Oleh : Al-‘Allamatus-Salafiy Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah
Asbaabun-Nuzuul (sebab-sebab turunnya ayat) mempunyai beberapa kaidah ushuliyyahyang akan kami isyaratkan sebagiannya, sesuai yang digariskan oleh guru kami Mahmuud bin ‘Abdil-Wahhaab Faaid hafidhahullah. Akan kami sebutkan beberapa di antaranya yang masyhur dan harus diketahui agar lebih ringkas, yaitu :
1. Definisi Asbaabun-Nuzuul.
Asbaabun-Nuzuul terbatas pada dua perkara :
Pertama;
terjadi suatu peristiwa dan kemudian turunlah ayat Al-Qur’an yang
berkaitan dengan peristiwa tersebut. Hal itu sebagaimana Sababun-Nuzuul ayat :
تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab” [QS. Al-Lahab : 1].[1]
Kedua; Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa sallam ditanya
tentang satu perkara dan kemudian turunlah ayat Al-Qur’an dalam
rangka menjelaskan hukum (menjawab) dari apa yang ditanyakan tersebut,
sebagaimana Sababun-Nuzuul ayatLi’aan.[2]
2. Jalan untuk Mengetahuinya.
Adapun jalan untuk mengetahui Asbaabun-Nuzuul, maka para ulama bersandar dengan keshahihan riwayat dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi sallamatau dari para shahabat. Riwayat para shahabat dalam bahasan ini dihukumi marfu’. Ibnu Shalaah rahimahullah telah berkata dalam kitabnya ‘Uluumul-Hadiits :
الثالث:
ما قبل إن تفسير الصحابي حديث مسند فإنما ذلك في تفسير يتعلق بسبب نزول
الآية يخبر به الصحابي أو نحو ذلك كقول جابر رضي الله عنه: كانت اليهود
تقول من أتى امرأته من دبرها في قبلها جاء الولد أحول. فأنزل الله عز وجل
{نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ} الآية فأما سائر تفاسير الصحابة التي لا
تشتمل على إضافة شيء إلى رسول اله صلى الله عليه وعلى آله وسلم فمعدود في
الموقوفات. والله أعلم
“Yang
ketiga, sebagiamana yang telah lewat pembahasannya bahwa tafsir para
shahabat merupakan hadits musnad. Akan tetapi, riwayat tersebut dalam
tafsir hanyalah berkaitan dengan Asbaabun-Nuzuul ayat saja yang dikhabarkan oleh shahabat atau yang seperti itu. Seperti perkataan Jaabir radliyallaahu ‘anhu :
“Bahwasannya orang-orang Yahudi berkata : ‘Barangsiapa yang
mendatangi istrinya dari belakang, maka anak yang akan dilahirkannya
bermata juling’ “.[3] Maka Allah‘azza wa jalla menurunkan ayat : “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok” (al-ayah).[4] Adapun tafsir para shahabat secara keseluruhan yang tidak disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa sallam terhitung sebagai riwayat-riwayat mauquf. Wallaahu a’lam” [selesai – hal. 46].
Tentang perkataan tabi’iin : “Ayat itu turun mengenai ini”, maka ia merupakan riwayat mursal. Apabila jalan-jalan riwayat tersebut banyak, maka diterima; dan sebaliknya, jika tidak ia ditolak. Inilah yang raajih (kuat) menurut para ahli hadits (muhaditsiin).
3. Pelajaran Diambil dari Keumuman Lafadh, Bukan dari Kekhususan Sebab (العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب).
Dalil akan kaidah ini adalah bahwasannya ada seorang Anshar pernah mencium seorang wanita ajnabiyyah (wanita asing/bukan mahram). Maka turunlah ayat berkaitan dengan itu :
إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ
“Sesungguhnya kebaikan-kebaikan itu menghapus kejelekan-kejelekan” [QS. Huud : 114].
Maka ia berkata kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa sallam :
“Apakah ini hanya untukku saja wahai Rasulullah ?”. Makna
perkataan shahabat ini adalah : Apakah hukum ayat ini dikhususkan
untukku karena akulah yang menjadi sebab ayat ini turun. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa sallam pun mendatanginya bahwasannya pelajaran itu diambil dari keumuman lafadh, bukan kekhususan sebab; dengan sabdanya : (بل لأمتي كلهم) “(Tidak), bahkan itu berlaku untuk seluruh umatku”.
Adapun bentuk sebab (turunnya ayat), maka jumhur ulama ahli ushul mengatakan bahwa itu merupakan jenis qath’iyyatud-dukhuul dalam ‘aam yang tidak diperbolehkan mengeluarkan darinya dengan mukhashshish. Dan diriwayatkan dari Maalik bahwasannya ia merupakan dhanniyyatud-dukhuul seperti hal lain dari satuan-satuan ‘aam [selesai - diambil dari penjelasan Mudzakkirah Ushuulil-Fiqholeh Asy-Syaikh Muhammad Al-Amiin Asy-Syinqithiy rahimahullah, hal. 206 dan 210].
4. Kadangkala terdapat sejumlah Asbaabun-Nuzuul dalam satu ayat seperti ayat Li’andan yang lainnya. Begitu juga, kadangkala terdapat sejumlah ayat yang turun dengan Sababun-Nuzuul satu, seperti hadits Al-Musayyib radliyallaahu ‘anhutentang kematian Abu Thaalib dan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa sallam : (لأستغفرن لك ما لم أنه عنه) “Sungguh aku akan memintakan ampun bagimu selama aku tidak dilarang” yang kemudian Allah menurunkan ayat :
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
“Tiadalah
sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun
(kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik
itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya
orang-orang musyrik itu, adalah penghuni neraka Jahanam” [QS. At-Taubah : 113].
Dan Allah menurunkan ayat lain berkenaan dengan Abu Thaalib :
إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya
kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi,
tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya” [QS. Al-Qashash : 56].
5. Redaksi Asbaabun-Nuzuul bisa jelas (sharih) dalam menjelaskan sebab-musababnya, bisa pula mengandung kemungkinan.
Dianggap
sebagai satu sebab yang jelas apabila perawi berkata : “Sebab
turunnya ayat adalah begini” atau jika redaksi riwayat menggunakan faa’ ta’qiibiyyah yang masuk pada kata an-nuzuul (yaitu menjadi : fanazala /فَنَزَلَ ,
yang artinya : ‘maka turunlah’) setelah penyebutan
peristiwa atau pertanyaan (yang diajukan oleh shahabat kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam). Sebagaimana jika dikatakan :“Telah terjadi peristiwa anu” atau “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang sesuatu; maka turunlah ayat”.
Kedua redaksi di atas adalah jelas (sharih) dalam menjelaskan sebab-musababnya.
Satu ayat
dianggap mengandung satu kemungkinan dalam sebab-musababnya atau
kemungkinan kandungan hukumnya apabila perawi berkata : “Ayat ini
turun mengenai ini”. Ia terkadang mempunyai maksud dengan
perkataan tersebut adalah untuk menjelaskan Asbaabun-Nuzuul ayat, terkadang pula ia masuk dalam makna ayat.
Begitu
pula jika perawi berkata : “Aku anggap ayat ini turun mengenai
ini” atau “Aku menganggap ayat ini tidaklah turun kecuali
mengenai ini”. Perawi yang membawakan riwayat dengan redaksi
seperti ini tidaklah memastikan sebab turunnya ayat. Maka, dua redaksi
ini mengandung kemungkinan tentang sebab musabab turunnya ayat ataupun
selain dari itu.
Diambil secara ringkas dari kitab Mabaahits fii ‘Uluumil-Qur’aan oleh Mannaa’ Al-Qaththaan.
[Shahihul-Musnad min Asbaabin-Nuzuul oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iyrahimahullah, hal. 13-15; Maktabah Ibni Taimiyyah, Cet. 4/1408 – dengan sedikit perubahan dan penambahan catatan kaki].
-- direvisi dan diperbaiki sebagaimana koreksi dari al-akh Al-Ghurahiy --
[1] Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma ia berkata :
لَمَّا
نَزَلَتْ (وَأَنْذِرْ عَشِيْرَتَكَ الْأَقْرَبِيْنَ) صَعِدَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ عَلَى الصَّفَا فَجَعَلَ
يُنَادِي : "يَا بَنِيْ عَدِيٍّ" لِبُطُوْنِ قُرَيْشٍ حَتَّى اجْتَمَعُوا
فَجَعَلَ الرَّجُلُ إِذَا لَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يَخْرُجَ أَرْسَلَ
رَسُوْلًا لِيَنْظُرَ مَا هُوَ فَجَاءَ أَبُو لَهَبٍ وَقُرَيْشٌ فَقَالَ :
"أَرَأَيْتَكُمْ لَوْ أَخْبَرْتُكُمْ أَنَّ خَيْلًا بِالْوَادِي تُرِيْدُ
أَنْ تُغِيْرَ عَلَيْكُمْ أَكُنْتُمْ مُصَدِّقِيَّ؟". قَالُوا : "نَعَمْ".
قَالَ : "فَإِنِّيْ نَذِيْرٌ لَكُمْ بَيْنَ يَدَيْ عَذَابٍ شَدِيْدٍ".
فَقَالَ أَبُو لَهَبٍ : "تَبًَّا لَكَ سَائِرَ اليَوْمِ أَلِهَذَا
جَمَعْتَنَا". فَنَزَلَتْ : (تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ، مَا
أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ).
“Ketika turun ayat “Dan berikanlah peringatan kepada keluargamu yang dekat” (QS. Asy-Syu’araa’ : 214), Nabi shallallaahu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa sallam menaiki bukit Shafaa dan berseru : “Wahai Bani ‘Adiy !” yang beliau tujukan kepada keturunan Quraisy. Hingga berkumpullah mereka (akibat seruan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut).
Sampai-sampai ada laki-laki yang tidak mampu untuk keluar, maka ia utus
seorang utusan untuk melihat siapa orang yang menyeru tersebut.
Datanglah Abu Lahab dan orang-orang Quraisy kepada beliau. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka : “Apa
pendapat kalian apabila aku khabarkan ada serombongan pasukan berkuda
yang telah sampai di sebuah lembah yang ingin menyerang kalian, apakah
kalian akan mempercayaiku ?”. Mereka menjawab : “Ya”. Beliau kembali bersabda : “Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan kepada kalian sebelum datangnya ‘adzab yang keras”.
Abu Lahab berkata : “Celakalah engkau sepanjang hari ! Apakah
dengan sebab ini engkau kumpulkan kami ?”. Maka turunlah ayat : “Binasalah
kedua tangan Abu Lahab, dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah
berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan” [HR. Al-Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, dan yang lainnya].- Abu Al-Jauzaa’.
[2] Yaitu ayat :
وَالَّذِينَ
يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا
أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ
إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ
وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ * وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ * وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ
وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ * وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ * وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ
“Dan
orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada
mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang
itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah. Sesungguhnya Dia
adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima :
bahwa laknat Allah atasnya, jika Dia termasuk orang-orang yang
berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat
kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk
orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima : bahwa laknat Allah
atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar” [QS. An-Nuur : 6-10].
Sababun-Nuzuul ayat tersebut di atas, salah satunya adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma :
أَنَّ
هِلَالَ بْنَ أُمَيَّةَ قَذَفَ امْرَأَتَهُ عِنْدَ نَبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشَرِيْكِ ابْنِ سَحْمَاءَ. فَقَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : "الْبَيِِّنَةُ أَوْ حَدٌّ فِي
ظَهْرِكَ". فَقَالَ : "يَا راسُوْلَ اللهِ، إِذَا رَأَى أَحَدُنَا عَلَى
امْرَأَتِهِ رَجُلًا يَنْطَلِقُ يَلْتَمِزُ الْبَيِّنَةَ؟". فَجَعَلَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : "الْبَيِّنَةُ
وَإِلَّا حَدٌّ فِي ظَهْرِكَ". فَقَالَ هِلَالٌ : "وَالَّذِيْ بَعَثَكَ
بِالْحَقِّ، إِنِّيْ لَصَادِقٌ، فَلْيُنْزِلَنَّ اللهُ مَا يُبَرِّئُ
ظَهْرِي مِنَ الْحَدِّ". فَنَزَلَ جِبْرِيْلُ وَأَنْزَلَ عَلَيْهِ :
وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ أَزْوَاجَهُمْ فَقَرَأَ حَتَّى بَلَغَ إِنْ كَانَ
مِنَ الصَّادِقِيْنَ. فَانْصَرَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا فَجَاءَ هِلَالٌ فَشَهِدَ وَالنَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَِيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : "إِنَّ اللهَ يَعْلَمُ أَنَّ
أَحَدُكُمَا كَاذِبٌ، فَهَلْ مِنْكُمَا تَائِبٌ". ثُمَّ قَامَتْ
فَشَهِدَتْ، فَلَمَّا كَانَتْ عِندَ الْخَامِسَةُ، وَقَّفُوهَا وَقَالُوا
: "إِنَّهَا مَوْجِبَةٌ". قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ : فَتَلَكَّأَتْ
وَنَكَصَتْ حَتَّى ظَنَّنَا أَنَّهَا تَرْجِعُ ثُمَّ قَالَتْ : "لَا
أَفْضَحُ قَوْمِيْ سَائِرَ الْيَوْمِ". فَمَضَتْ. فَقَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : "أَبْصِرُوْهَا، فَإِنْ جَائَتْ بِهِ
أَكْحَلَ الْعَيْنَيْنِ سَابِغَ الْأَلْيَتَيْنِ خَدَلَّجَ السَّاقَيْنِ
فَهُوَ لِشَرِيْكِ ابْنِ سَحْمَاءِ". فَجَائَتْ بِهِ كَذَلِكَ. فَقَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْلَا مَا مَضَى مِنْ
كِتاَبِ اللهِ، لَكَانَ لِي وَلَهَا شَأْنٌ.
“Bahwasannya Hilaal bin Umayyah menuduh istrinya telah berzina dengan Syariik bin Sahmaa’ di dekat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. (Mendengar itu) Nabi bersabda :“Datangkanlah bukti atau cambuk akan mendera punggungmu”.
Ia berkata : “Wahai Rasulullah, apabila salah seorang di antara
kami melihat istrinya bersama dengan seorang laki-laki apakah ia perlu
pergi mencari bukti ?”. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun kembali menjawab : “Bukti atau cambukan akan mendera punggungmu”.
Hilal berkata : “Demi Allah yang telah mengutusmu dengan
kebenaran, sungguh Allah akan menurunkan satu ayat yang akan
membebaskan punggungku dari hukuman”. Jibril pun kemudian turun
dengan menyampaikan firman Allah : “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina)” hingga selesai pada ayat : “jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar”. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun kemudian pergi dan mengutus utusan kepada istri (Hilaal). Hilaal datang menemui beliau dan kemudian bersumpah. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda : “Sesungguhnya
Allah mengetahui bahwa salah seorang di antara kalian telah berdusta.
Adakah di antara kalian ingin bertaubat ?”. Wanita istri
Hilaal itu berdiri dan segera bersumpah. Ketika akan bersumpah untuk
yang kelima kalinya, maka para shahabat mencegahnya. Mereka berkata :
“Sesungguhnya sumpahmu itu akan berlaku (jika engkau
berdusta)”. Ibnu ‘Abbas berkata : “Ia pun ragu-ragu
dan mundur hingga kami menyangka ia akan mundur membatalkan
sumpahnya”. Wanita itu kemudian berkata : “Aku tidak akan
mempermalukan kaumku selamanya”. Ia pun meneruskan sumpahnya yang
kalimat. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tengoklah
wanita itu. Apabila kelak ia membawa bayi yang hitam kedua matanya,
besar kedua pantatnya, dan berisi kedua betisnya, maka ia adalah anak
Syariik bin Sahmaa’”. Ternyata wanita itu melahirkan anak sesuai dengan apa yang dikatakan beliau. Beliau kemudian bersabda : “Apabila
aku tidak didahului oleh keputusan dari Kitabullah, niscaya aku akan
menghukum hadd ia (Syariik) dan wanita tersebut” [HR. Al-Bukhari, At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan yang lainnya].- Abu Al-Jauzaa’.
[3] Diriwayatkan oleh Muslim, At-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Al-Humaidi.- Abu Al-Jauzaa’.
[4] QS. Al-Baqarah : 223 – Abu Al-Jauzaa’.
from=http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2009/03/kaidah-kaidah-ushuliyyah-yang-berkaitan.html