Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
“Artinya : Barangsiapa menjual dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan, maka baginya (harga,-pent) yang paling sedikit atau (kalau tidak mau, maka harga yang lebih tinggi adalah, -pent) riba” [Hadits No. 2326]
Hadits
di atas diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam “Al-Mushannaf
(VI/120/502)”, Abu Daud dari Ibnu Abi Syaibah (no. 3461), Ibnu Hibban
di dalam “Shahihnya (1110)”, Al-Hakim (II/45), dan Al-Baihaqi (V/343)
kesemuanya meriwayatkan bahwa telah becerita kepada kami Ibnu Abi
Zaidah dari Muhammad bin Amir dari Abu Salamah dari Abu Hurairah secara
marfu. [1]
Aku (Al-Albani) berkata : “Ini
sanadnya hasan, bahkan telah dishahihkan oleh Al-Hakim, dan disepakati
oleh Adz-Dzahabi, juga oleh Ibnu Hazm di dalam “Al-Muhalla (IX/16)”.
Juga
diriwayatkan oleh An-Nasa’i (VII/296, cetakan baru), At-Tirmidzi
(I/232), dia menshahihkannya, Ibnul Jarud (286), Ibnu Hibban (1109),
Al-Baghawi di dalam “Syarh As-Sunnah (VIII/142/211)”, ia juga
menshahihkannya, Ahmad (II/342, 375, 503) dan Al-Baihaqi dari beberapa
jalan dari Muhammad bin Amr dengan lafazh :
“Artinya : Beliau melarang dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan”.
Al-Baihaqi berkata : “Bahwa
Abdul Wahhab (yakni Ibnu Atha’) berkata yaitu (si penjual) berkata :
“Itu (barang) untukmu apabila kontan Rp 10,- namun jika dengan
penundaan (seharga) Rp 20,-“
Imam Ibnu Qutaibah juga menerangkannya dengan (keterangan) ini, beliau berkata di dalam “Gharib Al-Hadits (I/18)” : Diantara
jual beli yang terlarang (ialah) dua syarat (harga) dalam satu
penjualan, yaitu (misalnya) seseorang membeli barang seharga dua dinar
jika temponya dua bulan, dan seharga tiga dinar jika temponya tiga
bulan. Itulah makna “dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan.
Dan hadits itu dengan lafazh ini [2]
adalah ringkas dan shahih. Hadits ini tersebut didalam hadits Ibnu Umar
dan Ibnu Amr, keduanya telah ditakhrij di dalam “Irwaa Al-Ghalil
(V/150-151)”.
Dan semakna dengan hadits itu adalah ucapan Ibnu Mas’ud.
“Artinya : Satu akad jual beli di dalam dua akad jual beli adalah riba”
[Dikeluarkan
oleh Abdur Razzaq di dalam Al-Mushannaf (VIII/138-139), Ibnu Abi
Syaibah (VI/199), Ibnu Hibban (163, 1111) dan Ath-Thabrani (41/1),
sanadnya shahih]
Sementara
itu ada perselisihan tentang apakah Abdurrahman mendengar riwayat dari
bapaknya (yaitu) Ibnu Mas’ud?. Sekelompok (ulama,-pent) telah
memastikannya, sedangkan (menurut kaidah,-pent) yang memastikan itu
didahulukan atas yang meniadakan.
Dan
diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/393), dan ini juga merupakan riwayat
Ibnu Hibban (1112) (dari Ibnu Mas’ud,-pent) dengan lafazh.
“Artinya : Tidak
patut dua akad jual-beli di dalam satu akad jual-beli (menurut lafazh
Ibnu Hibban : Tidak halal dua akad jual beli) dan sesungguhnya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda : “Allah
melaknat pemakan (riba) [3], saksinya dan penulisnya”
Dan sanadnya juga shahih
Demikian pula diriwayatkan oleh Ibnu Nashr di dalam As-Sunnah (54), dia menambahkan dalam satu riwayat.
“Artinya : Yaitu
seseorang berkata : “Jika kontan maka (harganya) sekian dan sekian, dan
jika tidak kontan maka (harganya) sekian dan sekian”.
Ini
adalah salah satu riwayat (pendapat) Ahmad (I/398), tetapi beliau
(Ahmad) menjadikannya sebagai perkataan Sammak, perawi dari Abdurrahman
Ibnu Abdullah.
Kemudian
hadits itu diriwayatkan oleh Ibnu Nashr (55) dan Abdur Razzaq di dalam
Al-Mushannaf (VIII/137/14629) dengan sanad yang shahih dari Syuraih,
kemudian Syuraih menyebutkannya dengan ucapannya persis seperti lafazh
hadits yang sedang diterangkan ini.
Aku (Al-Albani) berkata : Sammak adalah Ibnu Harb, seorang Tabi’i yang ma’ruf (dikenal), dia berkata : “Aku telah bertemu dengan delapan puluh sahabat”, Karena itu keterangannya terhadap hadits sepantasnya didahulukan di saat terjadi pertentangan
(keterangan,-pent). Apalagi dia adalah salah satu perawi hadits ini,
tentu seorang perawi lebih tahu terhadap apa yang dia riwayatkan dari
pada selainnya, karena dimungkinkan dia mengambil riwayat disertai
dengan pemahaman maknanya dari orang yang diambil riwayatnya. Apalagi
sekelompok ulama dan Fuqaha (para ahli fiqh) Salaf menyepakatinya atas
hal itu. Mereka adalah :
[1]. Ibnu Sirin Ayyub
Meriwayatkan darinya, bahwa Ibnu
Sirin membenci seseorang berkata : “Aku menjual (barang,-pent) kepadamu
seharga 10 dinar secara kontan, atau 15 dinar secara tempo” Diriwayatkan oleh Abdur Razzaq di dalam “Al-Mushannaf (VIII/138/14630)” dengan sanad yang shahih darinya (Ibnu Sirin).
[2]. Thawus
Dia berkata : “Apabila
(penjual,-pent) mengatakan bahwa (barang) itu dengan (harga) sekian dan
sekian jika temponya sekian dan sekian, tetapi dengan (harga) sekian
jika temponya sekian dan sekian. Lalu terjadi jual beli atas (cara)
ini, maka (penjual harus mengambil, -pent) harga yang lebih rendah sampai tempo yang lebih lama.
Dikeluarkan
oleh Abdur Razzaq juga (14631) dengan sanad yang shahih juga. Abdur
Razaq juga meriwayatkan (pada no 14626), demikian pula Ibnu Abu Syaibah
(VI/120) dari jalan Laits dari Thawus dengannya (perkataan di
atas,-pent) secara ringkas, tanpa perkataan : “Lalu terjadi jual beli…”
tetapi dengan tambahan (riwayat) : “Kemudian
(jika penjualnya, -pent) menjual dengan salah satu dari kedua harga itu
sebelum (pembeli, -pent) berpisah dari (penjual), maka tidak mengapa”. Akan tetapi ini tidak shahih dari Thawus, karena :Laits –yaitu Ibnu Abu Salim- telah berubah ingatan (karena tua).
[3]. Sufyan Ats-Tsauri
Mengatakan bahwa, jika engkau berkata : “Aku
menjual kepadamu dengan kontan (seharga) sekian, dan dengan tidak
kontan (seharga) sekian dan sekian”, kemudian pembeli membawanya pergi,
maka dia berhak memilih di antara dua (harga) penjualan tadi, selama
belum terjadi keputusan jual-beli atas salah satu harga. Dan jika telah
terjadi jual-beli seperti ini, maka itu adala dibenci.
Itulah “dua penjualan di dalam satu penjualan”, dan itu tertolak serta terlarang.
Maka jika engkau mendapati barangmu masih utuh, engkau dapat mengambil
harga yang paling rendah dan waktu yang lebih lama. Diriwayatkan oleh
Abdur Razaq (14632) dari Sufyan Ats-Tsauri.
[4]. Al-Auza’i
Riwayatnya secara ringkas senada dengan di atas. Dalam
riwayat itu dikisahkan bahwa Al-Auza’i ditanya : “Jika (pembeli,-pent)
membawa pergi dagangan itu (berdasarkan jual-beli dengan) dua syarat
tadi?” Dia (Al-Auza’i) menjawab : “Harga barang itu dengan harga yang
terendah dengan tempo yang lebih lama” Al-Khaththabi
menyebutkannya (riwayat ini, pent) di dalam “Ma’alimus Sunnah (V/99)”.
Kemudian para imam hadits dan lughoh (bahasa Arab) berjalan mengikuti
sunnah mereka, diantaranya :
[5]. Imam An-Nasa’i
Beliau
berkata dibawah bab : Dua penjualan di dalam satu penjualan: “yaitu
seseorang berkata : Aku menjual kepadamu barang ini seharga 100 dirham
secara kontan, dan seharga 200 dirham secara tidak kontan”.
Demikian juga An-Nasa’i menerangkan seperti itu pada hadits Ibnu Amr.
“Artinya : Tidak halal dua persyaratan di dalam satu penjualan”
Hadits ini ini telah ditakhrih didalam “Al-Irwaa (1305) dan lihatlah “Shahihul Jaami (7520)”.
[6]. Ibnu Hibban
Beliau berkata di dalam “Shahihnya (VII/225-Al-Ihsan)” : “Telah
disebutkan larangan tentang menjual sesuatu dengan harga 100 dinar
secara kredit, dan seharga 90 dinar secara kontan. Beliau menyebutkan
hal itu dibawah hadits Abu Hurairah dengan lafazh yang ringkas.
[7]. Ibnul Atsir
Di dalam “Gharibul Hadits” dia menyebutkannya di dalam penjelasan dua hadits yang telah diisyaratkan tadi.
HUKUM JUAL BELI KREDIT
Sesungguhnya
telah disebutkan pendapat-pendapat yang lain mengenai tafsir “dua
penjualan” itu, mungkin sebagiannya akan dijelaskan berikut ini. Namun
tafsir yang telah lewat di atas adalah yang paling benar dan paling
masyhur, dan itu persis dengan apa yang sekarang ini dikenal dengan
(istilah) “Jual Beli Kredit”. Bagaimana hukumnya ?
Dalam hal ini, para ulama telah berselisih pendapat semenjak dahulu hingga sekarang dan menjadi tiga pendapat.
[1]. Bahwa hal itu adalah batil secara mutlak, dan ini adalah pendapat Ibnu Hazm
[2]. Bahwa hal itu adalah tidak boleh kecuali apabila dua harga itu dipisah (ditetapkan) pada salah satu harga saja. Misalnya apabila hanya disebutkan harga kreditnya saja.
[3]. Bahwa hal itu tidak boleh. Akan tetapi apabila telah terjadi dan harga yang lebih rendah dibayarkan maka boleh.
[2]. Bahwa hal itu adalah tidak boleh kecuali apabila dua harga itu dipisah (ditetapkan) pada salah satu harga saja. Misalnya apabila hanya disebutkan harga kreditnya saja.
[3]. Bahwa hal itu tidak boleh. Akan tetapi apabila telah terjadi dan harga yang lebih rendah dibayarkan maka boleh.
Dalil madzhab yang pertama
adalah zhahir larangan pada hadits-hadits yang telah lalu, karena pada
asalnya larangan itu menunjukkan batilnya (perdagangan model itu).
Inilah pendapat yang mendekati kebenaran, seandainya tidak ada apa yang
nanti disebutkan saat membicarakan dalil bagi pendapat yang ketiga.
Sedangkan para pelaku pendapat kedua
berargumentasi bahwa larangan tersebut disebabkan oleh ketidaktahuan
harga, yaitu : ketidak pastian harga; apakah harga kontan atau kredit.
Al-Khaththabi berkata : “Apabila
(pembeli) tidak tahu harga (maka) jual beli itu batal. Adapun apabila
dia memastikan pada salah satu dari dua perkara (harga, -pent) itu
dalam satu majlis akad, maka (jual-beli) itu sah”.
Aku (Al-Albani) berkata : “Alasan
dilarangnya ‘dua (harga) penjualan dalam satu penjualan’ disebabkan
oleh ketidaktahuan harga, adalah alasan yang tertolak. Karena hal itu
semata-mata pendapat yang bertentangan dengan nash yang jelas di dalam
hadits Abu Hurairah dan Ibnu Mas’ud bahwa (penyebab larangan) itu
adalah riba. Ini dari satu sisi, sedangkan dari sisi lain (yang menjadi
pendapat ini tertolak, -pent) ialah karena alasan mereka ini dibangun
di atas pendapat wajibnya ijab dan qabul dalam jual beli. Padahal
(pendapat) ini tidak ada dalilnya, baik melalui Kitab Allah maupun
Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan di dalam
(jual-beli) itu cukup (dengan) saling rela dan senang hati. Maka selama
ada rasa saling rela dan senang hati di dalam jual beli, dan ada
petunjuk kearah sana, berarti itu merupakan jual-beli yang syar’i.
Itulah yang dikenal oleh sebagian ulama dengan (istilah) jual beli
Al-Mu’aathaah [4], Asy-Syaukani berkata di dalam “As-Sail Al-Jarar (III/126) “Jual
beli al-mu’aathaah ini, yang dengannya terwujud suasana saling rela dan
senang hati adalah jual beli syar’i yang diijinkan oleh Allah,
sedangkan menambahinya (dengan syarat-syarat lain, pent) adalah
termasuk mewajibkan apa yang tidak diwajibkan oleh syara (agama)”.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah juga telah menjelaskan hal itu di dalam Al-Fatawa
(XXIX/5-21) yang tidak memerlukan tambahan lagi, hendaklah orang yang
ingin memperluas (masalah ini) melihat ke sana.
Aku (Al-Albani) berkata : “Apabila
demikian, maka seorang pembeli sewaktu dia telah berpaling (membawa)
apa yang dia beli, mungkin dia membayar kontan atau mungkin membayar
kredit. Jual beli dengan cara yang pertama itu sah, sedangkan pada cara
kedua yaitu pembeli membawa barang dengan menanggung harga kredit –dan
inilah masalah yang sedang diperselisihkan-, lalu mana alasan tidak
mengerti harga yang dikemukakan di atas ? Khususnya lagi apabila
pembayaran itu dengan angsuran, maka angsuran yang pertama dia bayar
dengan kontan sedang sisa angsurannya tergantung kesepakatan. Dengan
demikian batallah illat (alasan/sebab) tidak mengertinya harga sebagai
dalil, baik melalui atsar maupun melalui penelitian.
Dalil pendapat yang ketiga
adalah hadits bab ini (hadits yang dibicarakan ini ,-pent), ditambah
atsar (hadits) Ibnu Mas’ud. Sesungguhnya kedua hadits tersebut sepakat
bahwa: ‘dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan adalah riba”. Jadi riba itulah yang menjadi illat (alasan)nya.
Dengan demikian maka larangan itu berjalan sesuai dengan illat
(alasan)nya, baik larangan itu menjadi ada, ataupun menjadi tidak ada.
Karenanya bila dia mengambil harga yang lebih tinggi, berarti itu riba.
Tetapi bila mengambil harga yang lebih rendah, maka hal itu menjadi
boleh. Sebagaimana keterangan dari para ulama, yang telah menyatakan
bahwa boleh untuk mengambil yang lebih rendah harganya, dengan tempo
yang lebih lama, karena sesungguhnya dengan demikian berarti dia tidak
menjual dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan.
Bukankah
anda lihat apabila (penjual) menjual barang dagangannya dengan harga
pada hari itu, dan dia membebaskan pembeli untuk memilih antara
membayar harga secara kontan atau hutang, maka dia tidak dikatakan :
Telah menjual dengan dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan,
sebagaimana hal itu jelas. Dan itulah yang dinyatakan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sabdanya pada hadits yang
bicarakan.
“Artinya : Maka baginya (harga) yang paling sedikit, atau (kalau tidak mau maka harga yang lebih tinggi adalah) riba” [lihat hadits yang menjadi pokok bahasan di atas, -pent]
Maka
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mensahkan penjualan itu karena
hilangnya illat (alasan/sebab yang menjadikannya terlarang). Beliau
membatalkan harga tambahan, karena hal itu adalah riba. Pendapat ini
adalah juga pendapat Thawus, Ats-Tsauri, dan Al-Auza’i rahimahullah
sebagaimana telah diterangkan di atas. Dari sinilah dapat diketahui gugurnya perkataan Al-Khaththabi di dalam “Ma’alimus Sunan (V/97)”.
“Aku
tidak mengetahui seorang ahli fiqihpun yang berpendapat berdasarkan
zhahirnya hadits ini, dan menshahkan jual beli dengan harga yang lebih
rendah, kecuali yang konon dihikayatkan dari Al-Auza’i, dan itu adalah
pendapat yang rusak, karena akad (jual-beli) ini mengandung tipuan dan
ketidak tahuan”
Aku (Al-Albani) berkata : Yang
dimaksud oleh Al-Khaththabi adalah ketidaktahuan terhadap harga,
sebagaimana telah dikemukakan keterangannya di muka. Justru dari
keterangan yang telah lalu dapat diketahui bahwa pendapatnya itulah
yang rusak, karena dia membangun pernyataannya pada illat (alasan/sebab
hukum) yang tidak ada dasarnya di dalam syara’. Sedangkan pendapat
Al-Auza’i berdiri di atas nash (teks syar’i sebagaimana telah
dijelaskan di muka. Oleh karena itulah Asy-Syaukani menegaskan di dalam
“Nailul Author (V/129)” dengan perkataan : “Tidak
tersembunyi bahwa apa yang dikatakan oleh Al-Auza’i itu adalah dhahir
hadits, karena (hadits tadi) menetapkan (penjualan dengan harga) yang
lebih rendah, yang berarti jual beli itu sah”.
Aku (Al-Albani) berkata :
Al-Kaththabi sendiri telah menyebutkan bahwa Al-Auza’i berpendapat
menurut zhahir hadits, maka tidak ada beda antara dia
(Asy-Syaukani,-pent) dengan Al-Khaththabi dari sisi ini, hanya saja
Al-Khaththabi berani keluar dan menyelisihi dhahir hadits ini
semata-mata karena illat (alasan/sebab) tidak tahu (harga). Sebuah
alasan yang mereka katakana berdasarkan akal mereka, yang menyelisihi
hadits.
Dan
sangat mengherankan sekali bahwa Asy-Syaukani mengikuti mereka dalam
hal itu dengan ucapannya. Dan sebab hukum dalam larangan dua penjualan
adalah ketidak pastian harga dalam bentuk penjualan satu barang dengan
dua harga …”
Hal
itu disebabkan karena (sikap) mengikuti ini terjadi pada orang-orang
yang mewajibkan ijab dan qabul di dalam jual-beli. Sedangkan
Asy-Syaukani menyelisihi mereka dalam hal itu, dan dia berpendapat
sahnya jual beli Al-Mu’aathaah, dan di dalam bentuk ini (yang aku
maksud (jual beli) Al-Mu’aathaah) terjadi kepastian harga sebagaimana
telah aku jelaskan tadi.
Kemudian
sesungguhnya nampak bahwa Asy-Syaukani –seperti juga Al-Khaththabi-
tidak mengetahui orang-orang yang berpendapat sesuai dengan zhahir
hadits –seperti Al-Auza’i- dan kalau tidak, pastilah Asy-Syaukani tidak
mendiamkan makna ucapan Al-Khaththabi yaitu : sendirinya Al-Auza’i
(dengan pendapatnya,-pent). Dan kami telah meriwayatkan untukmu
(pembaca) dengan sanad yang shahih pendahulunya (Al-Auza’i) dalam hal
ini –yaitu seorang Tabi’i yang besar, Thawus- dan Al-Imam Ats-Tsauri
menyepakatinya. Dan mereka diikuti oleh Al-Hafidz Ibnu Hibban, dia
berkata di dalam “Shahihnya (VII/226)” : Keterangan yang menyebutkan
bahwa pembeli apabila telah membeli (dengan cara) dua penjualan di
dalam satu penjualan sebagaimana telah kami jelaskan, dan dia
menghendaki menjauhi riba, dia berhak (mengambil) harga yang terendah
dari keduanya. Kemudian dia (Ibnu Hibban) menyebutkan hadits bab ini,
maka ini selaras dengan ucapan-ucapan para imam itu yang telah lewat.
Maka bukan hanya Al-Auza’i sendiri yang berpendapat dengan hadits ini.
Aku (Al-Albani) berkata : Ini
adalah penjelasan terhadap kenyataan, dan agar supaya sebagian
orang-orang yang memiliki hawa nafsu atau orang yang tidak berilmu
berkata, lalu menyangka, bahwa pendapat Al-Auza’i adalah asing! Dan
kalau tidak, -maka kami al-hamdulillah- bukanlah termasuk orang-orang
yang tidak mengenal al-haq kecuali dengan banyaknya manusia yang
berpendapat demikian, akan tetapi (yang benar) hanyalah : dengan
(ukuran) al-haq kita mengenali manusia.
Dan kesimpulannya ; bahwa pendapat yang kedua itu adalah pendapat yang paling lemah,
karena tidak ada dalil padanya kecuali akal bertentangan dengan nash.
Kemudian diiringi oleh pendapat yang pertama, karena Ibnu Hazm yang
mempunyai pendapat itu mengklaim bahwa hadits bab ini telah dihapus
(mansukh) oleh hadits-hadits yang melarang dua penjualan di dalam satu
penjualan, dan klaim itu tertolak, karena bertentanan dengan ushul (fiqh,-pent).
Karena (di dalam ushul fiqh, sebuah hadits itu,-pent) tidak
akan menjadi (pembicaraan) naskh (penghapusan hukum) kecuali apabila
jama’ (penggabungan nash) sulit dilakukan, padahal jama’ bisa dilakukan
dengan mudah disini.
Lihatlah
misalnya hadits Ibnu Mas’ud, maka engkau akan mendapatinya selaras
dengan hadits-hadits ini, akan tetapi hadits Ibnu Mas’ud itu memberikan
tambahan keterangan atas hadits-hadits ini yaitu sebab hukum larangan,
bahwa sebab hukummya adalah riba. Dan hadits bab ini bersamaan
dengannya (hadits Ibnu Mas’ud) dalam hal ini, akan tetapi
menambahkannya dengan penjelasan bahwa jual beli itu sah jika dia
mengambil harga yang lebih rendah. Dan hal itu ditujukkan oleh hadits
Ibnu Mas’ud pula, akan tetapi dengan metode istimbat (pengambilan
hukum) sebagai mana telah dijelaskan.
Inilah
yang nampak bagiku dari metode jama’ dan pemahaman terhadapnya, dan apa
yang aku pilih dari pendapat-pendapat ulama sekitar (masalah ini), jika
aku benar maka itu dari Allah, tetapi jika aku keliru sendiri {?→ ada redaksi terlewat, mungkin maksudnya "jika aku keliru maka dari aku sendiri"=dass}, dan hanya kepada Allah aku memohon untukku agar mengampuninya, dan (mengampuni) seluruh dosaku.
Ketahuilah
akhi (saudaraku) Muslim ! bahwa mu’amalah tersebut yang telah tersebar
di kalangan para pedagang dewasa ini, yaitu jual beli kredit, dan
mengambil tambahan (harga) sebagai ganti tempo, dan semakin panjang
temponya ditambah pula harganya. Dari sisi lain itu hanyalah mu’amalah
yang tidak syar’i karena meniadakan ruh Islam yang berdiri di atas
(prinsip) memudahkan kepada manusia, kasih sayang terhadap mereka,
sebagaimana di dalam sabda beliau.
“Artinya : Mudah-mudahan
Allah merahmati seorang hamba, yang mudah apabila dia menjual, mudah
apabila dia membeli, mudah apabila dia menagih” [Hadits Riwayat Al-Bukahri]
Dan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Barangsiapa yang dermawan, yang lemah lembut, yang dekat niscaya Allah haramkan dari neraka” [Diriwayatkan oleh Al-Hakim dan lainnya, dan telah disebutkan takhrijnya no. 938]
Maka
seandainya salah seorang dari mereka (para pedagang) bertaqwa kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjual (barang) dengan (sistim hutang
atau kredit dengan harga kontan, sesungguhnya itu lebih
menguntungkannya, hatta dari sisi materi. Karena hal itu akan
menjadikan orang-orang ridha kepadanya dan mau membeli darinya serta
akan diberkati di dalam rizkinya, sesuai dengan firmanNya Azza wa Jalla.
“Artinya : Dan
barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan jalan
keluar baginya dan memberi rizki kepadanya dari arah yang tidak ia
sangka” [Ath-Thalaq : 2]
Dan
pada kesempatan ini aku nasehatkan kepada para pembaca untuk meruju
kepada risalah al-akh Al-Fadhil Abdurrahman Abdul Khaliq (yang
berjudul) : “Al-Quuluf Fashl Fii Bari’il Ajl”, karena risalah ini
istimewa dalam masalah ini, bermanfaat dalam temanya, mudah-mudahan
Allah membalas kebaikan kepadanya.
[Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah V/419-427]
[Disalin
dari Majalah As-Sunnah Edisi 12/Th III/1420-1999, Diterbitkan Yayasan
Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
_______
Footnote
[1]. Yaitu : Disandarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,-pent
[2]. Yaitu : Lafadzh “Dua syarat di dalam satu penjualan”,-pent
[3]. Pemakan riba adalah orang yang mengambilnya walaupun tidak makan, diungkapkan dengan makan karena makan adalah kegunaan terbesar dari riba dan karena riba itu umumnya seputar makanan.
Pemberi makan riba adalah orang yang memberikan riba kepada orang yang mengambilnya, walaupun yang mengambil tadi tidak memakannya,-pent. (Lihat Al-Fathur-Rabbani Ma’a Syarhihi Bulughul –Amani (XV/68) oleh Ahmad Abdur Rahman Al-Banna, Penerbit Dar Ihya At-Turots Al-Arabi, tanpa tahun
[4]. Yaitu akad jual beli yang terjadi tanpa ucapan atau perkataan (ijab qabul) akan tetapi dengan perbuatan saling rela. Seperti pembeli mengambil barang dagangan dan memberikan (uang) harganya kepada penjual ; atau penjual memberikan barang dan pembeli memberikan (uang) harganya tanpa berbicara dan tanpa isyarat, baik barang itu remeh atau berharga. (Lihat “Al-Fihul Islami wa Adillatuhu IV/99 oleh DR Wahbah Az-Zuhaili).
[2]. Yaitu : Lafadzh “Dua syarat di dalam satu penjualan”,-pent
[3]. Pemakan riba adalah orang yang mengambilnya walaupun tidak makan, diungkapkan dengan makan karena makan adalah kegunaan terbesar dari riba dan karena riba itu umumnya seputar makanan.
Pemberi makan riba adalah orang yang memberikan riba kepada orang yang mengambilnya, walaupun yang mengambil tadi tidak memakannya,-pent. (Lihat Al-Fathur-Rabbani Ma’a Syarhihi Bulughul –Amani (XV/68) oleh Ahmad Abdur Rahman Al-Banna, Penerbit Dar Ihya At-Turots Al-Arabi, tanpa tahun
[4]. Yaitu akad jual beli yang terjadi tanpa ucapan atau perkataan (ijab qabul) akan tetapi dengan perbuatan saling rela. Seperti pembeli mengambil barang dagangan dan memberikan (uang) harganya kepada penjual ; atau penjual memberikan barang dan pembeli memberikan (uang) harganya tanpa berbicara dan tanpa isyarat, baik barang itu remeh atau berharga. (Lihat “Al-Fihul Islami wa Adillatuhu IV/99 oleh DR Wahbah Az-Zuhaili).