jalan ulama salaf yaitu memberlakukannya sebagaimana adanya di dalam
Al-Kitab dan As-Sunnah tanpa membagaimanakan, tanpa menyelewengkan, tanpa
menolak, dan tanpa menyerupakan.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, jilid 5
hal. 202). Apakah ayat ini menunjukkan bahwa Allah membutuhkan Arsy sebagaimana
sangkaan sebagian orang? Sama sekali tidak. Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah di
dalam kitab Aqidah Thahawiyahnya, yang menjadi rujukan ulama dari
keempat madzhab mengatakan, “Dan Dia (Allah) tidak membutuhkan Arsy dan apa pun
yang berada di bawahnya, Allah meliputi segala sesuatu dan Dia berada di
atasnya…” (dinukil dari Syarah Ibnu Abil ‘Izz dengan tahqiq Al-Albani, hal.
280)
Dikisahkan bahwa Abu
Hanifah rahimahullah pernah ditanya mengenai orang yang
mengatakan, “Aku tidak mengetahui apakah Rabbku di atas langit atau di bumi.” Maka
beliau menjawab bahwa orang yang mengucapkan itu telah kafir, sebab Allah telah
berfirman (yang artinya), “Ar-Rahman menetap tinggi di atas Arsy.” (QS.
Thaha: 5). Sedangkan Arsy-Nya berada di atas tujuh lapis langit-Nya.” Kemudian
ditanyakan lagi kepadanya bagaimana kalau dia mengatakan, “Allah berada di atas
Arsy, tapi aku tidak tahu apakah Arsy itu di atas langit atau di bumi.” Maka
Abu Hanifah berkata, “Dia juga kafir. Sebab dia telah mengingkari Allah berada
di atas langit. Barangsiapa yang mengingkari Allah berada di atas langit maka
dia kafir.” (Syarh Ath-Thahawiyah, hal. 288). (Akan tetapi dalam
prakteknya sekarang tentunya kita tidak begitu saja mengatakan kafir apabila
bertemu orang yang berkata seperti di atas, karena untuk mengafirkan masih ada
syarat-syarat lain yang harus dipenuhi -ed)
Ketiga:
Orang tersebut -semoga
Allah menunjukinya- berkata, “Akan tetapi Dzat Tuhan dapat dijumpai dan menyatu
dalam diri manusia. Karena sebegitu dekatnya…”
Tanggapan:
Subhanallah, tidak henti-hentinya kaum sufi ini berdusta
dan mempermainkan kata-kata semaunya. Apakah Al-Qur’an dan As-Sunnah menyatakan
bahwa Dzat Tuhan dapat dijumpai dan menyatu dalam diri manusia, karena sebegitu
dekatnya? Sekali lagi inilah bukti bahwa orang-orang sufi telah meninggalkan ilmu
dan terpedaya dengan akal mereka yang rusak. Untuk menanggapi ucapan semacam
ini cukuplah kami kutip fakta sejarah yang dibawakan oleh penulis buku Tasawuf
Belitan Iblis berikut ini:
“Jika kita meneliti
gerakan sufisme sejak awal perkembangannya hingga kemunculan secara
terang-terangan, kita akan mengetahui bahwa seluruh tokoh pemikiran sufi pada
abad ketiga dan keempat Hijriyah berasal dari Parsi (kini namanya Iran, dulu
pusat agama Majusi, kemusyrikan yang menyembah api, kemudian menjadi pusat
Agama Syi’ah), tidak ada yang berasal dari Arab.
Sesungguhnya tasawuf
mencapai puncaknya, dari segi aqidah dan hukum, pada akhir abad ketiga
Hijriyah, yaitu tatakla Husain bin Manshur Al-Hallaj berani menyatakan
keyakinannya di depan penguasa, yakni dia menyatakan bahwa Allah menyatu dengan
dirinya, sehingga para ulama yang semasa dengannya menyatakan bahwa dia telah
kafir dan harus dibunuh. Pada tahun 309H/ 922M ekskusi (hukuman bunuh) terhadap
Husain bin Manshur Al-Hallaj dilaksanakan. Meskipun demikian, sufisme tetap
menyebar di negeri Parsi, bahkan kemudian berkembang di Irak.” (Sekian nukilan
kami)
Kalau mereka
mengatakan bahwa Allah bisa menyatu dalam diri mereka, lantas buat apa mereka
beribadah, lantas untuk apa mereka menyembah, kalau semua orang mengaku dirinya
adalah Allah maka siapakah yang akan disembah? Maha suci Allah, ini adalah
kedustaan yang sangat besar! Kemudian, kalau mereka maksudkan dengan
ucapan-ucapan itu makna yang lain, maka akan kita katakan bahwa ucapan ini
adalah bid’ah dan tidak dikenal oleh para ulama salaf. Kalau ucapan-ucapan
semacam ini dibiarkan maka syariat Islam akan berantakan. Ketika ada seorang
lelaki yang berkata kepada orang tua mempelai perempuan, “Saya terima nikahnya
Fulanah binti Fulan.” Kemudian setelah itu dia akan berkata kepada si mertua
“Saya terima nikahnya tapi tidak menerima nikahnya.” Lah, bagaimana ini? Sejak
kapan orang-orang itu menjadi kehilangan akalnya? Rumah sakit jiwa lebih layak
bagi orang-orang semacam itu daripada masjid.
Keempat:
Orang tersebut -semoga
Allah menunjukinya- berkata, “Seluruh Imam Madzhab pada Akhirnya kembali kepada
Sufi. Kecuali Wahabi..”
Tanggapan:
Saudaraku, kalau
memang ajaran sufi dengan
berbagai macam aliran tarekatnya adalah benar dan para imam madzhab
mengikutinya apa alasan kami untuk tidak mengikuti kalian? Namun yang menjadi
masalah adalah ajaran-ajaran sufi telah jelas terbukti penyimpangannya. Imam
Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, dan para ulama yang lain telah
memaparkan kepada kita tentang kesesatan ajaran mereka. Al-Qur’an dan As-Sunnah
bagi orang sufi sekedar kata-kata yang bisa dipermainkan ke sana kemari. Allah ta’ala mengatakan
bahwa Allah itu esa (Qul Huwallahu Ahad). Sementara orang-orang sufi
mengatakan Allah menyatu dalam diri hamba-hambaNya, padahal hamba Allah
itu banyak. Allah mengatakan bahwa diri-Nya tinggi berada di atas Arsy-Nya,
sementara orang-orang sufi mengatakan Allah di mana-mana tapi juga tidak di
mana-mana. Allahul musta’an, kalau memang boleh mengatakan demikian
maka kita juga akan mengatakan “Semua Imam Madzhab pada akhirnya kembali kepada
Wahabi. Kecuali sufi.” Allahu yahdik.
Saudaraku, kami tidak
bermaksud untuk mencaci maki siapa pun, kami hanya ingin saudara kami kembali
ke jalan yang benar, itu saja. Syaikh Ihsan Ilahi Zahir –rahimahullah–
dalam kitabnya: Tashawwuf Al-Mansya’ Walmashdar (Tasawuf, Asal
Muasal dan Sumber-Sumbernya) [halaman 28] berkata: “Jika kita amati ajaran-ajaran
tasawuf dari generasi pertama hingga akhir serta ungkapan-ungkapan yang
bersumber dari mereka dan yang terdapat dalam kitab-kitab tasawuf yang dulu
hingga kini, maka akan kita dapatkan bahwa di sana terdapat perbedaan yang
sangat jauh antara tasawuf dengan ajaran-ajaran al-Quran dan as-Sunnah, begitu
juga kita tidak akan mendapatkan landasan dan dasarnya dalam sirah (sejarah)
Rasulullah serta para sahabatnya yang mulia yang merupakan makhluk-makhluk
pilihan Allah. Bahkan sebaliknya kita dapatkan bahwa tasawuf diadopsi dari
ajaran kependetaan kristen, kerahiban Hindu, ritual Yahudi dan kezuhudan Buda”
(sebagaimana dikutip oleh Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan hafizhahullah -salah
seorang ulama besar Saudi Arabia- dalam bukunya Hakikat Tasawuf [terjemah],
hal. 20)
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Orang yang meniti jalan
kefakiran, tasawuf, zuhud dan ibadah; apabila dia tidak berjalan dengan bekal
ilmu yang sesuai dengan syariat maka akibat tanpa bimbingan ilmu itulah yang
membuatnya tersesat di jalan, dan dia akan lebih banyak merusak daripada
memperbaiki. Sedangkan orang yang meniti jalan fikih, ilmu, pengkajian dan
kalam; apabila dia tidak mengikuti aturan syariat dan tidak beramal dengan
ilmunya, maka akibatnya akan menjerumuskan dia menjadi orang yang fajir (berdosa)
dan tersesat di jalan. Inilah prinsip yang wajib dipegang oleh setiap muslim.
Adapun sikap fanatik untuk membela suatu urusan apa saja tanpa landasan
petunjuk dari Allah maka hal itu termasuk perbuatan kaum jahiliyah.” (Majmu’
Fatawa, juz 2 hal. 444. Asy-Syamilah)
Sebelum menutup
tulisan ini, perlu kiranya kita ingat bersama dampak yang timbul akibat
merebaknya ajaran sufi ini di masyarakat -khususnya di negeri kita ini-
sebagaimana yang pernah kami saksikan sendiri bahkan kami dahulu termasuk di
antara mereka -dengan taufik dari Allahlah kami meninggalkannya dan menemukan
manhaj salaf yang mulia ini-, perhatikanlah dengan mata yang jernih dan pikiran
yang tenang… bukankah tersebarnya pemujaan kubur-kubur wali dan orang-orang
salih -yang notabene adalah syirik dan bid’ah- di negeri ini timbul karena
dakwah dan ajaran sufi? Cermatilah wahai saudaraku yang cerdas… betapa ramainya
kubur para wali dikunjungi dan dijadikan tempat untuk mencari berkah, berdoa,
beristighotsah dan bertawassul dengan orang-orang yang sudah mati. Dimanakah
gerangan itu terjadi?, apakah di pusat-pusat dakwah salafiyah -yang hakiki-
ataukah di pusat-pusat dakwah salafiyah yang sebenarnya lebih layak untuk
disebut sufi? Padahal, kita semua mestinya sudah mengerti bahwa dosa kesyirikan
adalah dosa yang tidak diampuni. Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik dan Dia akan
mengampuni dosa di bawah tingkatan syirik itu bagi orang yang dikehendaki-Nya.” (QS.
An-Nisaa’: 48)
Sebagaimana pula
kebid’ahan bukan semakin menambah pelakunya dekat dengan Allah, namun justru
semakin dekat dengan syaitan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
yang mengerjakan suatu amal yang tidak ada tuntunannya dari kami maka
tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim, ini salah satu lafazh Muslim).
Simaklah keterangan Ibnu Hajar dan An-Nawawi berikut ini… semoga hati kita
menjadi semakin mantap mengikuti kebenaran…. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
“Hadits ini tergolong pokok ajaran Islam dan salah satu kaidahnya. Makna dari
hadits ini adalah; barangsiapa yang mereka-reka sesuatu dalam urusan agama yang
tidak didukung dengan dalil di antara dalil-dalil agama yang ada maka hal itu
tidak diakui.” (Fath Al-Bari, 5/341, lihat juga keterangan serupa oleh
An-Nawawi dalam Syarh Muslim, 6/295). An-Nawawi rahimahullah berkata,
“Di dalamnya terkandung bantahan bagi segala bentuk perkara yang baru (dalam
agama), sama saja apakah yang menciptakan itu adalah pelakunya atau ada orang
lain yang lebih dulu membuatnya.” (Syarh Muslim, 6/295). Itulah ucapan
yang adil dan bijak dari dua orang ulama besar penganut madzhab Syafi’i…
Sungguh bijak ucapan
buya HAMKA rahimahullah yang mengatakan, “Daripada gambaran
yang saya kemukakan selayang pandang itu, dapatlah kita memahamkan bagaimana
sangat perlunya pembersihan aqidah dari syirik, bid’ah dan ajaran tasawuf yang
salah, yang telah menimpa negeri kami sejak beberapa zaman, dan perlunya kepada
kemerdekaan pikiran dan memperbaharui paham tentang ajaran Islam sejati.” (Sejarah
Perkembangan Pemurnian Ajaran Islam di Indonesia, penerbit Tintamas
Djakarta, hal. 6-7. Buku ini dapat didownload di perpustakaanislam.com).
Semoga Allah berkenan
memberikan taufik kepada saudara-saudara kami yang meninggalkan jalan yang lurus agar mereka kembali menuju
jalan yang lurus itu kembali. Alangkah senangnya hati kami jika saudara-saudara
kami mendapatkan hidayah, sebagaimana kami juga meminta kepada-Nya dengan
nama-namaNya yang terindah dan sifat-sifatNya yang maha tinggi untuk mewafatkan
kita di atas jalan yang lurus itu dalam keadaan Allah meridhai kita dan
mengampuni segala dosa dan kesalahan kita. Sesungguhnya Allah Maha mendengar
lagi Maha mengabulkan doa.
Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa
‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/450-sufi-benarkah-ajaran-nabi.html