Berusaha mengambil sebab untuk mendapatkan keinginan dan memperoleh manfaat atau untuk menolak bahaya tidaklah tercela di dalam Islam. Usaha untuk memperoleh sesuatu yang diperbolehkan agama tidak bertentangan dengan prinsip tawakal kepada Allah. Bahkan ia termasuk bagian dari tawakal itu sendiri
Sudah menjadi sunnatullah bahwa setiap kejadian ada sebabnya. Seorang anak terlahir sebagai akibat dari hubungan antara ayah dan ibunya. Orang kenyang karena ia mengonsumsi makanan. Jika ingin pandai kita harus belajar dengan sungguh-sungguh. Apabila tertimpa sebuah penyakit, datanglah berobat ke dokter. Seorang petani hendaklah menanam jika ia ingin memanen hasilnya. Mau masuk surga, harus beriman dan beramal saleh. Demikianlah ketentuan Allah yang berlaku di alam ini. Hukum sebab akibat sudah menjadi ketetapan Allah dalam kehidupan kita di atas muka bumi ini.
Mengambil Sebab Bagian Dari Tawakal
Berusaha mengambil sebab untuk mendapatkan keinginan dan memperoleh manfaat atau untuk menolak bahaya tidaklah tercela di dalam Islam. Usaha untuk memperoleh sesuatu yang diperbolehkan agama tidak bertentangan dengan prinsip tawakal kepada Allah. Bahkan ia termasuk bagian dari tawakal itu sendiri. Hakikat tawakal adalah melakukan sebab-sebab yang diperbolehkan agama dengan tetap menggantungkan harapan hanya kepada Allah Azza wa Jalla. Oleh karena itu, hendaklah setiap muslim bersemangat mencari sebab yang bisa mendatangkan kebaikan bagi dirinya, baik untuk kehidupannya di dunia maupun untuk kehidupan akhiratnya.
Makna inilah yang dipahami oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum ajma’in. Beliau menerjemahkan makna ini di dalam kehidupannya secara nyata. Perjalanan hijrah beliau dari Mekah ke Madinah menjadi contoh aplikatif pelaksanaan tawakal yang benar dalam kehidupan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau memerintahkan Ali bin Abu Thalib untuk menggantikan beliau tidur di atas ranjangnya, beliau bersembunyi di gua Tsur, beliau mengambil jalur yang tidak biasa dilalui dan beliau juga menyewa Abdullah bin ‘Uraiqith sebagai penunjuk jalan. Semua itu beliau lakukan dengan perhitungan yang sangat matang dan strategi yang cermat demi kelancaran perjalanan hijrahnya. Contoh yang lainnya adalah ketika dalam perang Uhud beliau memakai dua baju besi sebagai tameng untuk melindungi dirinya dari senjata musuh. Ini semua membuktikan kepada kita bahwa melakukan sebab-sebab yang dibenarkan oleh Allah tidak menafikan tawakal. Andaikan mengambil sebab bertentangan dengan prinsip tawakal kepada Allah, tentulah Rasulullah menjadi orang yang pertama kali menjauhinya karena beliau adalah manusia yang paling mengenal Allah dan paling bertakwa kepada-Nya.
Dahulu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersama para sahabatnya mengerahkan segala daya dan upaya untuk mendakwahi manusia agar mereka mau beriman kepada Allah. Mereka berperang di jalan Allah demi meninggikan kalimat tauhid. Mereka meyakini bahwa kejayaan umat tidak akan digapai hanya dengan berdoamemohon kepada Allah sementara mereka hanya berpangku tangan mengharap pertolongan dari langit. Karena itulah mereka mengencangkan ikat pinggang, menyingsingkan lengan baju, dan memaksimalkan segala potensi yang mereka miliki. Mereka tuangkan dalam usaha nyata agar mereka bisa meraih tujuan yang diinginkan.Sejarah telah mencatat bahwa kejayaan Islam di masa lalu terukir dengan tetesan darah para syuhada, limpahan air mata perjuangan, dan pengorbanan harta benda yang tak terhitung jumlahnya. Demikianlah orang-orang terbaik panutan kaum muslimin di masa lalu memaknai tawakal.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَعْجَز
“Bersemangatlah mencari apa yang bermanfaat untukmu, mintalah pertolongan kepada Allah, dan janganlah merasa lemah.” (HR. Muslim no: 2664 dan Ibnu Majah no:79)
Suatu hari, ada seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasululllah, apakah aku ikatkan untaku ini terlebih dahulu baru aku tawakal atau aku lepaskan saja dan bertawakal kepada Allah?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,
اعْقِلْهَا وَتَوَكَّل
“Ikatlah untamu dan bertawakallah!” (HR. At-Tirmidzi dan dihasankan oleh Al-Albani di dalam Al-Misykah, no : 22)
Tiga Tipe Manusia Dalam Menyikapi Sebab
Ada tiga tipe manusia dalam memandang sebab ini:
Kelompok pertama: manusia yang berlebih-lebihan dalam menetapkan sebab
Kelompok ini menjadikan sesuatu yang bukan sebab sebagai sebab. Misalnya orang yang menganggap jimat sebagai penolak bala, menganggap sebuah cincin sebagai pelaris, menganggap jampi-jampi sebagai perekat cinta, meyakini sebuah keris memiliki kesaktian luar biasa, mencari penyembuhan kepada para dukun, menganggap sial angka tiga belas, hari, dan tanggal tertentu, atau tempat-tempat tertentu yang dianggap keramat, serta menjadikan tempat tertentu untuk mencari berkah. Padahal agama Islam tidak pernah menerangkan hal tersebut, semisal memberikan sesajen kepada jin penunggu gunung atau laut tertentu. Ini tentunya tidak selaras dengan tuntunan Islam. Seseorang yang berkeyakinan seperti ini secara tidak sadar telah terjebak dalam perbuatan mempersekutukan Allah karena ia seakan-akan menyejajarkan dirinya dengan Allah dalam menetapkan sebab itu.
Maka dalam hal ini, perlu diketahui bagaimana cara mengetahui bahwasesuatu itu merupakan sebuah sebab untuk suatu akibat atau hasil tertentu. Ada dua cara mengetahui sebab:
- Pertama: sebab syar’i. Sebab ini diketahui dengan adanya nas atau ketetapandari Alquran dan As-Sunnah. Selama nas-nas syar’i menetapkan sesuatu itu sebagai sebab, maka ia adalah sebab syar’i. Contohnya: ruqyah, yaitu membacakan Alquran bagi orang yang terkena gangguan jin atau bagi orang yang kesurupan. Ini telah ada dalilnya dari syariat sehingga dapat kita kategorikan sebagai sebab syar’i.
- Kedua: sebab kodrati, yaitu sebab yang diketahui melalui percobaan ilmiah dan penelitian. Dalam hal ini, sugesti tidak dianggap keberadaannya karena ia hanyalah pembenaran jiwa yang bersifat ilusioner. Contoh dari sebab kodrati ini adalah ilmu medis. Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa ilmu kedokteran didapatkan melalui berbagai penelitian dan percobaan sehingga menghasilkan sebuah penemuan bahwa suatu resep atau suatu bahan bisa menyembuhkan penyakit tertentu. Ini tidak dipungkiri dalam Islam, bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menegaskan bahwa setiap penyakit pasti ada obatnya.
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ، فَإِذَا أُصِيبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِإِذْنِ اللهِ عَزَّ وَجَلّ
“Setiap penyakit memiliki obat. Jika obat yang tepat diberikan kepada sebuah penyakit niscaya ia akan sembuh dengan izin Allah Azza wa Jalla.”(HR. Muslim no: 2204)
Dalam riwayat lain, dari Usamah bin Syarik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedangkan para sahabat beliau sangat tenang di hadapan beliau seakan-akan ada burung yang bertengger di atas kepala mereka. Aku pun memberi salam kemudian duduk. Lalu datanglah orang-orang Arab Badui dari sana sini. Mereka bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah kami diperbolehkan berobat?’Maka beliau shallallahu alaihi wasallam menjawab,
تَدَاوَوْا فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ دَوَاءً، غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ الْهَرَمُ
“Berobatlah kalian karena sesungguhnya tidaklah Allah meletakkan sebuah penyakit kecuali Dia meletakkan pula obatnya, terkecuali satu penyakit, yaitu tua.”(HR. Abu Dawud no: 3855)
Dua hadis ini dan yang lainnya menjadi argumentasi penetapan dan pembolehan ilmu kedokteran.
Kelompok kedua: yang mengingkari eksistensi sebab
Kelompok ini menyandarkan segala sebab itu hanya kepada Allah dengan menafikan keikutsertaan manusia sebagai subjek pelaku sebab tersebut. Mereka berargumentasi bahwa Allah-lah pencipta sebab itu.Maka Allah-lah sebenarnya yang melakukan sebab itu secara hakiki, bukan manusia. Manusia dalam hal ini diibaratkan bagaikan daun yang tertiup angin, tidak memiliki pengaruh sama sekali. Apa yang diperbuat manusia sejatinya adalah jelmaan dari perbuatan Allah melalui diri manusia tersebut.
Jika dikaji lebih dalam, maka kita akan dapati kontradiksi yang sangat jelas di dalam pemahaman kelompok ini. Seandainya kita terapkan kaidah kelompok ini dalam kenyataan, maka kita akan terjebak dalam pelecehan kepada Allah. Contohnya adalah etika seorang suami menggauli istrinya agar mendapatkan keturunan berarti Allah-lah yang melakukan perbuatan itu secara hakiki. Ketika seseorang mengonsumsi makanan lalu dalam beberapa jam kemudian ia membuangnya di kamar mandi, berarti Allah-lah yang melakukan perbuatan hina itu. Ini tentunya tidak selaras dengan pengagungan kita kepada Allah Pencipta alam semesta. Di samping itu, keyakinan seperti ini memiliki konsekuensi yang fatal, yaitu menyatakan kesia-siaan penciptaan Allah terhadap alam semesta, baik jin, manusia, malaikat, maupun makhluk-makhluk-Nya yang lain. Secara tidak sadar, penganut pemahaman ini telah menghilangkan hikmah dari penciptaan Allah, kebijaksanaan Allah serta hikmah perintah dan larangan-Nya.
Kelompok ketiga adalah kelompok yang pertengahan dalam memandang sebab
Mereka memandang bahwa sebab itu memiliki pengaruh dan tetap harus dilaksanakan sebagai prasyarat untuk mendapatkan suatu tujuan. Akan tetapi pengaruh sebab itu sendiri tetap berada di bawah kehendak dan kekuasaan Allah Jalla Jalaluh. Mereka tetap meyakini dampak dari suatu sebab secara nyata dalam kenyataan, dan pada waktu yang sama, mereka meyakini bahwa sebab itu berada di bawah kehendak dan pengaturan mutlak Allah yang apabila dikehendaki-Nya pengaruh sebab itu bisa hilang sama sekali. Sebagai contoh adalah api. Penganut paham ini meyakini pengaruh api dan sifatnya, yaitu panas dan bersifat membakar. Akan tetapi mereka juga meyakini kebenaran kekuasaan mutlak Allah yang telah menghilangkan pengaruh api pada diri Nabi Ibrahim ‘alaihissalam ketika beliau dilemparkan ke dalam kobaran api.
Inilah pemahaman yang benar seputar mengambil sebab. Inilah pemahaman yang didasarkan pada Alquran dan hadis. Oleh karena itu, penganut paham ini senantiasa bersemangat melaksanakan sebab yang dibenarkan agama dengan senantiasa menggantungkan hati dan harapan kepada Allah.
Bijak Dalam Mengambil Sebab
Jika kita telah mengetahui hal ini, maka sudah selayaknya bagi kita sebagai seorang muslim untuk bersikap bijak dalam memandang dan menghadapi sebab ini. Dalam mengambil sebab, kita perlu memperhatikan beberapa hal berikut ini:
- Hendaklah kita berusaha dan berupaya dengan penuh semangat untuk mencari sebab-sebab keberuntungan dan menghindarkan diri dari sebab-sebab kesengsaraan sesuai dengan tuntunan yang telah digariskan Allah kepada kita. Janganlah kita menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan. Hendaklah kita tetap berada dalam garis koridor syariat ketika berusaha dan jangan sampai kita melakukan cara-cara yang haram untuk mendapatkan keinginan.
- Dalam mengusahakan sebab, hendaklah kita meyakini sebab itu sebagai sebab semata, sementara penentu keberhasilan dari sebab itu adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka kita harus selalu menggantungkan harapan kepada Allah dan senantiasa menyandarkan diri kepada-Nya.
- Janganlah kita berargumentasi terhadap takdir atas kekeliruan yang kita perbuat. Karena kita melakukan suatu perbuatan atas dasar kesadaran, kemampuan, dan kehendak kita. Sementara kita tidak mengetahui takdir Allah untuk diri kita sebelum ia terjadi, bahkan kita seharusnya bertobat memohon ampunan kepada Allah atas kekhilafan yang kita perbuat. Sebaliknya, ketika kita mendapatkan taufik untuk melakukan sebuah ketaatan, hendaklah kita bersyukur kepada Allah dan tetap tawaduk dan tidak merasa kagum terhadap amal ketaatan kita karena kita bisa taat atas taufik dari Allah Azza wa Jalla semata.
Inilah kandungan pesan yang disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya,
اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ، أَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ السَّعَادَةِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ، وَأَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الشَّقَاءِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَة
“Beramallah karena semua orang akan dimudahkan kepada apa yang ia diciptakan untuknya. Adapun orang yang telah ditetapkan Allah termasuk dari para penduduk kebahagiaan maka ia akan dimudahkan untuk mengamalkan perbuatan penduduk kebahagiaan. Sementara orang yang telah ditetapkan termasuk golongan penduduk sengsara maka ia akan dimudahkan untuk mengamalkan perbuatan para penduduk kesengsaraan” (Muttafaq ‘alaih, dari sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu)
Maka marilah, wahai saudaraku, kita berusaha dan berikhtiar mencari kebaikan dan kebahagiaan baik duniawi maupun ukhrawi sesuai dengan ketentuan yang telah Allah gariskan untuk kita dengan mengikatkan hati senantiasa kepada-Nya. Semoga Allah Azza wa Jalla berkenan memudahkan segala urusan kita dan memasukkan kita ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Wallahu a’lam bishshawab. Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.
Daftar Pustaka:
- Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Al-Qaul As-Sadid fi Maqashid at-Tauhid.
- Muhammad bin Abdullah bin Al-Khatib At-Tibrizi. Misykah al-Mashabih, tahqiq Al-Albani.
- Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Al-Qaul Al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid.
—
Penulis: Muh. Halid (Kholid Abu Zakia)
Muraja’ah: Ust. Suhuf Subhan, M.Pd.I
Sumber: https://muslim.or.id/19140-bersikap-bijak-dalam-mengambil-sebab.html