Doa,
di dalam Islam memiliki kedudukan sangat agung. Doa merupakan ibadah
yang sangat dicintai oleh Allah. Doa merupakan bukti ketergantungan
seorang hamba kepada Rabb Subhanahu wa Ta’ala dalam meraih apa-apa yang
bermanfaat dan menolak apa-apa yang membawa mudharat baginya. Doa
merupakan bukti keterkaitan seorang manusia kepada Rabb-nya, dan
kecondongannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahwasannya tiada daya
dan upaya melainkan dengan bantuan Allah Subhanahu wa Ta’ala .
PERBANYAKLAH DOA
Sebagian orang ada yang beranggapan, bahwa dirinya tidak selayaknya banyak meminta kepada Allah. Dia menganggapnya sebagai suatu aib. Menilainya sebagai sikap kurang bersyukur kapada Allah atau bertentangan dengan sifat qana’ah. Akhirnya ia menahan diri tidak meminta kepada Allah, kecuali dalam perkara-perkara yang dia anggap penting dan mendesak. Sedang dalam masalah-masalah yang dianggapnya ringan dan sepele, ia merasa enggan meminta kepada Allah.
Sebagian orang ada yang beranggapan, bahwa dirinya tidak selayaknya banyak meminta kepada Allah. Dia menganggapnya sebagai suatu aib. Menilainya sebagai sikap kurang bersyukur kapada Allah atau bertentangan dengan sifat qana’ah. Akhirnya ia menahan diri tidak meminta kepada Allah, kecuali dalam perkara-perkara yang dia anggap penting dan mendesak. Sedang dalam masalah-masalah yang dianggapnya ringan dan sepele, ia merasa enggan meminta kepada Allah.
Pemahaman
seperti ini, jelas merupakan kekeliruan dan suatu kejahilan. Kerena doa
termasuk jenis ibadah, dan Allah Azza wa Jalla marah jika seorang hamba
enggan meminta kepadaNya.
Dalan sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الدُّعَاءُ هُوَ العِبَادَةُ
Sesungguhnya doa adalah ibadah. [2]
Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat:
وَقَالَ
رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ
عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
Dan
Rabb-mu berfirman: “Berdo’alah kepadaKu, niscaya akan Ku-perkenankan
bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari
menyembahKu akan masuk Neraka Jahannam dalam keadaan hina dina”. [al
Mu`min/40 : 60].
Doa ini -dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala – sangat bermanfaat, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
الدُّعَاءُ يَنْفَعُ مِمَّا نَزَلَ وَمِمَّا لَمْ يَنْزِلْ فَعَلَيْكُمْ عِبَادَ اللَّهِ بِالدُّعَاءِ
Doa
itu bermanfaat bagi apa-apa yang sudah terjadi ataupun yang belum
terjadi. Hendaklah kalian memperbanyak berdoa, wahai hamba-hamba
Allah.[3]
Seorang
muslim, selayaknya banyak berdoa setiap waktu. Karena doa merupakan
ibadah yang memiliki kedudukan sangat mulia di sisi Allah Subhanahu wa
Ta’ala , sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak
ada yang paling mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala daripada doa”.
[4]
DOA TIDAK PERNAH MEMBAWA KERUGIAN
Seseorang yang meninggalkan doa berarti ia merugi. Sebaliknya seseorang yang berdoa, ia tidak akan pernah merugi atas doa yang dipenjatkannya, selama ia tidak berdoa untuk suatu dosa atau memutuskan tali silaturrahmi. Karena doa yang dipanjatkannya, pasti disambut oleh Allah, baik dengan mewujudkan apa yang dia minta di dunia, atau mencegah darinya keburukan yang setara dengan yang ia minta, atau menyimpannya sebagai pahala yang lebih baik baginya di akhirat kelak. Dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Seseorang yang meninggalkan doa berarti ia merugi. Sebaliknya seseorang yang berdoa, ia tidak akan pernah merugi atas doa yang dipenjatkannya, selama ia tidak berdoa untuk suatu dosa atau memutuskan tali silaturrahmi. Karena doa yang dipanjatkannya, pasti disambut oleh Allah, baik dengan mewujudkan apa yang dia minta di dunia, atau mencegah darinya keburukan yang setara dengan yang ia minta, atau menyimpannya sebagai pahala yang lebih baik baginya di akhirat kelak. Dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا
مِنْ أَحَدٍ يَدْعُو بِدُعَاءٍ إِلَّا آتَاهُ اللَّهُ مَا سَأَلَ أَوْ
كَفَّ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهُ مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ
قَطِيعَةِ رَحِمٍ
Tidak
ada seseorang yang berdoa dengan suatu doa, kecuali Allah akan
mengabulkan yang ia minta, atau Allah menahan keburukan dari dirinya
yang semisal dengan yang ia minta, selama ia tidak berdoa untuk suatu
perbuatan dosa atau untuk memutuskan tali silaturrahim. [5]
Oleh
karena itu, janganlah seorang hamba merasa keberatan meminta kepada
Rabb-nya dalam urusan-urusan dunianya, meskipun urusan tersebut
dianggapnya sepele, terlebih lagi dalam urusan akhirat. Karena
permintaan itu merupakan bukti ketergantungan yang sangat kepada Allah,
dan kebutuhannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam semua urusan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengatakan :
إِنَّهُ مَنْ لَمْ يَسْأَلْهُ يَغْضَبْ عَلَيْهِ
Sesungguhnya, barangsiapa yang tidak meminta kepada Allah, maka Allah akan marah kepadanya.[6]
ADAB-ADAB YANG HARUS DIPERHATIKAN DALAM BERDOA
Dalam berdoa, ada beberapa perkara dan adab yang harus diperhatikan oleh seseorang, sehingga doanya mustajab.
Dalam berdoa, ada beberapa perkara dan adab yang harus diperhatikan oleh seseorang, sehingga doanya mustajab.
Pertama
: Memasang niat yang benar. Seseorang yang berdoa, hendaklah meniatkan
dalam doanya tersebut untuk menegakkan ibadah kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan menggantungkan kebutuhannya kepadaNya. Karena siapa saja
yang mengggantungkan hajatnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ,
niscaya ia tidak akan rugi selama-lamanya.
Kedua
: Berdoa dalam keadaan bersuci. Cara seperti ini lebih afdhal. Hanya
saja, jika seseorang berdoa dalam kondisi tidak berwudhu’, maka hal itu
tidak mengapa.
Ketiga : Meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menengadahkan telapak tangan.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
إِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ فَاسْأَلُوهُ بِبُطُونِ أَكُفِّكُمْ وَلَا تَسْأَلُوهُ بِظُهُورِهَا
Jika
engkau meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , maka mintalah dengan
menengadahkan telapak tangan, dan janganlah engkau memintanya dengan
menengadahkan punggung telapak tangan.[7]
Kaifiatnya
adalah, dengan mengarahkan telapak tangan ke wajah sebagaimana
dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam[8]. Atau
dengan cara mengangkat tangan hingga nampak putih ketiaknya (bagian
dalam ketiaknya). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَا مِنْ عَبْدٍ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَتَّى يَبْدُوَ إِبِطُهُ يَسْأَلُ اللَّهَ مَسْأَلَةً إِلَّا آتَاهَا إِيَّاهُ
(Tidaklah
seorang hamba mengangkat kedua tangannya hingga nampak ketiaknya dan
memohon suatu permohonan, kecuali Allah mengabulkan permohonannya
itu).[9] Cara seperti menunjukkan ketergantungan seorang hamba kepada
Allah, kebutuhannya kepada Allah, dan permohonannya yang sangat kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala .
Keempat
: Memulai dengan mengucapkan hamdalah dan puji-pujian kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Cara seperti ini menjadi sebab lebih dekat kepada
terkabulnya doa. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mendengar seorang laki-laki berdoa dalam shalatnya dan dia tidak
mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta’ala , tidak bershalawat atas Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Orang ini terburu-buru,” kemudian Rasulullah
memanggilnya dan bersabda :
إِذَا
صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِتَحْمِيدِ اللَّهِ وَالثَّنَاءِ
عَلَيْهِ ثُمَّ لْيُصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ثُمَّ لْيَدْعُ بَعْدُ بِمَا شَاءَ
Jika
salah seorang dari kalian shalat, hendaklah ia memulainya dengan
mengucapkan hamdalah serta puja dan puji kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala , kemudian bershalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
setelah itu ia berdoa dengan apa yang ia inginkan.[10]
Kelima
: Bershalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Jika ia
meninggalkan shalawat atas Nabi, doanya bisa terhalang. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Semua doa terhalang, sehingga
diucapkan shalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam[11] .
Keenam : Memulai berdoa untuk diri sendiri terlebih dahulu. Demikian ini yang diisyaratkan dalam al Qur`an, seperti ayat:
رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ
Ya Rabb-ku! Ampunilah aku, dan ibu bapakku …… [Nuh/71 : 28].
Ketujuh
: Bersungguh-sungguh dalam meminta. Janganlah seseorang ragu-ragu dalam
doanya, atau ia mengucapkan pengecualian dengan mengucapkan “jika
Engkau berkehendak ya Allah, berikanlah kepadaku ini dan ini”. Doa
seperti itu dilarang, karena tidak ada sesuatupun yang dapat memaksa
kehendak Allah.
Kedelapan
: Menghadirkan hati dalam berdoa. Seorang hamba, hendaklah menghadirkan
hati, memusatkan pikiran, mentadaburi doa yang ia ucapkan, serta
menampakkan kebutuhan dan ketergantungannya kepada Allah. Janganlah ia
berdoa dengan lisannya, namun hatinya entah kemana. Karena doa tidak
akan dikabulkan dengan cara seperti itu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda :
ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالْإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لَاهٍ
Berdoalah
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , sementara kalian yakin doa kalian
dikabulkan. Ketahuilah, sesungguhnya Allah tidak akan mengabulkan doa
dari hati yang lalai dan lengah. [12]
Kesembilan
: Berdoa dengan kata-kata singkat dan padat, serta doa-doa yang
ma’tsur. Tidak syak lagi, kata-kata yang paling padat dan paling
singkat dan paling agung berkahnya adalah, doa-doa yang diriwayatkan
dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Doa-doa seperti itu banyak
terdapat di dalam buku-buku As Sunnah.
Kesepuluh : Bertawasul dengan nama dan sifat-sifat Allah. Allah Ta’ala berfirman:
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا
Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut asma-ul husna itu … … [al A’raf/7 : 180].
Atau
seseorang bertawasul dengan amal shalih yang telah dia lakukan,
sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih yang mashur tentang tiga
orang yang terperangkap di dalam goa. Atau bertawasul dengan doa orang
shalih yang mendoakan untuknya. Dalil-dalil yang menunjukkan hal ini
banyak ditunjukkan di dalam al Qur`an maupun Sunnah Nabi.
Kesebelas : Memperbanyak ucapan “Yaa Dzal Jalaali wal Ikraam”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلِظُّوا بِيَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
Ulang-ulangilah ucapan Yaa Dzal Jalaali Wal Ikraam. [13]
Yaitu
selalu ucapkan dan perbanyaklah dalam doa-doa kalian. Karena hal itu
merupakan kata-kata pujian yang sangat tinggi kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala yang paling agung. Dengan memperbanyak membacanya akan membantu
terkabulnya doa dari Allah Subhanahu wa Ta’ala .
Keduabelas
: Mencari waktu-waktu yang mustajab dan tempat-tempat yang utama. Ada
beberapa waktu dan tempat-tempat yang utama, sebagaimana telah
disebutkan di dalam nash-nash. Orang yang berdoa, sebaiknya mencari
waktu tersebut dan memperbanyak doa pada waktu-waktu tersebut. Di
antara waktu-waktu yang utama dan mustajab adalah, waktu antara adzan
dan iqamah, di dalam shalat, setelah selesai mengerjakan shalat-shalat
fardhu, pada waktu sore hari, ketika berbuka puasa, di bagian akhir
malam, dan sesaat pada hari Jumat -yaitu saat-saat terakhir pada hari
Jumat- dan hari-hari di bulan Ramadhan, sepuluh hari pertama bulan
Dzulhijjah, pada hari ‘Arafah, pada waktu mengerjakan haji, di sisi
Ka’bah, serta waktu-waktu dan tempat-tempat lainnya yang disebutkan di
dalam atsar.
Ketigabelas
: Memperbanyak doa pada saat-saat lapang. Upaya ini agar Allah
Subhanahu wa Ta’ala mengabulkan permintaannya pada saat-saat sempit.
Karena termasuk hikmah Allah Subhanahu wa Ta’ala tatkala mentakdirkan
suatu bala (musibah), bahwasanya Allah menyukai mendengarkan rintihan
hambaNya kepadaNya. Allah senang melihat para hamba kembali kepadaNya
pada saat-saat sempit dan tercekam. Namun apabila seorang insan itu
bertadharru’ pada saat-saat ia lapang, maka akan segera dikabulkan
baginya permintaan-permintaannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah mengatakan :
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَسْتَجِيبَ اللَّهُ لَهُ عِنْدَ الشَّدَائِدِ وَالْكَرْبِ فَلْيُكْثِرِ الدُّعَاءَ فِي الرَّخَاءِ
Barangsiapa
yang suka Allah mengabulkan doanya pada saat-saat sempit dan kesulitan,
maka hendaklah ia banyak-banyak berdoa pada saat-saat ia lapang.[14]
PERKARA-PERKARA YANG HARUS DIHINDARI BAGI ORANG YANG BERDOA
Untuk mendukung agar doa seseorang dikabulkan, seseorang harus menghindari beberapa perkara yang dapat menghalangi terkabulnya doa.
Untuk mendukung agar doa seseorang dikabulkan, seseorang harus menghindari beberapa perkara yang dapat menghalangi terkabulnya doa.
Pertama
: Mengkonsumsi makanan yang haram. Karena ini termasuk perkara yang
menghalangi terkabulnya doa, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam :
ذَكَرَ
الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى
السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ
حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ
لِذَلِكَ
Seorang
laki-laki yang panjang perjalanannya, rambutnya acak-acakan dan
berdebu, ia mengangkat tangannya ke langit dan mengatakan : “Ya Rabbi,
ya Rabbi,” sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya
haram, dan diberi makan dengan barang yang haram, bagaimana ia akan
diterima doanya?[15]
Kedua
: Terburu-buru dalam meminta dikabulkannya doa. Permintaan yang
tergesa-gesa itu dilarang, dan dapat menghalangi terkabulnya doa.
Seseorang yang berdoa juga tidak boleh berputus asa dari rahmat Allah
Subhanahu wa Ta’ala . Sikap terburu-buru bisa dikategorikan sebagai
bentuk pendustaan terhadap janji Allah Subhanahu wa Ta’ala , padahal
Allah telah berjanji mengabulkan doa. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ يَقُولُ دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِي
Akan
dikabulkan doa salah seorang di antara kamu selama dia tidak
terburu-buru; ia mengatakan “Aku sudah berdoa, namun tidak dikabulkan
bagiku”.[16]
Ketiga
: Berlebih-lebihan atau melampaui batas dalam berdoa. Allah Subhanahu
wa Ta’ala tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Berdo’alah
kepada Rabb-mu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. [al A’raf/7 :
55].
Sa’ad
Radhiyallahu anhu pernah melihat anak laki-lakinya berdoa, dan ia
berkata dalam doanya : “Ya Allah, aku memohon kepadaMu surga,
kenikmatannya, kemegahannya, begini dan begini. Dan aku berlindung
kepadaMu dari api neraka, dari rantainya, belenggunya, begini dan
begini”.
Mendengar
doa anaknya tersebut, Sa’ad Radhiyallahu anhu berkata: Wahai anakku,
sesunggunya aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
سَيَكُونُ
قَوْمٌ يَعْتَدُونَ فِي الدُّعَاءِ فَإِيَّاكَ أَنْ تَكُونَ مِنْهُمْ
إِنَّكَ إِنْ أُعْطِيتَ الْجَنَّةَ أُعْطِيتَهَا وَمَا فِيهَا مِنَ
الْخَيْرِ وَإِنْ أُعِذْتَ مِنَ النَّارِ أُعِذْتَ مِنْهَا وَمَا فِيهَا
مِنَ الشَّرِّ
“Akan
ada nanti kaum yang melampaui batas dalam berdoa. Jangan sampai engkau
masuk ke dalam golongan mereka. Jika engkau diberikan surga, niscaya
engkau akan diberikan semua apa yang ada di dalamnya. Jika engkau
dihindarkan dari api neraka, niscaya engkau akan dihindarkan darinya
dan seluruh keburukannya”.
Keempat
: Meminta perkara-perkara yang mustahil. Seperti seseorang yang berdoa
agar dapat melihat Nabi dalam keadaan terjaga, atau ia berdoa agar
dijadikan sebagai malaikat, atau ia berdoa meminta kekuatan, yang
dengan kekuatan itu ia dapat mengangkat gunung, atau meminta kepada
Allah berupa an nubuwah (kenabian). Karena hal itu tidaklah mungkin.
Bahkan kalau ia meyakini diturunkannya nubuwah setelah Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam , maka ia bisa kafir karena hal itu. Dan permintaan
seperti itu juga termasuk bentuk berlebih-lebihan dalam berdoa. Allahu
a’lam.
Demikian,
mudah-mudahan Allah berkenan memberikan taufiq kepada kita untuk
senantiasa berdoa kepadaNya, dan menjadikan doa-doa kita sebagai doa
yang mustajab. Billahit taufiq. (Ummu Ihsan)
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 00/Tahun XI/1428H/2007M. Penerbit Yayasan
Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Diangkat dari kitab Muashu’ah Adab Islami.
[2]. HR Ahmad, IV/267; Abu Dawud, 1479 dan at Tirmidzi, 2969 dan dishahihkan olehnya; Ibnu Majah, 3828; al Hakim, I/491 dan dishahihkannya; dan disetujui oleh adz Dzahabi; Ibnu Hibban, 887h/II/124 dalam Kitab al Ihsan. Al Baihaqi dalam asy Syu’ab, 1105 dan Ibnu Abi Syaibah, 29167h/VI/21; al Bukhari dalam Adabul Mufrad, hlm. 105; Ibnu Jarir dalam tafsirnya, no. 1 3038/11; dari Nu’man bin Basyir. Silahkan lihat Shahih al Jaami’, 3407.
[3]. HR Tirmidzi, 3048 dan al Hakim, I/493 dari Ibnu Umar. Shahih al Jaami’, 3409.
[4]. HR Ahmad, II/362 dan at Tirmidzi, 3370 dan dihasankannya; al Hakim, I/390 dan disetujui oleh adz Dzahabi dan yang lainnya dari Abu Hurairah. Silahkan lihat Shahih al Jaami’, 5392.
[5]. Telah disebutkan takhrijnya.
[6]. HR at Tirmidzi, 3373 dan Ibnu Majah, 3727 dari Abu Hurairah. Silahkan lihat dalam Shahih at Tirmidzi, 2686.
[7]. HR Abu Dawud, 1486 dari Malik bin Yasar; Shahih Abu Dawud, 1318. Dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan yang lainnya.
[8]. HR ath Thabrani dalam kitab al Kabir, 12234h/11 dari Ibnu Abbas. Dan diriwayatkan dari as Saib bin Khallad. Shahih al Jaami’, 4721.
[9]. HR at Tirmidzi, 3603 dari Abu Hurairah. Shahih at Tirmidzi, 2853.
[10]. HR Abu Dawud, 1481; an Nasaa-i, 44/3; at Tirmidzi, 3477 dan dishahihkannya, dari Fudhalah bin ‘Ubaid. Silahkan lihat Shahih Abu Dawud, 1314.
[11]. HR ad Dailami dalam Musnad al Firdaus, III/4791 dari ‘Ali. Dalam hadits lain diriwayatkan dari Anas. Juga dari ‘Ali secara mauquf yang diriwayatkan ath Thabrani di dalam al Ausath, dan al Baihaqi di dalam asy Syu’ab. Berkata al Haitsami di dalam al Majma’, X/160 : “Para perawinya tsiqat”. Silahkan lihat Shahih al Jaami’, 4523.
[12]. HR at Tirmidzi, 3479 dan al Hakim, 493/1 dari Abu Hurairah. Lihat Shahih at Tirmidzi, 2766.
[13]. HR at Tirmidzi, 3525 dan yang lainnya, dari Anas. Lihat dalam Shahih at Tirmidzi, 2797. Dan diriwayatkan juga dari hadits Rabi’ah.
[14]. HR at Tirmidzi, 3382; al Hakim, I/544 dan dishahihkannya, dan disetujui oleh adz Dzahabi dari Abu Hurairah. Silahkan lihat dalam Shahih at Tirmidzi, 2693.
[15]. HR Muslim, 1015 dari Abu Hurairah.
[16]. HR al Bukhari, 6340 dan Muslim, 2735, dari Abu Hurairah.
[17]. HR Ahmad, I/172 dan Abu Dawud, 1480, dari Sa’ad. Shahih Abu Dawud, 1313
_______
Footnote
[1]. Diangkat dari kitab Muashu’ah Adab Islami.
[2]. HR Ahmad, IV/267; Abu Dawud, 1479 dan at Tirmidzi, 2969 dan dishahihkan olehnya; Ibnu Majah, 3828; al Hakim, I/491 dan dishahihkannya; dan disetujui oleh adz Dzahabi; Ibnu Hibban, 887h/II/124 dalam Kitab al Ihsan. Al Baihaqi dalam asy Syu’ab, 1105 dan Ibnu Abi Syaibah, 29167h/VI/21; al Bukhari dalam Adabul Mufrad, hlm. 105; Ibnu Jarir dalam tafsirnya, no. 1 3038/11; dari Nu’man bin Basyir. Silahkan lihat Shahih al Jaami’, 3407.
[3]. HR Tirmidzi, 3048 dan al Hakim, I/493 dari Ibnu Umar. Shahih al Jaami’, 3409.
[4]. HR Ahmad, II/362 dan at Tirmidzi, 3370 dan dihasankannya; al Hakim, I/390 dan disetujui oleh adz Dzahabi dan yang lainnya dari Abu Hurairah. Silahkan lihat Shahih al Jaami’, 5392.
[5]. Telah disebutkan takhrijnya.
[6]. HR at Tirmidzi, 3373 dan Ibnu Majah, 3727 dari Abu Hurairah. Silahkan lihat dalam Shahih at Tirmidzi, 2686.
[7]. HR Abu Dawud, 1486 dari Malik bin Yasar; Shahih Abu Dawud, 1318. Dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan yang lainnya.
[8]. HR ath Thabrani dalam kitab al Kabir, 12234h/11 dari Ibnu Abbas. Dan diriwayatkan dari as Saib bin Khallad. Shahih al Jaami’, 4721.
[9]. HR at Tirmidzi, 3603 dari Abu Hurairah. Shahih at Tirmidzi, 2853.
[10]. HR Abu Dawud, 1481; an Nasaa-i, 44/3; at Tirmidzi, 3477 dan dishahihkannya, dari Fudhalah bin ‘Ubaid. Silahkan lihat Shahih Abu Dawud, 1314.
[11]. HR ad Dailami dalam Musnad al Firdaus, III/4791 dari ‘Ali. Dalam hadits lain diriwayatkan dari Anas. Juga dari ‘Ali secara mauquf yang diriwayatkan ath Thabrani di dalam al Ausath, dan al Baihaqi di dalam asy Syu’ab. Berkata al Haitsami di dalam al Majma’, X/160 : “Para perawinya tsiqat”. Silahkan lihat Shahih al Jaami’, 4523.
[12]. HR at Tirmidzi, 3479 dan al Hakim, 493/1 dari Abu Hurairah. Lihat Shahih at Tirmidzi, 2766.
[13]. HR at Tirmidzi, 3525 dan yang lainnya, dari Anas. Lihat dalam Shahih at Tirmidzi, 2797. Dan diriwayatkan juga dari hadits Rabi’ah.
[14]. HR at Tirmidzi, 3382; al Hakim, I/544 dan dishahihkannya, dan disetujui oleh adz Dzahabi dari Abu Hurairah. Silahkan lihat dalam Shahih at Tirmidzi, 2693.
[15]. HR Muslim, 1015 dari Abu Hurairah.
[16]. HR al Bukhari, 6340 dan Muslim, 2735, dari Abu Hurairah.
[17]. HR Ahmad, I/172 dan Abu Dawud, 1480, dari Sa’ad. Shahih Abu Dawud, 1313
Sumber: https://almanhaj.or.id/3742-meraih-doa-mustajab.html