Amar ma’ruf[1] (menyuruh/mengajak pada kebaikan) dan nahi munkar[2] (melarang kemunkaran) merupakan amalan yang sangat besar di sisi syari’at. Allah ta’ala telah memerintahkan dua hal ini dalam firman-Nya :
وَلْتَكُنْ
مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar;
merekalah orang-orang yang beruntung” [QS. Aali ‘Imraan : 104].
Oleh karena itu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam senantiasa berwasiat kepada umatnya untuk ber-amar ma’ruuf dan nahi munkar sebagaimana riwayat :
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنْ عَمْرِو
بْنِ أَبِي عَمْرٍو، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيِّ، عَنْ
حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ، وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ، أَوْ لَيُوشِكَنَّ
اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ، ثُمَّ تَدْعُونَهُ
فَلَا يُسْتَجَابُ لَكُمْ
Telah
menceritakan kepada kami Qutaibah : Telah menceritakan kepada kami
‘Abdul-‘Aziiz bin Muhammad, dari ‘Amru bin Abi
‘Amru, dari ‘Abdullah Al-Anshaariy, dari Hudzaifah bin
Al-Yamaan, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Demi
Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, hendaklah kalian menyuruh yang
ma’ruf dan mencegah kemungkaran atau (kalau tidak kalian lakukan)
maka pasti Allah akan menurunkan siksa kepada kalian, hingga kalian
berdoa kepada-Nya, tetapi tidak dikabulkan” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 2169, dan ia berkata : “Hadits ini hasan”].
أَخْبَرَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ، قَالَ:
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ قَيْسِ بْنِ مُسْلِمٍ، عَنْ طَارِقِ بْنِ
شِهَابٍ، قَالَ: قَالَ أَبُو سَعِيدٍ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ رَأَى مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ
بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ "
Telah
mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Basysyaar, ia berkata : Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan, ia berkata : Telah
menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Qais bin Muslim, dari Thaariq
bin Syihaab, ia berkata : Telah berkata Abu Sa’iid (Al-Khudriy) :
Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa
di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia cegah dengan
tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu
juga, maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 5008; shahih].
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ نُمَيْرٍ، قَالَ: أَخْبَرَنَا إِسْمَاعِيلُ يَعْنِي
ابْنَ أَبِي خَالِدٍ، عَنْ قَيْسٍ، قَالَ: قَامَ أَبُو بَكْرٍ، فَحَمِدَ
اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ، ثُمَّ قَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ،
إِنَّكُمْ تَقْرَءُونَ هَذِهِ الْآيَةَ: يَأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ،
وَإِنَّا سَمِعْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ: " إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوْا الْمُنْكَرَ فَلَمْ يُغِّيِروه،
أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللَّهُ بِعِقَابِهِ "
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Numair, ia berkata : Telah
mengkhabarkan kepada kami Ismaa’iil bin Abi Khaalid, dari Qais,
ia berkata : Abu Bakr pernah berdiri (berkhutbah), lalu ia memuji dan
menyanjung Allah. Setelah itu ia berkata : “Wahai sekalian
manusia, sesungguhnya kalian membaca ayat ini : ‘Hai
orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu
akan memberi mudlarat kepadamu apabila kamu telah mendapat
petunjuk’ (QS. Al-Maaidah : 105). Dan sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda : ‘Sesungguhnya
manusia apabila melihat kemunkaran namun mereka tidak mengubahnya, maka
hampir saja Allah akan menimpakan siksa kepada mereka semua” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 1/1 no. 1; shahih].
Amar ma’ruuf dan nahi munkar merupakan keistimewaan dan ciri khas umat Muhammadshallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana difirmankan Allah ta’ala :
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
“Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah” [QS. Aali ‘Imraan : 110].
الَّذِينَ
يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الأمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ
مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالإنْجِيلِ يَأْمُرُهُمْ
بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ
الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ
إِصْرَهُمْ وَالأغْلالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِينَ آمَنُوا
بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ
مَعَهُ أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“(Yaitu)
orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang umi yang (namanya) mereka
dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang
menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari
mengerjakan yang munkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik
dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka
beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka
orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan
mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur'an),
mereka itulah orang-orang yang beruntung” [QS. Al-A’raaf : 157].
Dikarenakan amar ma’ruuf dan nahi munkar merupakan
amalan yang sangat mulia dalam Islam, ia tidak ditetapkan tanpa aturan.
Ada beberapa aturan yang dijelaskan para ulama yang diambil dari
nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah sehingga amalan ini dapat
sampai pada tujuannya : mencapai kemaslahatan dunia dan akhirat.
Pada kesempatan ini, akan disebutkan beberapa persyaratan yang harus diperhatikan bagi orang yang hendak melakukan amar ma’ruuf dan nahi munkar. Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah telah menjelaskannya dalam kitabSyarh Al-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah, 2/330-335, yaitu[3] :
1. Pelaku mengetahui hukum syar’iy tentang sesuatu yang ia perintahkan atau yang ia larang.
Oleh
karena itu, ia tidak boleh memerintahkan sesuatu kecuali ia mengetahui
bahwa syari’at memerintahkannya. Dan ia pun tidak boleh melarang
dari sesuatu, kecuali syari’at memang melarang darinya. Tidak
boleh baginya berpegang dalam permasalahan tersebut berdasarkan
perasaan dan kebiasaan.
Dalilnya adalah firman Allah ta’ala :
فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ
“Maka
putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan
kebenaran yang telah datang kepadamu” [QS. Al-Maaidah : 48].
وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا
“Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya
itu akan diminta pertanggungan jawabnya” [QS. Al-Israa’ : 36].
وَلا
تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلالٌ وَهَذَا
حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ
يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لا يُفْلِحُونَ
“Dan
janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu
secara dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan
terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan
terhadap Allah tiadalah beruntung” [QS. An-Nahl : 116].
Seandainya
ia melihat seseorang melakukan sesuatu yang pada asalnya dihalalkan
(diperbolehkan), maka tidak boleh baginya melarang hingga ia mengetahui
apa yang diperbuat orang tersebut diharamkan atau dilarang (oleh
syari’at).
Begitu
pula seandainya ia melihat seseorang meninggalkan sesuatu yang menurut
prasangkanya termasuk ibadah, maka tidak boleh baginya memerintahkannya
untuk beribadah dengannya hingga ia mengetahui bahwa syari’at
memang memerintahkannya.
2. Pelaku
mengetahui keadaan orang yang diperintah : apakah ia termasuk orang
yang dikenai perintah/larangan dimaksud ataukah tidak.
Seandainya ia melihat seseorang dalam keadaan ragu, apakah orang tersebut termasuk mukallaf (orang
yang dibebani suatu kewajiban) ataukah tidak, maka tidak boleh baginya
memerintahkan pada sesuatu yang tidak diperintahkan kepada orang
tersebut, hingga ia memastikannya terlebih dahulu.
3. Pelaku
mengetahui keadaan orang yang diperintah pada saat pembebanannya :
apakah ia telah melakukan sesuatu yang diperintahkan/dilarang ataukah
belum.
Seandainya ia melihat seseorang masuk masjid lalu duduk, dan ia ragu apakah orang tersebut telah shalat (tahiyyatul-masjid)
dua raka’at ataukah belum, maka tidak boleh baginya
mengingkarinya atau memerintahkannya hingga ia memastikan terlebih
dahulu (apakah orang tersebut sudah shalat ataukah belum).
Dalilnya adalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhuthbah pada hari Jum’at. Kemudian masuklah seorang laki-laki (ke dalam masjid), lalu ia duduk. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa sallam bersabda kepadanya : “Apakah engkau sudah shalat ?”. Ia menjawab : “Belum”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Berdirilah, lalu shalatlah dua raka’at yang ringan”.[4]
Ada yang bercerita kepadaku (Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimiin rahimahullah) bahwa
sebagian orang berkata : ‘Diharamkan merekam Al-Qur’an di
kaset, dengan alasan hal itu termasuk penghinaan terhadap
Al-Qur’an. Lalu ia pun melarang manusia merekam Al-Qur’an
di kaset karena prasangkanya termasuk kemunkaran !!
Kita
katakan kepadanya : Sesungguhnya kemunkaran (yang sesungguhnya) adalah
pelaranganmu terhadap mereka pada sesuatu yang tidak engkau ketahui
termasuk kemunkaran ! Maka di sini engkau harus mengetahui bahwa
sesuatu yang engkau larang itu termasuk kemunkaran dalam agama Allah.
Contoh
kasus ini adalah selain dalam masalah ibadah. Adapun contoh yang
termasuk masalah ibadah, (misalnya) seandainya kita melihat seorang
laki-laki beribadah dengan satu ibadah, dimana ia tidak mengetahui yang
dikerjakannya tersebut termasuk yang diperintahkan Allah, dalam hal ini
kita melarangnya karena asal dari perkara ibadah adalah terlarang.
4. Pelaku mampu untuk melakukan amar ma’ruuf dan nahi munkar tanpa menimbulkan bahaya yang akan menimpanya.
Apabila pelaku menjumpai adanya bahaya yang akan menimpanya, tidak wajib baginya melakukan amar ma’ruuf dan nahi munkar.
Namun jika ia bersabar dan melakukannya, hal itu lebih utama. Hal itu
dikarenakan seluruh kewajiban dipersyaratkan adanya kemampuan dan
kesanggupan, berdasarkan firman Allahta’ala :
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” [QS. At-Taghaabuun : 16].
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” [Al-Baqarah : 286].
Apabila pelaku khawatir ketika memerintahkan perbuatan ma’ruuf kepada
seseorang, orang tersebut akan membunuhnya, maka tidak wajib baginya
untuk memerintahkan perbuatan tersebut, karena ia tidak mampu
melakukannya. Bahkan kadang hukumnya bisa diharamkan pada waktu itu.
Sebagian ulama berkata : ‘Bahkan wajib baginya untuk beramar ma’ruuf dan
sabar meskipun ia ditimpa bahaya dengannya sepanjang tidak
mengakibatkan ia (pelaku) dibunuh. Akan tetapi pendapat pertama lebih
kuat, karena pelaku amar ma’ruuf nahi munkar apabila menemui bahaya dengan adanya penahanan atau yang semisalnya, maka selain dirinya pun akan meninggalkan amar ma’ruuf nahi munkar karena khawatir ditimpa bahaya yang semisal - bahkan, dalam keadaan dimana ia tidak khawatir atas bahaya yang ditimbulkan.
Hal ini berlaku selama perkaranya tidak termasuk amar ma’ruuf dalam
jenis jihad - sebagaimana jika ia menyuruh pada perbuatan sunnah
dan melarang dari perbuatan bid’ah yang seandainya ia diam,
niscaya ahlul-bid’ah akan melanggar kehormatan Ahlus-Sunnah,
karena perbuatan itu termasuk jihad fii sabiilillah. Pada keadaan ini, wajib untuk menampakkan sunnah dan menjelaskan kebid’ahan, karena perbuatan tersebut termasuk jihad fii sabiilillah. Tidak ada ‘udzur dengan alasan khawatir terhadap dirinyanya sendiri.
5. Amar ma’ruuf dan nahi munkar tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada meninggalkannya.
Seandainya amar ma’ruuf dan nahi munkar menimbulkan
kerusakan yang lebih besar, maka perbuatan tersebut tidak wajib
dilakukan, dan bahkan tidak boleh melakukannya. Oleh karena itu para
ulama berkata : Sesungguhnya mengingkari kemunkaran menghasilkan salah
satu dari empat hal :
a. hilangnya kemunkaran,
b. berubah menjadi kemunkaran yang lebih ringan,
c. berubah menjadi kemunkaran yang semisalnya, atau
d. berubah menjadi kemunkaran yang lebih besar.
Jika
yang terjadi adalah keadaan pertama dan kedua, maka perbuatan
mengingkari kemunkaran hukumnya wajib. Keadaan ketiga, perlu
pertimbangan. Adapun keadaan keempat, tidak boleh dilakukan, karena
tujuan dari mengingkari kemunkaran adalah untuk menghilangkannya atau
untuk meringankannya/mengecilkannya.
Contohnya
: Apabila ada seseorang ingin menyuruh orang lain melakukan kebaikan,
akan tetapi perbuatan tersebut mengkonsekuensikan orang bersangkutan
tidak shalat berjama’ah, maka di sini tidak diperbolehkan
melakukan amar ma’ruuf, karena mengakibatkan ditinggalkannya satu kewajiban demi suatu yang sifatnya sunnah saja.
Begitu juga dengan perbuatan nahi munkar.
Seandainya ada seseorang ingin melarang kemunkaran yang kemudian
menghasilkan pelakunya melakukan kemunkaran yang lebih besar, maka
dalam keadaan ini tidak boleh melakukan pelarangan terhadap kemunkaran
tersebut untuk mencegah kerusakan yang lebih besar dengan membiarkan
kerusakan yang lebih kecil.
Dalilnya adalah firman-Nya ta’ala :
وَلا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Dan
janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain
Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas
tanpa pengetahuan” [QS. Al-An’aam : 108].
Sesungguhnya
mencela tuhan orang-orang musyrik, tidak diragukan, merupakan sesuatu
yang dituntut. Akan tetapi ketika perbuatan tersebut menimbulkan hal
yang bahayanya lebih besar dibandingkan maslahat yang diperoleh dari
mencela tuhan orang-orang musyrik, yaitu balasan mereka dengan mencela
Allah tanpa ilmu, maka Allah pun melarang mencela tuhan orang-orang
musyrik dalam keadaan seperti ini.
Dan seandainya kita mendapati seseorang minum khamr – dan minum khamr itu perbuatan munkar –
dan kemudian ketika kita melarangnya, justru ia akan pergi mencuri
harta manusia dan melanggar kehormatan mereka, maka di sini kita tidak
melarangnya minum khamr karena mengakibatkan kerusakan yang lebih besar.[5]
6. Pelaku amar ma’ruuf dan nahi munkar melakukan apa yang ia perintahkan atau yang ia larang.
Ini adalah pendapat sebagian ulama. Seandainya pelakunya tidak melakukannya, maka ia tidak boleh melakukan amar ma’ruuf dan nahi munkar, karena Allah ta’alatelah berfirman kepada Bani Israaiil :
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلا تَعْقِلُونَ
“Mengapa
kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan
diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)?
Maka tidakkah kamu berpikir?” [QS. Al-Baqarah : 44].
Jika
orang yang bersangkutan tidak shalat, maka ia tidak boleh memerintahkan
orang lain untuk shalat. Seandainya ia minum khamr, maka ia tidak boleh
melarang orang lain minum khamr. Oleh karena itu berkatalah seorang
penyair :
‘Janganlah engkau melarang satu tabiat, namun engkau melakukannya juga
Adalah aib besar bagimu jika engkau melakukannya
Mereka (para ulama yang memegang pendapat ini) berdalil dengan atsar dan akal.
Akan tetapi jumhur ulama menyelisihi mereka. Mereka berkata : Tetap wajib untuk beramar ma’ruuf meskipun ia tidak melakukannya, dan (tetap wajib) nahi munkarmeskipun ia melakukan kemunkaran itu. Allah ta’ala hanyalah
mencela Bani Israaiil bukan karena mereka mengerjakan kebaikan, namun
karena mereka memerintahkan kebaikan dan melupakan diri mereka sendiri.
Inilah pendapat yang benar.[6] Kita katakan : Engkau sekarang diperintahkan pada dua hal : Pertama, melakukan kebaikan; dan Kedua, memerintahkan kebaikan. Dan engkau pun dilarang dari dua hal : Pertama, melakukan kemunkaran; dan Kedua,
meninggalkan perbuatan melarang kemunkaran. Maka, janganlah engkau
menggabungkan antara meninggalkan dua hal yang diperintahkan dan
mengerjakan dua hal yang dilarang. Seandainya ditinggalkan salah satu
di antara keduanya, tidaklah mengkonsekuensikan gugurnya yang lain.
Inilah enam syarat ber-amar ma’ruf nahi munkar yang dijelaskan para ulama. Semoga yang sedikit ini ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – ciomas permai, 28102012].
اسمٌ
جامعٌ لِكُلِّ مَا عُرف مِنْ طاعة الله والتقرّب إليه والإحْسَان إلى
النَّاس، وكُلُّ مَا ندَب إليه الشّرع ونَهى عنه - من المُحسّنَات
والمُقَبّحات
“Nama
yang mencakup semua hal yang diketahui dari ketaatan kepada Allah,
pendekatan diri kepada-Nya, perbuatan baik kepada manusia, dan semua
hal yang dianjurkan dan dilarang syari’at dari berbagai macam
kebaikan dan kejelekan” [An-Nihaayah fii Ghariibil-Hadiits oleh Ibnul-Atsiir, hal. 607].
كل ما أمر به الشرع
“Semua hal yang diperintahkan oleh syari’at” [Syarh Al-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah oleh Ibnul-‘Utsaimiin, 2/329].
كل ما نهى عنه الشرع
“Semua hal yang dilarang oleh syari’at” [Syarh Al-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah oleh Ibnul-‘Utsaimiin, 2/329].
[3] Akan diberikan sedikit tambahan keterangan pada catatan kaki.
[4] Riwayat selengkapnya adalah sebagai berikut :
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ مَحْبُوبٍ، وَإِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْمَعْنَى،
قَالَا: حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ، عَنْ الْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي
سُفْيَانَ، عَنْ جَابِرٍ، وَعَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ،
قَالَا: جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ، فَقَالَ لَهُ " أَصَلَّيْتَ شَيْئًا؟ "
قَالَ: لَا، قَالَ: " صَلِّ رَكْعَتَيْنِ تَجَوَّزْ فِيهِمَا "
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Mahbuub dan Ismaa’ii bin
Ibraahiim secara makna, mereka berdua berkata : Telah menceritakan
kepada kami Hafsh bin Ghiyaats, dari Al-A’masy, dari Abu Sufyaan,
dari Jaabir – dan dari Abu Shaalih, dari Abu Hurairah - mereka
berdua berkata : Sulaik Al-Ghathafaaniy datang pada hari
Jum’at, sementara Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhuthbah. (Sulaik pun duduk). Lalu beliaushallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya : “Apakah engkau sudah shalat ?”. Ia menjawab : “Belum”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Shalatlah dua raka’at yang ringan” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1116; shahih].
Diriwayatkan juga oleh Al-Bukhaariy no. 930 & 931 & 1170, Muslim no. 875, dan yang lainnya.
[5] Silakan baca artikel yang berkaitan dengan bahasan ini : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/11/kaidah-menolak-mafsadat-lebih.html
[6] Silakan baca artikel : Mengapa Kamu Mengatakan Apa yang Tidak Kamu Lakukan ?.
from= http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2012/10/syarat-amar-maruf-nahi-munkar.html
from= http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2012/10/syarat-amar-maruf-nahi-munkar.html