Oleh
Ustadz Abu Nida` Chomsaha Sofwan
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَلَئِن
سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ قُلْ
أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ لَا
تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman… [At Taubah : 65-66].
Diriwayatkan
dari lbnu Umar, Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam dan Qatadah secara
ringkas. Ketika dalam peristiwa perang Tabuk ada orang-orang yang
berkata “Belum
pernah kami melihat seperti para ahli baca Al Qur`an ini, orang yang
lebih buncit perutnya, lebih dusta lisannya dan lebih pengecut dalam
peperangan”. Maksudnya, menunjuk kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat yang ahli baca Al Qur`an. Maka berkatalah Auf bin Malik kepadanya: “Omong
kosong yang kamu katakan. Bahkan kamu adalah munafik. Niscaya akan aku
beritahukan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”. Lalu
pergilah Auf kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
memberitahukan hal tersebut kepada Beliau. Tetapi sebelum ia sampai,
telah turun wahyu Allah kepada Beliau. Ketika orang itu datang kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau telah beranjak dari
tempatnya dan menaiki untanya. Maka berkatalah dia kepada Rasulullah: “Ya
Rasulullah! Sebenarnya kami hanya bersenda-garau dan mengobrol
sebagaimana obrolan orang-orang yang bepergian jauh untuk pengisi waktu
saja dalam perjalanan kami”. Ibnu
Umar berkata,”Sepertinya aku melihat dia berpegangan pada sabuk pelana
unta Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sedangkan kedua kakinya
tersandung-sandung batu sambil berkata: “Sebenarnya kami hanya bersenda-gurau dan bermain-main saja”. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: “Apakah terhadap Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?”
HUBUNGAN PEMBAHASAN INI DENGAN TAUHID
Hakikat
tauhid adalah penyerahan diri, taat, menerima dan mengagungkan Allah
Azza wa Jalla. Sedangkan bersenda gurau dan mengolok-olok Allah, Al
Qur`an dan RasulNya merupakan penentangan, karena tidak menunjukkan pengagungan.
Tauhid
berarti kesepakatan, sedangkan mengolok-olok bermakna sebalinya. Oleh
karena itu, sebagian ahli ilmu berkata, bahwa orang kafir terbagi
menjadi dua.
Pertama :Mu’ridhun (yang berpaling), sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ الْحَقَّ ۖ فَهُم مُّعْرِضُونَ
Sebenarnya kebanyakan mereka tidak mengetahui yang hak, karena itu mereka berpaling. [Al Anbiya` : 24].
Kedua : Mu’aaridhun (yang menentang atau membantah).
Yaitu mereka yang selalu melakukan penentangan dengan berbagai cara
untuk memadamkan cahaya Allah. Salah satu bentuk penentangan itu ialah
dengan mengolok-olok atau hal-hal serupa lainnya.
Mengolok-olok Allah, Rasul atau Al Qur`an, tidak mungkin keluar dari
hati orang yang bertauhid, tetapi keluar menjadi kebiasaan orang-orang
munafik atau orang kafir musyrik.
Menurut
pendapat yang benar, sebagaimana dikatakan Syaikh Shalih Abdul Aziz Bin
Muhammad Bin Ibrohim Alu Syaikh dalam kitab At Tamhid Li Syarh Kitab At
Tauhid Alladzi Huwa Haqqullah ‘Alal Ibad, beliau mengatakan, yang
dimaksud oleh surat At Taubah di atas ialah orang munafik. Karena ahli
tauhid tidak mungkin melakukan senda gurau dengan berolok-olok. Jika
dia melakukan olok-olok, maka dapat diketahui, sesungguhnya dia tidak
mengagungkan Allah, dan tidak bertauhid, karena mengolok-olok
meniadakan pengagungan.
Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan, Allah telah memberi kabar, bahwa mereka telah kafir setelah beriman padahal mereka berkata “sesungguhnya kami berbicara kekafiran tanpa ada keyakinan, kami hanya bersenda gurau dan bermain~main saja”.
Allah telah menerangkan, menghina ayat-ayatNya adalah kufur. Perkataan
ini, tidak akan terucap kecuali dengan hati lapang mengucapkannya.
Karena, kalau di dalam hatinya ada keimanan, tentu seseorang tidak akan
mengucapkan perkataan yang mengandung olok-olok tersebut.
HUKUM MENGOLOK-OLOK ALLAH, AL QUR’AN DAN RASUL
Barangsiapa yang mencela Allah Azza wa Jalla atau bersenda gurau ketika
menyebut namaNya dan tidak menampakkan penghormatan, atau bersenda
gurau dengan mengolok-olok Al Qur`an atau Sunnah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka dia menjadi kafir, kufur besar, yang berarti keluar dari agama Islam.
Dia menjadi kafir jika mengolok-olok tiga hal tersebut, atau
olok-olokannya tertuju kepada tiga hal tersebut. Inilah yang dimaksud
dalam bab ini.
Berbeda halnya jika mengolok-olok agama. Mengolok-olok agama terdapat perincian. Jika
bersenda gurau dengan agama, maka perlu dilihat yang dimaksudkannya
asal agamanya ataukah amaliah agama orang yang diolok-oloknya.
Contoh,
jika ada seseorang yang mengolok-olok penampilan seorang muslim,
padahal penampilan muslim itu berarti mengamalkan Sunnah, apakah dalam
hal ini ia telah melakukan olok-olok yang mengeluarkannya dari agama
Islam? Jawabnya, tidak. Karena, olok-oloknya ditujukan kepada praktek keagamaan, bukan kepada asal agama.
Dalam hal ini, maka perlu dijelaskan kepadanya,
bahwa yang dia olok-olok adalah Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Jika ia telah mengetahui tentang hal itu, kemudian masih juga
mengolok-olok, mencela orang yang mengamalkan Sunnah, padahal
ia sudah mengetahui dan meyakininya, maka perbuatannya tersebut
tergolong mengolok-olok Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang
tentunya mengeluarkannya dari agama.
Demikian pula jika mengolok-olok dengan kalimat yang kembalinya kepada Al Qur`an atau selain Al Qur`an, juga terdapat perincian.
Singkat kata, jika mengolok-olok Allah, sifat-sifatNya atau
nama-namaNya atau mengolok-olok Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam atau Al Qur`an, maka hal itu merupakan kekufuran. Jika
olok-oloknya bukan kepada tiga hal tersebut, maka
dilihat, jika kembali kepada salah satu dari tiga hal itu, maka hal itu
adalah kufur besar. Jika tidak, berarti dia telah melakukan perbuatan
yang haram, tidak termasuk kufur besar. [1]
TAUBAT ORANG YANG MENGOLOK-OLOK
Ayat
65-66 Surat At Taubah di atas merupakan nash, bahwa mengolok-olok
Allah, Rasul dan ayat-ayatNya -maksudnya syariat Allah- adalah kafir; tidak diterima udzurnya; meski berkilah hanya bergurau dan bermain-main. Karena mengagungkan Allah dan mentauhidkanNya, mengharuskan seseorang untuk tidak mempermainkan dan mengolok-olokNya.
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin menyebutkan faidah dari dua ayat surat
At Taubah tersebut. Di antaranya, taubat orang yang mengolok-olok Allah
diterima, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
إِن نَّعْفُ عَن طَائِفَةٍ مِّنكُمْ
Jika Kami mema’afkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat)… [At Taubah : 66]
Dan
ini terjadi. Di antara orang-orang yang dimaksudkan oleh ayat itu ada
yang dimaafkan oleh Allah dan diberi hidayah kepada Islam. Bertaubat
dan Allah menerima taubatnya. Ini merupakan dalil yang kuat, bahwa
orang yang mengolok-olok Allah diterima taubatnya. Akan tetapi harus
disertai dengan bukti yang nyata atas ketulusan taubatnya, karena kufur akibat mengolok-olok adalah kekufuran yang sangat berat, tidak sebagaimana kufurnya orang yang berpaling (dari Allah) atau menolak (apa yang datang dari Allah). [2]
Dalam menafsirkan ayat di atas, Ikrimah berkata: “Ada orang yang termasuk -insya Allah- diampuni berkata, ‘Ya Allah sesungguhnya aku mendengar suatu ayat yang dimaksud dalam ayat itu adalah aku. Sebuah
ayat yang membuat kulit merinding dan hati menjadi takut. Ya Allah,
jadikanlah kematianku terbunuh di jalanMu, sehingga tidak ada seseorang
yang berkata bahwa aku telah memandikannya, aku mengafaninya, atau aku
menguburkannya’. Maka ia terbunuh pada perang Yamamah, dan tidak
seorangpun dari kaum Muslimin menemukan jasadnya”.
Demikian halnya taubat dari mencela rasul. Diterima taubatnya, tetapi wajib dieksekusi (hukum bunuh) setelahnya [3].
Berbeda dengan mencela Allah yang diterima taubatnya tanpa eksekusi.
Hal ini bukan karena hak Allah lebih rendah dari Rasul Shallallahu
‘alaihi wa sallam, tetapi karena Allah mengabarkan berkenaan dengan
hakNya, bahwa Dia mengampuni semua dosa. Sedangkan mencela Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkaitan dengan dua hal.
Pertama : Merupakan perkara syar’i. Kaitannya Muhammad sebagai Rasulullah Shallallahu ‘laihi wa sallam. Dari sisi ini jika bertaubat, ia diterima taubatnya.
Kedua : Perkara pribadi. Ini berkaitan, bahwa Muhammad sebagai utusan. Dari sisi ini, wajib mengeksekusinya karena berkenaan dengan hak Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Setelah
bertaubat, dilaksanakanlah hukuman mati, dan orang mengolok-olok
tersebut tetap seorang sebagai muslim; dia dimandikan, dikafankan dan
dishalatkan. Jasadnya ditanam di pekuburan muslimin. Inilah pendapat
yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau telah menulis
tentang hal ini dalam bukunya Sharim Al Maslul Fi Hukmi Qotli Sabbi
Rasul atau Ash Sharim Al Maslul ‘Ala Syatmi Ar Rasul.[4]
Al
Qur`an telah menerangkan, iman di dalam hati mengharuskan adanya
perbuatan zhahir yang sesuai dengannya, sebagaimana firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
وَيَقُولُونَ
آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالرَّسُولِ وَأَطَعْنَا ثُمَّ يَتَوَلَّىٰ فَرِيقٌ
مِّنْهُم مِّن بَعْدِ ذَٰلِكَ ۚ وَمَا أُولَٰئِكَ بِالْمُؤْمِنِينَ
وَيَقُولُونَ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالرَّسُولِ وَأَطَعْنَا ثُمَّ
يَتَوَلَّىٰ فَرِيقٌ مِّنْهُم مِّن بَعْدِ ذَٰلِكَ ۚ وَمَا أُولَٰئِكَ
بِالْمُؤْمِنِينَ وَإِن يَكُن لَّهُمُ الْحَقُّ يَأْتُوا إِلَيْهِ
مُذْعِنِينَ أَفِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ أَمِ ارْتَابُوا أَمْ يَخَافُونَ
أَن يَحِيفَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَرَسُولُهُ ۚ بَلْ أُولَٰئِكَ هُمُ
الظَّالِمُونَ إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى
اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا سَمِعْنَا
وَأَطَعْنَا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan mereka berkata: “Kami telah beriman kepada Allah dan Rasul, dan kamipun taat”. Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu.
Mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman. Dan apabila mereka
dipanggil kepada Allah dan RasulNya, agar Rasul mengadili di antara
mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang.
Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, (maka) mereka
datang kepada Rasul dengan patuh. Apakah (ketidakdatangan mereka itu
karena) dalam hati mereka ada penyakit; atau (karena) mereka ragu-ragu,
atau (karena) takut kalau-kalau Allah dan RasulNya berlaku zhalim
kepada mereka? Sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang zhalim.
Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada
Allah dan RasulNya agar Rasul mengadili di antara mereka ialah ucapan “Kami mendengar dan kami patuh”. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. [An Nur : 47-51].
Di sini iman dinafikan dari orang yang berpaling dari ketaatan kepada Rasul,
dan Allah memberi kabar bahwa orang-orang mukmin jika diseru kepada
Allah dan Rasul-Nya supaya Rasul memutuskan perkara di antara mereka,
mereka mendengar dan menaatinya. Dengan demikian. Allah menerangkan bahwa ini termasuk kewajiban iman.
Maka dari itu, hendaklah kita menjaga lisan. Sesungguhnya ia merupakan salah satu anggota tubuh yang paling berbahaya dan kebanyakan orang meremehkanya. Hindari perkataan tidak bermanfaat bagi diri, khususnya berkaitan dengan
agama, ilmu, wali Allah, para ulama, sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam atau tabi’in. Karena bisa jadi akan membesarkan fitnah yang
terjadi. Hendaklah kita senantiasa merasa khawatir tehadap diri kita,
seperti halnya para salaf yang senantiasa khawatir terhadap diri
mereka, sebagaimana yang dikhabarkan oleh Ibnu Abi Mulaikah, katanya: “Aku
telah menemui tiga puluh orang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, semuanya takut kalau kemunafikan menimpa diri mereka”. Allahu musta’an.
Kesimpulan :
1. Orang yang dengan sengaja bersenda-gurau dengan memperolok-olok nama Allah, ayat-ayatNya atau Rasulullah, adalah kafir.
2. Sama saja apakah yang mengolok-olok itu orang munafik atau bukan, dia menajadi kafir karena perbuatan itu.
3. Terdapat perbedaan antara perbuatan menghasut dan setia kepada
Allah dan RasulNya dalam masalah ini. Bahwa melaporkan perbuatan
orang-orang fasik kepada waliyul amr untuk mencegah mereka, tidak termasuk perbuatan menghasut, tetapi termasuk kesetiaan kepada Allah, RasulNya, pemimpin umat Islam dam kaum Muslimin seluruhnya.
4. Perbedaan antara sikap memaafkan yang dicintai Allah dengan sikap keras terhadap musuh-musuh Allah.
5. Tidak semua permintaan maaf mesti diterima, ada juga permintaan maaf yang harus ditolak.
Maraji`:
1. Fathul Majid Syarah Kitabut Tauhid, Syaikh Abdurrahman Bin Hasan Alu Syaikh.
2. Al Qaulul Mufid ‘Ala Kitab At Tauhid, syarah Muhammad Bin Shalih Al ‘Utsaimin.
3. At Tamhid Li Syarh Kitab At Tauhid Aladzi Huwa Haqqullah ‘Alal ‘Ibad, Shalih Abdul Aziz Bin Muhammad Bin Ibrahim Alu Syaikh.
1. Fathul Majid Syarah Kitabut Tauhid, Syaikh Abdurrahman Bin Hasan Alu Syaikh.
2. Al Qaulul Mufid ‘Ala Kitab At Tauhid, syarah Muhammad Bin Shalih Al ‘Utsaimin.
3. At Tamhid Li Syarh Kitab At Tauhid Aladzi Huwa Haqqullah ‘Alal ‘Ibad, Shalih Abdul Aziz Bin Muhammad Bin Ibrahim Alu Syaikh.
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun IX/1426H/2005M Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
________
Footnote
[1]. At Tamhid Li Syarh Kitab At Tauhid Aladzi Huwa Haqqullah ‘Alal ‘Ibad, Shalih Abdul Aziz Bin Muhammad Bin Ibrahim Alu Syaikh, hlm. 482-483.
[2]. Lihat Qaulul Mufid Syarhu Kitabu At Tauhid, hlm. 852 dalam kumpulan Majmu Fatawa Wa Ar Rasail Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, jilid X.
[3]. Hukuman ini dilakukan dalam Khilafah Islamiah oleh penguasa.
[4]. Lihat Qaulul Mufid Syarhu Kitabu At Tauhid, hlm. 852-853 dalam kumpulan Majmu Fatawa Wa Ar Rasail Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, jilid X.
________
Footnote
[1]. At Tamhid Li Syarh Kitab At Tauhid Aladzi Huwa Haqqullah ‘Alal ‘Ibad, Shalih Abdul Aziz Bin Muhammad Bin Ibrahim Alu Syaikh, hlm. 482-483.
[2]. Lihat Qaulul Mufid Syarhu Kitabu At Tauhid, hlm. 852 dalam kumpulan Majmu Fatawa Wa Ar Rasail Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, jilid X.
[3]. Hukuman ini dilakukan dalam Khilafah Islamiah oleh penguasa.
[4]. Lihat Qaulul Mufid Syarhu Kitabu At Tauhid, hlm. 852-853 dalam kumpulan Majmu Fatawa Wa Ar Rasail Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, jilid X.
Sumber: https://almanhaj.or.id/2566-bersenda-gurau-dengan-menyebut-nama-allah-al-quran-dan-rasul.html