Apa yang dimaksud meninggalkan amal karena manusia termasuk riya’?
Perkataan ini pernah kita dengar dari Al Fudhail bin ‘Iyadh. Bagaimana
penjelasan para ulama mengenai perkataan tersebut?
تَرْكُ الْعَمَلِ لِأَجْلِ النَّاسِ رِيَاءٌ وَالْعَمَلُ لِأَجْلِ النَّاسِ شِرْكٌ
“Meninggalkan amalan karena manusia termasuk riya’ dan beramal karena manusia termasuk syirik.” (Majmu’atul Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 23: 174).
Ulama Al Lajnah Ad Daimah ditanya mengenai perkataan Al Fudhail bin
‘Iyadh rahimahullah, yaitu meninggalkan amalan karena manusia adalah
riya’ dan beramal karena manusia itu syirik. Kami dan saudara kami biasa
meninggalkan amal sunnah karena khawatir pada manusia boleh jadi karena
akan jadi bencana bagi diri kami atau merendahkan kami. Atau ada yang
meninggalkan amalan karena takut cemoohan saudara yang lain atau takut
ditindak secara hukum. Apakah seperti itu termasuk riya’? Lalu bagaimana
cara berlepas diri darinya?
Jawab dari para ulama Al Lajnah Ad Daimah -Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia-,
Pernyataan, beramal karena manusia termasuk syirik. Pernyataan ini
benar adanya karena berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah
menunjukkan kewajiban ikhlas karena Allah dalam ibadah dan diharamkannya
riya’ (pamer amalan). Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebut riya’ dengan syirik ashgor dan perbuatan inilah yang paling dikhawatirkan menghidap pada umatnya.
Adapun pernyataan, meninggalkan amalan karena manusia itu riya’, maka
itu tidak secara mutlak. Ada perincian dalam hal itu dan intinya
tergantung pada niat. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Setiap amalan tergantung pada niat. Dan setiap orang akan
mendapatkan apa yang ia niatkan.” Jadi niat ini yang jadi patokan,
ditambah amalan tersebut harus bersesuaian dengan tuntunnan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini berlaku pada setiap amal. Karena Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang beramal tanpa
tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.”
Jika seseorang meninggalkan amalan yang tidak wajib karena menyangka bahwa hal itu dapat membahayakan dirinya, maka tidak termasuk riya’.
Ini termasuk strategi dalam beramal. Begitu pula jika seseorang
meninggalkan amalan sunnah di hadapan manusia karena khawatir dipuji
yang dapat membahayakan diri atau memudhorotkannya, maka ini bukanlah
riya’. Adapun amalan wajib tidak boleh ditinggalkan karena takut dipuji
manusia kecuali jika ada udzur syar’i.
Wa billahit taufiq. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
[Fatwa Al Lajnah Ad Daimah, 1: 768-769,
Fatwa ini ditandatangani oleh: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz selaku
ketua, Syaikh ‘Abdurrozaq ‘Afifi selaku wakil ketua, Syaikh ‘Abdullah
bin Ghudayan selaku anggota, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud selaku anggota]
Misalnya kita melihat perbuatan ulama salaf sebagai berikut:
Budak perempuan Ar Rabi’ bin Khotsim berkata, “Ar Rabi’ biasa beramal
secara sembunyi-sembunyi. Ketika ada seseorang datang menemuinya, ia
segera menutupi mushafnya yang sedang dibuka.”
Ibnul Jauzi berkata, “Ibrahim An Nakha’i ketika membaca mushaf lalu ada yang masuk menemui beliau, beliau menutupi Qur’annya.”
Mereka menutup Al Qur’an artinya enggan bacaan Al Qur’annya dilihat
orang lain. Mereka melakukan seperti ini karena amalan membaca Al Qur’an
adalah amalan sunnah, jadi sebaiknya ditutupi, tidak ditampakkan.
Mereka menutupnya karena khawatir dipuji dan memang asalnya amalan
sunnah seperti itu disembunyikan. Beda halnya jika itu amalan wajib atau
ada maslahat untuk ditampakkan. Amalan wajib seperti shalat jama’ah,
memang harus terang-terangan dilakukan. Saling membaca dan mendengarkan
Al Qur’an boleh ditampakkan karena ada maslahat. Jika seseorang
meninggalkan amalan seperti itu karena khawatir pujian manusia, maka itu
termasuk riya’. Jadi dengan penjelasan ulama Al Lajnah Ad Daimah sudah
jelaslah apa yang dimaksud dengan perkataan Al Fudhail.
Wabillahit taufiq. Moga bermanfaat. Semoga Allah menganuriakan kita keikhlasan dalam beramal.
—Disusun di pagi hari penuh berkah, 19 Rabi’ul Awwal 1435 H di Warak, Girisekar, Panggang, Gunungkidul
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id