Islam Pedoman Hidup: Mengenal Ulama Lebih Dekat (4)

Selasa, 01 Maret 2016

Mengenal Ulama Lebih Dekat (4)

menuntut_ilmu
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam; Tiada ilah yang berhak disembah melainkan Dia. Shalawat dan salam semoga Allah tetapkan atas Nabi Muhammad Shallallâhu ’alayhi wa Sallam, juga keluarga, para shahabat, dan para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.
Masih dalam tema “Tak kenal maka tak sayang” sebagai keharusan untuk mengetahui gambaran yang benar tentang hakikat ulama. Hal yang diperlukan agar kita tidak mudah tertipu oleh orang yang mengaku-ngaku atau yang diaku-aku sebagai ulama.

Beda ulama dan pemikir (cendekiawan)

Pemikir adalah orang yang memahami Islam secara umum. Ia memahami gambaran Islam terhadap Tuhan, alam, manusia, dan kehidupan. Di samping itu, ia juga punya perhatian pada perbandingan agama dan aliran modern secara global, seperti: materialisme, sekularisme, komunisme, sosialisme, dan lainnya. Ia sangat memahami realita dan permasalahan kekinian, juga kebudayaan barat lengkap dengan cara mengkritiknya. Ia adalah orang yang berusaha menyebarkan Islam dengan semua sarana dan prasarana yang ada.
Pun begitu, ia tetap tidak bisa dikategorikan sebagai ulama. Hanya saja, dalam kondisi tertentu, pendapatnya bisa dijadikan sebagai acuan, dan spesialisasinya juga bisa dimanfaatkan untuk kepentingan umat. Namun, tetap saja keberadaannya sebagai pemikir masih bergantung kepada ulama, kecuali pada spesialisasi yang menjadi bidangnya.
Sedangkan cendekiawan adalah seorang yang mumpuni dalam bidang disiplin ilmu tertentu, misalnya eksakta seperti: kedokteran, arsitektur, biologi, kimia, dan lain-lain. Meskipun apa yang menjadi spesialisasinya ini sangat berguna, bahkan tidak jarang bisa dijadikan sebagai rujukan, tetap saja ia bukanlah seorang pakar syariat Islam. Dan dalam pandangan Islam ia tetap dikategorikan sebagai orang awam yang berkewajiban menaati ulama.
Lebih jelasnya, dalam urusan agama, ia berkewajiban untuk merujuk kepada ulama. Sedangkan dalam bidang spesialisasinya itu, ia bisa menjadi rujukan bagi ulama. Seorang dokter menjadi rujukan dalam bidang kedokteran, seorang ekonom menjadi rujukan dalam bidang ekonomi, dan seterusnya. Semuanya harus ditimbang dan dinilai dengan neraca syar’i. Jika dalam urusan agama, terlebih-lebih urusan umat, ternyata si cendekiawan tidak melandaskan pendapat-pendapatnya pada landasan yang semestinya, tetapi justru melandaskannya kepada logikanya semata, maka ia tidak ada bedanya denga para filsuf yang perkataannya tidak bisa diterima sama sekali.
Itulah di antara perbedaan yang paling mencolok antara dirinya dengan ulama. Sebab ulama itu, terang adz-Dzahabi dalam Siyarnya (jilid XII hal. 120), tidak sudi untuk berbicara yang berbau filsafat dan debat kusir. Mereka lebih senang menghabiskan waktunya untuk mengkaji Alquran dan sunah seraya mendalami makna yang terkandung, kemudian mengikuti apa yang menjadi petunjuk keduanya tanpa perlu mendebat lagi. Hanya saja, lanjutnya, dewasa ini banyak orang yang tertipu dengan keberadaan para filsuf dan pemikir yang jauh dari petunjuk nabi itu dikarenakan kemampuan debat dan gaya bahasa yang mereka kuasai. Orang-orang itu mengira bahwa banyak berdebat itu adalah bukti akan keilmuan seseorang. Padahal, kenyataannya tidaklah demikian.
Berikut ini Ibnu Rajab dalam kitabnya, Bayan Fadhl Ilmis Salaf ‘Alal Khalaf hal. 57, menjelaskannya, “Belakangan ini banyak orang mengira bahwa yang banyak berbicara dan berdebat dalam urusan agama itu lebih berilmu daripada yang sedikit berbicara dan berdebat. Tak diragukan, ini adalah sebenar-benar kejahilan. Coba lihatlah para pembesar dan ulamanya shahabat, seperti: Abu Bakar, Umar, Ali, Mu’adz, Ibnu Mas’ud, dan Zaid bin Tsabit, bagaimana mereka itu? Bukankah perkataan mereka lebih sedikit daripada perkataan Ibnu Abbas? Padahal mereka itu lebih berilmu daripadanya. Begitu juga perkataan tabiin lebih banyak daripada perkataan shahabat. Padahal, shahabat itu lebih berilmu daripada tabiin. Dan juga tabiut tabiin perkataannya lebih banyak daripada perkataan tabiin. Padahal mereka tidaklah lebih berilmu dari para tabiin itu.
Hal ini sebab ilmu itu dinilai bukan karena banyaknya riwayat. Bukan pula karena banyaknya perkataan. Akan tetapi, ilmu itu adalah cahaya yang menerangi hati. Dengannya, seseorang itu bisa memahami kebenaran dan membedakannya dari kebatilan, lalu mengutarakannya dengan bahasa yang singkat namun padat.”

Beda ulama dan penceramah

Sejak generasi awal, sejarah Islam telah mencatat bahwa penceramah itu sudah diakui keberadaannya. Pada mulanya, yang bertugas menjadi penceramah adalah para ulama. Lalu seiring berkembangnya kebudayaan manusia dan berlalunya zaman, para penceramah pun tidak didominasi lagi oleh para ulama. Begitu jelas Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblisnya hal. 127.
Pun begitu, yang harus dicatat di sini ialah bahwa bukan sebuah keharusan manakala seseorang telah menjadi penceramah, mubaligh, dan khatib maka otomatis menjadi seorang ulama. Bukan seperti itu. Sebab, tidak sedikit penceramah—dan semisalnya—yang mampu menyihir pendengar dengan untaian kata yang dibuatnya serta membuat penonton terkagum-kagum dengan rangkaian kata yang dipilihnya. Padahal, pada saat yang bersamaan ia bukanlah seorang ulama. Bahkan, sama sekali ia tak memiliki ilmu sedikit pun.
Oleh karena itu, yang harus dicamkan dengan baik-baik ialah bahwa keilmuan seseorang itu tidaklah identik dengan kemampuannya dalam berorasi atau kemahirannya dalam melibatkan perasaan pendengarnya.
Simaklah perkataan Ibnu Mas’ud berikut, sebagaimana dikutip Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad hal. 346, “Sungguh, kalian ini berada pada zaman yang banyak ulamanya dan sedikit penceramahnya. Sedangkan zaman setelah kalian adalah zaman yang banyak penceramahnya dan sedikit ulamanya.”
Hal itu tak lain, karena kadang-kadang ulama itu bukanlah seorang orator ulung, atau mungkin karena tabiatnya yang sedikit berbicara, sehingga tidak bisa berceramah dengan baik. Pun sebaliknya, tidak sedikit dari kalangan orang awam yang justru lebih jago dan mahir dalam berpidato. Ia bisa dengan mudahnya membolak-balikkan kata sekehendaknya saja.
Meskipun demikian, tidaklah berarti bahwa penceramah atau khatib itu pasti bukan ulama. Tidak. Tidak seperti itu. Sebab bisa jadi si penceramah itu adalah seorang ulama, atau bahkan ulama besar yang menjadi panutan banyak orang. Sebut saja Ibnul Jauzi misalnya, di samping seorang penceramah yang mempunyai kemampuan orasi yang menakjubkan, ia juga seorang ulama yang mempunyai banyak karangan dalam disiplin ilmu yang berbeda-beda. Bahkan, ia termasuk ulama yang banyak mendapatkan rekomendasi akan kedalaman ilmu yang dimilikinya.
Hanya saja memang orang-orang awam itu lebih mudah digerakkan perasaannya lewat pidato yang menghanyutkan. Sehingga mereka pun menyangka bahwa hal itu adalah bukti akan keilmuan seseorang. Oleh karena itu, mereka lebih senang duduk-duduk dan berbondong-bondong mendengarkan wejangan seorang penceramah daripada seorang ulama. Padahal—sebagaimana yang telah dijelaskan—bahwa ulama itu dikenal bukan karena kepiawaiannya dalam berorasi. Namun, karena ilmu, ketakwaan, dan rasa takutnya kepada Allah Azza wajalla. []
(Disadur dan diringkas dari kitab Qawaid fi at-Ta’amul Ma’a al-‘Ulama karya Abdurrahman Luwaihiq).
Penulis: Abu Hasan Abdillah, BA., MA.
Artikel Muslim.Or.Id


Sumber: https://muslim.or.id/24696-mengenal-ulama-lebih-dekat-4.html