Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam; Tiada ilah yang berhak disembah melainkan Dia. Shalawat dan salam semoga Allah tetapkan atas Nabi Muhammad Shallallâhu ’alayhi wa Sallam, juga keluarga, para shahabat, dan para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.
“Tak kenal maka tak sayang” mungkin ungkapan ini sangatlah pas untuk kita dendangkan. Sebab menjadi sebuah keharusan, jika kita ingin mengetahui gambaran yang benar tentang hakikat ulama, kita harus bisa membedakan mana yang ulama dan mana yang bukan ulama, atau yang kemungkinan besar dianggap ulama—padahal bukan ulama.
Tentunya, hal ini sangat diperlukan agar kita tidak mudah tertipu oleh orang yang mengaku-ngaku atau yang diaku-aku sebagai ulama. Hal itu hanya bisa diwujudkan dengan mengenali karakter dan ciri masing-masing. “Tak kenal maka tak sayang.” Berikut ulasan lebih lanjut.
Beda ulama dan Qari`
Yang dimaksud qari` di sini ialah orang yang membaca satu bidang ilmu tertentu tanpa memahami apa yang dibacanya. Bisa berupa Alquran, hadis, tafsir, fikih, atau yang lainnya. Hal ini telah diisyaratkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam jauh-jauh hari sebelum ia wafat,
سَيَأْتِي عَلَى أُمَّتِي زَمَانٌ يَكْثُرُ فِيْهِ اْلقُرَّاءُ وَيَقِلُّ فِيْهِ اْلفُقَهَاءُ وَيُقْبَضُ اْلعِلْمُ وَيَكْثُرُ الْهَرَجُ
“Akan datang di suatu masa nanti yang qari’nya lebih banyak daripada ahli fikihnya. Ilmu akan dicabut sehingga tersebarlah kekacauan.” (HR. Thabrani dan Al Hakim).
Apa yang disabdakan Nabi kita tercinta itu kini sudah menjadi kenyataan. Kita begitu mudahnya menjumpai orang yang membaca di mana-mana. Tua, muda, laki-laki, dan perempuan. Di perpustakaan, di masjid, di pusat perbelanjaan, bahkan di angkutan umum. Namun, sangat jarang kita dapati diantara pambaca itu yang betul-betul memahami apa yang telah dibacanya itu. Terlebih-lebih yang berkaitan dengan ilmu agama, sangat sedikit orang yang membacanya sekaligus bisa memahaminya. Paling banter, mencuplik poin-poin tertentu saja yang dianggap cocok dan sesuai dengan seleranya. Selebihnya, ditinggal begitu saja tanpa peduli lagi.
Begitulah keadaan umat ini sekarang. Sungguh, orang yang seperti itu dahulu pun sudah muncul dan terus berkembang hingga hari ini. Bahkan bacaan mereka pun adalah sebaik-baik bacaan. Namun, sayang seribu sayang, bacaan mereka itu hanyalah sampai di kerongkongan saja, tidak mampu menerangi hati. “Mereka mambaca Alquran namun bacaannya itu tidak melewati tenggorokan mereka,” begitu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menegaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Dari situ, perbedaan antara ulama dan qari bisa dijabarkan sebagai berikut. Qari adalah orang yang hanya mempelajari agama Islam melalui buku-buku atau kitab-kitab yang dibacanya. Sehingga dari situ terkumpullah beberapa maklumat yang disimpulkannya dari bacaan-bacaannya itu. Meskipun ia berpindah-pindah dari satu tema ke tema yang lainnya, namun pada kenyataannya ia tidaklah menguasi apa yang telah dibacanya itu. Hal itu akan terbukti manakala ia ditanyai suatu permasalahan, ia akan menjawabnya dengan jawaban yang mengambang. Terlebih jika permasalahan yang ditanyakan itu, tidak tercantum dalam buku yang dibacanya. Sebab ia sama sekali tidak menguasai prinsip dan kaedah dasar dalam menyimpulkan suatu permasalahan.
Itulah orang yang oleh adz-Dzahabi dalam kitab Siyarnya (jilid VII hal. 153) disifati sebagai sekelompok orang yang tampak lahirnya seperti ahli ilmu. Padahal, lanjutnya, apa yang dikuasinya hanyalah secuil dari lautan ilmu. Dengan ilmunya yang secuil itu, ia menganggap dirinya sebagai seorang ulama besar. Ia, paparnya kemudian, tidaklah mungkin bisa beribadah kepada Allah hanya bermodalkan bekal yang begitu pas-pasannya itu. Sebab ia tidak pernah bertemu seorang ulama pun yang akan menuntunnya dalam menuntut ilmu. Ia layaknya tong kosong yang berbunyi nyaring. Kerjaannya hanyalah mengumpulkan buku-buku bagus lalu membacanya, tanpa bisa menyaring informasi yang terkandung di dalamnya.
Lain daripada itu, al-Khatib al-Baghdadi menyifati mereka, dalam al-Jami’ fi Akhlaq ar-Rawi jilid I hal. 75, “Aku pernah menjumpai segelintir orang di zamanku yang menasabkan diri dan mengaku-ngaku sebagai ahli hadits, padahal mereka sangatlah tidak layak untuk dicap demikian. Bila telah menulis beberapa bilangan dan menyibukkan diri dengan menyimak hadits dalam waktu yang sebentar, seorang dari mereka sudah merasa sebagai ahli hadits mutlak. Padahal, ia sama sekali belum maksimal dalam menuntut ilmu dan belum pernah mencobai aneka susah payah dalam menghafalnya… Hanya saja dengan pengalaman dan pengetahuan yang minim itu, justru mereka memiliki rasa takabur dan ujub yang tinggi. Tak ada rasa hormat terhadap ulama, tak mensupport penuntut ilmu untuk memikul kewajiban ilmu, jahil terhadap hakikat para perawi, dan berlaku kasar terhadap orang yang berniat belajar. Hal-hal yang justru bertentangan dengan ilmu yang mereka dapat, dan tak selaras dengan kewajiban yang ada di pundak mereka”.
Sedangkan ulama, ungkap ‘Abdurrahman Luwaihiq dalam Qawaidnya hal. 33, adalah orang yang memiliki pemahaman yang universal terhadap Islam, serta menekuni sekaligus menguasai prinsip dan kaidah dasar untuk menyimpulkan hukum secara global. Ia tidaklah seperti qari yang membaca hanya untuk memahaminya secara parsial saja. Namun, ia betul-betul mempelajarinya secara menyeluruh dan mampu menyimpulkannya sesuai dengan prinsip dan kaedah dasarnya. Ia benar-benar memiliki kemampuan memahami nas-nas Alquran dan Sunnah serta mengetahui maksud dan tujuan umum dari syariat Islam itu sendiri. Ia tidaklah merengkuh Ilmu lewat begadang semalaman. Namun, ia merengkuhnya melalui kerja keras dan begadang berhari-hari siang-malam tanpa kenal lelah. Dan ia senantiasa menuntut ilmu dan terus belajar. Baginya, menuntut ilmu itu tiada kata akhirnya.
Adz-Dzahabi menyebutkan, seperti yang dikutip al-Luwaihiq dalam Qawaidnya hal. 33, bahwa Ahmad bin Hanbal pernah berujar, “Saya akan menuntut ilmu sampai masuk kubur.” Begitulah seorang ulama itu. Bahkan tidak cukup sampai di situ. Ia juga senantiasa menasehati yang lainnya agar menuntut ilmu kepada seorang ulama yang dikenal akan kesungguhan dan keseriusannya. Sebab hal itu adalah bukti kuat bahwa ia adalah seorang ulama.
Meskipun demikian, ada kalanya memang bahwa orang awam itu tertipu dengan penampilan luar seorang qari`. Sebab ia menguasai permasalahan tertentu yang banyak diperdebatkan orang. Ketika mulai berdiskusi dengan lancarnya ia menyebutkan perkataan ulama dan dalilnya satu-persatu. Maka orang yang tidak tahu perbedaan antara ulama dan qari akan menyangkanya sebagai seorang ulama. Dan karena kepiawaiannya menganalogikan satu permasalahan dengan permasalahannya lainnya lengkap dengan dalilnya, maka orang awam pun juga akan menganggapnya sebagai ulama.
Adapun ulama sejati adalah yang menghafal hukum-hukum yang bersumber pada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Menjelaskan ayat-ayat Al Quran beserta dengan sebab-sebab turunnya. Menetapkan mana ayat yang dinasakh dan mana yang menasakh. Dan membedakan mana ayat yang jelas dan mana yang samar.
Di samping itu, ulama sejati adalah yang membukukan perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam secara cermat dan teliti. Ia bisa menjelaskan mana yang diucapkannya dan mana diperbuatnya. Baik itu dalam kondisi terjaga atau tidurnya. Duduk atau berdirinya. Tinggal atau bepergiannya. Makan atau minumnya. Dan seterusnya. Sampai hal yang terkecil seperti kuku jari pun, ia bisa menjelaskan apa yang pernah diperbuat baginda nabi terhadapnya. Bahkan riwayat hidup para shahabat pun, ia bisa menjelaskannya dengan segamblang-gambalngnya.
Ya, begitulah ulama sejati itu. Ia memahami dengan benar bagaimana syariat Islam itu turun. Selain itu, ia juga menguasai kaidah-kaidah dasar Islam. Dengan kaidah-kaidah itulah, ia menimbang dan menghukumi permasalahan-permasalahan yang kontemporer.
Semua hal ini adalah hasil jerih payah dan susah-duka mereka dalam menuntut ilmu; bersungguh-sungguh dan sepenuh dedikasi membersamai ilmu. Maka tak heran jika kisah perjalanan ilmiah mereka menjadi acuan bagi kesungguhan mereka dalam menuntut ilmu.
Imam Ahmad bin Hanbal pernah mengomentari ‘Abdullah Ibnul Mubarak, sebagaimana tulis al-Khatib al-Baghdadi dalam ar-Rihah fi Thalabil Hadits hal. 91, “Pada zamannya, tak ada yang mengungguli Ibnul Mubarak dalam hal menuntut ilmu. Ia sudah berkeliling ke Yaman, Mesir, Syam, Bashrah, dan Kufah. Ia termasuk perawi hadits, bahkan ahlinya.”
Sementara itu di tempat lain, di kitab al-Majruhin karya Ibnu Hibban, beliau berkata, “Bila kalian berjumpa dengan seseorang yang terkenal akan susah-dukanya dalam menuntut ilmu, maka belajarlah ilmu padanya”.
***
Penulis: Abu Hasan Abdillah, BA., MA.
Artikel Muslim.Or.Id
Sumber: https://muslim.or.id/24693-mengenal-ulama-lebih-dekat-3.html