Telah datang kepada segenap kaum muslimin satu bulan yang penuh dengan berkah dan keutamaan, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Jalla wa ‘Ala,
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
Artinya: “Bulan Ramadhan (adalah) bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang salah).” (Qs. Al-Baqarah: 185)
Inilah bulan Ramadhan yang telah dinanti-nanti oleh setiap Muslim di seluruh penjuru dunia. Sebagai ajang perlombaan untuk ‘menabung’ lebih banyak amal shalih dalam rangka meningkatkan ketakwaan. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian salaf (orang terdahulu), “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan bulan Ramadhan sebagai medan bagi para makhluk-Nya untuk berlomba-lomba melakukan ketaatan di dalamnya. Ada yang mendahului (lebih banyak amal shalihnya) dan merekalah para pemenang. Dan ada juga yang tertinggal (lebih sedikit amal shalihnya) dan merekalah yang merugi.” (Lihat Latha’iful Ma’arif(hal. 246) dan Ensiklopedi Amalan Sunnah (hal. 94)]
Namun demikian sangat disayangkan, tidak sedikit dari kaum Muslimin yang masih beramal dengan berlandaskan pada hadits-hadits dha’if (lemah) dan maudhu’ (palsu). Oleh karena itu pada kesempatan kali ini, dengan memohon taufik dari Allah Ta’ala, penulis akan mengetengahkan pembahasan mengenai hadits-hadits dha’if (lemah) dan maudhu’ (palsu) seputar Ramadhan yang populer beredar dimasyarakat, disertai dengan hukum mengamalkannya menurut pandangan syari’at.
LANDASAN DALAM SYARI’AT ISLAM
Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan dua pondasi pokok yang menjadi dasar tegaknya hujjahAllah atas seluruh hamba-Nya. Keduanya juga menjadi asas berbagai hukum akidah dan amaliah, baik yang diwajibkan maupun yang dilarang. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla,
وَمَا يَنْطِقُ عَـنِ الْهَـوَى إِنْ هُـوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْحَى
Artinya: “Dan dia (Muhammad) tidak berbicara dengan hawa nafsu, melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (Qs. An-Najm: 3-4)
Berdasarkan ayat yang mulia ini, para ulama membagi wahyu menjadi dua, yaitu wahyu berupa kitab (Al-Qur’an) dan wahyu As-Sunnah (hadits). [Lihat Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam (I/96-97)]
Demikian pula ditegaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,
أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ .
Artinya: “Ketahuilah! Sesungguhnya telah diberikan kepadaku Al-Kitab dan yang sepertinya (yakni As-Sunnah) bersamanya.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (no. 1228), Abu Dawud (no. 4604), Tirmidzi (no. 2663), Ahmad (IV/131), Ibnu Hibban (no. 12 –At-Ta‘liqatul Hisan), Ibnu Majah (no. 12), Al-Baihaqiy dalam Al-Kubra (VII/76), Ath-Thabrani dalam Al-Mu‘jam Al-Kabir (XX/669-670 no. 934), Ath-Thahawi dalam Syarah Ma‘anil Atsar (IV/209), Asy-Syafi‘i dalam Al-Umm (VII/15), Al-Marwazi dalam As-Sunnah (no. 212, 354), dan Ibnu Baththah dalam Al-Ibanah Al-Kubra (hal. 62), dari Miqdam bin al-Ma’dikaribaradhiyallahu’anhu]
Hasan bin Athiyyah rahimahullah berkata, “Jibril ‘alaihis salam turun kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa As-Sunnah, sebagaimana dia (Jibril) mengajarkannya Al-Qur’an.” [Lihat Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (III/131)]
As-Sunnah mengandung pengertian segala sesuatu yang bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk qaul (ucapan), fi‘il (perbuatan), taqrir (penetapan), sifat tubuh serta akhlak yang dimaksudkan dengannya sebagai tasyri‘ (pensyari‘atan) bagi ummat Islam. [Lihat Qawa‘idut Tahdits (hal. 62), Taisir Musthalahul Hadits (hal. 15), As-Sunnah wa Makanatuha (hal. 47), Jami’ul ‘Ulumil wal Hikam (I/120), dan Manzilatus Sunnah fit Tasyri’ Al-Islam (hal. 11)]
Sebagian besar dari kalangan ulama berpendapat bahwa secara istilah As-Sunnah memiliki pengertian yang sama dengan hadits. [Lihat As-Sunnah wa Makanatuha (hal. 47)]
As-Sunnah atau hadits shahih merupakan landasan yang dijadikan sebagai rujukan penetapan hukum syari‘at oleh para ulama dan mujtahid (pembuat ijtihad). Hukum yang disebutkan dalam hadits merupakan hukum yang juga terdapat dalam Al-Qur’an, yang berfungsi sebagai perundang-undangan yang harus ditaati. Para Salafush Shalih memaknai As-Sunnah sebagai agama dan syari’at yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara mutlak, dalam masalah ilmu dan amal baik dalam perkara ushul (asas) maupun furu’ (cabang).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya As-Sunnah itu adalah syari’at, yakni apa-apa yang disyari’atkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dari agama (ini).” [Lihat Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (IV/436)]
Dan dikatakan pula oleh Imam Al-Barbahari rahimahullah: “Sunnah adalah Islam dan Islam adalah Sunnah, dan keduanya tidak bisa saling dipisahkan.” [Lihat Syarhus Sunnah (hal. 67)]
Hanya saja, seorang yang berdalil dengan menggunakan ayat Al-Qur’an hanya dituntut untuk melakukan satu kali penelitian, yaitu meneliti indikasi yang ditunjukkan oleh suatu nash (dalil) terhadap suatu hukum tertentu, dan dia tidak dituntut untuk meneliti sanad Al-Qur’an, karena Al-Qur’an telah sah secara pasti. Selain itu, lafazh dan maknanya telah dinukil secaramutawatir. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta‘ala telah berfirman,
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَوَ إِنَّا لَهُ لَحَـفِـظُوْنَ
Artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an. Dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Qs. Al-Hijr: 9)
Sementara orang yang berdalil dengan menggunakan hadits maka dia memerlukan dua kali penelitian, yaitu: pertama, meneliti validitas (keabsahan) hadits yang disandarkan atas nama Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Hal ini dilakukan karena tidak semua hadits yang dinisbatkan kepada Nabi berderajat shahih dan maqbul (bisa diterima). Dan kedua, meneliti indikasi hukum yang ditunjukkan oleh hadits tersebut.
Untuk menempuh langkah pertama tersebut, dibutuhkan berbagai kaidah dan hukum yang dapat membedakan keabsahan setiap hadits yang dinisbatkan kepada Nabi. Para ulama telah melakukan hal tersebut dan menamakannya dengan ilmu mushthalahul hadits. [LihatMuqaddimah Musthalahul Hadits (hal.3)]
bersambung insyaallah
***
muslimah.or.id
Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits
muslimah.or.id
Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits
Maraji’:
1. Al-Ba’itsul Hatsits Syarh Ikhtishar ‘Ulumil Hadits, AL-Hafizh Ibnu Katsir, cetakan Maktabah Al-Ma’arif, Riyadh.
2. Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, Imam Abi Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm, cetakan Darul Afaq Al-Jadidah, Beirut.
3. Al-Maudhu’at min Al-Ahaditsil Marfu’at, Ibnul Jauzi, cetakan Adhwa’us Salaf, Riyadh.
4. Al-Wadh’u fil Hadits, Dr. ‘Umar Hasan Falatah, cetakan Maktabah Al-Ghazali, Damaskus.
5. As-Sunnah Qabla At-Tadwin, Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib, cetakan Maktabah Wahbah, Kairo.
6. As-Sunnah wa Makanatuha fit Tasyri’ Al-Islami, Mushthafa As-Siba’i, cetakan Al-Maktab Al-Islami, Damaskus.
7. Ensiklopedi Amalan Sunnah di Bulan Hijriyyah, Abu ‘Ubaidah Yusuf As-Sidawi dan Abu ‘Abdillah Syahrul Fatwa, cetakan Pustaka Darul Ilmi, Bogor.
8. Fathul Bari bi Syarh Shahih Bukhari, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, cetakan Darul Hadits, Kairo.
9. Hadits Lemah dan Palsu yang Populer di Indonesia, Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf.
10. Irwa’ul Ghalih fi Takhriji Ahadits Manaris Sabil, Muhammad Nashiruddin Al-Albani, cetakan Al-Maktab Al-Islami, Beirut.
11. Manzilatus Sunnah fit Tasyri’ Al-Islami, Muhammad Aman bin ‘Ali Al-Jami, cetakan Darul Minhaj, Kairo.
12. Musthalahul Hadits, Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, cetakan Daar Ibnul Jauzi, Riyadh.
13. Penolakan M. Quraish Shihab Terhadap Hadits Keberadaan Allah (Sebuah Tinjauan Kritik Hadits), Sofyan Hadi bin Isma’il Al-Muhajirin, skripsi kelulusan sarjana Fakultas Tafsir Hadits UIN, Bandung.
14. Qawa’idut Tahdits, Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi, cetakan Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, Beirut.
15. Shahih Muslim, Imam Abi Al-Husain Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi An-Naisaburi, cetakan Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, Beirut.
16. Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah, Muhammad Nashiruddin Al-Albani, cetakan Maktabah Al-Ma’arif, Riyadh.
17. Sunan Ibnu Majah, Abi ‘Abdillah Muhammad bin Zaid Al-Qazwini (Ibnu Majah), cetakan Maktabah Al-Ma’arif, Riyadh.
18. Syarh Manzhumah Al-Baiquniyyah, Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, cetakan Maktabah Al-‘Ilmu, Kairo.
19. Syarh Nukhbatul Fikr fi Musthalah Ahlil Atsar, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalaniy, cetakan Darul Mughniy, Riyadh.
20. Syarhus Sunnah, Imam Abu Muhammad Al-Hasan bin ‘Ali bin Khalaf Al-Barbahari, cetakan Maktabah Darul Minhaj, Riyadh.
21. Tadribur Rawi, Al-Hafizh Jalaluddin As-Suyuthi, cetakan Daar Thaybah, Riyadh.
22. Taisir Musthalahul Hadits, Mahmud Ath-Thahhan, cetakan Maktabah Al-Ma’arif, Riyadh.
23. Takhrijul Ihya’ ‘Ulumuddin, Al-Hafizh Abi Fadhl Zainuddin ‘Abdurrahman bin Husain Al-‘Iroqi, cetakan Maktabah Daar Thabariyyah, Riyadh.
24. Tamamul Minnah fit Ta’liq ‘ala Fiqhus Sunnah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, cetakan Daar Ar-Rayah, Riyadh.
25. Taqribut Tahdzib, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, cetakan Baitul Afkar Ad-Dauliyyah, Riyadh.
26. Dan kitab-kitab lain.
Sumber= www.muslimah.or.id