FIQIH
TA’ZIYAH
Oleh
Syaikh Musa’id bin Qashim Al-Falih
Syaikh Musa’id bin Qashim Al-Falih
Manusia adalah makhluk
yang tidak bisa hidup tanpa orang lain,
ia memerlukan bergaul dengan orang lain. Ini merupakan fitrah. Tidak mungkin
ada yang bisa menghindarinya, terlebih lagi pada era global sekarang ini, dunia
layaknya sebuah kampung kecil saja. Berhubungan dengan orang lain, meski
terkadang berefek negatif, manakala berlangsung tanpa kendali, tetapi ia juga
merupakan peluang yang bisa mendatangkan beragam kemaslahatan, sekaligus ladang
amal untuk memperoleh
pahala.
Islam sangat responsif
terhadap fenomena ini. Bukan sekedar komunikasi yang bertema dan berskala besar
saja yang diperhatikannya, tetapi hubungan yang sangat kecil pun tak luput dari
pantauannya. Ini tiada lain karena demi kemaslahatan manusia, sebagai makhluk
yang berkepribadian mulia. Islam telah memberikan peraturan dalam masalah
mu’amalah semacam ini, agar dalam pergaulan, manusia tidak melampui batas-batas
koridor yang telah ditentukan syariat. Sehingga pergaulan tersebut tidak
merugikan salah satu pihak.
Salah satu dari bentuk mu’amalah tersebut adalah ta’ziyah. Atau biasa disebut
melayat. Bagaimanakah penjelasan tentang masalah ini?
Untuk menjelaskan masalah
ta’ziyah ini, berikut kami ketengahkan ulasan yang diambil dari kitab at
Ta`ziyah, karya Syaikh Musa’id bin Qashim al Falih, yang diterbitkan Dar al
‘Ashimah.
Semoga bermanfaat.
Semoga bermanfaat.
DEFINISI TA’ZIYAH
Kata “ta`ziyah”,
secara etimologis merupakan bentuk mashdar (kata benda turunan) dari kata kerja
‘aza. Maknanya sama dengan al aza’u. Yaitu sabar menghadapi musibah
kehilangan.[1]
Dalam terminologi ilmu
fikih, “ta’ziyah” didefinisikan dengan beragam redaksi, yang substansinya tidak
begitu berbeda dari makna kamusnya.
Penulis kitab Radd al
Mukhtar mengatakan : “Berta’ziyah kepada ahlul mayyit (keluarga yang ditinggal
mati) maksudnya ialah, menghibur mereka supaya bisa bersabar, dan sekaligus
mendo’akannya”.[2]
Imam al Khirasyi di
dalam syarahnya menulis: “Ta’ziyah, yaitu menghibur orang yang tertimpa musibah
dengan pahala-pahala yang dijanjikan oleh Allah, sekaligus mendo’akan mereka
dan mayitnya”.[3]
Imam Nawawi
rahimahullah mengatakan : “Yaitu memotivasi orang yang tertimpa musibah agar
bisa lebih bersabar, dan menghiburnya supaya bisa melupakannya, meringankan
tekanan kesedihan dan himpitan musibah yang menimpanya”.[4]
HUKUM FIKIH TA’ZIYAH
Berdasarkan
kesepakatan para ulama, seperti yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah, hukumnya
adalah sunnah [5]. Hal ini diperkuatkan oleh hadits Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, di antaranya :
Sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
مَنْ عَزَّى مُصَابًا فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ
Barangsiapa yang
berta’ziyah kepada orang yang tertimpa musibah, maka baginya pahala seperti
pahala yang didapat orang tersebut. [HR Tirmidzi 2/268. Kata beliau: “Hadits
ini gharib. Sepanjang yang saya ketahui, hadits ini tidak marfu’ kecuali dari
jalur ‘Adi bin ‘Ashim”; Ibnu Majah, 1/511].
Dalil lainnya,
‘Abdullah bin ‘Amr bin al Ash menceritakan, bahwa pada suatu ketika Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Fathimah Radhiyallahu ‘anha :
“Wahai, Fathimah! Apa yang membuatmu keluar rumah?” Fathimah menjawab, ”Aku berta’ziyah kepada keluarga yang ditinggal
mati ini.” [HR Abu Dawud, 3/192].
HIKMAH TA’ZIYAH
Disamping pahala, juga
terdapat kemaslahatan bagi kedua belah pihak [6]. Antara lain :
– Meringankan beban
musibah yang diderita oleh orang yang dilayat.
– Memotivasinya untuk
terus bersabar menghadapi musibah, dan berharap pahala dari Allah Ta’ala.
– Memotivasinya untuk
ridha dengan ketentuan atau qadar Allah Ta’ala, dan menyerahkannya kepada
Allah.
– Mendo’akannya agar
musibah tersebut diganti oleh Allah dengan sesuatu yang lebih baik.
– Melarangnya dari
berbuat niyahah (meratap), memukul, atau merobek pakaian, dan lain sebagainya
akibat musibah yang menimpanya.
– Mendo’akan mayit
dengan kebaikan.
– Adanya pahala bagi
orang yang berta’ziyah.
WAKTU TA’ZIYAH
Jumhur ulama memandang
bahwa ta’ziyah diperbolehkan sebelum dan sesudah mayit dikebumikan.[7]
Pendapat lainnya,
sebagaimana yang diriwayatkan dari Imam Tsauri, bahwa beliau memandang makruh
ta’ziyah setelah mayitnya dikuburkan. Alasannya, setelah mayitnya dikuburkan,
berarti masalahnya juga selesai. Sedangkan ta’ziyah itu sendiri disyari’atkan
guna menghibur agar orang yang tertimpa musibah bisa melupakannya. Oleh karena
itu, hendaknya ta’ziyah dilakukan pada waktu terjadinya musibah. Kala itu,
orang yang tertimpa musibah benar-benar dituntut untuk bersabar. [8]
Pendapat yang rajih,
yaitu pendapat jumhur ulama. Alasannya, orang yang tertimpa musibah memerlukan
penghibur untuk mengurangi beban musibah yang menghimpitnya. Penglipur ini
tentu saja diperlukan, sekalipun mayitnya sudah dikuburkan, sebagaimana
ia memerlukannya sebelum dikuburkan. Bahkan ta’ziyah setelah mayit dikuburkan
hukumnya lebih utama. Sebab, sebelumnya ia sibuk mengurus mayit. Dan orang yang
tertimpa musibah merasa lebih kesepian dan sengsara karena betul-betul berpisah
dengan si mayit.[9]
JANGKA WAKTU TA’ZIYAH
Ta’ziyah disyari’atkan
dalam jangka waktu tiga hari setelah mayitnya dikebumikan. Jumlah tiga
hari ini bukan pembatasan yang final, tetapi perkiraan saja (kurang lebihnya
saja). Dan jumhur ulama menghukumi makruh, apabila ta’ziyah dilakukan lebih
dari tiga hari [10]. Ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثِ أَيَّامٍ إِلَّا عَلَى زَوْجٍ فَإِنَّهَا تُحِدُّ عَلَيْهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
Tidaklah dihalalkan
bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Kiamat, untuk berkabung
lebih dari tiga hari, terkecuali berkabung karena (ditinggal mati) suaminya,
yaitu selama empat bulan sepuluh hari. [HR Bukhari, 2/78; Muslim, 4/202].
Alasan lainnya,
setelah tiga hari, biasanya orang yang ditinggal mati, bisa kembali tenang.
Maka, tidak perlu lagi untuk dibangkitkan kesedihannya dengan dilayat.
Kendatipun begitu, jumhur ulama membuat pengecualian. Yaitu apabila orang yang
hendak melayatnya, atau orang yang hendah dilayatnya (keluarga yang ditinggal
mati) tidak ada dalam jangka waktu tiga hari tersebut.
Sebagian ulama mazhab
Syafi’iyah dan Hanabilah membebaskannya begitu saja. Sampai kapan saja, tak ada
pembatasan waktunya. Sebab, menurut mereka, tujuan dari ta’ziyah ini untuk
mendo’akan, memotivasinya agar bersabar dan tidak melakukan ratapan, dan lain
sebagainya. Tujuan ini tentu saja berlaku untuk jangka waktu yang lama.
Yang lebih kuat dari dua pendapat ini, adalah pendapat jumhur ulama.
MENGULANG-ULANG TA’ZIYAH
Mengulang-ulang
ta’ziyah, hukumnya dimakruhkan. Tidak boleh berta’ziyah di kuburan, apabila
sebelumnya sudah melakukannya.
Hikmah sekaligus
alasannya, karena tujuan dilakukannya ta’ziyah sudah dicapai pada ta’ziyah yang
pertama kali, sehingga tidak perlu diulang lagi, supaya tidak membuat
kesedihannya terus menghimpitnya.[11]
KEPADA SIAPA BERTA’ZIYAH?
Sunnahnya ta’ziyah
dilakukan kepada seluruh orang yang tertimpa musibah (ahlul mushibah), baik
orang tua, anak-anak, dan apalagi orang-orang yang lemah. Lebih khusus lagi
kepada orang-orang tertentu dari mereka yang merasakan kehilangan dan kesepian
karena ditimpa musibah tersebut. Tetapi para ulama bersepakat, bahwa seorang
lelaki tidak boleh berta’ziyah kepada seorang perempuan muda, sebab bisa
menimbulkan fitnah (bahaya), terkecuali mahramnya. [12]
Jika saat ta’ziyah
mengetahui adanya kebatilan, maka kebenaran tidak boleh diabaikan atau
ditinggalkan. Orang yang meratap dan merobek bajunya, dan sebagainya, ia tidak
boleh dibiarkan. Begitu juga untuk hal-hal lainnya.
TA’ZIYAH KEPADA ORANG KAFIR
Ada perbedaan pendapat
dalam masalah melayat kepada orang kafir dzimmi (orang kafir dalam
perlindungan). Sebagian ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah memperbolehkannya [13].
Adapun Imam Ahmad bersikap tawaqquf, beliau tidak berpendapat apa-apa dalam
masalah ini.[14]
Sedangkan para sahabat
Imam Ahmad memandang ta’ziyah sama dengan ‘iyadah (menengok atau besuk). Dan
dalam masalah ini, mereka memiliki dua pendapat :
Pertama : Menengok dan melayat orang kafir hukumnya terlarang atau haram [15]. Dalil yang mereka pergunakan ialah:
لَا تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ فَإِذَا لَقِيتُمْ أَحَدَهُمْ فِي طَرِيقٍ فَاضْطَرُّوهُ إِلَى أَضْيَقِهِ
Janganlah memulai
salam kepada Yahudi dan Nasrani. Apabila kalian berpapasan dengan salah seorang
dari mereka, pepetlah ke tempat yang sempit. [HR Muslim, 7/5]
Dalam hal ini, ta’ziyah disamakan dengan memulai salam kepada mereka.
Kedua : Membolehkan ta’ziyah dan menengoknya, dengan dalil hadits berikut ini:
قَالَ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ غُلَامٌ يَهُودِيٌّ يَخْدُمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَرِضَ فَأَتَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُهُ فَقَعَدَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَقَالَ لَهُ أَسْلِمْ فَنَظَرَ إِلَى أَبِيهِ وَهُوَ عِنْدَهُ فَقَالَ لَهُ أَطِعْ أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْلَمَ فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقُولُ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْقَذَهُ مِنْ النَّارِ
Dahulu ada seorang anak Yahudi yang membantu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu ketika si anak ini sakit. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menengoknya. Beliau duduk di dekat kepalanya, dan berkata : “Masuklah ke dalam Islam”.
Anak tersebut
memandang bapaknya yang hadir di dekatnya. Bapaknya berkata, ”Patuhilah (perkataan) Abul Qasim Shallallahu
‘alaihi wa sallam,” maka anak itupun masuk Islam. Setelah itu Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam keluar seraya berkata : “Segala puji bagi Allah yang telah
menyelamatkan anak itu dari siksa neraka”. [HR Bukhari, 2/96].
Pendapat yang rajih,
yaitu tidak boleh melayat orang kafir dzimmi, terkecuali apabila membawa
kemaslahatan -menurut dugaan yang rajih- misalnya mengharapkannya masuk Islam.
Wallahu a’lam.
MELAYAT ORANG MUSLIM YANG DITINGGAL MATI OLEH
SEORANG KAFIR
Jumhur ulama
memperbolehkan ta’ziyah kepadanya [16]. Adapun pendapat yang melarangnya,
dipegang oleh Imam Malik dan salah satu riwayat dari mazhab Hanabilah [17].
Yang rajih dalam
masalah ini, ialah pendapat jumhur ulama. Dalilnya ialah, keumuman dalil-dalil
yang memerintahkan ta’ziyah.
APA YANG DIUCAPKAN KETIKA BERTA’ZIYAH?
Berdasarkan pendapat
para ulama dalam masalah ini, bisa disimpulkan bahwa mereka tidak membatasi dan
tidak menentukan bacaan-bacaan khusus yang harus diucapkan ketika berta’ziyah.
Ibnu Qudamah
berpendapat [18] : “Sepanjang yang kami ketahui, tidak ada ucapan tertentu yang
khusus dalam ta’ziyah. Namun, diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah melayat seseorang dan mengucapkan:
رَحِمَكَ اللهُ وَآجَرَكَ
(Semoga Allah
merahmatimu, dan memberimu pahala. –HR Tirmidzi, 4/60).
Imam Nawawi berpendapat
[19], yang paling baik untuk diucapkan ketika ta’ziyah, yaitu apa yang
diucapkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada salah seorang utusan
yang datang kepadanya untuk memberi kabar kematian sesorang. Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda kepada utusan itu: Kembalilah kepadanya dan
katakanlah kepadanya :
أَنَّ لِلَّهِ مَا أَخَذَ وَلَهُ مَا أَعْطَى وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمًّى فَمُرْهَا فَلْتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ
Sesungguhnya adalah
milik Allah apa yang Dia ambil, dan akan kembali kepadaNya apa yang Dia
berikan. Segala sesuatu yang ada disisiNya ada jangka waktu tertentu (ada
ajalnya). Maka hendaklah engkau bersabar dan mengharap pahala dari Allah. [HR
Muslim, 3/39].
Sebagian ulama
mensunnahkan, agar ketika melayat orang muslim yang ditinggal mati oleh orang
muslim, membaca :
أَعْظَمَ اللهُ أَجْرَكَ وَأَحْسَنَ عَزَاكَ وَرَحِمَ مَيِّتَكَ
Semoga Allah
melipatkan pahalamu, memberimu pelipur lara yang baik, dan semoga Dia
memberikan rahmat kepada si mayit. [20]
Menurut Mazhab Syafi’iyah,
mendoa’akan orang yang dilayat atau yang tertimpa musibah dengan mengucapkan:
“Semoga Allah mengampuni si mayit, melipatkan pahalamu, dan memberimu pelipur
yang baik,” tetapi, ada juga yang berpendapat berdo’a dengan do’a apa saja.[21]
Adapun ketika melayat
seorang muslim yang ditinggal mati oleh seorang kafir, maka cukup dengan
mendo’akan orang-orang yang ditinggal mati ini saja dan tidak mendoakan si
mayit (yang kafir). Dan melayat orang kafir, sebagaimana telah dibahas di muka,
tidak diperbolehkan, terkecuali membawa kemaslahatan.
Sedangkan mazhab
Syafi’iyah dan Hanabilah yang membolehkan melayat orang kafir karena ditinggal
mati oleh seorang muslim, memberikan tuntunan do’a :
أَحْسَنَ اللهُ عَزَاءَكَ وَغَفَرَ لِمَيِّتِكَ
(Semoga Allah memberimu
pelipur lara yang baik, dan semoga Dia mengampuni si mayit).
Dan ketika yang meninggal adalah orang kafir, doanya ialah :
أَخْلَفَ اللهُ عَلَيْكَ وَلاَ نَقَصَ عَدَدَكَ
(Semoga Allah menggantinya buatmu, dan semoga tidak mengurangi jumlahmu).
Maksudnya, supaya
jumlah jizyah (upeti) yang diambil dari mereka tetap besar.[22]
Masalah ini
dikomentari oleh Imam Nawawi : “Ini sangat bermasalah, sebab berdo’a agar orang
kafir dan kekafiran tetap ada atau eksis. Sebaiknya, ini ditinggalkan saja”
[23] Apa yang dikatakan oleh Imam Nawawi adalah benar.
Selanjutnya, apa yang
dikatakan oleh orang yang dilayat? Dalam hal ini sama. Tidak ada ketentuan
bacaan khusus yang harus dibaca sebagai jawaban kepada para pelayat.
Ada pendapat dari Mazhab Hanabilah, bahwasanya disunnahkan untuk mengucapkan:
اسْتَجَابَ اللهُ دُعَاءَكَ وَرَحِمَنَا وَإِيَّاكَ
(Semoga Allah
mengabukan do’amu. Dan semoga Dia mengasihi kita, juga kamu). [24]
DUDUK-DUDUK KETIKA TA’ZIYAH
Berkumpul dan membaca
al Qur`an ketika melayat, bukan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ;
baik di pekuburan ataupun di tempat tidak diajarkan [25]. Jumhur ulama
melarang duduk-duduk di tempat orang yang ditinggal mati. Yang
disyari’atkan ialah, setelah mayat dikuburkan, sebaiknya kembali kepada
kesibukannya masing-masing. Larangan ini adalah makruh (makruh tanzih) apabila
tidak dibarengi kemunkaran-kemunkaran lain. Adapun jika dibarengi dengan
kemungkaran-kemungkaran, misalnya bid’ah-bid’ah, maka hukumnya haram.[26]
Adat yang biasa
dilakukan oleh orang-orang, seperti duduk-duduk di tempat orang yang ditinggal
mati, lalu dikeluarkan biaya untuk keperluan ini dan itu, mereka tinggalkan apa
yang membuatnya maslahat; pada saat yang sama, mereka mencela orang yang tidak mau
mengikuti dalam acara tersebut. Dalam acara itu mereka melakukan hal-hal yang
tidak disyari’atkan, dan ini termasuk kegiatan bid’ah yang dicela oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[27]
Dalam masalah ini ada
yang berpendapat memperbolehkannya. Mereka ialah sebagian dari ulama Hanafiyah
dan Malikiyah[28]. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah
Radhiyallahu ‘anha, dia menceritakan, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam datang, ternyata Ibnu Haritsah, Ja’far bin Abu Thalib dan Abdullah bin
Rawahah terbunuh. Lalu beliau duduk. Beliau mengetahui jika di tempat itu ada
kesedihan … [HR Muslim, 3/45].
Jawabannya atau
bantahan dari pendapat ini ialah, bahwa kedatangan Rasulullah dan beliau duduk,
tidak bermaksud untuk ta’ziyah, dan tidak ada indikasi ke arah yang
menguatkannya berta’ziyah.[29]
Maka dari itu,
sebagian lagi dari ulama Hanabilah menyatakan, sebenarnya yang dimakruhkan
adalah menginap di tempat orang yang ditinggal mati, duduk-duduk bagi orang
yang sudah pernah melayat sebelumnya, atau duduk-duduk supaya bisa melayat
lebih lama lagi. [30]
Demikianlah beberapa
point berkenaan dengan ta’ziyah.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X/1427H/2006M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Lihat Mukhtar ash Shihah, hlm. 431; al Qamus al Muhith (4/364) dan Lisan al ‘Arab (15/52).
[2]. Radd al Mukhtar (1/603).
[3]. Syarh al Khirasyi ‘ala Mukhtashar Khalil (2/129).
[4]. Al Adzkar an Nawawiyah, hlm.126. Lihat juga al Majmu’ (5/304).
[5]. Al Mughni (3/480). Lihat juga al Ifshah (1/193).
[6]. Lihat Syarh al Khirasyi (2/130), al Balighah (2/82).
[7]. Lihat Hasyiyah Radd al Mukhtar (1/604), Syarh al Khirasyi (2/130); al Majmu’ (5/306), al Mughni, (2/480), al Inshaf (2/563).
[8]. Al Mughni (3/480), Nail al Authar (4/95).
[9]. Hasyiah Radd al Mukhtar (1/604), al Majmu’ (5/306).
[10]. Hasyiah Radd al Mukhtar (1/604), al Majmu’ (5/306), al Inshaf (2/564), Kasysyaf al Qina’ (2/160).
[11]. Lihat Hasyiyah Radd al Mukhtar (1/604), al Furu’ (2/294), al Inshaf (2/564).
[12]. Lihat Syarh al Khirasyi (2/129), al Majmu’ (5/305), al Adzkar an Nawawiyah hlm. 127, al Mughni (3/480).
[13]. Hasyiyah Radd al Mukhtar (1/604), al Muhadzdzab –dicetak bersama al Majmu- (5/304).
[14]. Al Mughni (3/486), Ahkam Ahl adz Dzimmah (1/204).
[15]. Al Inshaf (2/566), Kasysyaf al Qina’ (2/161).
[16]. Hasyiyah Radd al Mukhtar (1/604), al Majmu’ (5/306), al Inshaf (2/565).
[17]. Hasyiyah ad Dusuqi (1/419), al Inshaf (2/566).
[18]. Al Mughni (3/480).
[19]. Al Adzkar, hlm. 127.
[20]. Lihat Hasyiyah Radd al Mukhtar (1/604), al Mughni (3/486), al Inshaf (2/565).
[21]. Al Majmu’ (5/306).
[22]. Al Majmu’ (5/306), al Mughni (3/486)
[23]. Al Majmu’ (5/306)
[24]. Al Mughni (3/487), Kasysyaf al Qina’ (2/161).
[25]. Zadul Ma’ad (1/146).
[26]. Al Adzkar an Nawawiyah, hlm. 127.
[27]. Lihat Fatawa Lajnah Daimah lil Buhuts wal Ifta`, no. 38, diambil dari surat kabar al Muslimun.
[28]. Hasyiyah Radd al Mukhtar (1/604), Syarh al Khirasyi (2/130).
[29]. Lihat Radd al Mukhtar (1/604).
[30]. Kasysyaf al Qina’ (2/160).
Sumber: https://almanhaj.or.id/3067-fiqih-taziyah.html