Bantahan Bagi Kaum
Musyrikin
Diantara faidah yang
sangat penting di dalam surat al-Fatihah adalah bantahan bagi berbagai macam
bentuk kemusyrikan. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah.
Beliau berkata, “Di dalamnya terkandung bantahan bagi kaum musyrikin yang
beribadah kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala. ‘Iyyaka na’budu’
-hanya kepada-Mu kami beribadah- dimana di dalamnya terdapat pemurnian ibadah
untuk Allah. Oleh sebab itu di dalamnya terkandung bantahan bagi kaum musyrikin
yang beribadah kepada selain Allah bersama-Nya.” (lihat al-Jami’ al-Mufid fi
Fawa’id Surah al-Fatihah disusun oleh Abu Abdillah al-Mashna’i, hal. 14).
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah
berkata, “Di dalam firman-Nya ta’ala (yang artinya), “Hanya kepada-Mu
kami beribadah.” terkandung dalil bahwa apabila dalam melakukan ibadah
dipersekutukan sesuatu/pujaan lain bersama Allah maka hal itu tidaklah menjadi
ibadah -yang benar- untuk dipersembahkan kepada Allah, dan ibadah yang
dilakukan oleh si pelaku ibadah itu tidak akan diterima.” (lihat Ahkam min
al-Qur’an al-Karim, hal. 23).
Keterangan di atas
memberikan faidah kepada kita bahwa ibadah adalah hak Allah semata. Tidak boleh
menujukan ibadah kepada siapa pun kecuali kepada Allah. Dan hal ini berlaku
umum mencakup semua bentuk ibadah. Apa pun ibadahnya maka harus ikhlas dilakukan
untuk Allah, tidak boleh dicampuri dengan syirik. Demikian pula larangan
beribadah kepada selain Allah itu bermakna umum mencakup segala hal yang
disembah selain Allah, apakah itu malaikat, nabi, wali, dsb.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak Allah atas segenap hamba adalah
hendaknya mereka beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan dengan-Nya
sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Allah berfirman (yang
artinya), “Dan Rabbmu memerintahkan bahwa janganlah kalian beribadah kecuali
hanya kepada-Nya, dan kepada kedua orang tua hendaklah kalian berbuat baik…”
(al-Israa’ : 23). Allah juga berfirman (yang artinya), “Sembahlah Allah dan
janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (an-Nisaa’ :
36).
Allah juga berfirman
(yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan
Rabbnya hendaklah dia melakukan amal salih dan janganlah dia mempersekutukan
dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110).
Allah juga berfirman
(yang artinya), “Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang
sebelummu; Jika kamu berbuat syirik niscaya lenyaplah seluruh amalmu dan
benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (az-Zumar
: 65).
Kaidah Ibadah dari
Surat al-Fatihah
Surat al-Fatihah
mengandung pelajaran penting seputar makna dan hakikat ibadah. Di dalamnya
terkandung pokok-pokok ibadah; yaitu cinta, takut, dan harap. Di dalamnya juga
terkandung syarat diterimanya ibadah; yaitu harus ikhlas dan sesuai tuntunan.
Di dalamnya juga terkandung ketetapan bahwa ibadah adalah hak Allah semata,
tidak boleh menujukan ibadah kepada selain-Nya.
Ibadah adalah sebuah
nama yang meliputi segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah; baik berupa
ucapan maupun perbuatan, yang tampak dan yang tersembunyi. Ini adalah
pengertian paling bagus dalam pendefinisian ibadah (lihat Kutub wa Rasa’il
Abdil Muhsin, 6/189).
Ibadah memiliki
urgensi yang sangat agung. Disebabkan Allah menciptakan makhluk, mengutus para
rasul dan menurunkan kitab-kitab demi memerintahkan mereka beribadah kepada-Nya
dan melarang beribadah kepada selain-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Tidaklah
Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”
(adz-Dzariyat : 56). Maknanya Allah menciptakan mereka untuk diperintah agar
beribadah kepada-Nya dan dilarang dari bermaksiat kepada-Nya (lihat Kutub wa
Rasa’il Abdil Muhsin, 6/189).
Hakikat dari ibadah
itu sendiri adalah perendahan diri kepada Allah yang dilandasi kecintaan dan
pengagungan dengan cara melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Ibadah itu adalah sumber kebahagiaan insan. Ibadah harus dikerjakan dengan
ikhlas untuk Allah semata. Karena ibadah itu adalah hak khusus milik Allah. Di
dalam kalimat ‘iyyaka na’budu’ telah terkandung penetapan bahwa tidak
ada yang berhak disembah selain Allah. Oleh sebab itu di dalam kalimat ini
terkandung makna dari kalimat tauhid laa ilaha illallah (lihat keterangan
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Ahkam Minal Qur’anil Karim,
hal. 22-23).
Di dalam kalimat ‘alhamdulillah’
terkandung kecintaan. Karena Allah adalah Dzat yang mencurahkan nikmat dan Dzat
yang mencurahkan nikmat itu dicintai sekadar dengan kenikmatan yang diberikan
olehnya. Jiwa manusia tercipta dalam keadaan mencintai siapa saja yang berbuat
baik kepadanya. Sementara Allah adalah sumber segala nikmat dan karunia yang
ada pada diri hamba. Oleh sebab itu wajib mencintai Allah dengan kecintaan yang
tidak tertandingi oleh kecintaan kepada segala sesuatu. Karena itulah kecintaan
menjadi salah satu bentuk ibadah yang paling agung (lihat keterangan Syaikh
al-Fauzan dalam Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 185).
Di dalam kalimat ‘ar-Rahmanir
Rahiim’ terkandung harapan. Karena Allah adalah pemilik sifat rahmat/kasih
sayang. Oleh sebab itu kaum muslimin senantiasa mengharapkan rahmat Allah
(lihat keterangan Syaikh al-Fauzan dalam Silsilah Syarh Rasa’il, hal.
190).
Konsekuensi dari sifat
rahmat ini adalah Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab untuk
membimbing manusia demi kebahagiaan hidup mereka. Perhatian Allah untuk itu
jelas lebih besar daripada sekedar perhatian Allah untuk menurunkan hujan,
menumbuhkan tanam-tanaman dan biji-bijian di atas muka bumi ini. Siraman air
hujan membuahkan kehidupan tubuh jasmani bagi manusia. Adapun wahyu yang dibawa
oleh para rasul dan terkandung di dalam kitab-kitab merupakan sebab hidupnya
hati mereka (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 8).
Di dalam kalimat ‘maaliki
yaumid diin’ terkandung rasa takut. Karena di dalamnya terkandung rasa
takut terhadap hari kiamat. Oleh sebab itu setiap muslim merasa takut akan
hukuman Allah pada hari kiamat (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal.
190-191).
Apabila terkumpul
ketiga hal ini -cinta, harap, dan takut- di dalam ibadah maka itulah asas
tegaknya ibadah. Adapun orang yang beribadah kepada Allah hanya dengan
bersandar kepada salah satunya saja maka dia menjadi orang yang sesat. Orang
yang beribadah kepada Allah dengan cinta belaka tanpa rasa takut dan harap maka
ini adalah jalannya kaum Sufiyah yang mengatakan bahwa ‘kami beribadah
kepada Allah bukan karena takut neraka atau mengharapkan surga, tetapi kami
beribadah kepada-Nya hanya karena kami mencintai-Nya’. Cara beribadah
semacam ini adalah kesesatan. Karena sesungguhnya para nabi dan malaikat
sebagai makhluk yang paling utama merasa takut kepada Allah dan mengharap
kepada-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya mereka itu adalah
bersegera dalam kebaikan dan berdoa kepada Kami dengan penuh rasa harap dan takut…”
(al-Anbiyaa’ : 90) (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 191).
Orang yang beribadah
kepada Allah hanya dengan bersandar kepada harapan (roja’) maka dia termasuk
penganut pemikiran Murji’ah yang hanya bersandar kepada harapan dan tidak takut
akan dosa dan maksiat. Mereka mengatakan bahwa iman cukup dengan pembenaran
dalam hati atau pembenaran hati dan diucapkan dengan lisan. Mereka juga
mengatakan bahwa amal itu sekedar penyempurna dan pelengkap. Hal ini adalah
kesesatan, karena sesungguhnya iman itu mencakup ucapan, amalan, dan keyakinan.
Ketiga hal ini harus ada, tidak cukup dengan salah satunya saja (lihat
keterangan Syaikh al-Fauzan dalam Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 191-192).
Barangsiapa yang
beribadah kepada Allah hanya dengan bersandar kepada rasa takut (khauf) maka
dia berada di atas jalan kaum Khawarij yang beribadah kepada Allah hanya dengan
bertumpu pada rasa takut. Sehingga mereka hanya mengambil dalil-dalil yang
berisi ancaman (wa’iid) dan pada saat yang sama mereka justru meninggalkan dalil-dalil
yang berisi janji (wa’d), ampunan, dan rahmat. Ketiga kelompok ini yaitu
Sufiyah, Murji’ah dan Khawarij adalah kelompok yang ekstrim/ghuluw dalam
beragama (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 192).
Adapun jalan yang
benar adalah beribadah kepada Allah dengan memadukan ketiga hal ini; cinta,
harap, dan takut. Inilah iman. Inilah jalan kaum beriman. Inilah hakikat
tauhid. Dan inilah yang terkandung dalam surat al-Fatihah. ‘alhamdulillah’
mengandung pilar kecintaan. ‘ar-rahmanir rahiim’ mengandung pilar harapan.
Dan ‘maaliki yaumid diiin’ mengandung pilar rasa takut (lihat keterangan
Syaikh al-Fauzan dalam Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 192).
Di dalam kalimat ‘iyyaka
na’budu’ (yang artinya), “Hanya kepada-Mu kami beribadah” terkandung
syarat ikhlas dalam beribadah. Karena di dalam kalimat ini objeknya
dikedepankan -yaitu iyyaka– dan didahulukannya objek -dalam kaidah
bahasa arab- menunjukkan makna pembatasan. Sehingga makna ‘iyyaka na’budu’
adalah ‘kami mengkhususkan kepada-Mu dalam melakukan ketaatan, kami tidak akan
memalingkan ibadah kepada siapa pun selain Engkau’ (lihat Min Hidayati
Suratil Fatihah karya Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah, hal.
18).
Adapun syarat ibadah
harus sesuai tuntunan terkandung dalam kalimat ‘ihdinash shirathal mustaqim
dst’. Hal ini menunjukkan bahwa Allah tidak akan menerima amal kecuali apabila
sesuai dengan jalan yang lurus yaitu jalan yang diserukan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
melakukan amal yang tidak ada tuntunannya dari kami maka ia pasti tertolak.”
(HR. Muslim) (lihat Min Hidayati Suratil Fatihah karya Syaikh
Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah, hal. 19).
Konsekuensi dari
syahadat ‘asyhadu anlaa ilaha illallah’ adalah mengikhlaskan amal untuk
Allah semata sehingga tidaklah dipalingkan suatu bentuk ibadah apapun kepada
selain-Nya, bahkan seluruh ibadah itu dimurnikan hanya untuk mencari wajah
Allah subhanahu wa ta’ala. Dan konsekuensi dari syahadat ‘wa asyhadu
anna Muhammadar rasulullah’ adalah ibadah itu harus sesuai dengan tuntunan
yang dibawa oleh Rasul yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh
sebab itu Allah tidak boleh diibadahi dengan bid’ah, perkara-perkara yang baru
dalam agama ataupun segala bentuk kemungkaran (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil
Muhsin, 6/190).
Di dalam ‘iyyaka
na’budu’ pada hakikatnya juga terkandung dalil bahwasanya apabila ibadah
tercampuri syirik maka ia tidak lagi menjadi ibadah yang benar untuk Allah. Dan
ibadah semacam itu pun tidak akan diterima di sisi-Nya. Allah berfirman dalam
hadits qudsi, “Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu.
Barangsiapa melakukan amal seraya mempersekutukan bersama-Ku dengan selain-Ku,
maka Aku tinggalkan dia dan syiriknya itu.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
(lihat Ahkam Minal Qur’anil Karim, hal. 23).
Isti’anah (meminta
pertolongan kepada Allah) adalah bagian dari ibadah. Meskipun demikian di dalam
al-Fatihah ia disebutkan secara khusus setelah ibadah. Allah berfirman (yang
artinya), “Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta
pertolongan/beristi’anah.” Hal ini menunjukkan betapa besarnya kebutuhan
hamba untuk memohon pertolongan Allah dalam menjalankan semua ibadah. Karena
sesungguhnya apabila Allah tidak menolongnya niscaya dia tidak akan bisa meraih
apa yang dia kehendaki; apakah dalam hal melaksanakan perintah atau pun
menjauhi larangan (lihat keterangan Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah
dalam Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 39).
Dengan menunaikan
ibadah kepada Allah dan senantiasa memohon pertolongan-Nya hamba akan bisa
meraih kebahagiaan yang abadi dan terselamatkan dari segala keburukan. Tidak
ada jalan menuju keselamatan kecuali dengan menegakkan kedua hal ini; yaitu
menegakkan ibadah kepada Allah dan selalu memohon bantuan kepada-Nya (lihat Taisir
al-Karim ar-Rahman, hal. 39).
Seorang yang bisa
merealisasikan kandungan dari ‘iyyaka na’budu’ maka dia akan terbebas
dari riya’. Dan orang yang bisa merealisasikan kandungan dari ‘iyyaka
nasta’in’ maka dia akan terbebas dari ujub (lihat Mawa’izh Syaikhil
Islam Ibni Taimiyah, hal. 83).
Sebuah realita yang
sangat menyedihkan adalah banyak diantara kaum muslimin di masa kita sekarang
ini yang telah mengucapkan Iyyaka na’budu wa Iyyaka nasta’in, akan
tetapi di sisi lain mereka tidak memperhatikan kandungan maknanya sama sekali.
Mereka tidak memurnikan ibadahnya kepada Allah semata. Mereka juga beribadah
kepada selain-Nya. Seperti halnya orang-orang yang berdoa -padahal doa adalah
intisari ibadah, pen- kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdoa
kepada Husain, kepada Abdul Qadir Jailani, Badawi, dan lain sebagainya. Ini
semua termasuk perbuatan syirik akbar dan dosa yang tidak akan diampuni
pelakunya apabila dia mati dalam keadaan belum bertaubat darinya (lihat Tafsir
Surah al-Fatihah, hal. 19-20).
[bersambung]
_____________
Penulis: Ari Wahyudi,
S.Si.
Artikel Muslim.or.id