Ini adalah salah satu pokok pendalilan mereka berdasarkan firman Allah ta’ala:
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلامَ اللَّهِ
“Dan
jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan
kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah” [QS. At-Taubah : 6].
Sisi pendalilan : Allah ta’ala telah menyebut mereka dengan musyrik sebelum adanya penegakan hujjah[1]. Oleh karena itu, setiap pelaku kesyirikan harus disebut musyrik. Dikarenakan setiap musyrik itu kafir, maka tidak ada‘udzur kejahilan dalam perkara ini.
Pendalilan mereka dalam hal ini sangat lemah dan mengandung beberapaparadoks/kontradiksi sebagai berikut:
1. Ayat tersebut berkaitan dengan orang kafir asli, sedangkan pembicaraan dalam‘udzur kejahilan
berkaitan dengan orang Islam yang telah tetap keislamannya sebelumnya
yang kemudian melakukan kekufuran dan kesyirikan tanpa mereka ketahui
bahwa itu merupakan kekufuran/kesyirikan. Qiyas ini adalah qiyas ma’al-faariq. Orang kafir asli tetaplah kafir atau musyrik meskipun mereka jahil.
Allah ta’ala berfirman:
لَمْ
يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ
مُنْفَكِّينَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ * رَسُولٌ مِنَ اللَّهِ
يَتْلُو صُحُفًا مُطَهَّرَةً * فِيهَا كُتُبٌ قَيِّمَةٌ
“Orang-orang
kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa
mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka
bukti yang nyata, (yaitu) seorang Rasul dari Allah (Muhammad) yang
membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (Al Qur'an), di dalamnya
terdapat (isi) kitab-kitab yang lurus” [QS. Al-Bayyinah : 1-3].
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَالَّذِي
نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ
الأُمَّةِ يَهُودِيٌّ، وَلَا نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ
بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Demi
Dzat, yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, tidak ada seorang pun dari umat
ini, Yahudi atau Nasrani, yang mendengar tentang diriku lantas mati
dalam keadaan tidak beriman dengan risalah yang aku bawa, kecuali pasti
ia termasuk penduduk neraka” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 153].
Ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menamakan kafir, musyrik, Yahudi, dan Nasrani sebelumdatang kepada mereka bayyinah berupa dakwah Islam yang dibawa Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Jika
mereka memutlakkan orang yang berbuat syirik harus dinamakan musyrik,
bukankah dengan alasan yang sama bahwa setiap orang (muslim) yang
berbuat kekafiran harus dinamakan kafir karena Allah juga telah
menyebut kafir sebelum datangnya hujjah kepada mereka ?.
Tentu tidak demikian, karena ini menyalahi prinsip-prinsip Ahlus-Sunnah yang mereka sepakati sendiri, yaitu : ‘tidak
setiap perbuatan kekafiran mengkonsekuensikan hukum kafir pada
pelakunya selama tidak terpenuhi syarat-syaratnya dan ada
penghalang-penghalangnya’.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan:
ولا
يلزم إذا كان القول كفرا أن يكفر كل من قاله مع الجهل والتأويل فإن ثبوت
الكفر في حق الشخص المعين كثبوت الوعيد في الآخرة في حقه وذلك له شروط
وموانع
“Tidaklah
setiap perkataan kufur itu mengharuskan untuk mengkafirkan setiap orang
yang mengucapkannya jika ucapan tersebut diucapkan karena
kejahilan/kebodohan atau penakwilan. Sebab, menetapkan kekafiran pada
individu tertentu seperti menetapkan baginya ancaman di akhirat. Dan hal ini memiliki syarat-syarat dan penghalang-penghalang" [Minhajus-Sunnah, 5/239-240].
Semua
orang kafir asli tetap dihukumi kafir di dunia dan boleh dipanggil
dengan nama apapun yang menjadi identitas mereka (musyrik, Yahudi,
Nasrani, dll.) selama mereka belum mengikrarkan dua kalimat syahadat
masuk agama Islam, meskipun mereka berbuat kebaikan.
Ketika
mereka mengucapkan dua kalimat syahadat, maka ia menjadi muslim.
Setelah mereka menjadi muslim, keislaman mereka tetap hingga ada
sesuatu yang membatalkan keislamannya tersebut.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
وليس
لأحد أن يكفر أحدًا من المسلمين ـ وإن أخطأ وغلط ـ حتي تقام عليه الحجة،
وتبين له المحَجَّة، ومن ثبت إسلامه بيقين لم يزل ذلك عنه بالشك، بل لا
يزول إلا بعد إقامة الحجة، وإزالة الشبهة.
“Dan
tidak boleh bagi seorangpun untuk mengkafirkan orang lain dari kaum
muslimin – walau ia bersalah dan keliru – sampai ditegakkan
padanya hujjah dan dijelaskan kepadanya bukti dan alasan. Barangsiapa
yang telah tetap ke-Islam-an padanya dengan yakin, maka tidaklah hilang
darinya hanya karena sebuah keraguan. Bahkan tidak hilang kecuali
setelah ditegakkan kepadanya hujjah dan dihilangkan darinya syubhat” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 12/466].
Jadi, jelas sekali bedanya.
Oleh karena itu, seorang muslim tidak boleh disebut dan dihukumi sebagai Nashrani hanya karena melakukan sebagian perbuatan kekufuran yang menjadi ciri khas orang Nashrani karena kebodohan mereka seperti misal mengucapkan : ‘Selamat Hari Natal, Merry Christmas’.
Begitu juga, seorang muslim tidak boleh disebut dan dihukumi musyrik
hanya karena ia melakukan sebagian perbuatan kesyirikan.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah berkata:
فدعاء القبر شرك، لكن لا يمكن أن نقول لشخص معين فعله: هذا مشرك، حتى نعرف قيام الحجة عليه، أو نقول: هذا مشرك باعتبار ظاهر حاله.
“Berdoa
kepada kubur adalah kesyirikan, akan tetapi tidak mungkin kita katakan
kepada individu pelakunya : 'Orang ini musyrik', hingga kita mengetahui
telah tegak padanya hujjah; atau (tidak mungkin) kita mengatakan :
'Orang ini musyrik'; berdasarkan dhahir keadaannya (semata)[2]" [Al-Qaulul-Mufiid ‘alaa Kitaabit-Tauhiid, 1/46-47].
Intinya
dalam hal ini, orang kafir asli tidak diberikan ‘udzur kejahilan
sama sekali dalam penyebutan dan penghukuman mereka di dunia sebagai kafir, musyrik, Yahudi, Nasrani, dan yang semisalnya; sedangkan kaum muslimin diberikan ruang ‘udzur.
Allah ta’ala berfirman:
لا
يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا
مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
“Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia
mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat
siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo`a): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah” [QS. Al-Baqarah : 286].
Dalam Shahiih Muslim, doa tersebut telah Allah kabulkan:
قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ علَيْهِ وَسَلَّمَ: " أَتُرِيدُونَ أَنْ
تَقُولُوا كَمَا قَالَ أَهْلُ الْكِتَابَيْنِ مِنْ قَبْلِكُمْ: سَمِعْنَا
وَعَصَيْنَا، بَلْ قُولُوا: سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا،
وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ، قَالُوا: سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ
رَبَّنَا، وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ، فَلَمَّا اقْتَرَأَهَا الْقَوْمُ
ذَلَّتْ بِهَا أَلْسِنَتُهُمْ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ فِي إِثْرِهَا آمَنَ
الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ
آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لا نُفَرِّقُ
بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ
رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ، فَلَمَّا فَعَلُوا ذَلِكَ، نَسَخَهَا
اللَّهُ تَعَالَى، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ " لا يُكَلِّفُ
اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا
اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا،
قَالَ: نَعَمْ،
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apakah
kalian ingin mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Ahli Kitab
(Yahudi dan Nashrani) : ‘Kami mendengar dan kami
mendurhakainya?’. Tetapi ucapkan : ‘Kami dengar dan kami
taat, ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat
kembali’. Mereka berkata : ‘Kami dengar dan kami taat,
ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat
kembali’. Ketika kaum tersebut membacanya, maka lisan-lisan
mereka tunduk dengannya, lalu Allah menurunkan sesudahnya: 'Rasul telah
beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya,
demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka
mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan
yang lain) dari rasul rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar
dan kami taat". (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan
kepada Engkaulah tempat kembali’ (QS. Al-Baqarah : 285). Ketika
mereka melakukan hal tersebut, maka Allah menghapusnya, lalu
menurunkan: 'Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya
dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka
berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa
atau kami tersalah (QS. Al-Baqarah : 286)’. Allah menjawab :
‘Ya’…..” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 125].
2. Pendalilan mereka dengan ayat di atas paradoks dengan pendalilan mereka yang lain yang mengatakan penegakan hujjah telah selesai dengan diturunkannya Al-Qur’an[3] sehingga penghukuman dan pelabelan dengan musyrik sah dengan keumuman ini.
Dapat
Anda lihat, ada ambiguitas pendalilan antara satu dengan yang lainnya.
Jika memang label musyrik bisa disematkan begitu saja sebelum
disampaikannya hujjah berdasarkan ayat di atas, seharusnya mereka tidak
mengemukakan dalil bahwa hujjah telah ditegakkan dengan diturunkkannya
Al-Qur’an.
Ini akibat mencampurkan pendalilan antara nash yang turun pada kafir asli dan nash yang turun pada orang selain mereka.
3. Pendalilan mereka dengan ayat di atas paradoks ijmaa’ yang menyatakan orang yang baru masuk Islam di Daarul-Harb atau
hidup di tempat terpencil jauh dari ilmu dan ulama diberikan
‘udzur kejahilan jika mereka melakukan sebagian perbuatan
kekufuran dan kesyirikan.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
ولهذا
اتفق الأئمة على أن من نشأ ببادية بعيدة عن أهل العلم والإيمان، وكان حديث
العهد بالإسلام، فأنكر شيئًا من هذه الأحكام الظاهرة المتواترة فإنه لا
يحكم بكفره حتى يعرف ما جاء به الرسول
“Oleh
karena itu para imam telah sepakat bahwa barangsiapa yang hidup di
tempat terpencil yang jauh dari ahli ilmu dan iman, atau dia baru masuk
Islam, kemudian ia mengingkari sesuatu dari hukum-hukum yang telah
jelas mutawatir; maka ia tidak dihukumi kafir sampai ia mengetahui (dan
memahami) apa-apa yang dibawa oleh Rasul shallallaahu ‘alaihi wa
sallam (berupa ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah)”[Majmuu’ Al-Fataawaa, 11/407].
Jika
memang penghukuman dan pelabelan ‘musyrik’ bisa disematkan
begitu saja tanpa berhubungan dengan penyampaian hujjah, maka tidak ada
gunanya ijmaa’ ini.
Ijmaa’
ini adalah salah satu bentuk toleransi dalam Islam bagi mereka yang
memang kondisinya belum memungkinkan untuk mengetahui syari’at
Islam secara memadai dan komprehensif. Dengan kata lain, Islam
memberikan ‘udzur karena hujjah belum tegak kepada mereka.
Catatan : Ijmaa’ ini pun diakui oleh ‘mereka’.
Walhasil,.... pendalilan ini sangat lemah dan tidak dapat diterima – bahkan oleh mereka sendiri jika mereka menyadari.
Wallaahu a’lam.
Baca juga artikel sejenis :
1. Membedakan Musim dan Kafir (Asli) dalam Pemberian 'Udzur.
2. Salah Satu Kekeliruan Logika Pendalilan Peniadaan 'Udzur Kejahilan.
3. Kekeliruan Pendalilan Peniadaan 'Udzur Kejahilan : Ayat Miitsaaq.
[abul-jauzaa’ – wonokarto, wonogiri – 02012014 – 09:44].
[1] Yaitu sebelum mereka mendengarkan Kalaamullah.
[2] Silakan baca artikel : Penjelasan Gamblang Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah dalam Masalah Pelabelan Kesyirikan.
[3] Meski pendalilan ini perlu divalidasi dan detailkan
from= http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2015/01/kekeliruan-pendalilan-peniadaan-udzur.html
from= http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2015/01/kekeliruan-pendalilan-peniadaan-udzur.html