Segala puji bagi Allah
yang telah mengutus rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar. Salawat dan
salam semoga tercurah kepada nabi kita Muhammad, para sahabatnya, dan segenap
pengikut setia mereka. Amma ba’du.
Surat al-Fatihah
adalah surat yang paling agung di dalam al-Qur’an. Hal itu sebagaimana telah
ditegaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Sa’id bin al-Mu’alla radhiyallahu’anhu sebagaimana
disebutkan oleh Imam Bukhari rahimahullah dalam Sahihnya di Kitab Tafsir
al-Qur’an (hadits no. 4474).
Membaca surat
al-Fatihah merupakan rukun di dalam sholat. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Tidak sah sholat bagi orang yang tidak membaca
Fatihatul Kitab/Surat al-Fatihah.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Adzan
no. 756).
Di dalam surat
al-Fatihah terkandung banyak pelajaran seputar masalah aqidah dan pokok-pokok
agama. Oleh sebab itu kita dapati para ulama memiliki perhatian besar
terhadapnya. Hal itu bisa kita lihat dari karya-karya yang mereka susun untuk
menguraikan kandungan faidah surat yang agung ini. Berikut ini kami sebutkan
beberapa karya ulama seputar al-Fatihah :
Pertama; Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah
memiliki sebuah risalah dengan judul ‘Ba’dhu Fawa’id min Suratil Fatihah’.
Di dalamnya beliau menjelaskan secara ringkas kandungan masalah aqidah dan
tauhid dari surat al-Fatihah. Risalah ini telah dijelaskan oleh Syaikh Shalih
al-Fauzan hafizhahullah dalam Syarh Ba’dhu Fawa’id min Suratil
Fatihah.
Kedua; Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah
telah membahas kandungan-kandungan faidah dari surat al-Fatihah dalam pelajaran
Ahkam min al-Qur’an al-Karim yang disiarkan dalam program siaran radio di
Saudi Arabia dan pelajaran ini pun sudah dibukukan dan diterbitkan (surat
al-Fatihah – surat al-Baqarah).
Ketiga; Syaikh Abdullah bin Ibrahim al-Qar’awi hafizhahullah
memiliki sebuah risalah khusus yang membahas kandungan pelajaran aqidah dari
surat al-Fatihah. Risalah itu berjudul ‘Tafsir Suratil Fatihah wa yalihi
al-Masa’il al-Mustanbathah minhaa’.
Keempat; Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr hafizhahullah
memiliki sebuah kitab ringkas yang membahas berbagai kandungan pelajaran dan
faidah dari surat al-Fatihah. Kitab itu berjudul ‘Min Hidayati Suratil
Fatihah’.
Pelajaran Tentang Tauhid
Di dalam surat
al-Fatihah terkandung pelajaran tauhid. Sebagaimana telah dijelaskan para ulama
bahwa tauhid adalah mengesakan Allah dalam hal-hal yang menjadi kekhususan-Nya.
Kekhususan Allah itu terbagi tiga; rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat.
Surat al-Fatihah telah menyimpan faidah dan pelajaran mengenai ketiga macam
tauhid ini.
Di dalam ayat yang
berbunyi ‘alhamdulillahi Rabbil ‘alamin’ terkandung tauhid rububiyah. Di
dalam ayat yang berbunyi ‘ar-rahmanir rahiim’ dan ‘maaliki yaumid
diin’ terkandung tauhid asma’ wa shifat. Di dalam ayat yang berbunyi ‘iyyaka
na’budu wa iyyaka nasta’in’ terkandung tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah
(lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam Syarh
Ba’dhu Fawa’id min Suratil Fatihah di dalam Silsilah Syarh Rasa’il,
hal. 181).
Syaikh Muhammad bin
Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Di dalam firman-Nya (yang
artinya), ‘Rabb seru sekalian alam’ terkandung penetapan rububiyah Allah
‘azza wa jalla. Rabb itu adalah Dzat yang menciptakan, menguasai dan
mengatur. Maka tidak ada pencipta selain Allah, tidak ada penguasa kecuali
Allah, dan tidak ada pengatur selain Allah ‘azza wa jalla.” (lihat Ahkam
minal Qur’anil Karim, hal. 12).
Bahkan, di dalam ayat
(yang artinya), “Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam” telah
terkandung ketiga macam tauhid itu. Di dalam kalimat ‘alhamdulillah’
terkandung tauhid uluhiyah. Hal itu disebabkan karena penyandaran pujian oleh
hamba kepada Allah adalah termasuk ibadah dan sanjungan kepada-Nya. Adapun
tauhid rububiyah maka itu dapat dipetik dari kandungan ungkapan ‘rabbil
‘alamin’ bahwa Allah adalah pencipta dan penguasa alam semesta. Adapun
tauhid asma’ wa shifat telah terkandung di dalam ayat ini karena di dalamnya
disebutkan dua buah nama Allah yaitu ‘Allah’ dan ‘ar-Rabb’ (lihat
penjelasan Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah dalam Min
Kunuzil Qur’anil Karim dalam Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 1/150).
Di dalam kalimat ‘alhamdulillah’
juga terkandung tauhid uluhiyah dari sisi makna kata ‘lillah’. Karena
kata ‘Allah’ dalam bahasa arab memiliki makna al-ma’luh al-ma’bud;
yaitu Dzat yang disembah dan diibadahi (lihat keterangan Syaikh Abdurrazzaq
al-Badr hafizhahullah dalam al-Mukhtashar al-Mufid fi Bayani Dala’ili
Aqsamit Tauhid, hal. 15).
Syaikh Abdul Muhsin
al-‘Abbad hafizhahullah berkata, “Dan firman-Nya (yang artinya), ‘Yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang’ di dalamnya terkandung tauhid asma’ wa
shifat. ar-Rahman dan ar-Rahim adalah dua buah nama diantara nama-nama Allah.
Kedua nama ini menunjukkan salah satu sifat yang dimiliki Allah yaitu
rahmat/kasih sayang.” (lihat keterangan Syaikh ini dalam Syarh Hadits Jibril
fi Ta’limid Diin dalam Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 3/29).
Syaikh Shalih
al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Di dalam kalimat ‘iyyaka na’budu’
terkandung tauhid uluhiyah yaitu mengesakan Allah dengan perbuatan-perbuatan
hamba yang disyari’atkan oleh Allah untuk mereka, karena uluhiyah bermakna ibadah.
Dan ibadah itu adalah bagian dari perbuatan hamba. Adapun ‘wa iyyaka
nasta’in’ mengandung tauhid rububiyah. Karena pertolongan adalah salah satu
perbuatan Rabb Yang Maha Suci. Dan tauhid rububiyah itu adalah mengesakan Allah
dalam hal perbuatan-perbuatan-Nya.” (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal.
195).
Ketika mengomentari
kalimat Iyyaka na’bdu wa iyyaka nasta’in, Qatadah rahimahullah
berkata, “Allah memerintahkan kalian untuk mengikhlaskan ibadah kepada-Nya dan
supaya kalian meminta pertolongan kepada-Nya dalam segala urusan kalian.” Ayat
ini bermakna “Kami tidak beribadah kecuali kepada-Mu, dan kami tidak bertawakal
kecuali kepada-Mu.” (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 19, Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim [1/34]). Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang bertawakal
kepada makhluk telah berbuat syirik (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal.
31).
Syaikh Muhammad bin
Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Bertawakal kepada sesuatu
artinya bersandar kepadanya. Adapun bertawakal kepada Allah maksudnya adalah
menyandarkan diri kepada Allah ta’ala dalam rangka mencukupi dan
memenuhi keinginannya, baik ketika mencari kemanfaatan ataupun ketika menolak
kemadharatan. Ia merupakan bagian kesempurnaan iman dan tanda keberadaannya.”
(lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 38).
Syaikh al-Utsaimin rahimahullah
berkata, “Tawakal adalah separuh agama. Oleh sebab itu kita biasa mengucapkan
dalam sholat kita Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in (hanya kepada-Mu
kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan). Kita memohon
kepada Allah pertolongan dengan menyandarkan hati kepada-Nya bahwasanya Dia
akan membantu kita dalam beribadah kepada-Nya. Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya.” (Hud :
123). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Kepada-Nya lah aku
bertawakal dan kepada-Nya aku akan kembali.” (Hud : 88). Tidak mungkin
merealisasikan ibadah tanpa tawakal. Apabila seorang insan diserahkan kepada
dirinya sendiri itu artinya dia disandarkan kepada kelemahan dan
ketidakmampuan, sehingga dia tidak akan sanggup untuk beribadah dengan baik.”
(lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [2/28]).
Syaikh Shalih
al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Tawakal kepada Allah adalah sebuah
kewajiban yang harus diikhlaskan (dimurnikan) untuk Allah semata. Ia merupakan
jenis ibadah yang paling komprehensif, maqam/kedudukan tauhid yang tertinggi,
teragung, dan termulia. Karena dari tawakal itulah tumbuh berbagai amal salih.
Apabila seorang hamba bersandar kepada Allah semata dalam semua urusan agama
maupun dunianya, tidak kepada selain-Nya, niscaya keikhlasan dan interaksinya
dengan Allah menjadi benar.” (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad,
hal. 91).
Syaikh as-Sa’di rahimahullah
berkata, “Tawakal kepada Allah adalah salah satu kewajiban tauhid dan iman
yang terbesar. Sesuai dengan kekuatan tawakal maka sekuat itulah keimanan
seorang hamba dan bertambah sempurna tauhidnya. Setiap hamba sangat membutuhkan
tawakal kepada Allah dan memohon pertolongan kepada-Nya dalam segala hal yang
ingin dia lakukan atau dia tinggalkan, baik dalam urusan agama maupun dalam
urusan dunia.” (lihat al-Qaul as-Sadid ‘ala Maqashid at-Tauhid, hal.
101).
Kesimpulan dari
keterangan para ulama di atas adalah bahwa surat al-Fatihah mengajarkan kepada
kita untuk mengesakan Allah dalam hal rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa
shifat-Nya. Artinya kita wajib meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya
pencipta, penguasa, dan pengatur alam semesta ini. Kita juga wajib meyakini
bahwa hanya Allah sesembahan yang benar, sedangkan semua sesembahan selain-Nya
adalah batil. Kita pun harus meyakini nama-nama dan sifat-sifat Allah
sebagaimana telah disebutkan dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah. Dan diantara
ketiga macam tauhid ini maka yang paling pokok dan paling penting adalah tauhid
uluhiyah. Tauhid uluhiyah inilah yang menjadi misi utama dakwah para rasul ‘alaihimus
salam.
Macam-Macam Tauhid
Iman kepada Allah
mencakup iman terhadap wujud Allah, iman terhadap rububiyah-Nya, uluhiyah-Nya,
dan asma’ wa shifat-Nya. Oleh sebab itu wajib mentauhidkan Allah dalam hal
rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat (lihat keterangan Syaikh Abdul Muhsin
al-‘Abbad hafizhahullah dalam Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin,
3/28).
Mentauhidkan Allah
dalam hal rububiyah maksudnya adalah meyakini bahwa Allah itu esa dalam hal
perbuatan-perbuatan-Nya seperti mencipta, memberikan rizki, menghidupkan,
mematikan, dan mengatur segala urusan di alam semesta ini. Tidak ada sekutu
bagi Allah dalam perkara-perkara ini (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin,
3/28).
Mentauhidkan Allah
dalam hal uluhiyah maksudnya adalah mengesakan Allah dengan perbuatan-perbuatan
hamba seperti dalam berdoa, merasa takut, berharap, tawakal, isti’anah,
isti’adzah, istighotsah, menyembelih, bernazar, dsb. Oleh sebab itu ibadah-ibadah
itu tidak boleh dipalingkan kepada selain-Nya siapa pun ia; apakah dia malaikat
ataupun nabi terlebih-lebih lagi selain mereka (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil
Muhsin, 3/28)
Mentauhidkan Allah
dalam hal asma’ wa shifat maksudnya adalah menetapkan segala nama dan sifat
Allah yang telah ditetapkan oleh Allah sendiri atau oleh rasul-Nya shallallahu
‘alaihi wa sallam sesuai dengan kesempurnaan dan kemuliaan-Nya tanpa melakukan
takyif/membagaimanakan dan tanpa tamtsil/menyerupakan, tanpa tahrif/menyelewengkan,
tanpa ta’wil/menyimpangkan, dan tanpa ta’thil/menolak serta menyucikan Allah
dari segala hal yang tidak layak bagi-Nya (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil
Muhsin, 3/28).
Pembagian tauhid ini
bisa diketahui dari hasil penelitian dan pengkajian secara komprehensif
terhadap dalil-dalil al-Kitab dan as-Sunnah (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil
Muhsin, 3/28). Pembagian tauhid menjadi tiga semacam ini adalah perkara
yang menjadi ketetapan dalam madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Maka barangsiapa
menambahkan menjadi empat atau lima macam itu merupakan tambahan dari dirinya
sendiri. Karena para ulama membagi tauhid menjadi tiga berdasarkan kesimpulan
dari al-Kitab dan as-Sunnah (lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah
dalam at-Ta’liqat al-Mukhtasharah ‘alal ‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal.
28).
Semua ayat yang
membicarakan tentang perbuatan-perbuatan Allah maka itu adalah tercakup dalam
tauhid rububiyah. Dan semua ayat yang membicarakan tentang ibadah, perintah
untuk beribadah dan ajakan kepadanya maka itu mengandung tauhid uluhiyah. Dan
semua ayat yang membicarakan tentang nama-nama dan sifat-sifat-Nya maka itu
mengandung tauhid asma’ wa shifat (lihat at-Ta’liqat al-Mukhtasharah ‘alal
‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 29).
Kaitan antara ketiga
macam tauhid ini adalah; bahwa tauhid rububiyah dan tauhid asma’ wa shifat
mengkonsekuensikan tauhid uluhiyah. Adapun tauhid uluhiyah mengandung keduanya.
Artinya barangsiapa yang mengakui keesaan Allah dalam hal uluhiyah maka secara
otomatis dia pun mengakui keesaan Allah dalam hal rububiyah dan asma’ wa
shifat. Orang yang meyakini bahwa Allah lah sesembahan yang benar -sehingga dia
pun menujukan ibadah hanya kepada-Nya- maka dia tentu tidak akan mengingkari
bahwa Allah lah Dzat yang menciptakan dan memberikan rizki, yang menghidupkan
dan mematikan, dan bahwasanya Allah memiliki nama-nama yang terindah dan
sifat-sifat yang mulia (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 3/30).
Adapun orang yang
mengakui tauhid rububiyah dan tauhid asma’ wa shifat maka wajib baginya untuk
mentauhidkan Allah dalam hal ibadah (tauhid uluhiyah). Orang-orang kafir yang
didakwahi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengakui
tauhid rububiyah akan tetapi pengakuan ini belum bisa memasukkan ke dalam
Islam. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi mereka supaya
mereka beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan sesembahan selain-Nya.
Oleh sebab itu di dalam al-Qur’an seringkali disebutkan penetapan tauhid
rububiyah sebagaimana yang telah diakui oleh orang-orang kafir dalam rangka mewajibkan
mereka untuk mentauhidkan Allah dalam hal ibadah (lihat Kutub wa Rasa’il
Abdil Muhsin, 3/30-31).
Diantara ketiga macam
tauhid di atas, maka yang paling dituntut adalah tauhid uluhiyah. Sebab itulah
perkara yang menjadi muatan pokok dakwah para rasul dan sebab utama
diturunkannya kitab-kitab dan karena itu pula ditegakkan jihad fi sabilillah
supaya hanya Allah yang disembah dan segala sesembahan selain-Nya ditinggalkan
(lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam at-Ta’liqat
al-Mukhtasharah ‘alal ‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 29).
Seandainya tauhid
rububiyah itu sudah cukup niscaya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak perlu memerangi orang-orang kafir di masa itu. Bahkan itu juga berarti
tidak ada kebutuhan untuk diutusnya para rasul. Maka ini menunjukkan bahwa
sesungguhnya yang paling dituntut dan paling pokok adalah tauhid uluhiyah.
Adapun tauhid rububiyah maka itu adalah dalil atau landasan untuknya (lihat at-Ta’liqat
al-Mukhtasharah ‘alal ‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 30).
Ketika Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengajak kaum musyrikin arab kala itu untuk mengucapkan
kalimat laa ilaha illallah maka mereka pun tidak mau. Karena mereka mengetahui
bahwa maknanya adalah harus meninggalkan segala sesembahan selain Allah.
Allah berfirman (yang
artinya), “Mereka berkata ‘Apakah dia -Muhammad- hendak menjadikan
sesembahan yang banyak ini menjadi satu sesembahan saja, sesungguhnya ini
adalah suatu hal yang sangat mengherankan’.” (Shaad : 5)
Allah juga berfirman
(yang artinya), “Sesungguhnya mereka itu ketika dikatakan kepada mereka laa
ilaha illallah maka mereka menyombongkan diri. Dan mereka mengatakan, ‘Apakah
kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami karena seorang penyair
gila’.” (ash-Shaffat : 35-36)
Hal ini menunjukkan
bahwa mereka -kaum musyrikin di masa itu- tidak menghendaki tauhid uluhiyah.
Akan tetapi mereka menginginkan bahwa sesembahan itu banyak/berbilang sehingga
setiap orang bisa menyembah apa pun yang dia kehendaki. Oleh sebab itu perkara
semacam ini harus diketahui, karena sesungguhnya semua penyeru aliran sesat
yang lama maupun yang baru senantiasa memfokuskan dalam hal tauhid rububiyah.
Sehingga apabila seorang hamba sudah meyakini bahwa Allah sebagai pencipta dan
pemberi rizki menurut mereka inilah seorang muslim. Dengan pemahaman itulah
mereka menulis aqidah mereka. Semua aqidah yang ditulis oleh kaum Mutakallimin
tidak keluar dari perealisasian tauhid rububiyah dan dalil atasnya. Padahal
keyakinan semacam ini tidaklah cukup, sebab harus disertai dengan tauhid
uluhiyah (lihat at-Ta’liqat al-Mukhtasharah ‘alal ‘Aqidah ath-Thahawiyah,
hal. 31).
Allah berfirman (yang
artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang
menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36).
Allah berfirman (yang
artinya), “Dan tidaklah Kami mengutus sebelummu seorang rasul pun melainkan
Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah/sesembahan yang benar selain Aku,
maka sembahlah Aku saja.” (al-Anbiyaa’ : 25).
Allah berfirman (yang
artinya), “Sembahlah Allah, dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya
sesuatu apapun.” (an-Nisaa’ : 36).
Ilmu Tauhid dalam Surat al-Fatihah
Surat al-Fatihah
mengandung pelajaran yang sangat berharga dalam ilmu tauhid. Di dalamnya Allah
berfirman (yang artinya), “Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya
kepada-Mu kami meminta pertolongan.” (al-Fatihah).
Makna ayat itu adalah ‘kami
mengkhususkan kepada-Mu semata ya Allah dalam beribadah dan kami mengesakan-Mu
semata dalam hal meminta pertolongan’. Oleh sebab itu kita tidak beribadah
kecuali kepada Allah dan kita tidak meminta pertolongan kecuali kepada-Nya. Ini
merupakan tauhid kepada Allah dalam hal ibadah (lihat keterangan Syaikh
Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah dalam Min Hidayati Suratil Fatihah,
hal. 14).
Kalimat ‘iyyaka
na’budu’ merupakan perealisasian dari kalimat tauhid laa ilaha illallah,
sedangkan kalimat ‘iyyaka nasta’in’ mengandung perealisasian dari
kalimat laa haula wa laa quwwata illa billah. Karena laa ilaha
illallah mengandung pengesaan Allah dalam hal ibadah, dan laa haula wa
laa quwwata illa billah mengandung pengesaan Allah dalam hal
isti’anah/meminta pertolongan (lihat Min Hidayati Suratil Fatihah, hal.
15).
Di dalam ‘iyyaka
na’budu’ terkandung pemurnian ibadah untuk Allah semata. Sehingga di
dalamnya pun terkandung bantahan bagi orang-orang musyrik yang beribadah kepada
selain Allah di samping ibadah mereka kepada Allah (lihat keterangan Syaikh
Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam Silsilah Syarh Rasa’il, hal.
183).
Syaikh Shalih
al-Fauzan hafizhahullah berkata, “.. Beribadah kepada Allah dan
meninggalkan ibadah kepada selain-Nya, inilah makna tauhid. Adapun beribadah
kepada Allah tanpa meninggalkan ibadah kepada selain-Nya, ini bukanlah tauhid.
Orang-orang musyrik beribadah kepada Allah, akan tetapi mereka juga beribadah
kepada selain-Nya sehingga dengan sebab itulah mereka tergolong sebagai orang
musyrik. Maka bukanlah yang terpenting itu adalah seorang beribadah kepada
Allah, itu saja. Akan tetapi yang terpenting ialah beribadah kepada Allah dan
meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Kalau tidak seperti itu maka dia tidak
dikatakan sebagai hamba yang beribadah kepada Allah. Bahkan ia juga tidak
menjadi seorang muwahhid/ahli tauhid. Orang yang melakukan sholat, puasa, dan
haji tetapi dia tidak meninggalkan ibadah kepada selain Allah maka dia bukanlah
muslim…” (lihat I’anatul Mustafid, Jilid 1 hal. 38-39).
Ibadah hanya diterima
oleh Allah apabila dilandasi dengan tauhid. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa
yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal salih
dan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dalam beribadah kepada Rabbnya.”
(al-Kahfi : 110). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Simpul pokok ajaran agama ada dua: kita tidak beribadah kecuali hanya kepada
Allah, dan kita beribadah kepada-Nya hanya dengan syari’at-Nya, kita tidak
beribadah kepada-Nya dengan bid’ah-bid’ah. Hal itu sebagaimana firman Allah ta’ala
(yang artinya), “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya,
hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan sesuatupun dalam
beribadah kepada Rabbnya.” (al-Kahfi: 110).” (lihat Da’a’im Minhaj
Nubuwwah, hal. 87).
Allah berfirman (yang
artinya), “Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali supaya beribadah kepada
Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya dengan hanif…” (al-Bayyinah :
5).
Ibadah yang murni
untuk Allah inilah yang dimaksud dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan
tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”
(adz-Dzariyat : 56). Para ulama menafsirkan bahwa makna ‘supaya mereka
beribadah kepada-Ku’ adalah ‘supaya mereka mentauhidkan-Ku dalam
beribadah’ (lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah
dalam Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 329).
Syaikh Shalih
al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Makna ‘supaya mereka beribadah
kepada-Ku’ adalah agar mereka mengesakan Aku (Allah, pent) dalam beribadah.
Atau dengan ungkapan lain ‘supaya mereka beribadah kepada-Ku’ maksudnya
adalah agar mereka mentauhidkan Aku; karena tauhid dan ibadah itu adalah satu
(tidak bisa dipisahkan, pent).” (lihat I’anat al-Mustafid [1/33]).
Imam
al-Baghawi rahimahullah menukil ucapan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma,
beliau berkata, “Setiap istilah ibadah yang disebutkan di dalam al-Qur’an maka
maknanya adalah tauhid.” (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 20).
Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Apabila anda telah mengetahui
bahwasanya Allah menciptakan anda untuk beribadah kepada-Nya, maka ketahuilah
bahwasanya ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah kecuali apabila bersama
dengan tauhid. Sebagaimana halnya sholat tidak disebut sholat kecuali apabila
bersama dengan thaharah/bersuci. Apabila syirik memasuki ibadah maka ia menjadi
batal seperti halnya hadats yang menimpa pada thaharah.” (lihat matan al-Qawa’id
al-Arba’ dalam Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 331).
Syaikh Shalih bin
Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah berkata, “… Sesungguhnya ibadah
tidaklah diterima tanpa tauhid. Hal itu diserupakan dengan thaharah/bersuci
untuk mengerjakan sholat. Karena tauhid merupakan syarat diterimanya ibadah;
yaitu ibadah harus ikhlas. Adapun thaharah adalah syarat sah sholat. Maka
sebagaimana halnya tidak sah sholat tanpa thaharah/bersuci, maka demikian pula
tidaklah sah ibadah siapa pun kecuali apabila dia termasuk orang yang
bertauhid…” (lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’ oleh Syaikh Shalih
alu Syaikh, hal. 8).
Syaikh Abdurrahman bin
Nashir al-Barrak hafizhahullah berkata, “Apabila telah dimaklumi
bahwasanya sholat yang tercampuri dengan hadats maka hal itu membatalkannya,
demikian pula halnya ibadah yang tercampuri syirik maka itu juga akan
merusaknya. Seperti halnya hadats yang mencampuri thaharah maka hal itu
membatalkannya. Akan tetapi apabila syirik yang dilakukan itu termasuk syirik
akbar maka ia membatalkan semua ibadah. Sebagaimana firman Allah ta’ala (yang
artinya), “Sungguh jika kamu berbuat syirik pasti akan lenyap seluruh
amalmu.” (az-Zumar : 65). Dan juga firman-Nya (yang artinya), “Seandainya
mereka berbuat syirik niscaya lenyap seluruh amal yang pernah mereka kerjakan.”
(al-An’am : 88). Adapun apabila ia tergolong syirik ashghar maka akibatnya
adalah menghapuskan amal yang tercampuri dengan riya’ saja dan tidaklah
menghapuskan amal-amal yang lain yang dikerjakan dengan ikhlas karena Allah.”
(lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’ oleh Syaikh al-Barrak, hal. 11).
Syaikh Zaid bin Hadi
al-Madkhali rahimahullah berkata, “Setiap amal yang dipersembahkan oleh
orang tanpa dibarengi tauhid atau pelakunya terjerumus dalam syirik maka hal
itu tidak ada harganya dan tidak memiliki nilai sama sekali untuk selamanya.
Karena ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah [yang benar] tanpa tauhid.
Apabila tidak disertai tauhid, maka bagaimanapun seorang berusaha keras dalam
melakukan sesuatu yang tampilannya adalah ibadah seperti bersedekah, memberikan
pinjaman, dermawan, suka membantu, berbuat baik kepada orang dan lain
sebagainya, padahal dia telah kehilangan tauhid dalam dirinya, maka orang semacam
ini termasuk dalam kandungan firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya),
“Kami teliti segala sesuatu yang telah mereka amalkan -di dunia- kemudian Kami
jadikan ia laksana debu yang beterbangan.” (al-Furqan: 23).” (lihat Abraz
al-Fawa’id min al-Arba’ al-Qawa’id, hal. 11).
Syaikh
Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Maka apabila seorang mukmin
mengetahui bahwasanya tauhid apabila tercampuri dengan syirik maka hal itu akan
merusaknya. Sebagaimana hadats merusak thaharah. Maka dia pun mengerti bahwa
dirinya harus mengenali hakikat tauhid dan hakikat syirik supaya dia tidak
terjerumus dalam syirik. Karena syirik itulah yang akan menghapuskan tauhid dan
agamanya. Karena tauhid inilah agama Allah dan hakikat ajaran Islam. Tauhid
inilah petunjuk yang sebenarnya. Apabila dia melakukan salah satu bentuk
kesyirikan itu maka Islamnya menjadi batal dan agamanya lenyap…” (lihat Syarh
al-Qawa’id al-Arba’ oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah,
hal. 11).
Syaikh
Abdullah bin Ibrahim al-Qar’awi rahimahullah berkata, “Syirik adalah
menyamakan atau mensejajarkan selain Allah dengan Allah dalam hal-hal yang
termasuk dalam kekhususan Allah, atau beribadah/berdoa kepada selain Allah
disamping beribadah kepada Allah.” (lihat Syarh Tsalatsah al-Ushul oleh
Syaikh Abdullah al-Qar’awi, hal. 20).
Syaikh
Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Lawan dari tauhid adalah syirik
kepada Allah ‘azza wa jalla. Maka tauhid itu adalah mengesakan Allah
dalam beribadah. Adapun syirik adalah memalingkan salah satu bentuk ibadah
kepada selain Allah ‘azza wa jalla, seperti menyembelih, bernadzar,
berdoa, istighatsah, dan jenis-jenis ibadah yang lainnya. Inilah yang disebut
dengan syirik. Syirik yang dimaksud di sini adalah syirik dalam hal uluhiyah,
adapun syirik dalam hal rububiyah maka secara umum hal ini tidak ada/tidak
terjadi.” (lihat Syarh Ushul Sittah, hal. 11).
Syaikh Shalih
al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Bukanlah makna tauhid sebagaimana apa
yang dikatakan oleh orang-orang jahil/bodoh dan orang-orang sesat yang
mengatakan bahwa tauhid adalah dengan anda mengakui bahwa Allah lah sang
pencipta dan pemberi rizki, yang menghidupkan dan mematikan, dan yang mengatur
segala urusan. Ini tidak cukup. Orang-orang musyrik dahulu telah mengakui
perkara-perkara ini namun hal itu belum bisa memasukkan mereka ke dalam Islam…”
(lihat at-Tauhid, Ya ‘Ibadallah, hal. 22).
Syaikh Zaid bin Hadi
al-Madkhali rahimahullah berkata, “Patut dimengerti, sesungguhnya tidak
ada seorang pun yang meninggalkan ibadah kepada Allah melainkan dia pasti
memiliki kecondongan beribadah/menghamba kepada selain Allah. Mungkin orang itu
tidak tampak memuja patung atau berhala. Tidak tampak memuja matahari dan
bulan. Akan tetapi, dia menyembah hawa nafsu yang menjajah hatinya sehingga
memalingkan dirinya dari beribadah kepada Allah.” (lihat Thariq al-Wushul
ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 147).
Syaikh Abdullah bin
Shalih al-‘Ubailan hafizhahullah mengatakan, “Ketahuilah, bahwa tauhid
dan mengikuti hawa nafsu adalah dua hal yang bertentangan. Hawa nafsu itu
adalah ‘berhala’, dan setiap hamba memiliki ‘berhala’ di dalam hatinya sesuai
dengan kadar hawa nafsunya. Sesungguhnya Allah mengutus para rasul-Nya dalam
rangka menghancurkan berhala dan supaya -manusia- beribadah kepada Allah semata
yang tiada sekutu bagi-Nya. Bukanlah maksud Allah subhanahu adalah
hancurnya berhala secara fisik sementara ‘berhala’ di dalam hati dibiarkan.
Akan tetapi yang dimaksud ialah menghancurkannya mulai dari dalam hati, bahkan
inilah yang paling pertama tercakup.” (lihat al-Ishbah fi Bayani Manhajis
Salaf fit Tarbiyah wal Ishlah, hal. 41).
Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, “Ikhlas adalah hakikat agama Islam. Karena islam itu adalah kepasrahan
kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Maka barangsiapa yang tidak pasrah
kepada Allah sesungguhnya dia telah bersikap sombong. Dan barangsiapa yang
pasrah kepada Allah dan kepada selain-Nya maka dia telah berbuat syirik. Dan
kedua-duanya, yaitu sombong dan syirik bertentangan dengan islam. Oleh sebab itulah
pokok ajaran islam adalah syahadat laa ilaha illallah; dan ia mengandung ibadah
kepada Allah semata dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Itulah keislaman
yang bersifat umum yang tidaklah menerima dari kaum yang pertama maupun kaum
yang terakhir suatu agama selain agama itu. Sebagaimana firman Allah ta’ala (yang
artinya), “Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama maka tidak
akan diterima darinya, dan di akhirat dia pasti akan termasuk golongan
orang-orang yang merugi.” (Ali ‘Imran: 85). Ini semua menegaskan kepada
kita bahwasanya yang menjadi pokok agama sebenarnya adalah perkara-perkara
batin yang berupa ilmu dan amalan hati, dan bahwasanya amal-amal lahiriyah
tidak akan bermanfaat tanpanya.” (lihat Mawa’izh Syaikhil Islam Ibni Taimiyah,
hal. 30).
[bersambung]
_______________
Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.
Artikel Muslim.or.id