Siapa Sebenarnya Pembangkit Radikalisme Dan Terorisme Modern Di Tengah Umat Islam?
Dunia
internasional secara umum dan negeri-negeri Islam secara khusus, telah
digegerkan oleh ulah segelintir orang yang menamakan dirinya sebagai
pejuang kebenaran.
Dahulu, banyak umat Islam yang merasa simpatik dengan
ulah mereka, karena sasaran mereka adalah orang-orang kafir,
sebagaimana yang terjadi di gedung WTC pada 11 September 2001.
Akan tetapi, suatu hal yang sangat mengejutkan, ternyata sasaran pengeboman dan serangan tidak berhenti sampai di situ. Sasaran terus berkembang, sampai akhirnya umat Islam pun tidak luput darinya.
Kasus yang paling aktual ialah yang menimpa Pangeran Muhammad bin Nayif
Alus Sa’ûd, Wakil Menteri Dalam Negeri Kerajaan Saudi Arabia.
Dahulu, banyak kalangan yang menuduh bahwa pemerintah Saudi berada di belakang gerakan tidak manusiawi ini. Mereka menuduh bahwa paham yang diajarkan di Saudi Arabia telah memotivasi para pemuda Islam untuk bersikap bengis seperti ini. Akan tetapi, yang mengherankan, tudingan
ini masih juga di arahkan ke Saudi, walaupun telah terbukti bahwa
pemerintah Saudi termasuk yang paling sering menjadi korbannya?
Melalui tulisan ini, saya mengajak saudara sekalian
untuk menelusuri akar permasalahan sikap ekstrim dan bengis yang
dilakukan oleh sebagian umat Islam ini. Benarkah ideologi ini bermuara
dari Saudi Arabia?
Harian
“Ashsharqul-Ausat” edisi 8407 tanggal 4/12/2001 M – 19/9/1422 H menukil
catatan harian Dr. Aiman al-Zhawâhiri, tangan kanan Usâmah bin Lâdin.
Di antara catatan harian Dr Aiman al-Zhawâhiri yang dinukil oleh harian tersebut ialah:
“Sesungguhnya Sayyid Quthub dalam kitabnya yang bak bom waktu “Ma’âlim Fî At-Tharîq’ meletakkan undang-undang pengkafiran dan jihad. Gagasan-gagasan Sayyid Quthub-lah yang selama ini menjadi sumber bangkitnya pemikiran radikal.
Sebagaima kitab beliau yang berjudul “Al-’Adâlah Al-Ijtimâ’iyah fil Islâm” merupakan, hasil pemikiran logis paling penting bagi lahirnya arus gerakan radikal.
Gagasan-gagasan Sayyid Quthub merupakan percikan api
pertama bagi berkobarnya revolusi yang ia sebut sebagai revolusi Islam
melawan orang-orang yang disebutnya musuh-musuh Islam, baik di dalam
atau di luar negeri. Suatu perlawanan berdarah yang dari hari ke hari terus berkembang.”
Pengakuan Dr Aiman al-Zhawâhiri ini selaras dengan
pernyataan Menteri Dalam Negeri Saudi Arabia, Pangeran Nayif bin Abdul
Azîz al-Sa‘ûd.
Pangeran Nayif menyatakan kepada Hariah “As-Siyâsah Al-Kuwaitiyah” pada tanggal 27 November 2002 M:
“Tanpa ada keraguan sedikit pun, aku katakan bahwa sesungguhnya seluruh permasalahan dan gejolak yang terjadi di negeri kita bermula dari organisasi Ikhwânul Muslimîn. Sungguh, kami telah banyak bersabar menghadapi mereka walaupun sebenarnya bukan hanya kami yang telah banyak bersabar. Sesungguhnya
mereka itulah penyebab berbagai masalah yang terjadi di dunia arab
secara khusus dan bahkan meluas hingga ke seluruh dunia Islam. Organisasi Ikhwânul Muslimîn sungguh telah menghancurkan seluruh negeri Arab.”
Lebih lanjut Pangeran Nayif menambahkan:
“Karena saya adalah pemangku jabatan terkait, maka
saya rasa perlu menegaskan bahwa ketika para pemuka Ikhwânul Muslimin
merasa terjepit dan ditindas di negeri asalnya (Mesir-pen), mereka
mencari perlindungan dengan berhijrah ke Saudi, dan saya pun menerima
mereka.
Dengan demikian, – berkat karunia Allah Ta’ala –
mereka dapat mempertahankan hidup, kehormatan dan keluarga mereka.
Sedangkan saudara-saudara kita para pemimpin negara sahabat dapat
memaklumi sikap kami ini.
Para pemimpin negara sahabat menduga bahwa para anggota Ikhwânul Muslimin tidak akan melanjutkan gerakannya dari Saudi Arabia.
Setelah mereka tinggal di tengah-tengah kita selama
beberapa tahun, akhirnya mereka butuh mata pencaharian. Dan kami pun
membukakan lapangan pekerjaan untuk mereka.
Dari mereka ada yang diterima sebagai tenaga
pengajar, bahkan menjadi dekan sebagian fakultas. Kami berikan
kesempatan kepada mereka untuk menjadi tenaga pengajar di sekolah dan
perguruan tinggi kami. Akan tetapi, sangat disayangkan, mereka tidak
melupakan hubungan mereka di masa lalu. Mulailah mereka memobilisasi masyarakat, membangun gerakan dan memusuhi Kerajaan Saudi.”
Dan kepada harian Kuwait “Arab Times” pada hari Rabu,
18 Desember 2002 M, kembali pangeran Nayif berkata: “Sesungguhnya
mereka (Ikhwânul Muslimîn) mempolitisasi agama Islam guna mencapai
kepentingan pribadi mereka.”
Sekedar membuktikan akan kebenaran dari pengakuan Dr Aiman Al-Zhawâhiri di atas, berikut saya nukilkan dua ucapan Sayyid Quthub:
NUKILAN 1 :
“Saya menyeru agar kita memulai kembali kehidupan
yang islami di satu tatanan masyarakat yang islami. Satu masyarakat yang
tunduk kepada akidah Islam, dan tashawur (pola pikir) yang islami pula.
Sebagaimana masyarakat itu patuh kepada syari’at dan undang-undang yang
Islami. Saya menyadari sepenuhnya bahwa kehidupan semacam ini telah
tiada sejak jauh-jauh hari di seluruh belahan bumi. Bahkan agama Islam
sendiri juga telah tiada sejak jauh-jauh hari pula.”
(Al ‘Adâlah Al-Ijtimâ’iyah 182).
(Al ‘Adâlah Al-Ijtimâ’iyah 182).
NUKILAN 2 :
“Dan bila sekarang kita mengamati seluruh belahan
bumi berdasarkan penjelasan ilahi tentang pemahaman agama dan Islam ini,
niscaya kita tidak temukan eksistensi dari agama ini.”
(Al- ‘Adâlah Al-Ijtimâ’iyah hlm. 183).
(Al- ‘Adâlah Al-Ijtimâ’iyah hlm. 183).
Saudaraku! sebagai seorang Muslim yang beriman, apa perasaan dan reaksi Anda setelah membaca ucapan ini?
Demikianlah, ideologi ekstrim yang diajarkan oleh Sayyid Quthub melalui bukunya yang oleh Dr Aiman Al-Zhawâhiri disebut sebagai “Dinamit”. Pengkafiran seluruh lapisan masyarakat yang tidak bergabung ke dalam barisannya.
Mungkin karena belum merasa cukup dengan mengkafirkan masyarakat secara umum, Sayyid Quthub dalam bukunya “Fî Zhilâlil Qur’ân” ketika menafsirkan surat Yûnus ayat 87, ia menyebut masjid-masjid yang ada di masyarakat sebagai “tempat peribadahan Jahiliyah ”.
Sayyid Quthub berkata:
“Bila umat Islam ditindas di suatu negeri, maka
hendaknya mereka meninggalkan tempat-tempat peribadahan jahiliyah. Dan
menjadikan rumah-rumah anggota kelompok yang tetap berpegang teguh
dengan keislamannya sebagai masjid. Di dalamnya mereka dapat menjauhkan
diri dari masyarakat jahiliyah. Di sana mereka juga menjalankan
peribadahan kepada Rabbnya dengan cara-cara yang benar. Di waktu yang
sama, dengan mengamalkan ibadah tersebut, mereka berlatih menjalankan
semacam tanzhîm dalam nuansa ibadah yang suci.”
Yang dimaksud “ma`âbid Jâhiliyah”(tempat-tempat ibadah jahiliyah) adalah masjid-masjid kaum Muslimin yang ada.
Bisa bayangkan!
Para pemuda, yang biasanya memiliki idealisme tinggi
dan semangat besar, lalu mendapatkan doktrin semacam ini, kira-kira apa
yang akan mereka lakukan? Benar-benar Sayyid Quthub menanamkan ideologi
teror pada akal pikiran para pengikutnya.
Dan sudah barang tentu, ia tidak berhenti pada
penanaman ideologi semata. Ia juga melanjutkan doktrin terornya dalam
wujud yang lebih nyata. Simaklah, bagaimana ia mencontohkan aplikasi
nyata dari ideologi yang ia ajarkan:
“Menimbang berbagai faktor ini secara komprehensif,
saya memikirkan suatu rencana dan cara untuk membalas perbuatan musuh.
Aku pernah katakan kepada para anggota jama‘ah: “Hendaknya mereka
memikirkan suatu rencana dan cara, dengan mempertimbangkan bahwa mereka
pulalah yang akan menjadi eksekutornya. Tentunya cara itu disesuaikan
dengan potensi yang mereka miliki. Saya tidak tahu dengan pasti cara apa
yang tepat bagi mereka dan saya juga tidak bisa menentukannya……
Tindakan kita ini sebagai balasan atas penangkapan langsung beberapa anggota organisasi Ikhwânul Muslimîn.
Kita membalas dengan menyingkirkan pimpinan-pimpinan
mereka, terutama presiden, perdana menteri, ketua dewan pertimbangan
agung, kepala intelijen dan kepala kepolisian.
Balasan juga dapat dilanjutkan dengan meledakkan
berbagai infrastruktur yang dapat melumpuhkan transportasi kota Kairo.
Semua itu bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada anggota
Ikhwânul Muslimîn di dalam dan luar kota Kairo. Serangan juga dapat
diarahkan ke pusat pembangkit listrik dan jembatan layang.”
(Limâdzâ A’ddâmûni oleh Sayyid Quthub hlm: 55)
(Limâdzâ A’ddâmûni oleh Sayyid Quthub hlm: 55)
Pemaparan singkat ini menyingkap dengan jelas akar
dan sumber pemikiran ekstrim yang melekat pada jiwa sebagian umat Islam
di zaman ini. Hanya saja, perlu diketahui bahwa menurut beberapa
pengamat, gerakan Ikhwânul Muslimîn dalam upaya merealisasikan impian
besarnya, telah terpecah menjadi tiga aliran:
1. ALIRAN HASAN AL-BANNA
Dalam mengembangkan jaringannya, Hasan al-Banna lebih
mementingkan terbentuknya suatu jaringan sebesar-besarnya, tanpa peduli
dengan perbedaan yang ada di antara mereka. Kelompok ini senantiasa
mendengungkan slogan:
“Kita bersatu dalam hal yang sama, dan saling toleransi dalam setiap perbedaan antara kita”.
Tidak
mengherankan bila para penganut ini siap bekerja sama dengan siapa saja,
bahkan dengan non Muslim sekalipun, demi mewujudkan tujuannya.
Prinsip-prinsip agama bagi mereka sering kali hanya
sebatas pelaris dan pelicin agar gerakannya di terima oleh masyarakat
luas. Tidak heran bila corak politis nampak kental ketimbang agamis pada
kelompok penganut aliran ini. Karenanya, dalam perkumpulan dan
pengajian mereka, permasalahan politik, strategi pergerakan dan tanzhîm
sering menjadi tema utama pembahasan.
2. ALIRAN SAYYID QUTHUB
Setelah bergabungnya Sayyid Quthub ke dalam barisan
Ikhwânul Muslimîn, terbentuklah aliran baru yang ekstrim pada tubuh
Ikhwânul Muslimîn. Pemikiran dan corak pergerakannya lebih mendahulukan
konfrontasi. Ia menjadikan pergerakan Ikhwânul Muslimîn terbelah menjadi
dua aliran. Melalui berbagai tulisannya, Sayyid Quthub menumpahkan
ideologi ekstrimnya.
Tanpa segan-segan ia mengkafirkan seluruh pemerintahan umat Islam yang ada,
dan bahkan seluruh lapisan masyarakat yang tidak sejalan dengannya.
Karenanya ia menjuluki masjid-masjid umat Islam di seluruh penjuru dunia
sebagai “tempat peribadatan jahiliyyah”.
Dan selanjutnya, tatkala pergerakannya mendapatkan
reaksi keras dari penguasa Mesir di bawah pimpinan Jamal Abdun Nâshir,
ia pun menyeru pengikutnya untuk mengadakan perlawanan dan pembalasan,
sebagaimana diutarakan di atas.
3. ALIRAN MUHAMMAD SURÛR ZAENAL ABIDIN
Setelah pergerakan Ikhwânul Muslimîn mengalami banyak
tekanan di negeri mereka, yaitu Mesir, Suria, dan beberapa negeri Arab
lainnya, mereka berusaha menyelamatkan diri.
Negara yang paling kondusif untuk menyelamatkan diri dan menyambung hidup ketika itu ialah Kerajaan Saudi Arabia.
Hal itu itu karena penguasa Kerajaan Saudi saat itu
begitu menunjukkan solidaritas kepada mereka yang ditindas di negeri
mereka sendiri.
Lebih dari itu, pada saat itu kerajaan Saudi sedang
kebanjiran pendapatan dari minyak buminya, mereka membuka berbagai
lembaga pendidikan dalam berbagai jenjang, sehingga mereka kekurangan
tenaga pengajar. Jadi, keduanya saling membutuhkan.
Untuk itu, mereka diterima dengan dua tangan terbuka
oleh otoritas Pemerintah Saudi Arabia. Selanjutnya, mereka pun
dipekerjakan sebagai tenaga pengajar di sekolah-sekolah dan perguruan
tinggi di sana.
Di sisi lain, Pemerintah Mesir, Suria dan lainnya merasa terbebaskan dari banyak pekerjaannya. Mereka
tidak berkeberatan dengan sikap Pemerintah Saudi Arabia yang memberikan
tempat kepada para pelarian Ikhwânul Muslimîn, sebagaimana ditegaskan
oleh Pangeran Nayif bin Abdul Azîz di atas.
Selama tinggal di Kerajaan Saudi Arabia inilah,
beberapa tokoh gerakan Ikhwânul Muslimîn berusaha beradaptasi dengan
paham yang diajarkan di sana.
Sebagaimana kita ketahui, Ulama’-Ulama’ Saudi Arabia
adalah para penerus dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb rahimahullah
yang anti pati dengan segala bentuk kesyirikan dan bid’ah. Sehingga,
selama mengembangkan pergerakannya, tokoh-tokoh Ikhwânul Muslimîn turut
menyuarakan hal yang sama.
Hanya dengan cara inilah mereka bisa mendapatkan
tempat di masyarakat setempat. Inilah faktor pembeda antara aliran
ketiga dari aliran kedua, yaitu adanya sedikit perhatian terhadap tauhid
dan sunnah. Walaupun pada tataran aplikasinya, masalah tauhid acap kali
dikesampingkan dengan cara membuat istilah baru yang mereka sebut
dengan tauhîd hakimiyyah.
Istilah ini sebenarnya bukanlah baru, istilah ini tak
lebih dari kamuflase para pengikut Sayyid Quthub untuk mengelabuhi
pemuda-pemuda Saudi Arabia semata. Istilah ini mereka ambil dari doktrin
Sayyid Quthub yang ia tuliskan dalam beberapa tulisannya. Berikut salah
satu ucapannya yang menginspirasi mereka membuat istilah tauhîd
hakimiyyah ini:
“Teori hukum dalam agama Islam dibangun di atas
persaksian bahwa tiada ilâh yang berhak diibadahi selain Allah. Dan bila
dengan persaksian ini telah ditetapkan bahwa peribadatan hanya layak
ditujukan kepada Allah semata, maka ditetapkan pula bahwa
perundang-undangan dalam kehidupan umat manusia adalah hak Allah k
semata.
Dari satu sisi, hanya Allah Yang Maha Suci, yang
mengatur kehidupan umat manusia dengan kehendak dan takdir-Nya. Dan dari
sisi lain, Allah jualah yang berhak mengatur keadaan, kehidupan, hak,
kewajiban dan hubungan mereka, juga keterkaitan mereka dengan syari’at
dan ajaran-ajaran-Nya.
Berdasarkan kaidah ini, manusia tidak dibenarkan
untuk membuat undang-undang, syari’at, dan peraturan pemerintahan
menurut gagasan diri-sendiri. Karena perbuatan ini artinya menolak sifat
ulûhiyyah Allah dan mengklaim bahwa pada dirinya terdapat sifat-sifat
ulûhiyah. Dan sudah barang tentu ini adalah nyata-nyata perbuatan
kafir.”
(Al ‘Adâlah Al-Ijtimâ’iyah hlm. 80)
(Al ‘Adâlah Al-Ijtimâ’iyah hlm. 80)
Ketika menafsirkan ayat 19 surat al An’âm, Sayyid Quthub lebih ekstrim dengan mengatakan:
“Sungguh, sejarah telah terulang, sebagaimana yang
terjadi pada saat pertama kali agama Islam menyeru umat manusia kepada
“lâ ilâha illallâh”. Sungguh, saat ini umat manusia telah kembali
menyembah sesama manusia, mengalami penindasan dari para pemuka agama,
dan berpaling dari “lâ ilâha illallâh”. Walaupun sebagian dari mereka
masih tetap mengulang-ulang ucapan “lâ ilâha illallâh”, akan tetapi
tanpa memahami kandungannya. Ketika mereka mengulang-ulang syahadat itu,
mereka tidak memaksudkan kandungannya. Mereka tidak menentang
penyematan sebagian manusia sifat “al-hakimiyah” pada dirinya. Padahal
“al-hakimiyah” adalah sinonim dengan “al- ulûhiyah “.
Yang dimaksud
oleh Sayyid Quthub dalam pernyataan di atas, antara lain adalah para
muadzin yang selalu menyerukan kalimat syahadat. Anda bisa bayangkan, bila para muadzin di mata Sayyid Quthub demikian adanya, maka bagaimana halnya dengan selain mereka?
Bila demikian cara Sayyid Quthub memandang para
muadzin yang menjadi benteng terakhir bagi eksistensi agama Islam di
masyarakat, maka kira-kira bagaimana pandangannya terhadap diri Anda
yang bukan muadzin?
Kedudukan al-hakimiyyah – kewenangan
untuk meletakkan syari’at dalam Islam -, sebenarnya tidaklah seperti
yang digambarkan oleh Sayyid Quthub sampai menyamai kedudukan ulûhiyyah.
Al-Hakimiyah hanyalah bagian dari rubûbiyyah Allah Ta’ala. Karenanya,
setelah mengisahkan tentang penciptaan langit, bumi, serta pergantian
siang dan malam, Allah Ta’ala berfirman:
“Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak
Allah. Maha suci Allah, Rabb semesta alam. Berdoalah kepada Rabbmu
dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas”. (Qs al A’râf/7:54-55)
Pada ayat 54, Allah Ta’ala menegaskan bahwa mencipta
dan memerintah yang merupakan kesatuan dari rubûbiyah adalah hak Allah
Ta’ala. Pada ayat selanjutnya Allah memerintahkan agar kita
mengesakan-Nya dengan peribadatan yang diwujudkan dengan berdoa dengan
rendah diri dan suara yang halus. Dengan demikian, tidak tepat bila
al-hâkimiyah disejajarkan dengan ulûhiyah. Apalagi sampai dikesankan
bahwa al-hakimiyah di zaman sekarang lebih penting dibanding
al-ulûhiyah.
Ucapan Sayyid
Quthub semacam inilah yang mendasari para pengikutnya untuk lebih banyak
mengurusi kekuasaan dan para penguasa dibanding urusan dakwah menuju
tauhid dan upaya memerangi kesyirikan yang banyak terjadi di masyarakat.
Karenanya, di antara upaya Kerajaan Saudi Arabia dalam menanggulangi
ideologi sesat ini ialah dengan berupaya membersihkan pemikiran
masyarakatnya dari doktrin-doktrin Sayyid Quthub yang terlanjur meracuni
pemikiran sebagian mereka. Di antara terobosan yang menurut saya cukup
bagus dan layak ditiru ialah:
-
Menarik kitab-kitab yang mengajarkan ideologi ekstrim dari perpustakaan sekolah. Di antara kitab-kitab yang di tarik ialah kitab: Sayyid Quthub Al-Muftarâ ‘alaih dan kitab Al-Jihâd Fî Sabîlillâh.
-
Membentuk badan rehabitilasi yang beranggotakan para Ulama’ guna meluruskan pemahaman dan menetralisasi doktrin ekstrim yang terlanjur meracuni akal para pemuda. Terobosan kedua ini terbukti sangat efektif, dan berhasil menyadarkan ratusan pemuda yang telah teracuni oleh pemikiran ekstrim, sehingga mereka kembali menjadi anggota masyarakat yang sewajarnya.
Mengakhiri pemaparan ringkas ini, ada baiknya bila
saya mengetengahkan pernyataan Pangeran Sa’ûd al-Faisal, Menteri Luar
Negeri Kerajaan Saudi Arabia, pada pertemuan U.S.-Saudi Arabian Business
Council (USSABC) yang berlangsung di kota New York, pada tanggal 26
April 2004. Pangeran Sa’ûd berkata:
“Menanggapi tuduhan-tuduhan ini, sudah sepantasnya
bila Anda mencermati fenomena jaringan al-Qaedah bersama pemimpinnya Bin
Lâdin. Walaupun ia terlahir di Saudi Arabia, akan tetapi ia mendapatkan
ideologi dan pola pikirnya di Afganistan.
Semuanya berkat pengaruh dari kelompok sempalan gerakan Ikhwânul Muslimîn.
Saya yakin, hadirin semua telah mengenal gerakan ini.
Fakta ini membuktikan bahwa Saudi Arabia dan seluruh masjid-masjidnya
terbebas dari tuduhan sebagai sarang ideologi tersebut.
Dan kalaupun ada pihak yang tetap beranggapan bahwa
Saudi Arabia bertanggung jawab atas kesalahan yang telah terjadi, maka
sudah sepantasnya Amerika Serikat juga turut bertanggung jawab atas
kesalahan yang sama.
Dahulu kita bersama-sama mendukung perjuangan
mujahidin dalam membebaskan Afganistan dari penjajahan Uni Soviet. Dan
setelah Afganistan merdeka, kita membiarkan beberapa figur tetap bebas
berkeliaran, sehingga mereka dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak
jelas. Kita semua masih mengingat, bagaimana para mujahidin disambut
dengan penuh hormat di Gedung Putih. Bahkan tokoh fiktif Rambo
dikisahkan turut serta berjuang bersama-sama dengan para mujahidin.”
(Sumber situs resmi Kementerian Luar Negeri Kerajaan Saudi Arabia: http://www.mofa.gov.sa/Detail.asp?InNewsItemID=39825)
Semoga pemaparan singkat ini dapat sedikit membuka sudut pandang baru bagi kita dalam menyikapi berbagai ideologi, sikap dan pergerakan ekstrim yang berkembang di tengah masyarakat kita.
Semoga pemaparan singkat ini dapat sedikit membuka sudut pandang baru bagi kita dalam menyikapi berbagai ideologi, sikap dan pergerakan ekstrim yang berkembang di tengah masyarakat kita.
Oleh Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A