Islam Pedoman Hidup: Standar Ganda

Selasa, 23 Februari 2016

Standar Ganda

1.     Kalian katakan semua kesalahan mesti ditolak dan dibantah, siapapun ia, meski ulama besar (terlebih lagi penuntut ilmu). Kalian keluarkan dalil-dalil plus atsar salaf yang mendukungnya. Semua orang yang menurut kalian salah, kalian bantah. Kalian berkata kami harus menerimanya, karena ini bentuk nasihat dan kasih sayang kalian terhadap umat. Namun, ketika ada orang yang mengkritik Asy-Syaikh Rabii’ hafidhahullah, kalian marahnya luar biasa. Kalian katakan Asy-Syaikh Rabii’ telah dihina, dicela, dan direndahkan. “Daging ulama beracun !”,kata kalian[1]. Kadang caci-maki keluar ringan dari mulut (kotor) kalian.
2.     Ketika Asy-Syaikh Rabii’ hafidhahullah dan sebagian ulama murid beliau yang ada di belakangnya[2] mengkritik (dan menuduh/mencela) ulama[3], kalian tersenyum dan ikut menyebarkannya sebagai bentuk penyebaran ilmu dan penjelasan bagi umat. Atau, kalian akan memberikan berbagai penakwilan bahwa maksud beliau (Asy-Syaikh Rabii’) demikian dan demikian, sekiranya kalian menilai dhahir perkataan Asy-Syaikh Rabii’ keliru. Namun ketika ada ulama yang mengkritik Asy-Syaikh Rabii’, kalian sepi. Bahkan tak jarang kalian marah dan menganggap orang yang mengkritik beliau sebagai pihak yang salah.[4]
3.     Kalian katakan dalam majelis-majelis kalian bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama itu biasa, dan kita mesti berlapang dada atas perbedaan yang terjadi di kalangan ulama Ahlus-SunnahNamun, ketika terjadi perbedaan pendapat antara Asy-Syaikh Rabii’ (dan sebagian murid-muridnya) dengan ulama lain dalam masalah naqdur-rijaal, hampir selalu (atau selalu ?) yang kalian menangkan pendapatnya Asy-Syaikh Rabii’ bersamaan dengan sikap kalian yang kaku, mau menangnya sendiri, intoleran, dan mengecilkan pendapat yang berseberangan. Pendapat yang berseberangan dengan Asy-Syaikh Rabii’ kalian anggap tidak mu’tabar.[5]
4.     Jika ada orang mengkritik Asy-Syaikh Rabii’ hafidhahullah, kalian keluarkan berbagai perbendaharaan tazkiyyah para ulama. Namun ketika Asy-Syaikh Rabii’ mengkritik ulama lain, maka tazkiyyah yang ada pada diri ulama yang dikritik Asy-Syaikh Rabii’, kalian dinihilkan. Kalian ‘larang’ orang lain berbuat serupa dengan hal yang kalian lakukan pada diri Asy-Syaikh Rabii’.
5.     Jika ada orang yang (kalian anggap) mencela Asy-Syaikh Rabii’, maka kalian sangat agresif lagi cekatan menampilkan fatwa ulama yang membela beliau dari tuduhan itu. Namun, jika Asy-Syaikh Rabii’ mencela seseorang, pembelaan atau klarifikasi dari ulama yang sama (atau berbeda) terhadap orang tersebut tidak kalian tampilkan.
6.     Jika ada seorang ulama yang terjatuh dalam satu kekeliruan dan kemudian dikritik dengan keras oleh Asy-Syaikh Rabii’ hafidhahullah, kalian ikut menyerukannya, seakan-akan kalian pahlawan pembela sunnah yang sedang diinjak-injak ahlul-bid’ah. Namun ketika Asy-Syaikh Rabii’ jatuh pada kesalahan yang sama, kalian kembali berpantomim. Membisu.[6]
7.     Jika ada seseorang yang menjadi seteru Asy-Syaikh Rabii’ terjatuh dalam satu kekeliruan dan kemudian dikritik oleh ulama lain, kalian gembira, kalian sebarkan, seakan-akan menjadi penguat apa yang dikatakan oleh Asy-Syaikh Rabii’ terhadap orang tersebut. Namun ketika Asy-Syaikh Rabii’ jatuh pada kekeliruan yang sama dan ‘kebetulan’ juga dikritik oleh ulama yang sama (atau berbeda), kalian diamkan.[7]
8.     Kalian sangat teliti dan bahkan terkesan berusaha mencari-cari kekeliruan ulama yang berselisih paham dengan Asy-Syaikh Rabii’. Kesalahan yang sifatnya manusiawi menjadi sangat berharga di mata kalian untuk kalian jadikan bahan kritikan. Namun, usaha itu sama sekali tidak pernah kalian arahkan pada diri Asy-Syaikh Rabii’ hafidhahullah. Apakah mencari-cari kesalahan itu haram untuk Asy-Syaikh Rabii’, namun boleh untuk selain beliau ?.[8]
Tulisan ini hanyalah merupakan keprihatinan saya terhadap sebagian saudara-saudara saya yang mengaku bermanhaj salaf, namun punya kefanatikan luar biasa (maaf) pada Asy-Syaikh Rabii’ hafidhahullahu ta’ala. Jika Anda tidak merasa, tak perlu marah….
Wallaahul-musta’aan.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 09121434/14102013 – 02:15].







[1]      Apakah daging yang beracun itu hanyalah daging Asy-Syaikh Rabii’ saja sedangkan daging ulama lain halal, lezat, lagi mengenyangkan ?.
[2]      Asy-Syaikh ‘Ubaid Al-Jaabiriy, Dr. Muhammad bin Hadiy Al-Madkhaliy, Dr. ‘Abdullah Al-Bukhaariy, Dr. Ahmad Bazmuul, Usaamah Al-‘Utaibiy, dll.
[3]      Seperti tuduhan/celaan terhadap para masyayikh Ahlus-Sunnah :
a.      Asy-Syaikh ‘Abdul-Muhsin Al-‘Abbaad dianggap membela ahlul-bid’ah.
b.      Asy-Syaikh Ibnu Jibriin dianggap sebagai Ikhwaniy (punya kecenderungan pada manhaj kelompok Al-Ikhwaanul-Muslimuun).
c.      Asy-Syaikh Muhammad bin Mukhtar Asy-Syinqithiy dianggap sejalan dengan hizbiyyiindan kaum shufiy.
d.      Asy-Syaikh ‘Aliy Al-Halabiy dianggap berpemahaman irjaa’, membela ‘aqidah wihdatul-adyaan dan jahmiyyah.
e.      Asy-Syaikh Masyhuur bin Hasan Aalus Salmaan dianggap berpemahaman (atau condong pada pemahaman) jahmiyyah dalam masalah shifaat.
f.       Asy-Syaikh ‘Abdurrazzaaq bin ‘Abdil-Muhsin Al-‘Abbaad dianggap sebagai orang yang tertipu Ahlul-Bida’.
g.      Asy-Syaikh Ibraahiim Ar-Ruhailiy dianggap sebagai orang yang menyimpang.
h.      Asy-Syaikh Abu Bakr Al-Jazaairiy dianggap tidak punya ta’shil dalam ilmu syar’iy.
i.        Asy-Syaikh ‘Abdul-Kariim Al-Khudlair dianggap sebagai quthbiy malaibaariy.
j.       Asy-Syaikh ‘Abdullah Al-Ghunaimaan dianggap berpemikiran takfiriy.
k.      Dan lain-lain masih banyak.
Baca artikel ini.
[4]      Barangkali mereka menganggap bahwa pujian Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah kepada diri Asy-Syaikh Rabii’ sebagai pemegang bendera al-jarh wat-ta’diil di masa sekarang, mengandung konsekuensi bagi seluruh yang mengaku salafiyyuun agar menerima perkataan Asy-Syaikh Rabii’ dalam masalah al-jarh wat-ta’diil secara aklamasi. Penghukuman beliau ‘mesti’ betul, tak boleh dikritik.
Padahal, yang namanya manusia, siapapun orangnya, pasti dapat salah.
[5]      Seperti kasus Ihyaa’ At-Turaats !!.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa para ulama Ahlus-Sunnah berbeda pendapat dalam penyikapan terhadap Ihyaa’ At-Turaats ini. Tapi perselisihan ini dikesankan tidak mu’tabar dan diqiyaskan dengan perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah nikah mut’ah dan musik – sebagaimana perbuatan salah satu oknum ustadz.
Tidak hanya itu….. Lihatlah bagaimana sikap keras mereka dalam menyikapi perbedaan dalam masalah fiqh sekalipun, seperti masalah foto dan video/televisi !!. Seringkali orang yang mengikuti ijtihad ulama lain yang berbeda dengan mereka, dilabeli sebagai orang yang bermudah-mudah/longgar (mutasaahil).
[6]      Seperti kasus Asy-Syaikh Abul-Hasan Al-Ma’ribiy yang dituduh telah menghina shahabat, sehingga ternukil di lisan mereka menyamakan beliau dengan Raafidlah. Padahal kedudukan permasalahannya adalah beliau keliru dalam menggunakan ta’bir dan beliau pun kemudian rujuk dari kekeliruannya tersebut. Bahkan, beliau bersumpah bahwa beliau sama sekali tidak bermaksud merendahkan shahabat radliyallaahu ‘anhum. Sebenarnya mereka pun tahu akan hal itu….. Mereka masih saja menyebut-nyebut kekeliruan tersebut hingga sekarang.
Namun, ketika Asy-Syaikh Rabii’ terjatuh dalam kekeliruan yang sama, mereka tiba-tiba menjadi ‘tidak tahu’. Diantaranya beliau – semoga Allah memafkannya – pernah berkata :
كان عبدالله، وأبي بن كعب، وزيد بن ثابت، وابن مسعود، وغيرهم وغير هم، من فقهاء الصحابة وعلمائهم؛ ما يصلحون للسياسة، معاوية ما هو عالم، ويصلح أن يحكم الدنيا كلها، وأثبت جدارته وكفاءته، المغيرة بن شعبة مستعد يلعب بالشعوب على إصبعه دهاءً، ما يدخل في مأزق؛ إلا ويخرج منه، عمرو بن العاص أدهى منه
“’Abdullah, Ubay bin Ka’b, Zaid bin Tsaabit, Ibnu Mas’uud, dan yang lainnya termasuk fuqahaa’ dan ulama dari kalangan shahabat. Namun mereka tidak bagus/cakap dalam perpolitikanMu’aawiyyah, ia bukan seorang yang ‘aalim namun ia cakap dalam menghukumi urusan dunia keseluruhannya. Dan memang telah tetap kemampuan dan kecakapannya (untuk hal tersebut). Adapun Mughiirah bin Syu’bah, dengan kecerdikannya telah siap untuk mempermainkan rakyat dengan jarinya. Tidaklah ia masuk dalam kesempitan, melainkan ia dapat keluar darinya. Namun ‘Amru bin Al-‘Aash lebih cerdik darinya...” [dari kaset beliau yang berjudul : ‘Al-‘Ilm wad-Difaa’ ‘an Asy-Syaikh Jamiil, side B – melalui perantaraan kitab Ad-Difaa’ ‘an Ahlil-Ittibaa’ karya Asy-Syaikh Abul-Hasan].
خالد يصلح للقيادة، ما يصلح للسياسة، وأحيانًا يلخبط
"Khaalid (bin Al-Waliid) cocok memegang kepemimpinan, namun tidak cocok dalam masalah perpolitikan. Kadang-kadang ia berbuat serampangan" [idem, side A].
Dan lainnya…..
Mereka tak pernah menyinggungnya. Kepekaan mereka akan kesalahan orang tak berlaku dalam kasus ini.
[7]      Ini seperti perbuatan aneh mereka dalam kasus tuduhan irjaa’ kepada Asy-Syaikh ‘Aliy Al-Halabiy. Mereka membawakan perkataan Asy-Syaikh Al-Ghudayaan yang mentahdzir Asy-Syaikh ‘Aliy, namun menyembunyikan tahdzir dalam masalah yang sama (irjaa’) dari Asy-Syaikh Al-Ghudayaan terhadap Asy-Syaikh Rabii’.
Baca artikel ini dan ini.
[8]      Saya pernah membaca satu artikel yang khusus membahas kesalahan gramatikal (bahasa Arab) dalam perkataan-perkataan Asy-Syaikh Usaamah Al-Quushiy, yang dibuat oleh orang yang ‘sangat mencintai’ Asy-Syaikh Rabii’. Kesalahan seperti ini sebenarnya jarang terucap pada diri Asy-Syaikh Usaamah. Namun karena majelis dan perkataan beliau itu banyak (sebagaimana ulama lainnya), hasil kumpulan kesalahan itu pun terkesan banyak (karena memang dicari). Namun,…. ketika ada orang yang melakukan hal yang sama pada diri Asy-Syaikh Rabii’ dalam hal kekeliruan beliau dalam pengucapan ayat Al-Qur’an (baca di siniatau di sini), mereka diam dan memberikan udzur bahwa kekeliruan itu adalah manusiawi.
Apakah kekeliruan manusiawi ini hanya menjadi milik Asy-Syaikh Rabii’, tidak bagi yang lain ?.

from= http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2013/10/standar-ganda.html