Apa syarat wajibnya
haji?
Published Date:
2011-10-03
Alhamdulillah
Para ulama
rahimahumullah menyebutkan syarat-syarat haji. Jika hal ini ada pada seseorang,
maka diwajibkan baginya melaksanakan haji. Sebaliknya, tidak wajib haji jika
syarat-syarat ini tidak ada. Syarat-syarat tersebut ada lima, yaitu; Islam,
berakal, balig, merdeka dan mampu.
1.
Islam
Hal ini masuk dalam
semua ibadah. Karena ibadah tidak sah dari orang kafir. Berdasarkan firman
Allah:
وَمَا
مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلا أَنَّهُمْ كَفَرُوا
بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ (سورة التوبة: 54)
"Dan tidak ada
yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan
karena mereka kafir kepada Allah dan RasulNya." (QS. At-Taubah: 54)
Dalam hadits Muaz,
ketika Nabi sallallahu alaihi wa sallam mengutusnya ke Yaman, (beliau bersabda):
إِنَّكَ
تَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لا
إِلَهَ إِلا اللَّهُ ، وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ
فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ
يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ
افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ فِي
فُقَرَائِهِمْ (متفق عليه)
"Sesungguhnya
anda akan mendatangi kaum Ahli Kitab. Maka ajaklah mereka untuk menyaksikan
bahwa tiada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Allah, dan saya adalah
utusan Allah, kalau mereka telah mentaati hal itu, maka beritahukan kepada
mereka, bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari semalam.
Kalau mereka telah mentaati hal itu, maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah
mewajibkan kepada mereka mengeluarkan zakat, diambil dari orang-orang kaya dan
dibagikan kepada orang fakir diantara mereka." (HR. Muttafaq alaih)
Orang kafir
diperintahkan untuk masuk Islam terlebih dahulu. Jika dia telah masuk Islam,
maka kita perintahkan untuk melakukan shalat, puasa, zakat, haji dan seluruh
syariat Islam.
2,3. Berakal dan
Balig
Berdasarkan sabda
Nabi sallallahu’alaihi wa sallam:
رُفِعَ
الْقَلَمُ عَنْ ثَلاثَةٍ؛ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ ، وَعَنْ
الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ ، وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ
"Pena Diangkat
(kewajiban digugurkan) dari tiga (golongan); Orang yang tidur sampai bangun,
anak kecil hingga bermimpi (baligh), dan orang gila hingga berakal (sembuh)."
(HR. Abu Daud, no. 4403, dishahihkan oleh Al-Albany dalam shahih Abu Daud)
Maka anak kecil
tidak diwajibkan haji. Akan tetapi kalau walinya menghajikannya, maka hajinya
sah dan pahala haji bagi anak kecil dan walinya juga. Berdasarkan sabda Nabi sallallahu’alaihi
wa sallam ketika ada seorang wanita mengangkat anak kecilnya dan bertanya,
"Apakah anak ini dapat melakukan haji? Beliau menjawab, "Ya, dan
bagimu mendapat pahala." (HR. Muslim)
4. Merdeka. Seorang budak tidak diwajibkan haji, karena dia
sibuk memenuhi hak tuannya.
5. Mampu
Allah berfirman:
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنْ اسْتَطَاعَ
إِلَيْهِ سَبِيلا (سورة آل عمران: 97)
"Mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah." (QS. Ali Imran: 97)
Hal ini mencakup
kemampuan fisik dan kemampuan harta.
Kemampuan fisik
artinya adalah berbadan sehat dan mampu menanggung beban letih hingga ke
Baitullah Al-Haram.
Sedangkan kemampuan
harta adalah mempunyai nafkah yang dapat mengantarkannya ke Baitullah pulang
dan pergi.
Al-Lajnah Ad-Daimah
berkata,
"Mampu terkait
dengan haji adalah berbadan sehat dan mempunyai biaya kendaraan yang dapat
menghantarkan ke Baitullah Al-Haram baik melalui pesawat, mobil, hewan atau
menyewa sesuai dengan kondisinya. Juga memiliki bekal yang cukup untuk pulang
dan pergi. Dan biaya tersebut diluar dari biasa nafkah orang-orang yang
seharus{nya} dia nafkahi sampai kembali dari hajinya. Bagi seorang wanita, harus
didampingi suami atau mahramnya untuk safar haji atau umrah."
Disyaratkan bahwa
nafkah yang dapat menghantarkan sampai ke baitullah adalah kelebihan dari
kebutuhan primer, nafkah syar’i dan pelunasan hutang. Maksud dengan hutang
disini adalah hak-hak Allah seperti kafarat (tebusan karena pelanggaran) dan
hak-hak manusia.
Maka siapa yang
masih mempunyai hutang, sementara uangnya tidak memungkinkan untuk haji dan
melunasi hutanya, maka dia harus memulai dengan melunasi hutang dan tidak
diwajibkan haji. Sebagian orang mengira bahwa illat (sebab) larangan tersebut
adalah tidak mendapatkan izin dari orang yang memberi hutang. Kalau dia meminta
izin dan diizinkan, maka tidak mengapa. Dugaan ini tidak ada asalnya.
Sebabnya adalah masih berlakunya tanggungan. Maka, sebagaimana diketahui
bahwa jika orang yang menghutangi mengizinkan, maka tanggungan orang yang
berhutang masih tetap ada pada dirinya dan tidak hilang sekedar dia memberinya
izin.
Oleh karena itu, kami
katakan kepada orang yang memiliki hutang, "Lunasi dahulu hutangmu. Jika
masih tersisa (uangnya), silakan berhaji dengannya. Kalau tidak, maka haji
tidak wajib bagi anda."
Kalau orang yang
berhutang meninggal dunia, dan kewajiban melunasi hutang menghalanginya
melaksanakan haji, maka dia akan bertemu kepada Allah dalam kondisi keislaman
yang sempurna tanpa menyia-nyiakan dan berlebih-lebihan. Karena haji belum
wajib baginya. Sebagaimana zakat tidak wajib bagi orang fakir, begitu juga
haji.
Jika dia lebih
mendahulukan haji dibanding melunasi hutang-hutangnya, lalu meninggal dunia
sebelum melunasinya maka dia dalam kondisi bahaya. Karena, jika orang yang mati
syahid dimaafkan semuanya kecuali hutang, bagaimana dengan selainnya?
Maksud dari nafkah
syar’iyyah adalah nafkah yang ditetapkan oleh syariat, seperti nafkah untuk
dirinya dan keluarganya tanpa berlebih-lebihan. Kalau kondisinya menengah, dan
dia ingin memperlihatkan penampilan orang kaya, sehingga dia membeli mobil
mahal untuk menandingi orang kaya, sementara dia tidak punya uang untuk haji,
maka dia harus menjual mobilnya agar dapat haji dari penjualan mobilnya.
Kemudian dia membeli mobil sesuai dengan kondisinya. Karena nafkah untuk
(pembelian) mobil mahal ini bukan termasuk nafkah sesuai agama, bahkan itu
termasuk berlebih-lebihan yang dilarang agama. Yang jadi patokan dalam nafkah
adalah, apa yang ada pada dirinya untuk mencukupi keluarganya sampai dia
kembali. Sehingga sekembalinya dari haji, masih ada nafkah untuk dirinya, dan
cukup untuk membiayai orang yang menjadi tanggungannya seperti sewa rumah, gaji
atau bisnis atau semisal itu. Oleh karena itu, tidak diharuskan melaksanakan
haji dengan modal pokok bisnisnya yang dia gunakan untuk membiayai nafkah diri
dan keluarganya dari keuntungannya. Karena hal itu akan berdampak kurangnya
modal dan berkurang labanya sehingga tidak mencukupi untuk diri dan
keluarganya.
Al-Lajnah
Ad-Daimah, 11/36 ditanya tentang seseorang yang mempunyai dana di Bank Islam,
sementara gaji dan laba mencukupi (kebutuhan) dalam kondisi sedang. Apakah dia
diharuskan melaksanakan haji dari modal dananya? Perlu diketahui bahwa hal itu
akan berpengaruh terhadap pemasukan bulanannya dan memberatkannya dari sisi
materi.
Mereka menjawab,
"Kalau kondisinya seperti yang anda sebutkan, maka anda belum diwajibkan
menunaikan haji karena belum mampu secara agama.
Allah berfirman, "Mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah." (QS. Ali Imran: 97)
Dan Firman-Nya, "Dan (Allah)
tidak menjadikan pada diri kamu semua dalam agama dari kepayahan."
Maksud dengan
keperluan pokok (primer) adalah apa yang diperlukan oleh seseorang dalam
kehidupannya secara umum dan memberatkannya apabila tidak terpenuhi. Seperti
buku-buku ilmiah bagi pencari ilmu. Kita tidak dapat mengatakan kepadanya,
"Juallah buku anda dan tunaikanlah haji dari hasil penjualannya."
Karena hal itu termasuk kebutuhan pokok bagi dia. Begitu juga mobil yang
dibutuhkan, kita tidak dapat mengatakan kepadanya, "Juallah dan tunaikan
haji dari hasil penjualannya." Akan tetapi kalau dia mempunyai dua
mobil, sementara dia hanya membutuhkan satu. Maka dia harus menjual salah satu
mobilnya dan menunaikan haji dari dana penjualannya. Begitu juga tukang, tidak
diharuskan menjual peralatan tukangnya karena hal itu sangat dibutuhkan
baginya. Begitu juga mobil yang digunakan untuk bekerja dan menafkahi diri dan
keluarga dari hasil sewa, tidak diharuskan menjualnya untuk melaksanakan haji.
Di antara kebutuhan pokok adalah kebutuhan untuk menikah. Kalau dia membutuhkan
dana yang dimilikinya untuk menikah, maka dia harus dahulukan menikah
dibandingkan haji. Kalau (dia tidak membutuhkannya) maka didahulukan
haji." (Silakan lihat soal jawab no. 27120)
Jadi maksud dari
kemampuan secara finansial adalah kelebihan yang dimilikinya untuk malaksanakan
haji setelah melunasi hutang, nafkah syar’i dan kebutuhan pokoknya. Barangsiapa
mampu secara fisik dan finansial, maka hendaknya segera menunaikan haji. Kalau
dia belum mampu secara fisik dan finansial. Atau dia mampu secara fisik tapi
dia fakir tidak punya uang, maka dia tidak diwajibkan untuk haji. Kalau dia
mampu dari sisi finansial akan tetapi tidak mampu secara fisik, maka kita
lihat. Kalau ketidakmampuannya ada harapan sembuh, seperti sakit yang ada
harapan sembuh dari penyakitnya. Maka ditunggu hingga Allah menyembuhkannya
kemudian dia berhaji. Kalau ketidakmampuannya tidak ada harapan sembuh seperti
sakit tumor atau tua renta yang tidak mampu melaksakan haji, maka harus ada
orang lain yang menghajikan untuknya. Tidak gugur kewajiban haji karena tidak
mampu secara fisik selagi dia mampu dari sisi finansial.
Dalil hal itu
adalah apa yang diriwayatkan oleh Bukhari, 1513, bahwa seorang wanita bertanya
kepada Rasulullah:
يَا
رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ فَرِيضَةَ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ فِي الْحَجِّ أَدْرَكَتْ
أَبِي شَيْخًا كَبِيرًا لا يَثْبُتُ عَلَى الرَّاحِلَةِ أَفَأَحُجُّ عَنْهُ ؟
قَالَ : نَعَمْ
"Wahai
Rasulullah, sesungguhnya kewajiban haji yang diwajibkan kepada para hamba-Nya
telah berlaku bagi ayahku sementara dia dalam kondisi tua renta, tidak
mampu berada di kendaraan. Apakah (boleh) saya menghajikan untuknya?" Beliau
menjawab, "Ya."
Nabi sallallahu
alaihi wa sallam memberi ketetapan atas ucapannya bahwa haji diwajibkan kepada
ayahnya padahal dia tidak mampu secara fisik untuk haji. Disyaratkan bagi
wanita bahwa kewajiban haji baginya adalah adanya mahram. Dia tidak dibolehkan
safar untuk haji wajib atau sunnah kecuali bersama mahram. Berdasarkan sabda
Nabi sallallahu alaihi wa sallam, "Janganlah seorang wanita melakukan
safar kecuali bersamanya ada mahramnya." (HR. Bukhari, 1862 dan Muslim,
1341)
Mahram
adalah suami
dan orang yang diharamkan (menikah dengannya) secara permanen
disebabkan nasab,
sepersusuan atau besanan. Suami saudara perempuan atau suami bibi dari
ibu dan
dari ayah bukan termasuk mahram. Sebagian wanita menggampangkan
melakukan safar
bersama saudara perempuan dan suami saudarinya, atau bersama bibi dan
suami
bibinya. Ini diharamkan. Karena suami saudari atau suami bibi bukan
termasuk
mahramnya. Maka dia tidak dibolehkan safar dengannya. Dikhawatirkan
hajinya
tidak diterima, karena haji mabrur adalah yang tidak bercampur dengan
dosa. Dan
ini adalah dosa dalam seluruh safarnya hingga dia kembali. Mahram
disyaratkan
berakal dan balig. Karena maksud dari mahram adalah menjaga wanita dan
melindunginya. Sementara anak kecil, orang gila tidak dapat melakukan
hal itu, kalau seorang wanita tidak mendapatkan mahram, atau didapati
akan tetapi tidak
bersedia safar dengannya, maka dia tidak diwajibkan melakukan haji.
Syarat
wajibnya haji bagi seorang wanita bukan mendapatkan izin suaminya,
bahkan dia
diharuskan melaksanakan haji ketika semua persyaratan wajb haji
terpenuhi,
meskipun tidak diizinkan oleh suaminya.
Al-Lajnah
Ad-Daimah, 11/20 mengatakan, "Haji wajib diharuskan kalau semua
persyaratan mampu terpenuhi. Izin suami bukan termasuk syarat di
dalamnya.
Suami tidak boleh melarangnya bahkan dianjurkan dia untuk bekerja sama
dengan istrinya dalam melaksanakan (ibadah haji) yang wajib ini."
Hal ini terkait
dengan ibadah haji wajib. Kalau haji sunnah, telah dinukil dari Ibnu
Munzir adanya ijmak bahwa suami dibolehkan melarang istrinya melaksanakan haji
sunah. Karena hak suami adalah kewajiban (yang harus ditunaikan), maka jangan
mengabaikannya hanya karena hendak melakukan sesuatu yang tidak wajib
baginya." (Al-Mughni, 5/35. Silahkan lihat kitab Asy-Syarh Al-Mumti, 5/7-
28).
____________
from=https://islamqa.info/id/41957