Al-’Allamah Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah :
Soal : Bagaimana hukum syari’at tentang berbilangnya jama’ah-jama’ah, hizb-hizb, dan organisasi-organisasi Islam dengan perbedaan di antara mereka pada masalah manhaj, uslub, dakwah, dan ’aqidahnya, serta dasar yang mereka berada di atasnya, khususnya (ketika kita ketahui) bahwa jama’ah yang haq itu adalah satu sebagaimana yang ditunjukkan dalam hadits ?
Jawab : Kita memiliki banyak kalimat dan bermacam-macam jawaban sekitar hal ini. Oleh karena itu, kita akan meringkas ucapan padanya. Kita ucapkan : ”Tidak samar bagi seorang muslim yang mengerti kitab dan sunnah dan apa yang ada di atasnya as-salafush-shalih radliyallaahu ’anhum bahwa berpartai-partai serta berkelompok-kelompok dalam jama’ah-jama’ah yang berbeda-beda pemikirannya – pertama – dan manhaj serta uslub – kedua – bukanlah dari Islam sedikitpun. Bahkan yang demikian itu termasuk yang dilarang oleh Rabb kita ’azza wa jalla pada lebih dari satu ayat dalam Al-Qur’an Al-Karim, diantaranya :
”Janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka” (QS. Ar-Ruum : 31 – 32).
Rabb kita juga berfirman :
”Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu.” (QS. Huud : 118 – 119).
Dalam ayat ini Allah tabaraka wa ta’ala mengecualikan dari orang-orang yang berselisih yang pasti akan terjadi secara kauniyyah (taqdir) dan bukan secara syar’iyyah (bukan perintah syar’i). Dia mengecualikan dari perselisihan itu kelompok yang dirahmati. Dia berkata : { مَن رَحِم رَبُك} ”kecuali yang dirahmati oleh Rabb-mu”.
Tidak ada kebimbangan dan keraguan bahwa jama’ah yang menginginkan dengan kesungguh-sungguhan yang tingi dan ikhlash karena Allah ’azza wa jalla untuk menjadi umat yang dirahmati yang dikecualikan dari perselisihan yang mesti terjadi secara kauni ini. Sesungguhnya itu tidak ada jalan lain untuk mencapai kepadanya dan untuk mewujudkan secara amal dalam masyarakat Islam kecuali dengan kembali kepada Al-Kitab dan Sunnah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam, dan kepada apa yang ada di atasnya para pendahulu kita yang shalih (salafunash-shalih).
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam telah menjelaskan manhaj dan jalan yang selamat tidak hanya dalam satu hadits yang shahih. Misalnya (hadits) : ”Beliaushallallaahu ’alaihi wasallam pada suatu hari menggaris di tanah satu garis lurus, kemudian beliau menggariskan di sekitarnya garis-garis yang pendek dari sisi garis yanglurus tadi. Kemudian beliau membaca firman Allah : ”Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya” (QS. Al-An’am : 153).
Dan Tasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam melewati dengan jarinya garis lurus tadi dan berkata : ”Ini adalah jalan Allah, dan ini jalan-jalan dari sisi garis lurus tadi” – dan beliau bersabda : ”Dan di atas setiap jalan itu ada syaithan yang mengajak kepadanya”.
Tidak ada keraguan lagi bahwa jalan-jalan yang pendek tersebut itulah yang diperankan oleh jama’ah-jama’ah dan partaipartai yang bermacam-macam. Oleh karena itu wajib bagi setiap muslim yang semangat untuk menjadi golongan yang haq dari kelompok yang selamat (al-firqatun-najiyyah) untuk berjalan di jalan yang lurus dan agar tidak mengambil jalan ke kanan dan ke kiri. Tidak ada di sana satu pun hizb yang selamat kecuali hizbullah tabaraka wa ta’ala yang telah sampai kepada kita dalam Al-Qur’anul-Karim :
”Ketahuilah, sesungguhnya hizbullah itulah yang akan menang”.
Kalau begitu, seluruh hizb yang bukan hizbulah, maka tidak lain ia merupakan hizbusy-syaithan dan bukan hizbur-rahman. Dan tidak ada kebimbangan dan keraguan bahwa berjalan di atas jalan yang lurus (ash-shiraathul-mustaqiim) membutuhkan pengetahan tentang jalan yang lurus tersebut dengan pemahaman yang benar. Dan tidak akan terjadi hanya dengan berkelompok, berpartai buta atas kalimat Islam – yang itu merupakan kalimat yang haq – namun mereka tidak memahami Islam tersebut sebagaimana pemahaman yang diturunkan Allah kepada hati Muhammad shallallaahu ’alaihi wasallam.
Oleh karena itu, ciri-ciri golongan yang selamat yang dijelaskan oleh Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam ketika ditanya tentangnya adalah :
”Ia adalah siapa saja yang aku dan para shahbaatku berada di atasnya”.
Jadi, hadits ini memberikan pengertian kepada seorang pembahas yang sungguh-sungguh untuk mencari pengertian ash-shiraatul-mustaqiim bahwasannya wajib untuk berada di atas ilmu tentang dua perkara yang sangat penting :
Pertama : apa yang Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasalam ada di atasnya.
Kedua : apa yang para shahabat beliau radliyallaahu ’anhum berada di atasnya.
Yang demikian karena para shahabat yang mulia itulah yang menukil kepada kita pertama kali petunjuk Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dan sunnahnya – itu yang pertama; sedangkan yang kedua, : merekalah yang paling baik dalam mempraktekkan sunnah ini dengan sunnah amaliyyah. Maka tidak mungkin bagi kita jika keadaan seperti ini untuk mengenal sunnah Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dengan pemahaman yang benar kecuali dengan jalan atau dengan melalui para shahabatnya....... Yang membuktikan atas hal ini adalah bahwa pemahaman Islam yang benar tidak ada jalannya kecuali dengan mengetahui sirah para shahabat dan bagaimana mereka mempraktekkan Islam yang agung ini yang telah mereka terima dari Rasulullahshallallaahu ’alaihi wasallam; apakah dengan ucapannya, perbuatannya, atau dengan persetujuannya.
Dengan demikian, kita meyakini dengan mantap bahwa setiap jama’ah yang tidak tegak tomggak-tonggaknya di atas asas Al-Kitab dan As-Sunnah serta manhaj as-salafush-shalih dengan dirasah (pelajaran) yang sangat luas, mencakup segala hukum-hukum Islam, yang besar dan yang kecil, ushul dan furu’nya, maka jama’ah tersebut bukanlah Al-Firqatun-Najiyyah yang berada di atas ash-shiraathul-mustaqiim yang diisyaratkan oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dalam hadits yang shahih.
Jika kita anggap ada jama’ah-jama’ah yang berpencar-pencar di negeri-negeri Islam dengan manhaj ini, maka ini bukan hizb-hizb (yang dilarang oleh ayat tadi). Tetapi itu sesungguhnya adalah jama’ah yang satu, satu manhaj dan satu jalannya. Adapun berpencarnya mereka di berbagai negeri bukanlah merupakan perpecahan dalam pemikiran, aqidah, dan manhaj; tetapi mereka berpisah hanya karena terpisahnya tempat-tempat mereka di banyak negeri. Hal itu berbeda dengan jama’ah-jama’ah dan hizb-hizb yang berada di satu negeri, tetapi masing-masing membanggakan apa yang ada pada diri mereka. Kita tidak yakin jika hizb-hizb ini berada di jalan yang lurus. Bahkan kita mantap dengan mengatakan bahwasannya jama’ah-jama’ah tersebut berada di jalan-jalan yang di atasnya ada syaithan yang mengajak kepadanya. Semoga ini adalah jawaban dari apa yang telah lewat”
[selesai – Fatawaa Asy-Syaikh Al-Albani oleh ‘Ukasyah bin ‘Abdil-Manan Ath-Thibi, cet. I, Maktabah At-Turats Al-Islamy, hal. 106 – 114].
Teks Asli:
سؤال : ماهو حكم الشرع في تعدد هده الجماعات والأحزاب والتنظيمات الإسلامية مع أنها مختلفة فيما بينها في مناهجها وأساليبها ودعواتها وعقائدها، والأسس التي قامت عليها وخاصة أن جماعة الحق واحدة كما دل الحديث على ذلك؟
الجواب : لنا كلمات كثيرة وعديدة حول الجواب عن هذا السؤال ؛ ولذلك فنوجز الكلام فيه .
فنقول : لا يخفى على كل مسلم عارف بالكتاب والسنة وما كان عليه سلفنا الصالح رضي الله عنهم، أن التحزب والتكتل في جماعات مختلفة الأفكار أولاً والمناهج والأساليب ثانياً ، فليس من الإسلام في شئ ،بل ذلك مما نهى عنه ربنا عزوجل في أكثر من آية في القرآن الكريم منها قوله تعالى {ولا تَكونُوا مِن المشركِـين من الذِيْنَ فَرَّقُوا دِينَهُم وكَانُوا شِيَعَاً كل حِزب بِما لَدَيهم فَرحُون} . فربنا عزوجل يقول {وَلَو شَاءَ رَبُكَ لجَعلَ النَّاسَ أمةً وَاحِدة وَلا يَزَالُونَ مختَلِفِين إلا مَن رَحِمَ رَبُك} فالله تبارك وتعالى استثنى من هذا الخلاف الذي لا بد منه كونياً وليس شرعياً ، استثنى من هذا الاختلاف الطائفة المرحومة حين قال {إلا مَن رَحِم رَبُك}
ولا شك ولا ريب أن أي جماعة يريدون بحرص بالغ وإخلاص لله عزوجل في أن يكونوا من الأمة المرحومة المستثناة من هذا الخلاف الكوني، إن ذلك لا سبيل للوصول إليه ولتحقيقه عملياً في المجتمع الإسلامي إلا بالرجوع إلى الكتاب وإلى سنة الرسول عليه الصلاة والسلام، وإلى ما كان عليه سلفنا الصالح رضي الله عنهم .
ولقد أوضح رسول الله ز المنهج والطريق السليم في غير ما حديث صحيح عن النبي ز أنه خط ذات يوم على الأرض خطاً مستقيماً وخط حوله خطوطاً قصيرة عن جانبي الخط المستقيم ثم قرأ قوله تبارك وتعالى {وأنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقيمَاً فَاتبَّعُوهُ وَلا تَّتبعوا السُبُلَ فَتَفَرَقَ بكم عَن سَبِيله } ومر بأصبعه على الخط المستقيم ، وقال هذا صراط الله ، وهذه طرق عن جوانب الخط المستقيم ، قال عليه السلام : (وعلى رأس كل طريق منها شيطان يدعو الناس إليه) .
لا شك أن هذه الطرق القصيرة هي التي تمثل الأحزاب والجماعات العديدة . ولذلك فالواجب على كل مسلم حريض على أن يكون حقاً من الفرقة الناجية أن ينطلق سالكاً الطريق المستقيم ، وأن لا يأخذ يميناً ويساراً، وليس هناك حزب ناجح إلا حزب الله تبارك وتعالى الذي حدثنا عنه القرآن الكريم {ألا إنَّ حِزْبَ الله هُم المفلِحُون} .
فإذاً ، كل حزب ليس هو حزب الله فإنما هو من حزب الشيطان وليس من حزب الرحمن ، ولا شك ولا ريب أن السلوك على الصراط المستقيم يتطلب معرفة هذا الصراط المستقيم معرفة صحيحة ، ولا يكون ذلك بمجرد التكتل والتحزب الأعمى على كلمة هي كلمة الإٍسلام الحق لكنهم لا يفقهون من هذا الإسلام كما أنزل الله تبارك وتعالى على قلب محمد صلى الله عليه وسلم .
لهذا كان من علامة الفرقة الناجية التي صرح النبي ز بها حينما سئل عنها فقال : هي ما أنا عليه وأصحابي .
فإذاً هذا الحديث يشعر الباحث الحريص على معرفة صراط الله المستقيم أنه يجب أن يكون على علم بأمرين اثنين هامين جداً .
الأول : ما كان عليه الرسول صلى الله عليه وسلم
والآخر : ما كان عليه أصحابه عليه الصلاة والسلام . ذلك لأن الصحابة الكرام هم الذين نقلوا إلينا أولا هديه ز وسنته ، وثانياً : هم الذين أحسنوا تطبيق هذه السنة تطبيقاً عملياً ، فلا يمكننا والحالة هذه ان نعرف معرفة صحيحة سنة النبي ز إلا بطريق أصحابه . . . . فالشاهد من هذا وذاك أن فهم الإسلام فهماً صحيحاً لا سبيل إلا بمعرفة سير الصحابة وتطبيقهم لهذا الإسلام العظيم الذي تلقوه عنه ز إما بقوله وإما بفعله وإما بتقريره .
لذلك نعتقد جازمين أن كل جماعة لا تقوم قائمتها على هذا الإساس من الكتاب والسنة ومنهج السلف الصالح دراسة واسعة جداً محيطة بكل أحكام الإسلام كبيرها وصغيرها أصولها وفروعها ، فليست هذه الجماعة من الفرقة الناجية من التي تسير على الصراط المستقيم الذي أشار إليه الرسول ز في الحديث الصحيح .
وإذا فرضنا أن هناك جماعات متفرقة في البلاد الإسلامية على هذا المنهج ، فهذه ليست أحزاباً ، وإنما هي جماعة واحدة ومنهجها منهج واحد وطريقها واحد ، فتفرقهم في البلاد ليس تفرقاً فكرياً عقديا منهجياً ، وإنما هو تفرق بتفرقهم في البلاد بخلاف الجماعات والأحزاب التي تكون في بلد واحد ومع ذلك فكل حزب بما لديهم فرحون.
هذه الأحزاب لا نعتقد أنها على الصراط المستقيم بل نجزم بأنها على تلك الطرق التي على رأس كل طريق منها شيطان يدعو الناس إليه . ولعل في هذا جواباً لما سبق)) .
Fadliilatusy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah :
Soal : Apakah ada nash-nash dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya shallallaahu ’alaihi wasallam yang di dalamnya membolehkan berbilangnya jama’ah dan al-ikhwan ?
Jawab : Ya,.... aku katakan : Tidak ada dalam Al-Kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah apa-apa yang membolehkan berbilangnya hizb-hizb dan jama’ah-jama’ah. Akan tetapi, yang terdapat dalam Al-Kitab dan As-Sunnah adalah mencela yang demikian itu. Allah ta’ala telah berfirman :
”Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat” (QS. Al-An’am : 159).
Dan Dia juga berfirman :
”Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka” (QS. Ar-Ruum : 32).
Tidak diragukan lagi bahwasannya hizb-hizb inilah yang dinafikkan oleh apa-apa yang diperintahkan Allah dengannya. Bahkan, apa-apa yang dianjurkan oleh Allah padanya (untuk bersatu serta tidak berpecah-belah) adalah seperti firman-Nya :
”Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku” (QS. Al-Mukminuun : 52).
Adapun ucapan mereka : ”Sesungguhnya tidak mungkin bagi dakwah akan menjadi kuat kecuali di bawah sebuah hizb (jama’ah)”.
Kita katakan : ”Ini tidak benar, bahkan sesungguhnya dakwah menjadi kuat jika setiap manusia itu terikat di bawah Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallalaahu ’alaihi wasallam dengan mengikuti atsar Nabi-Nya shallallaahu ’alaihi wasallam dan para khalifahnya yang lurus”.
[selesai – kaset : Majmuu’ Kalaamil-’Ulamaa fii ’Abdirrahman ’Abdil-Khaliq (Kumpulan Perkataan Para Ulama terhadap ’Abdurrahman ’Abdul-Khaliq) – side B].
Teks Asli:
س/ هل هناك نصوصٌ في كتاب الله وسنة نبيه صلى الله عليه وسلم فيهما إباحة تعدد الجماعات أو الإخوان ؟
ج / ((نعم . . أقول ليس في الكتاب ولا في السنة ما يبيح تعدد الأحزاب والجماعات ، بل إن في الكتاب والسنة ما يذم ذلك ، قال الله تعالى {إنَّ الذينَ فَرَّقُوا دينهم وَكانُوا شِيَعَاً لستَ مِنْهُم في شَئ إنَما أمْرُهُم إلى الله ثُمَّ ينبئهم بِمَا كانوا يَفعَلُون} وقال تعالى : {كلُ حِزبٍ بمَا لَدَيْهم فَرِحُون } ولا شك أن هذه الأحزاب تتنافى ما أمر الله به بل ما حث الله عليه في وقوله {وأنَّ هَذه أمَّتُكم أمَّةً وَاحدَة وَأنا رَبُكم فَاتَّقون} .
وقول بعضهم : إنه لا يمكن للدعوة أن تقوى إلا إذا كانت تحت حزب ؟
نقول : هذا ليس بصحيح ، بل إن الدعوة تقوى كل ما كان الإنسان منطوياً تحت كتاب الله وسنة رسوله صلى الله عليه وسلم متبعاً لآثار النبي صلى الله عليه وسلم وخلفائه الراشدين)) .
Fadlilatusy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidhahullah :
Soal : Fadlilatusy-Syaikh,…… sehubungan dengan keadaan jelek yang dijalani oleh umat Islam sekarang ini, terjadinya kegoncangan pemikiran khususnya pada apa-apa yang berhubungan dengan dien. Telah banyak jama’ah dan firqah Islam yang mengaku bahwa manhajnya adalah manhaj Islam yang benar dan wajib diikuti, hingga menyebabkan seorang muslim mengalami kebingungan pada urusannya : Mana yang harus dia ikuti, dan mana yang (berada di atas) al-haq ?
Jawab : Perpecahan tidak termasuk dari dien karena dien memerintahkan kepada kita untuk berkumpul dan menjadi satu jama’ah dan satu umat di atas ‘aqidah tauhid dan ittiba’ kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Allah telah berfirman :
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Rabb-mu, maka beribadahlah kepada Allah” (QS. Al-Anbiyaa’ : 92).
“Dan berpeganglah kalian dengan tali Allah seluruhnya, dan jangan bercerai-berai….” (QS. Ali ’Imran : 103).
”Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat” (QS. Al-An’am : 159).
Dien kita adalah dien jama’ah, agama yang bersatu dan damai, oleh karena perpecahan itu bukan dari dien. Berbilangnya jama’ah-jama’ah juga bukan termasuk dien, karenadien kita memerintahkan untuk menjadi jama’ah yang satu, sebagaimana sabda Nabishallallaahu ’alaihi wasallam :
”Seorang muslim terhadap muslim lainnya adalah seperti bangunan yang menguatkan sebagian bagi sebagian yang lain” .
Dan Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam pun bersabda :
”Perumpamaan orang-orang mukmin dalam cinta, sayang, dan rasa kasih-mengasihi mereka adalah seperti jasad yang satu”.
Telah diketahui bahwa jasad adalah satu kesatuan yang saling terikat dan tidak ada perpecahan. Karena jika bangunan terpecah, maka dia akan runtuh. Demikian pula jika badan terpecah, maka hilanglah kehidupan. Untuk itu, maka kita harus bersatu dan menjadi jama’ah yang satu yang dasarnya adalah tauhid serta manhajnya adalah dakwah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dan jalannya di atas dienul-Islam. Allah berfirman :
”Dan bahwasannya ini adalah jalanku yang lurus, maka ikutilah dia dan jangan ikuti jalan-jalan lain, kalian akan terpecah dari jalan-Nya” (QS. Al-An’am : 153).
Maka jama’ah-jama’ah dan perpecahan tersebut yang terjadi di kalangan kita hari ini tidak disepakati oleh dien Islam bahkan ia melarang dengan sekeras-keras larangan dan memerintahkan untuk bersatu di atas ’aqidah yang satu dan umat yang satu sebagaimana Allah perintahkan kita dengan itu. Sedangkan perpecahan dan berbilangnya jama’ah-jama’ah, sesungguhnya itu merupakan tipu daya syaithan dan jin dari kalangan manusia. Orang-orang kafir dan munafik tetap terus-menerus menyelinap (di barisan kaum muslimin) untuk memecah-belah umat. Berkata Yahudi dari sebelumnya (yang diceritakan Allah dalam ayat) :
Segolongan (lain) dari Ahli Kitab berkata (kepada sesamanya): "Perlihatkanlah (seolah-olah) kamu beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman (sahabat-sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah ia pada akhirnya, supaya mereka (orang-orang mukmin) kembali (kepada kekafiran). (QS. Ali ’Imran : 72).
Yang dimaksud agar kaum muslimin meninggalkan dien mereka, jika mereka melihat kalian pun meninggalkannya. Dan berkata kaum munafiq (sebagaimana dikisahkan Allah dalam ayat) :
"Janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada di sisi Rasulullah supaya mereka bubar (meninggalkan Rasulullah)" (QS. Al-Munafiquun : 7).
Dan Allah berfirman :
”Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan mesjid untuk menimbulkan kemudaratan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin” (QS. At-Taubah : 107).
[selesai – Muraja’aat fii Fiqhil-Waqi’ As-Siyasii wal-Fikri oleh Dr. ’Abdulah bin Muhammad Ar-Rifaa’i hal. 44 – 45]
Teks Asli:
س / فضيلة الشيخ ؛ إضافة لحالة التردي ، تعيش الأمة الإسلامية حالة اضطراب فكري خصوصاً في ما يتعلق بالدين ، فقد كثرت الجماعات والفرق الإسلامية التي تدعي أن نهجها هو النهج الإسلامي الصحيح الواجب الاتباع حتى أصبح المسلم في حيرة من أمره أيها يتبع وأيها على الحق ؟
ج / ((التفرق ليس من الدين ، لأن الدين أمرنا بالاجتماع وأن نكون جماعة واحدة وأمة واحدة على عقيدة التوحيد وعلى متابعة الرسول صلى الله ز ، يقول تعالى {إنَّ هَذه أمَّتُكم أمَّةً وَاحدَة وَأنا رَبُكم فَاعبُدُون} [الأنبياء :92] . يقول تعالى {وَاعتَصِمُوا بحبل اللَّه جَميعاً وَلا تَّفرَّقُوا} [آل عمران : 103] وقال سبحانه وتعالى {إنَّ الذينَ فَرَّقُوا دينهم وَكانُوا شِيَعَاً لستَ مِنْهُم في شَئ إنَما أمْرُهُم إلى الله ثُمَّ ينبئهم بِمَا كانوا يَفعَلُون} [الأنعام : 159] فديننا دين الجماعة ودين الألفة والاجتماع ، والتفرق ليس من الدين ، فتعدد الجماعات هذه ليس من الدين ، لأن الدين يأمرنا أن نكون جماعة واحدة والنبي ز يقول : (المسلم للمسلم كالبنيان يشد بعضه بعضاً) ويقول : (مثل المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتعاطفهم كمثل الجسد الواحد) فمعلوم أن البنيان وأن الجسد شئ واحد متماسك ليس فيه تفرق ، لأن البنيان إذا تفرق سقط ، كذلك الجسم إذا تفرق فقد الحياة ، فلا بد من الاجتماع وأن نكون جماعة واحدة أساسها التوحيد ومنهجها دعوة الرسول ز ومسارها على دين الإسلام ، قال تعالى: {وأنَّ هَذَا صِرَاطي مُسْتَقِيمَاً فاتَّبعوهُ وَلا تتبعُوا السُبُلَ فَتَفَرَّق بكم عَن سَبيْلِه ذَلِكم وَصَّاكم به لعَلكم تَتَّقون} [الأنعام:153] فهذه الجماعات وهذا التفرق الحاصل على الساحةاليوم لا يقره دين الإسلام بل ينهى عنه أشد النهي ويأمر بالاجتماع على عقيدة التوحيد وعلى منهج الإسلام جماعة واحدة وأمة واحدة كما أمرنا الله سبحانه وتعالى بذلك . والتفرق وتعدد الجماعات إنما هو من كيد شياطين الجن والإنس لهذه الأمة، فما زال الكفار والمنافقون من قديم الزمان يدسون الدسائس لتفريق الأمة ، قال اليهود من قبل : {آمِنوا بالذي أنزلَ عَلى الذِيْنَ آمَنُوا وَجْهَ النَّهَارِ واكفرُوا آخِرَهُ لَعَلهُمْ يَرْجعُون} أي يرجع المسلمون عن دينهم إذا رأوكم رجعتم عنه ، وقال المنافقون : {لا تُنْفِقُوا عَلى مَنْ عِنْدَ رَسُول الله حَتى يَنْفضُوا} {والذينَ اتخَذوا مَسْجدَاً ضِرَارَاً وَكفْرَاً وَتَفْريقاً بينَ المؤمنين}
[Fatwa-fatwa di atas beserta referensinya dinukil melalui perantaraan kitab Al-Jamaa’atul-Waahidah oleh Dr. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhaly hal. 196 – 203, versi word unduhan dari www.rabee.net].
Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhaly kemudian mengatakan :
وفي الجملة فعلماء الإسلام وعلماء السنة في السابق واللاحق لايجيزون هذا التفرق ولا هذا التحزب ولا هذه الجماعات المختلفة في مناهجها وعقائدها ؛ لأن الله قد حرم ذلك وكذلك رسوله صلى الله عليه وسلم ، والأدلة كثيرة وقد سبق سردها في مواطنها
”Ringkasnya bahwa para ulama Islam, ulama sunnah dahulu dan sekarang tidak membolehkan perpecahan tersebut, tidak berpartai-partai (tahazzub). Tidak pula berjama’ah-jama’ah yang berbeda-beda manhaj dan ’aqidah mereka, karena Allah subhaanahu wa ta’ala, kemudian (juga) Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam telah mengharamkan yang demikian. Adapun dalil-dalilnya banyak dan telah lewat sebutannya di tempatnya”.
Abul-Jauzaa' 1429 Hijriyah di Perumahan Ciomas Permai, Bogor.
from= http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2008/07/fatwa-ulama-tentang-tidak-bolehnya.html