Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A.
Kalau
ada seorang penceramah berucap di atas mimbar, “Sungguh perbuatan
syirik dan pelanggaran tauhid sering terjadi dan banyak tersebar di
masyarakat kita!”, mungkin orang-orang akan keheranan dan
bertanya-tanya: “Benarkah itu? Mana buktinya?”.
Tapi
kalau sumber beritanya berasal dari firman Allâh Azza wa Jalla
dalam al-Qur’ân, masihkah ada yang meragukan kebenarannya?.
Simaklah, Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُم بِاللَّهِ إِلَّا وَهُم مُّشْرِكُونَ
”
Dan sebagian besar manusia tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan-Nya (dengan sembahan-sembahan lain)”. [Yûsuf/12:106]
”
Dan sebagian besar manusia tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan-Nya (dengan sembahan-sembahan lain)”. [Yûsuf/12:106]
Semakna dengan ayat di atas, Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:
وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ
“Dan
sebagian besar manusia tidak beriman (dengan iman yang benar) walaupun
kamu sangat menginginkannya” [Yûsuf/12:103]
Maksudnya,
mayoritas manusia walaupun kamu sangat menginginkan dan
bersunguh-sungguh untuk (menyampaikan) petunjuk (Allah), mereka tidak
akan beriman kepada Allâh (dengan iman yang benar), karena mereka
memegang teguh (keyakinan) kafir (dan syirik) yang merupakan agama
(warisan). Dalam hadits yang shahih, Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam lebih menegaskan hal ini:
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَلْحَقَ قَبَائِلُ مِنْ أُمَّتِي بِالْمُشْرِكِينَ وَحَتَّى يَعْبُدُوا الأَوْثَانَ
“Tidak
akan terjadi hari kiamat sampai beberapa qabilah (suku/kelompok) dari
umatku bergabung dengan orang-orang musyrik dan sampai mereka menyembah
berhala (segala sesuatu yang disembah selain Allâh)” [1]
Ayat-ayat
dan hadits di atas menunjukkan bahwa perbuatan syirik terus ada dan
terjadi di umat Islam sampai datangnya hari Kiamat. [2]
HAKIKAT SYIRIK
Hakikat syirik adalah perbuatan mengadakan syarîk (sekutu) bagi Allâh Azza wa Jalla dalam sifat rubuubiyah-Nya (perbuatan-perbuatan Allâh Azza wa Jalla yang khusus bagi-Nya, seperti menciptakan, melindungi, mengatur dan memberi rizki kepada makhluk-Nya) dan ulûhiyah-Nya (hak untuk disembah dan diibadahi semata-mata tanpa disekutukan). Meskipun mayoritas perbuatan syirik yang terjadi di umat ini adalah (syirik) dalam sifat uluuhiyah-Nya, yaitu dengan berdoa (meminta) kepada selain Allâh Azza wa Jalla bersamaan dengan (meminta) kepada-Nya, atau mempersembahkan satu bentuk ibadah kepada selain-Nya, seperti menyembelih (berkurban), bernazar, rasa takut, berharap dan mencintai.
Hakikat syirik adalah perbuatan mengadakan syarîk (sekutu) bagi Allâh Azza wa Jalla dalam sifat rubuubiyah-Nya (perbuatan-perbuatan Allâh Azza wa Jalla yang khusus bagi-Nya, seperti menciptakan, melindungi, mengatur dan memberi rizki kepada makhluk-Nya) dan ulûhiyah-Nya (hak untuk disembah dan diibadahi semata-mata tanpa disekutukan). Meskipun mayoritas perbuatan syirik yang terjadi di umat ini adalah (syirik) dalam sifat uluuhiyah-Nya, yaitu dengan berdoa (meminta) kepada selain Allâh Azza wa Jalla bersamaan dengan (meminta) kepada-Nya, atau mempersembahkan satu bentuk ibadah kepada selain-Nya, seperti menyembelih (berkurban), bernazar, rasa takut, berharap dan mencintai.
Syaikhul
Islam Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb rahimahullah menjelaskan
hakikat perbuatan syirik yang diperangi oleh semua rasul yang diutus
oleh Allâh Azza wa Jalla, beliau berkata:
“Ketahuilah,
semoga Allâh merahmatimu, sesungguhnya (hakekat) tauhid adalah
mengesakan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam beribadah.
Inilah agama (yang dibawa) para rasul yang diutus oleh Allâh Azza
wa Jalla kepada umat manusia.
Rasul
yang pertama adalah (nabi) Nûh Alaihissallam yang diutus oleh
Allâh kepada kaumnya ketika mereka bersikap ghuluw (berlebihan
dan melampaui batas dalam mengagungkan) orang-orang yang shaleh (di
kalangan mereka, yaitu) Wadd, Suwâ’, Yaghûts,
Ya’ûq dan Nasr. [4]
Rasul
yang terakhir, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
dialah yang menghancurkan gambar-gambar (patung-patung) orang-orang
shaleh tersebut. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus oleh
Allâh kepada kaum (orang-orang musyrik) yang selalu beribadah,
berhaji, bersedekah dan banyak berzikir kepada Allah, akan tetapi
mereka (berbuat syirik dengan) menjadikan makhluk sebagai perantara
antara mereka dengan Allâh (dalam beribadah). Mereka mengatakan:
“Kami menginginkan melalui perantara-perantara makhluk itu agar
lebih dekat kepada Allah [5], dan kami menginginkan syafa’at
mereka di sisi-Nya” [6]. (Perantara-perantara tersebut adalah)
seperti para malaikat, Nabi Isa bin Maryam, dan orang-orang shaleh
lainnya.
Maka
Allâh Azza wa Jalla mengutus Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk memperbaharui (memurnikan kembali) ajaran
agama yang pernah dibawa oleh Nabi Ibrâhîim Alaihissallam
(yaitu ajaran tauhid) dan menyerukan kepada mereka bahwa bentuk
pendekatan diri dan keyakinan seperti ini adalah hak Allâh yang
murni (khusus bagi-Nya) dan tidak boleh diperuntukkan sedikit pun
kepada selain-Nya, meskipun itu malaikat atau nabi utusan-Nya, apalagi
yang selainnya”. [7]
CONTOH-CONTOH PERBUATAN SYIRIK YANG BANYAK TERJADI DI MASYARAKAT
Perbuatan-perbuatan syirik seperti ini sangat sering dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin, bahkan perbuatan syirik yang dilakukan oleh orang-orang di zaman Jahiliyah -sebelum datangnya Islam- masih juga sering terjadi di zaman modern ini.
Perbuatan-perbuatan syirik seperti ini sangat sering dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin, bahkan perbuatan syirik yang dilakukan oleh orang-orang di zaman Jahiliyah -sebelum datangnya Islam- masih juga sering terjadi di zaman modern ini.
Syaikh
Muhammad bin Jamil Zainu berkata: “Perbuatan syirik yang terjadi
di jaman Jahiliyah (juga) terjadi pada (jaman) sekarang ini:
1-
Dahulu orang-orang musyrik (di zaman Jahiliyah) meyakini bahwa
Allâh Dialah Yang Maha Pencipta dan Pemberi rezeki (bagi semua
mekhluk-Nya), akan tetapi (bersamaan dengan itu) mereka berdoa
(meminta/menyeru) kepada para wali (orang-orang yang mereka anggap
shaleh dan dekat kepada Allâh Azza wa Jalla) dalam bentuk
berhala-berhala, sebagai perantara untuk (semakin) mendekatkan mereka
kepada Allâh (menurut persangkaan sesat mereka). Maka Allâh
tidak meridhai (perbuatan) mereka menjadikan perantara (dalam berdoa)
tersebut, bahkan Allâh Azza wa Jalla menyatakan kekafiran mereka
dalam firman-Nya:
وَالَّذِينَ
اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا
لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ
بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي
مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ
“Dan
orang-orang yang mengambil pelindung selain Allâh (berkata):
“Kami tidak menyembah mereka (sembahan-sembahan kami) melainkan
supaya mereka mendekatkan kami kepada Allâh dengan
sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allâh akan memutuskan di
antara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan. Sesungguhnya
Allâh tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang
pendusta dan sangat besar kekafirannya”. [az-Zumar/39:3]
Allâh
Azza wa Jalla maha mendengar lagi maha dekat, tidak membutuhkan
keberadaan perantara dari makhluk-Nya. Allâh Azza wa Jalla
berfirman:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ
“Dan
apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah)
bahwa Aku adalah maha dekat”. [al-Baqarah/2:186]
Kita
saksikan di zaman sekarang ini kebanyakan kaum Muslimin berdoa
(meminta/menyeru) kepada wali-wali dalam wujud (penyembahan terhadap)
kuburan mereka, dengan tujuan untuk mendekatkan diri mereka kepada
Allâh Azza wa Jalla.
Berhala-berhala
(di zaman Jahiliyah) merupakan wujud dari para wali (orang-orang yang
mereka anggap shaleh dan dekat kepada Allâh Azza wa Jalla) yang
telah wafat menurut pandangan orang-orang musyrik (di zaman Jahiliyah).
Sedangkan kuburan adalah wujud dari para wali yang telah meninggal
menurut pandangan orang-orang yang melakukan perbuatan Jahiliyah (di
zaman sekarang), meskipun harus diketahui bahwa fitnah
(kerusakan/keburukan yang ditimbulkan) dari (penyembahan terhadap)
kuburan lebih besar dari fitnah (penyembahan) berhala!
2-
Dahulu orang-orang musyrik (di zaman Jahiliyah) selalu berdoa kepada
Allâh Azza wa Jalla semata di waktu-waktu sulit dan sempit,
kemudian mereka menyekutukan-Nya di waktu lapang. Allâh Azza wa
Jalla berfirman:
فَإِذَا
رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ
“Maka
apabila mereka mengarungi (lautan) dengan kapal mereka berdoa kepada
Allâh dengan memurnikan agama bagi-Nya; kemudian tatkala
Allâh menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka
(kembali) mempersekutukan (Allah)”.
[al-‘Ankabût/29:65]
Bagaimana
mungkin diperbolehkan bagi seorang Muslim untuk berdoa kepada selain
Allâh dalam waktu sempit dan lapang (sebagaimana yang sering
dilakukan oleh banyak kaum Muslimin di zaman ini)?[8].
CONTOH-CONTOH LAIN PERBUATAN-PERBUATAN SYIRIK YANG BANYAK TERSEBAR DI MASYARAKAT [9]
1- Mempersembahkan salah satu bentuk ibadah kepada selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala, seperti berdoa (memohon) kepada orang-orang shaleh yang telah mati, meminta pengampunan dosa, menghilangkan kesulitan (hidup), atau mendapatkan sesuatu yang diinginkan, seperti keturunan dan kesembuhan penyakit, kepada orang-orang shaleh tersebut. Juga seperti mendekatkan diri kepada mereka dengan sembelihan qurban, bernazar, thawaf, shalat dan sujud…Ini semua adalah perbuatan syirik, karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
1- Mempersembahkan salah satu bentuk ibadah kepada selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala, seperti berdoa (memohon) kepada orang-orang shaleh yang telah mati, meminta pengampunan dosa, menghilangkan kesulitan (hidup), atau mendapatkan sesuatu yang diinginkan, seperti keturunan dan kesembuhan penyakit, kepada orang-orang shaleh tersebut. Juga seperti mendekatkan diri kepada mereka dengan sembelihan qurban, bernazar, thawaf, shalat dan sujud…Ini semua adalah perbuatan syirik, karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ
إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ
الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ ۖ وَبِذَٰلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ
الْمُسْلِمِينَ
“Katakanlah:
“Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah
untuk Allâh, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan
demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang
pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allâh)”.
[al-An’âm/6:162-163]
2-
Mendatangi para dukun, tukang sihir, peramal (paranormal) dan
sebagainya, serta membenarkan ucapan mereka. Ini termasuk perbuatan
kufur (mendustakan) agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdasarkan sabda beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya: “Barangsiapa
yang mendatangi dukun atau tukang ramal kemudian membenarkan ucapannya,
maka sungguh dia telah kafir terhadap agama yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam” [10]
Allâh
Subhanahu wa Ta’ala menyatakan kekafiran para dukun, peramal dan
tukang sihir tersebut dalam firman-Nya yang artinya:
وَاتَّبَعُوا
مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَىٰ مُلْكِ سُلَيْمَانَ ۖ وَمَا كَفَرَ
سُلَيْمَانُ وَلَٰكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ
السِّحْرَ وَمَا أُنزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ
وَمَارُوتَ ۚ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّىٰ يَقُولَا إِنَّمَا
نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ ۖ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا
يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ ۚ وَمَا هُم بِضَارِّينَ
بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا
يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنفَعُهُمْ ۚ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا
لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ ۚ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ
أَنفُسَهُمْ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
“Dan
mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa
kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan
sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (mengerjakan sihir), hanya
syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka
mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua
orang malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya
tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan,
“Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), maka janganlah kamu
kafir.” Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang
dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan
istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan
sihirnya kepada seorang pun, kecuali dengan izin Allâh. Dan
mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepada diri mereka
sendiri dan tidak memberi manfaat. Padahal sesungguhnya mereka telah
meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allâh) dengan
sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah
perbuatan mereka menjual dirinya sendiri dengan sihir, kalau mereka
mengetahui” [al-Baqarah/2:102]
Hal
ini dikarenakan para dukun, peramal, dan tukang sihir tersebut
mengaku-ngaku mengetahui urusan gaib, padahal ini merupakan kekhususan
bagi Allâh Subhanahu wa Ta’ala.
قُل لَّا يَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ ۚ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
“Katakanlah:
“Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui
perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui
bilamana mereka akan dibangkitkan”. [an-Naml/27:65]
Selain
itu, mereka selalu bekerjasama dengan para jin dan setan dalam
menjalankan praktek sihir dan perdukunan. Padahal para jin dan setan
tersebut tidak mau membantu mereka dalam praktek tersebut sampai mereka
melakukan perbuatan syirik dan kafir kepada Allâh Subhanahu wa
Ta’ala, misalnya mempersembahkan hewan kurban untuk para jin dan
setan tersebut, menghinakan al-Qur’ân dengan berbagai macam
cara, atau cara-cara lainnya [11]. Allâh Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ الْإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
“Dan
bahwasannya ada beberapa orang dari (kalangan) manusia meminta
perlindungan kepada beberapa laki-laki dari (kalangan) jin, maka
jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan”.
[al-Jin/72:6]
3-
Berlebihan dan melampaui batas dalam mengagungkan Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam sendiri yang melarang hal ini dalam sabda beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam: “Janganlah kalian berlebihan dan
melampaui batas dalam memujiku seperti orang-orang Nashrani berlebihan
dan melampaui batas dalam memuji (Nabi Isa) bin Maryam, karena
sesungguhnya aku adalah hamba (Allâh), maka katakanlah: hamba
Allâh dan rasul-Nya”. [12]
Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang hamba yang tidak
mungkin ikut memiliki sebagian dari sifat-sifat khusus yang dimiliki
Allâh Azza wa Jalla, seperti mengetahui ilmu gaib, memberikan
manfaat atau mudharat bagi manusia, mengatur alam semesta, dan
lain-lain. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ
لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ ۚ
وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا
مَسَّنِيَ السُّوءُ ۚ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ
يُؤْمِنُونَ
“Katakanlah:
“Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak
(pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan
seandainya aku mengetahui yang gaib, tentulah aku akan melakukan
kebaikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan.
Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira
bagi orang-orang yang beriman”. [al-A’râf/7:188]
Di
antara Bentuk Pengagungan Yang Berlebihan Dan Melampaui Batas Kepada
Rasulullâh Shallallahu Alaihi Wa Sallam adalah sebagai berikut:
•
Meyakini bahwa beliau mengetahui perkara yang gaib dan bahwa dunia
diciptakan karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
•
Memohon pengampunan dosa dan masuk surga kepada beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam, karena semua perkara ini adalah khusus milik
Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan tidak ada seorang makhluk pun
yang ikut serta memilikinya.
•
Melakukan safar (perjalanan jauh) dengan tujuan menziarahi kuburan
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam sendiri yang melarang perbuatan ini dalam sabda
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak boleh
melakukan perjalanan (dengan tujuan ibadah) kecuali ke tiga masjid:
Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha”. [13]
Semua
hadits yang menyebutkan keutamaan melakukan perjalanan untuk
mengunjungi kuburan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
hadits yang lemah dan tidak benar penisbatannya kepada beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang ditegaskan oleh
sejumlah imam ahli hadits.
Adapun
melakukan perjalanan untuk melakukan shalat di Masjid Nabawi maka ini
adalah perkara yang dianjurkan dalam Islam berdasarkan hadits yang
shahih.[14]
•
Meyakini bahwa keutamaan Masjid Nabawi disebabkan adanya kuburan
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini jelas
merupakan kesalahan yang sangat fatal, karena Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebutkan keutamaan shalat
di Masjid Nabawi sebelum beliau wafat.
4-
Berlebihan dan melampaui batas dalam mengagungkan kuburan orang-orang
shaleh yang terwujudkan dalam berbagai bentuk, di antaranya:
• Memasukkan kuburan ke dalam masjid dan meyakini adanya keberkahan dengan masuknya kuburan tersebut.
Ini
bertentangan dengan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Allâh melaknat orang-orang Yahudi dan Nashrani, (kerena)
mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid (tempat
ibadah)” [15]
Dalam
hadits lain, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian
selalu menjadikan kuburan para nabi dan orang-orang shaleh (di antara)
mereka sebagai masjid (tempat ibadah), maka janganlah kalian (wahai
kaum Muslimin) menjadikan kuburan sebagai masjid, sesungguhnya aku
melarang kalian dari perrbuatan tersebut” [16]
• Membangun (meninggikan) kuburan dan mengapur (mengecat)nya.
Dalam hadits yang shahih, Jâbir bin ‘Abdillâh Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengapur (mengecat) kuburan, duduk di atasnya, dan membangun di atasnya”.[17]
Dalam hadits yang shahih, Jâbir bin ‘Abdillâh Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengapur (mengecat) kuburan, duduk di atasnya, dan membangun di atasnya”.[17]
Perbuatan-perbuatan
ini dilarang karena merupakan sarana yang membawa kepada perbuatan
syirik (menyekutukan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan
orang-orang shaleh tersebut).
5-
Termasuk perbuatan yang merusak tauhid dan akidah seorang Muslim adalah
menggantungkan jimat -baik berupa benang, manik-manik atau benda
lainnya- pada leher, tangan, atau tempat-tempat lainnya, dengan
meyakini jimat tersebut sebagai penangkal bahaya dan pengundang
kebaikan.
Perbuatan
ini dilarang keras oleh Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau yang artinya:
“Barangsiapa yang menggantungkan jimat, sungguh dia telah berbuat
syirik”. [18]
6-
Demikian juga perbuatan tathayyur, yaitu menjadikan sesuatu sebagai
sebab kesialan atau keberhasilan suatu urusan, padahal Allâh
Subhanahu wa Ta’ala tidak menjadikannya sebagai sebab yang
berpengaruh.
Perbuatan
ini juga dilarang keras oleh Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau yang artinya:
“(Melakukan) ath-thiyarah adalah kesyirikan”. [19]
7-
Demikian juga perbuatan bersumpah dengan nama selain Allâh Azza
wa Jalla. Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
yang artinya: “Barangsiapa bersumpah dengan (nama) selain
Allâh, sungguh dia telah berbuat syirik”.[20]
NASIHAT DAN PENUTUP
Demikianlah beberapa contoh praktek perbuatan syirik yang terjadi di masyarakat. Hendaknya fakta tersebut menjadikan seorang Muslim selalu memikirkan dan mengkhawatirkan dirinya akan kemungkinan terjerumus ke dalam perbuatan tersebut. Karena siapa yang mampu menjamin dirinya dan keluarganya selamat dari keburukan yang terjadi pada orang-orang yang hidup disekitarnya?
Demikianlah beberapa contoh praktek perbuatan syirik yang terjadi di masyarakat. Hendaknya fakta tersebut menjadikan seorang Muslim selalu memikirkan dan mengkhawatirkan dirinya akan kemungkinan terjerumus ke dalam perbuatan tersebut. Karena siapa yang mampu menjamin dirinya dan keluarganya selamat dari keburukan yang terjadi pada orang-orang yang hidup disekitarnya?
Kalau
Nabi Ibrâhim Alaihissallam saja sampai mengkhawatirkan dirinya
dan keluarganya terjerumus dalam perbuatan menyembah kepada selain
Allâh (syirik), dengan berdoa kepada Allah ‘jauhkanlah
diriku dan anak cucuku dari (perbuatan) menyembah berhala’
(Ibrâhim:35), padahal beliau Alaihissallam adalah nabi mulia yang
merupakan panutan dalam kekuatan iman, kekokohan tauhid, serta
ketegasan dalam memerangi syirik dan pelakunya, maka sudah tentu kita
lebih pantas lagi mengkhawatirkan hal tersebut menimpa diri dan
keluarga kita, dengan semakin bersungguh-bersungguh berdoa dan meminta
perlindungan kepada-Nya agar dihindarkan dari semua perbuatan tersebut
dan pintu-pintu yang membawa kepadanya.
Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan doa perlindungan
dari segala bentuk syirik kepada Sahabat yang mulia, Abu Bakar
ash-Shiddîq Radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi :
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya
Allâh, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan
menyekutukan-Mu yang aku ketahui, dan aku memohon ampun kepada-Mu dari
apa yang tidak aku ketahui (sadari)” [21].
Juga
tentu saja, dengan semakin giat mengusahan langkah-langkah untuk kian
memantapkan akidah tauhid dalam diri kita yang terwujud dalam
meningkatnya semangat mempelajari ilmu tentang tauhid dan keimanan,
serta berusaha semaksimal mungkin mempraktekkan dan merealisasikannya
dalam kehidupan sehari-hari. Wallâhu a’lam
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 04-05/Tahun XIV/1431/2010M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
_______
Footnote
[1]. Hadits shahih riwayat Abu Dâwud no. 4252, at-Tirmidzi no. 2219 dan Ibnu Mâjah no. 3952.
[2]. Lihat kitab al-‘Aqîdatul Islâmiyyah, Muhammad bin Jamil Zainu, hlm. 33-34
[3]. Kitâbut Tauhîd, Shâleh bin Fauzân al-Fauzân, hlm. 8
[4]. Ini adalah nama-nama orang shaleh dari umat Nabi Nûh Alaihissallam , yang kemudian setelah mereka wafat, kaumnya menjadikan patung-patung mereka sebagai sembahan selain Allâh k . Lihat QS Nûh/71:23
[5]. Sebagaimana yang disebutkan dalam QS. az-Zumar/39:3
[6]. Sebagaimana yang disebutkan dalam QS. Yûnus/10:18
[7]. Kasyfusy Syubuhât hlm. 7
[8]. Al-‘Aqîdatul Islâmiyyah hlm. 46
[9]. Pembahasan ini diringkas dari kitab Mukhâlafât fit Tauhîd, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz ar-Rayyis, dengan sedikit tambahan dan penyesuaian
[10]. HR. Ahmad (2/429) dan al-Hâkim (1/49). Lihat ash-Shahîhah no. 3387
[11]. Hum Laisu Bisyai hlm. 4
[12]. HR. al-Bukhâri no. 3261
[13]. HR. al-Bukhâri no. 1132 dan Muslim no. 1397
[14]. HR. al-Bukhâri no. 1133 dan Muslim no. 1394
[15]. HR. al-Bukhâri no. 1265 dan Muslim no. 529
[16]. HR. Muslim no. 532
[17]. HR. Muslim (no. 970).
[18]. HR. Ahmad (4/156). Lihat ash-Shahîhah no. 492
[19]. HR. Abu Dâwud no. 3910, at-Tirmidzi no. 1614 dan Ibnu Mâjah no. 3538. Lihat ash-Shahîhah no. 429
[20]. HR. Abu Dâwud (no. 3251) dan at-Tirmidzi (no. 1535). Lihat ash-Shahîhah no. 2042
[21]. Hadits shahih riwayat al-Bukhâri, al-Adabul Mufrad no. 716 dan Abu Ya’la no. 60.
_______
Footnote
[1]. Hadits shahih riwayat Abu Dâwud no. 4252, at-Tirmidzi no. 2219 dan Ibnu Mâjah no. 3952.
[2]. Lihat kitab al-‘Aqîdatul Islâmiyyah, Muhammad bin Jamil Zainu, hlm. 33-34
[3]. Kitâbut Tauhîd, Shâleh bin Fauzân al-Fauzân, hlm. 8
[4]. Ini adalah nama-nama orang shaleh dari umat Nabi Nûh Alaihissallam , yang kemudian setelah mereka wafat, kaumnya menjadikan patung-patung mereka sebagai sembahan selain Allâh k . Lihat QS Nûh/71:23
[5]. Sebagaimana yang disebutkan dalam QS. az-Zumar/39:3
[6]. Sebagaimana yang disebutkan dalam QS. Yûnus/10:18
[7]. Kasyfusy Syubuhât hlm. 7
[8]. Al-‘Aqîdatul Islâmiyyah hlm. 46
[9]. Pembahasan ini diringkas dari kitab Mukhâlafât fit Tauhîd, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz ar-Rayyis, dengan sedikit tambahan dan penyesuaian
[10]. HR. Ahmad (2/429) dan al-Hâkim (1/49). Lihat ash-Shahîhah no. 3387
[11]. Hum Laisu Bisyai hlm. 4
[12]. HR. al-Bukhâri no. 3261
[13]. HR. al-Bukhâri no. 1132 dan Muslim no. 1397
[14]. HR. al-Bukhâri no. 1133 dan Muslim no. 1394
[15]. HR. al-Bukhâri no. 1265 dan Muslim no. 529
[16]. HR. Muslim no. 532
[17]. HR. Muslim (no. 970).
[18]. HR. Ahmad (4/156). Lihat ash-Shahîhah no. 492
[19]. HR. Abu Dâwud no. 3910, at-Tirmidzi no. 1614 dan Ibnu Mâjah no. 3538. Lihat ash-Shahîhah no. 429
[20]. HR. Abu Dâwud (no. 3251) dan at-Tirmidzi (no. 1535). Lihat ash-Shahîhah no. 2042
[21]. Hadits shahih riwayat al-Bukhâri, al-Adabul Mufrad no. 716 dan Abu Ya’la no. 60.
Sumber: https://almanhaj.or.id/2841-waspada-syirik-di-sekitar-kita.html