Oleh: Buletin Jum’at Al-Atsariyyah
Agama Islam yang dibawa oleh
Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah disempurnakan
oleh Allah -Subhanahu wa Ta’ala- sebagai rahmat bagi seluruh
hamba-Nya, sehingga agama ini tidak butuh tambahan, pengurangan dan otak-atik.
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ
لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan
telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”. (QS. Al-Ma`idah: 3)
Di antara rahmat Allah -Ta’ala- kepada
hamba hamba-Nya, disyari’atkannya “poligami” (seorang laki
laki memiliki lebih dari satu istri) berdasarkan dalil-dalil yang akan datang.
Namun berbicara masalah poligami akan
mengundang berbagai tanggapan. Ada yang menanggapinya secara posotif dan ini
datangnya dari ulama’ dan kaum beriman. Tetapi, ada pula yang menanggapinya
secara negatif, bahkan menentangnya dengan keras di antara segelintir orang
dari kalangan orang-orang munafiq, dan orang-orang yang jahil dari kaum wanita
dan laki-laki. Berbagai alasan dilontarkan intuk menolak poligami,
entah dengan alasan kecemburuan, emosi, atau tidak siap dimadu, bahkan dengan
alasan ketidakadilan.
Mungkin dengan dasar inilah,
ada seorang penulis wanita (kami tidak sebutkan namanya) berusaha menentang,
dan menzholimi “anugerah poligami” ini untuk membela
kaum wanita -menurut sangkaannya-, padahal sebenarnya ia menzholimi kaum
wanita. Maka dia pun menuangkan “pembelaannya” (baca: penzholimannya) tersebut
dalam bentuk tulisan yang dimuat oleh koran “Kompas”, edisi 11
Desember 2006, dengan judul, “Wabah itu Bernama Poligami”.
Sebuah judul yang memukau bagi orang-orang jahil, terlebih lagi orang-orang
munafiq. Namun hal itu SANGAT BERBAHAYA bagi keimanannya, dan MENGERIKAN bagi
kaum beriman. Betapa tidak, dia telah berani menyebut poligami sebagai “wabah”,
dan telah lancang berani menyebut syari’at yang Allah -Ta’ala- sendiri
yang menurunkan-Nya sebagai “wabah”. Dia telah menghina, menentang dan
mengingkari anugerah yang Allah berikan kepada hamba-Nya. Kalau wanita
ini menganggap poligami adalah wabah, berarti dia telah menganggap bahwa
Allah -Ta’ala-telah menurunkan wabah kepada para hamba-Nya,“Subhanallah
wa -Ta’ala- ‘an qaulihim uluwwan kabiran !!!” Maha Suci, dan Maha
Tinggi Allah atas apa yang mereka ucapkan.
Wanita untuk memuntahkan
kebenciannya, dan penolakannya kepada syari’at poligami, maka ia pun tidak
tanggung-tanggung membawakan hadits untuk menguatkan pendapatnya. Padahal
hadits itu tidaklah menguatkan dirinya sedikitpun, bahkan menolak dengan
kejahilannya: Wanita itu membawakan hadits, bahwa dilaporkan Nabi -Shollallahu
‘alaihi wasallam- marah ketika beliau mendengar putrinya Fatimah akan
di poligami suaminya, Ali bin Abi Thalib. Beliau bergegas menuju mesjid, naik
mimbar dan menyampaikan pidato, “Keluarga Bani Hasim bin Al-Mughiroh
telah meminta izinku untuk menikahkan putri mereka dengan Ali Bin Abi Thalib
saya tidak mengizinkan sama sekali kecuali Ali menceraikan putri Saya terlebih
dahulu”. Kemudian Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- melanjutkan, “Fatimah
adalah bagian dari-ku. Apa yang mengganggu dia adalah menggangguku dan apa yang
menyakiti dia adalah menyakitiku juga”. Akhirnya, Ali bin Abi Thalib
tetap monogami hingga Fatimah wafat.
Setelah membaca hadits
diatas, mungkin kita akan menganggukkan kepala dan membenarkan wanita tersebut.
Namun Saking “pandainya” wanita ini, ia lupa riwayat lain dalam Shohih Muslim
(2449), “Sesungguhnya aku tidak mengharamkan yang halal dan tidak
menghalalkan yang haram. Tapi, demi Allah, tidak akan berkumpul putri
Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dengan putri musuh Allah selamanya”. Artinya,
Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- tidak mengharamkan atas
umatnya sesuatu yang halal, yaitu poligami. Selain itu, Syaikh Al-Adawiy
dalam Fiqh Ta’addud Az-Zaujat (126) berkata, “Di
antara kekhususan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, putrinya tidak boleh
dimadu. Ini yang dikuatkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath Al-Bari (9/329)”.
Perlu diketahui bahwa para
sahabat sepeninggal Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, bahkan
Ali sendiri berpoligami setelah Fathimah wafat. Ali bin Rabi’ah berkata, “Dulu
Ali memiliki dua istri”. [HR. Ahmad dalam Fadho'il
Ash-Shohabah(no.889)]. Ini menunjukkan bahwa poligami tetap diamalkan
oleh para sahabat sepeninggal Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, bukan
bersifat kondisional !!
Lebih jauh lagi, Wanita itu
mengomentari ayat berikut,
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ
مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
“Dan jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga
atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian
itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. An-Nisa`: 3)
Wanita ini berkata, “Ayat
tersebut turun setelah perang Uhud, dimana banyak sahabat wafat di medan
perang. Ayat ini memungkinkan lelaki muslim mengawini janda, atau anak yatim,
jika dia yakin inilah cara melindungi kepentingan mereka, dan hartanya dengan
penuh keadilan. Jadi, ayat ini bersifat kondisional”.
Yang menjadi pembahasan kita
dalam perkataannya adalah bahwa ayat ini bersifat kondisional, padahal
seandainya ayat ini bersifat kondisional, justru ayat ini sangat memungkinkan
untuk diamalkan pada zaman sekarang, karena melihat perbandingan jumlah wanita
jauh lebih banyak dibandingkan jumlah laki-laki. Oleh karena itu, poligami di
saat sekarang ini mestinya lebih disemarakkan! Selain itu, para ulama membuat
kaedah, “Barometer dalam menafsirkan ayat dilihat pada keumuman
lafazhnya, bukan pada kekhususan sebab turunnya ayat tertentu”. Jadi,
dilihat cakupan dan keumuman ayat di atas dan lainnya, maka mencakup semua
lelaki yang memiliki kemampuan lahiriah.
Kemudian, dia pun
mengomentari firman Allah berikut -layaknya sebagai ahli tafsir, padahal ia
bukan termasuk darinya-,
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ
فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا
وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
“Dan kamu sekali-kali
tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri (mu), walaupun kamu
sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung
(kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. An-Nisa`: 129)
Wanita ini berkata dengan
congkak, “Ayat ini dapat disimpulkan, Islam pada dasarnya agama
monogami”. Pembaca -semoga dirahmati Allah- beginilah apabila menafsirkan
ayat dengan penafsiran sendiri, tanpa mau melihat bagaimana para ulama tafsir
ketika menafsirkan ayat-ayat Allah. Ayat ini justru menunjukan disyari’atkannya
poligami. Dengarkan para ahli tafsir ketika mereka menafsirkan ayat di atas (QS.
An-Nisa`: 129)
Ath-Thabariy -rahimahullah- berkata, “Kalian, wahai kaum lelaki, tak akan mampu menyamakan
istri-istrimu dalam hal cinta di dalam hatimu sampai kalian berbuat adil di
antara mereka dalam hal itu. Maka tidak di hati kalian rasa cinta kepada
sebagiannya, kecuali ada sesuatu yang sama dengan madunya, karena hal itu
kalian tidak mampu melakukannya, dan urusannya bukan kepada kalian”. [Lihat Jami'
Al-Bayan (9/284)]
Syaikh Muhammad bin Nashir
As-Sa’diy-rahimahullah- dalam menafsirkan ayat di atas (QS. An-Nisa`: 129), “Allah
-Ta’ala- mengabarkan bahwa suami tidak akan mampu. Bukanlah kesanggupan mereka
berbuat adil secara sempurna di antara para istri, sebab keadilan mengharuskan
adanya kecintaan, motivasi, dan kecenderungan yang sama dalam hati kepada para
istri, kemudian demikian pula melakukan konsekuensi hal tersebut. Ini adalah
perkara yang susah dan tidak mungkin. Oleh karena itu, Allah -Ta’ala- memaafkan
perkara yang tidak sangup untuk dilakukan. Kemudian, Allah -Ta’ala- melarang
sesuatu yang mungkin terjadi (yaitu, terlalu condong kepada istri yang lain,
tanpa menunaikan hak-hak mereka yang wajib-pent),
فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ
“Karena itu janganlah
kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan
yang lain terkatung-katung”. (QS.
An-Nisa`: 129)
Maksudnya, janganlah
engkau terlalu condong (kepada istri yang lain) sehingga engkau tidak
menunaikan hak-haknya yang wajib, bahkan kerjakanlah sesuatu yang berada pada
batas kemampauan kalian berupa keadilan. Maka memberi nafkah, pakaian,
pembagian dan semisalnya, wajib bagi kalian untuk berbuat adil di antara
istri-istri dalam hal tersebut, lain halnya dengan masalah kecintaan, jimak
(bersetubuh), dan semisalnya, karena seorang istri, apabila suaminya meninggalkan
sesuatu yang wajib (diberikan) kepada sang istri, maka jadilah sang istri dalam
kondisi terkatung-katung bagaikan wanita yang tidak memiliki suami, lantaran
itu sang istri bisa luwes dan bersiap untuk menikah lagi serta tidak lagi
memiliki suami yang menunaikan hak-haknya”. [Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman (hal.
207)]
Lebih gamblang, seorang
mufassir ulung, Syaikh Asy-Syinqithiy -rahimahullah- berkata
dalam Adhwa’ Al-Bayan (1/375) ketika menafsirkan ayat
di atas, “Keadilan ini yang disebutkan oleh Allah disini bahwa ia tak
mampu dilakukan adalah keadilan dalan cinta, dan kecenderungan secara
tabi’at, karena hal itu bukan di bawah kemampaun manusia. Lain halnya
dengan keadilan dalam hak-hak yang syar’iy, maka sesuangguhnya itu
mampu dilakukan”.
Jadi, dari komentar para ahli
tafsir tadi, tidak ada di antara mereka yang berdalil dengan ayat itu untuk
menolak poligami. Lantas kenapa wanita ini tak mau menoleh ucapan para ulama’
tafsir? Jawabnya, karena tafsiran mereka tidak tunduk kepada hawa nafsu wanita
ini.
Adapun dalil dalil yang
menunjukan disyariatkannya poligami antara lain, maka telah berlalu dalam (QS.
An-Nisa`: 3).
Di antara dalil poligami,
Seorang tabi’in, Sa’id bin Jubair, “Ibnu Abbbas berkata kepadaku: “Apakah
engkau telah menikah ?” Aku menjawab ” Belum”. Ibnu
Abbas berkata, “Maka menikahlah, karena sebaik baik manusia pada umat
ini adalah orang yang paling banyak istrinya”. [HR.
Al-Bukhariydalam Shohih-nya).
Satu lagi dalil poligami
-namun sebenarnya masih banyak-, Anas bin Malik -radhiyallahu ‘anhu- berkata, "Termasuk
sunnah jika seorang laki laki menikahi perawan setelah istri sebelumnya janda
maka sang suami pun tinggal di rumah istri yang perawan ini selama tujuh hari
maka sang suami tinggal dirumah istri yang janda selama tiga hari kemudian dia
bagi". [HR Bukhariy dalam Ash-Shohih]
Seorang ulama’ Syafi’iyyah,
Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- dalam Fatul
Bari(9/10) berkata, “Dalam hadits ini, ada anjuran untuk
menikah dan meninggalkan hidup membujang”.
Setelah kita mengetahui
dalil-dalil yang menunjukan disyari’atkannya seorang muslim, laki-laki maupun
wanita melakukan poligami. Jadi, kami nasihatkan kepada diri kami dan para
suami dan calon suami untuk menikah hingga empat orang istri, jika dia
sanggup untuk berbuat adil dalam perkara lahirah, seperti, pembagian malam,
dan nafkah. Adapun adil dalam perkara batin (seperti, cinta, kesenangan jimak,
perasaan bahagia bersama dengan salah satu diantara mereka), maka ini bukan
merupakan syarat berdasarkan hadits-hadits dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa
sallam- sebagaimana yang diterangkan oleh para ulama.
Terakhir, Kami nasihatkan
kepada para wanita agar bersiap untuk dimadu dan berlapang dada untuk menerima
anugerah poligami ini, serta tidak menentang syari’at poligami, karena ini
adalah kekufuran. Samahatusy Syaikh Abdul Azizi bin Baz-rahimahullah-berkata, “Barangsiapa
yang membenci sedikitpun dari sesuatu yang dibawa Rasulullah
-Shollallahu ‘alaihi wasallam-, meskipun dia mengamalkannya, maka sungguh dia
telah kafir. Allah -Ta’ala- berfirman,
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ
“Yang demikian itu adalah
karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al Qur’an)
lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka”. (QS. Muhammad: 9) [Lihat Nawaqid
Al-Islam]
Sumber: Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 07 Tahun I.
Penerbit: Pustaka Ibnu Abbas. Alamat: Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto
Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP: 08124173512
(a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab: Ust. Abu Fa’izah
Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi: Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa.
Editor/Pengasuh: Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout: Abu
Muhammad Mulyadi.