Al-Hafidh Ibnul-Jauzi rahimahullah berkata :
قال
أبوالوفا على بن عقيل الفقيه : قال شيخنا أبو الفضل الهمداني : مبتدعة
الاسلام والواضعون للاحاديث أشد من الملحدين لان الملحدين قصدوا إفساد
الدين من خارج ، وهؤلاء قصدوا إفساده من داخل ، فهم كأهل بلد سعوا في
إفساد أحواله ، والملحدون كالحاضرين من خارج ، فالدخلاء يفتحون الحصن فهو
شر على الاسلام من غير الملابسين لاه
Telah
berkata Abul-Wafaa ’Ali bin ’Uqail Al-Faqiih : Telah
berkata Syaikh kami Abul-Fadhl Al-Hamdani : ”Pelaku bid’ah (mubtadi’) dalam Islam dan para pemalsu hadits lebih berbahaya dibandingkan para mulhidiin (orang-orang atheis). Hal itu dikarenakan paramulhidiin menghendaki
kerusakan agama dari luar; adapun mereka (para mubtadi’ dan
pemalsu hadits) menghendaki kerusakan agama dari dalam. Mereka ini
seperti penduduk suatu negeri yang hendak merusak keadaan negeri tempat
tinggalnya itu sendiri. Para mulhiduun itu
seperti orang-orang yang datang dari luar, sementara orang-orang yang
berada di dalam (dari kalangan mubtadi dan pemalsu hadits) membukakan
pintu benteng (sehingga orang-orang yang datang dari luar dapat dengan
mudah masuk ke dalam benteng). Mereka itu adalah sejelek-jelek orang
(yang berbuat kerusakan) terhadap Islam, disamping orang-orang yang
membuat talbis (kerancuan) dalam agama” [selesai – dikutip dari Al-Maudlu’aat oleh Ibnul-Jauzi juz 1 halaman 51].
Telah berkata Al-Hafidh Ibnu Rajab :
اعلم أن ذِكر الإنسان بما يكره محرم إذا كان المقصود منه مجرد الذمِّ والعيب والنقص .
فأما إن كان فيه مصلحة لعامة المسلمين خاصة لبعضهم وكان المقصود منه تحصيل
تلك المصلحة فليس بمحرم بل مندوب إليه .
وقد قرر علماء الحديث هذا في كتبهم في الجرح والتعديل وذكروا الفرق بين
جرح الرواة وبين الغيبة وردُّوا على من سوَّى بينهما من المتعبدين وغيرهم
ممن لا يتسع علمه . ولا فرق بين الطعن في رواة حفَّاظ الحديث ولا التمييز
بين من تقبل روايته منهم ومن لا تقبل ، وبين تبيين خطأ من أخطأ في فهم
معاني الكتاب والسنة وتأوَّلَ شيئاً منها على غير تأويله وتمسك بما لا
يتمسك به ليُحذِّر من الاقتداء به فيما أخطأ فيه ، وقد أجمع العلماء على
جواز ذلك أيضاً .
..............................................
وأما
إذا كان مرادُ الرادِّ بذلك إظهارَ عيب من ردَّ عليه وتنقصَه وتبيينَ جهله
وقصوره في العلم ونحو ذلك كان محرماً سواء كان ردُّه لذلك في وجه من ردِّ
عليه أو في غيبته وسواء كان في حياته أو بعد موته وهذا داخل فيما ذمَّه
الله تعالى في كتابه وتوعد عليه في الهمز واللمز وداخل أيضاً في قول النبي
صلى الله عليه وسلم : "يا
معشر من آمن بلسانه ولم يؤمن بقلبه لا تؤذوا المسلمين ولا تتبعوا عوراتهم
فإنه من يتبع عوراتهم يتبع الله عورته ومن يتبع الله عورته يفضحه ولو في
جوف بيته " .
وهذا كله في حق العلماء المقتدى بهم في الدين فأما أهل البدع والضلالة ومن
تشبه بالعلماء وليس منهم فيجوز بيان جهلهم وإظهار عيوبهم تحذيراً من
الاقتداء بهم . وليس كلامنا الآن في هذا القبيل والله أعلم .
”Ketahuilah,
bahwa menyebutkan sesuatu yang tidak disukai dari diri seseorang
merupakan perkara yang diharamkan apabila tujuannya sekedar mencela,
membuka aib, dan mengurangi kehormatannya. Namun
apabila di dalamnya terdapat maslahat bagi kaum muslimin secara umum,
atau sebagian mereka secara khusus, maka perbuatan ini tidak
diharamkan, bahkan dianjurkan. Para ulama hadits telah menetapkan hal
tersebut dalam kitab-kitab Al-Jarh wat-Ta’dil, perbedaan antara men-jarh perawi
dan mengghibahnya. Mereka membantah orang-orang ahli ibadah dan dan
yang lainnya dari kalangan orang yang sedikit ilmunya, yang hendak
menyamakan antara jarh danghibah;
dengan tidak membedakan antara celaan terhadap perawi lafadh-lafadh
hadits (dengan ghibah yang diharamkan) sehingga tidak ada pemilahan
antara riwayat yang diterima dan yang tidak diterima. (Para ulama juga
membantah orang-orang yang) tidak membedakan (ghibah yang
diharamkan) dengan menerangkan kesalahan orang yang telah terjatuh
dalam penyimpangan dalam memahami makna-makna Al-Qur’an dan
As-Sunnah, yang menakwilkannya dengan penakwilan yang keliru, dan yang
berpegang erat dengan sesuatu yang salah/keliru. Hal itu bermanfaat
untuk memperingatkan manusia agar tidak mengikuti orang-orang
yang telah terjatuh dalam kesalahan tersebut. Para ulama telah sepakat (ijma’) atas kebolehan hal tersebut”
...........................................
Adapun
jika maksud dari bantahan tersebut adalah untuk menampakkan kejelekan
(pribadi) orang yang dibantah, mengurangi (kehormatannya), menjelaskan
kejahilannya dan kedangkalan ilmunya atau yang sejenis dengannya
(padahal ia adalah seorang ulama Ahlus-Sunnah), maka hal itu
diharamkan. Sama saja (keharamannya) apakah bantahan tersebut dilakukan
di hadapannya atau di belakangnya, baik semasa hidupnya atau setelah
matinya. Perbuatan ini termasuk sesuatu yang dicela oleh Allah ta’aladalam
Kitab-Nya, diancam pelakunya, dan dia berhak mendapat celaan dan
cercaan. (Perbuatan ini) juga termasuk hal yang dicela sebagaimana
sabda Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam : ”Wahai
orang-orang yang telah beriman dengan lisannya namun tidak dengan
hatinya, janganlah kalian menyakiti kaum muslimin dan mengikuti aurat
mereka. Sesungguhnya barangsiapa yang mengikuti aurat mereka, maka
Allah akan mengikuti auratnya. Dan barangsiapa yang Allah ikuti
auratnya, niscaya Allah akan ungkap (aib-aibnya) walaupun ia berada di
dalam tengah rumahnya”.[1] Hal
ini, semuanya merupakan hak para ulama yang menjadi panutan dalam agama
(maksudnya, penjelasan di atas hanya ditujukan bagi para ulama
Ahlus-Sunnah dimana mereka tidak boleh direndahkan sehingga umat
membenci mereka – Abu Al-Jauzaa’). Adapun ahli bid’ah
dan kesesatan, serta orang-orang berkedok ulama padahal bukan, maka bolehmenjelaskan
kejahilan mereka dan menampakkan jati diri mereka sebagai peringatan
agar (umat tidak) mengikuti mereka. Dan pembicaraan kami sekarang
tidaklah berkisar dalam masalah ini. Wallaahu a’lam [selesai – dikutip dari kitab Al-Farqu Bainan-Nashiihah wat-Ta’yir oleh Ibnu Rajab Al-Hanbaly hal. 1-4; Maktabah Al-Misykah].
Mari kita tengok perkataan Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah ketika menyebut Ma’bad Al-Juhani :
لا تجالسوا معبدا فإنه ضال مضل
”Janganlah kalian berteman dengan Ma’bad, karena sesungguhnya dia adalah seorang yang sesat dan menyesatkan” [Tahdzibul-Kamal oleh Al-Hafidh Al-Mizzi dalam biografi Ma’bad bin Khalid Al-Juhani Al-Bashri dan ’Abdul-’Aziz bin Mihran].
Ini adalah jenis perkataan jarh (celaan). Celaan Al-Hasan karena kesesatan pemahaman dan ’aqidah Ma’bad.
Masih banyak contoh lainnya.
Satu contoh saya bawakan dari perkataan ulama kontemporer, Asy-Syaikh Shaalih Al-Luhaidaan hafihahullah. Ada pertanyaan yang disampaikan kepada beliau :
هل من منهج أهل السنة والجماعة في التحذير من أهل البدع والضلال ذكر محاسن المبتدعة والثناء عليهم وتمجيدهم بدعوى الإنصاف والعدل ؟
”Apakah termasuk manhaj Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dalam men-tahdzir Ahlul-Bida’ dan pelaku kesesatan untuk menyebutkan kebaikan-kebaikannya dan memujinya serta menyanjungnya dengan alasan inshaf dan ’adil ?
Maka beliau (Asy-Syaikh Shaalih Al-Luhaidan) menjawab begini :
وهل كانت قريش في الجاهلية وأئمة الشرك ، لا حسنة لأحدهم ؟!
هل جاء في القرآن ذكر حسنة من حسناتهم ؟!
هل جاء في السنة ذكر مكرمة من مكارمهم ؟!
وكانوا يكرمون الضيف ، كان العرب في الجاهلية يكرمون الضيف ، ويحفظون الجار ومع ذلك لم تذكر فضائل من عصى الله جل وعلا .
ليست المسألة مسألة تعداد المحاسن والمساوئ ، وإنما مسألة تحذير من خطر.
وإذا أراد الإنسان أن ينظر ، فلينظر إلى أقوال الأئمة كأحمد بن حنبل ويحيى بن معين وعلي بن المديني وشعبة .
هل كان أحدهم إذا سئل عن شخص مجروح وقال : كذاب . هل قال: ولكنه كريم الأخلاق ، جواداً في بذل المال ، كثير التهجد في الليل ؟!
وإذا
قالوا مختلط . إذا قالوا : أخذته الغفلة . هل كانوا يقولون : ولكن فيه .
. ولكن فيه . . ولكن فيه ؟!! لا . . لماذا يطلب من الناس في
هذا الزمن، إذا حذر من شخص أن يقال : ولكنه كان فيه . .وكان فيه . . وكان
فيه؟!!
هذه دعايات من يجهل قواعد الجرح والتعديل ، ويجهل أسباب تحقيق المصلحة ، والتنفير من ضياعها .اهـ
”Apakah
orang-orang Quraisy dan pimpinan kesyirikan dijaman dahulu tidak
memiliki kebaikan ? Adakah dalam Al-Qur’an menyebutkan tentang
kebaikan di antara kebaikan-kebaikan yang mereka miliki ?
Apakah ada di dalam As-Sunnah menyebutkan tentang kemuliaan di antara kemulian-kemuliaan yang mereka miliki ?
Padahal
mereka adalah kaum yang memuliakan tamu. Bangsa Arab Jahiliyyah dahulu
adalah bangsa yang memuliakan tamu, menjaga hak tetangga, dan perbuatan
baik lainnya. Bersamaan dengan itu, tidaklah disebutkan
keutamaan-keutamaan orang yang bermaksiat kepada Allah jalla wa ’alaa.
Sebenarnya
permasalahannya adalah bukan karena banyaknya kebaikan atau kejelekan,
tetapi permasalahannya adalah memperingatkan dari hal-hal yang
berbahaya.
Apabila
seseorang mau memperhatikan, maka perhatikanlah perkataan-perkataan
para imam seperti Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’iin, ’Ali
bin Al-Madiiniy, dan Syub’ahrahimahumullah. Apakah salah seorang di antara mereka apabila ditanya tentangseorang yang di-jarh dan
(mereka) menjawab : ”Pendusta”. Apakah salah seorang di
antara mereka bersamaan dengan itu berkata : ”Akan tetapi ia
adalah seorang yang berakhlaq baik, dermawan, dan banyak shalat
tahajjud di malam hari ?”.
Apabila mereka mengatakan : ”Mukhtalith (bercampur
hafalannya)”, atau berkata : ”Telah dikuasai
kelupaannya”; adakah mereka mereka berkata : ”Akan tetapi
mereka.....akan tetapi mereka.... akan tetapi mereka..... (yaitu dengan
menyebutkan kebaikannya –Abu Al-Jauzaa’)
?!! Tidak..... Lalu mengapa manusia di jaman sekarang menuntut jika
mentahdzir seseorang hendaknya mengatakan juga : ”Akan tetapi ia
juga mempunyai .... akan tetapi mereka.... akan tetapi mereka.....
Ini adalah slogan dari orang-orang yang jahil atas kaidah-kaidah Al-Jarh wat-Ta’dil, dan jahil terhadap sebab-sebab terwujudnya maslahah, dan menghindari ketersia-siaannya”
[selesai – diambil dari muhadlarah beliau di kota Riyadl yang berjudul : Salaamatul-Manhaj Daliilul-Falaah].[2]
Dan yang lainnya.....
Tidak dipungkiri bahwa Al-Jarh wat-Ta’diil adalah
sesuatu keniscayaan dalam menjaga agama. Lantas, bagaimana ia hanya
dikhususkan dalam bidang hadits saja ? Adapun perkataan sebagian fudlalaa’ seperti Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan, Asy-Syaikh Al-Luhaidaan, dan Asy-Syaikh Al-’Abbaad bahwa al-jarh wat-ta’diil telah
habis masanya, tidak diterapkan selain kepada perawi hadits; maka itu
harus dilihat konteksnya. Dan mereka mengatakan hal tersebut karena
melihat fenomena yang mengerikan dimana –al-jarh wat-ta’diil (terutama : al-jarh) telah digunakan semena-mena. Digunakan oleh orang yang tidak berhak dan diterapkan kepada orang yang tidak berhak. Jadilah al-jarh wat-ta’diil hanya seperti obrolan warung kopi yang tidak beda dengan ghibah. Oleh karena itu Asy-Syaikh Al-Fauzaan hafidhahullah berkata :
والله
ما نعلم أحداً من علماء الجرح والتعديل في عصرنا الحاضر ، علماء الجرح
والتعديل في المقابر الآن ، ولكن كلامهم موجود في كتبهم كتب الجرح والتعديل .
والجرح والتعديل في علم الإسناد وفي رواية الحديث ، وما هو الجرح والتعديل في سبِّ الناس وتنقصهم ، وفلان فيه كذا وفلان فيه كذا ، ومدح بعض الناس وسب بعض الناس ، هذا من الغيبة ومن النميمة وليس هو الجرح والتعديل
والجرح والتعديل في علم الإسناد وفي رواية الحديث ، وما هو الجرح والتعديل في سبِّ الناس وتنقصهم ، وفلان فيه كذا وفلان فيه كذا ، ومدح بعض الناس وسب بعض الناس ، هذا من الغيبة ومن النميمة وليس هو الجرح والتعديل
”Demi Allah, kami tidak mengetahui seorang pun dari kalangan ulama jarh wat-ta’dil di era sekarang. Para ulama al-jarh wat-ta’diil sekarang telah meninggal, akan tetapi perkataan mereka ada pada kitab mereka, yaitu kitab al-jarh wat-ta’diil.
Dan al-jarh wat-ta’diil adalah dalam ilmu isnad dan riwayat hadits. Bukanlah al-jarh wat-ta’diil dengan mencela dan merendahkan manusia (yang tidak berhak mendapatkannya). Fulaan padanya demikian, dan Fulaan padanya demikian. Dan memuji sebagian manusia dan mencela sebagian yang lain, ini termasuk ghibah dannamiimah (mengadu domba). Itu bukanlah al-jarh wat-ta’diil” [http://www.almanhaj.net/vb/showthread.php?p=34223].
Ahlus-Sunnah atau Salafiyyuun bersikap pertengahan. Tidak menafikkan secara total sebagaimana mubtadi’iin yang gatel kalau dinasihati, dikritik, dan bahkan dicela; tidak pula berlebihan seperti hadadiyyuun yang ibarat harimau di tengah rimba lepas di tengah pasar.
[abul-jauzaa’ – 1431 – akhir pekan di nJakal, Sleman, Ngayokjokarto Hadiningrat – walau judulnya jarh dan ta’diil, namun yang ditulis hanya fokus pada masalah jarh saja].
[1] Diriwayatkan oleh Ahmad 4/320 dan Abu Dawud no. 4880 dengan sanad hasan.
[2]
Sebagian orang ada yang membawakan perkataan beliau yang lain yang
seakan-akan mengingkari penerapan Al-Jarh wat-Ta’diil selain terhadap perawi hadits :
“Al-Jarh wat-ta’dil itu telah habis masanya, sudah tidak ada lagi sekarang”[ http://www.almanhaj.net/vb/showthead.php?p=34223 - perkataan ini banyak dikutip di blog-blog hizbiy ikhwaniy].
from=http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2010/10/jarh-dan-tadil-terhadap-mukhaalif-dan.html
from=http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2010/10/jarh-dan-tadil-terhadap-mukhaalif-dan.html