Berdalil Dengan Mimpi
Termasuk
hal yang kita ketahui bersama bahwa kebenaran yang wajib kita ikuti adalah
kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berupa wahyu
yang berasal dari Allah ta'aalaa. Hanya dengan inilah dibangun syariat, baik yang
berkaitan dengan aqidah (keyakinan) atau ahkam (hukum-hukum).
Berkata Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu:
((أنَّ الحقَّ الذي لا باطلَ فيه هو ما جاءت به الرسلُ عن الله، وذلك في حقِّنا، ويعرف بالكتاب والسنة والإجماع، وأمَّا ما لم تجئ به الرسلُ عن الله؛ أو جاءت به ولكن ليس لنا طريقٌ موصِلَةٌ إلى العلم به ففيه الحقُّ والباطلُ، فلهذا كانت الحجةُ الواجبةُ الاتباعِ للكتاب، والسنة، والإجماع؛ فإنَّ هذا حقٌّ لا باطلَ فيه))
"Sesungguhnya
kebenaran yang tidak ada kebathilan di dalamnya adalah apa yang dibawa oleh
para rasul dari Allah. Dan dalam agama kita dikenal dengan Al-Quran, As-Sunnah,
dan Al-Ijma'. Adapun sesuatu yang tidak berasal dari para rasul yang bersumber
dari Allah ta'aalaa; atau yang berasal dari mereka akan tetapi tidak ada jalan
untuk mengetahuinya maka di dalamnya ada kebenaran dan kebathilan. Oleh karena
itu hujjah yang wajib diikuti hanyalah Al-Quran, As-Sunnah, dan Al-ijma';
karena ini adalah kebenaran yang tidak kebathilan di dalamnya" (Majmu'
Al-Fatawa 5/19)
Dan termasuk wahyu adalah mimpi para nabi, karena sesungguhnya mimpi para nabi adalah dari Allah semata, yang dibangun di atasnya syariat. Adapun mimpi dari selain mereka maka tidak boleh dibangun syariat di atasnya.
Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata:
((ورؤيا الأنبياء وحيٌ؛ فإنها معصومةٌ من الشيطان، وهذا باتفاق الأمة، ولهذا أقدم الخليلُ على ذبح ابنِهِ إسماعيل إ بالرؤيا، وأما رؤيا غيرهم فتُعْرَض على الوحي الصريح؛ فإن وافقتْه وإلاَّ لم يُعْمَلْ بها))
"Dan
mimpi para Nabi adalah wahyu, karena mimpi mereka terjaga dari syetan; dan ini
sudah menjadi kesepakatan umat (Islam); oleh karena itu Al-Khalil (Nabi Ibrahim
'alaihissalaam) mau menyembelih putranya Ismail 'alaihissalaam hanya karena
mimpi. Adapun mimpi selain mereka maka harus dicocokkan dengan wahyu yang
jelas; kalau cocok (maka diterima), kalau tidak maka tidak boleh
diamalkan"(Madaarijussalikin 1/51)
Datang dalam Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daa'imah :
((الرؤيا المناميَّةَ والفراسةَ من غير الأنبياء والرسل عليهم الصلاة والسلام لا تعتَبَرُ أصلًا في التشريع، ولا يجب التصديقُ بها، فإنَّ المناماِت والفراساتِ يكثُر فيها التخليطُ والتباسُ الصادقِ منها بالكاذب، فلا يعتمَدُ عليها، إلا إذا كانت من الرسل أو الأنبياء عليهم الصلاةُ والسلامُ))
"Mimpi dan
firasat dari selain para nabi dan rasul 'alaihimussalaam tidak boleh dianggap sebagai
sumber (dalil) dalam pensyariatan, tidak wajib membenarkannya; karena
sesungguhnya mimpi dan firasat banyak mencampuradukkan dan menyamarkan antara
yang benar dan yang dusta, maka tidak boleh bersandar kepadanya, kecuali
apabila (mimpi dan firasat) tersebut dari para rasul atau nabi
'alaihimushshalaatu wassalaam" (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah 9/155-156)
Namun sebagian orang telah menjadikan mimpi ini sebagai sumber diantara sumber-sumber mendapatkan ilmu; sehingga ada sebagian mereka yang mengkhususkan bab mimpi jenis ini dalam kitab-kitab mereka, seperti Al-Qusyairy dalam Risalahnya, dan Al-Kalaabaadzy dalam kitabnya At-Ta'arruf li Madzhabi Ahli At-Tashuwwuf.
Asy-Syathiby rahimahullah menyatakan bahwa orang-orang seperti ini adalah orang yang paling lemah hujjahnya. (Lihat Al-I'tisham 2/85)
Kebanyakan
mereka mengaku bermimpi melihat Allah
ta'aalaa, atau melihat Nabi Muhammad shallallahu 'alaihiwasallam, atau melihat
syeikh mereka, kemudian membangun
beberapa perkara di atas mimpi tersebut, seperti: mengetahui tafsir ayat,
mengetahui keshahihan sebuah hadits, mengetahui pendapat yang rajih (kuat)
dalam masalah fiqh, mengetahui keutamaan seseorang, dzikir dan doa tertentu,
membenarkan aqidah mereka yang rusak, membenarkan cara ritual mereka dan
lain-lain . (Lihat Al-Mashadir Al-'Aammah li At-Talaqqi 'Inda Ash-Shufiyyah
'Ardhan Wa Naqdan, Shaadiq Salim Shaadiq hal. 313-326 )
Tidak kita ragukan lagi bahwa keyakinan
seperti ini salah dan menyimpang dari agama islam yang murni, alasannya bisa
kita ringkas dalam beberapa poin berikut ini:
Pertama: Agama kita sudah sempurna sehingga tidak perlu
mimpi-mimpi untuk menetapkan sebuah perkara agama.
Allah ta'aalaa berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
"Hari ini telah Aku
sempurnakan bagi kalian agama kalian" (QS. Al-Maidah:3)
Dan Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam ketika haji Wada' tahun ke 10 H. telah menjadikan sahabat saat
itu sebagai saksi bahwa beliau telah menyampaikan risalah dari Allah dengan
sebaik-baiknya; kemudian beliau
mengatakan: "Ya Allah saksikanlah (bahwa
aku telah menyampaikan risalah)" (HR. Muslim 2/322 no.1218, dari
hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhumaa)
Oleh
karena itu tidak ada satu perkara dalam agama yang dibutuhkan manusia kecuali
sudah beliau shallallahu 'alaihi wa sallam jelaskan kepada kita.
Dan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda:
((قد تركتُكم على البيضاءِ، ليلُها كنهارِها، لا يَزِيْغُ عنها بعدي إلا هالِكٌ))
"Sungguh telah aku tinggalkan kalian di atas (jalan) yang putih (terang
benderang), malamnya seperti siangnya,
tidak menyimpang darinya kecuali orang yang binasa" (HR. Ibnu
Majah 1/16 no: 43 dari sahabat Al-Irbadh bin Sariyah radhiyallahu 'anhu,
dishahihkan oleh Al-Hakim, dan didiamkan oleh Adzdzahabi, lihat Al-Mustadrak
1/165 no.331, dan disebutkan Syeikh Al-Albany dalam Silsilah Al-Ahadits
Ash-Shahihah 2/610 no.937).
Dijadikannya
mimpi sebagai sumber dalam beragama pada hakekatnya adalah pendustaan terhadap kabar Allah dan
tuduhan kepada Nabi Muhammad bahwa beliau shallallahu 'alaihi
wasallam tidak menyampaikan semua
risalah yang telah dibebankan kepada beliau.
Berkata Asy-Syaukany rahimahullahu:
((ولا يخفاك أنَّ الشرعَ الذي شرَعه اللهُ لنا على لسان نبيِّنا r قد كمَّله اللهُ ﻷ ، وقال: (الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ ) المائدة :3، ولم يأتِنَا دليلٌ يدُلُّ على أنَّ رؤيتَه في النوم بعد موته r إذا قال فيها بقولٍ أو فَعَلَ فيها فعلاً يكون دليلاً وحجَّةً، بل قَبَضَهُ الله إليه عند أنْ كَمَّلَ لهذه الأمة ما شَرَعَه لها على لسانِه، ولم يبق بعد ذلك حاجةٌ للأمة فى أمرِ دينها، وقد انقطعت البعثةُ لتبليغ الشرائع وتبيينِها بالموت، وإن كان رسولاً حيًّا وميتًا، وبهذا تعلَمُ أنْ لو قدَّرْنَا ضبطَ النائم لم يكن ما رآه مِنْ قوله r أو فِعْلِه حُجَّةً عليه، ولا على غيره مِنَ الأمة))
"Tidak samar bagimu bahwa syariat yang Allah
syariatkan untuk kita dengan lisan Nabi kita shallallahu 'alaihi wasallam telah Allah 'azza wa jalla sempurnakan,
Allah berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
"Hari ini telah
Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian" (QS. Al-Maidah:3)
Dan
tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa seseorang apabila bermimpi melihat Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam setelah beliau meninggal; Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam mengucapkan sesuatu atau melakukan sesuatu; kemudian (ucapan dan
perbuatan) tersebut menjadi dalil dan hujjah. Allah telah mencabut nyawa beliau
ketika Allah telah menyempurnakan syariat-Nya untuk ummat ini dengan lisan
Nabi-Nya. Dan setelah itu ummat sudah tidak butuh lagi tambahan dalam
urusan agamanya. Sudah terputus
tugas untuk menyampaikan risalah dengan kematian beliau, meskipun beliau
tetap sebagai seorang rasul baik ketika hidup ataupun sesudah matinya. Dengan
demikian kamu mengetahui bahwa seandainya ada seseorang yang mengingat benar
mimpinya; maka apa yang dia lihat dalam mimpi tersebut; baik berupa ucapan Nabi
shallallahu 'alaihiwasallam atau perbuatan beliau; tidak bisa dijadikan hujjah atas
dirinya dan atas orang lain"( Irsyadul Fuhuul Ilaa Tahqiiqil Haqqi
Min 'Ilmil Ushuul 2/1020-1021)
Kedua: Menetapkan sebuah hukum
dengan mimpi saja adalah menyelisihi ijma' (kesepakatan ulama).
Al-Qadhi 'Iyadh
rahimahullah telah menukil ijma' bahwa tidak boleh kita bersandar kepada mimpi
dalam menetapkan hukum-hukum syariat. (Tharhu At-Tatsriib, Al-Qadhi 'Iyadh
8/215)
Dan telah berkata
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu:
((وَالرُّؤْيَا المحْضةُ الَّتِي لا دليلَ يَدُلُّ على صحَّتِهَا لا يَجُوزُ أن يُثْبَتَ بها شَيْءٌ بالاتفاق))
"Dan mimpi yang
tidak ada dalil atas kebenarannya; tidak boleh suatu hukum agama ditetapkan
dengannya berdasarkan kesepakatan para ulama" ( Majmu' Al-Fatawa 27/458)
Ketiga: Mimpi selain para nabi dan
rasul tidak ma'shum (terjaga dari kesalahan).
Ibnul
Qayyim rahimahullahu berkata:
((ورؤيا الأنبياء وحيٌ؛ فإنها معصومةٌ من الشيطان، وهذا باتفاق الأمة))
"Dan wahyu para
Nabi adalah wahyu, karena mimpi mereka terjaga dari syetan; dan ini sudah
menjadi kesepakatan umat (islam)" (Madarijussalikin 1/51)
Dengan
demikian mimpi selain para nabi ada kemungkinan tidak benar, karena ada
kemungkinan orangnya berdusta, atau mimpi tersebut dari syetan, atau mimpi
tersebut adalah kejadian yang terbawa mimpi.
Berkata Syeikhul Islam rahimahullahu:
(( فأمَّا المناماتُ فكثيرٌ منها بل أكثرُها كذِبٌ... فرَاِئيْ المنام غالبًا ما يكون كاذبًا؛ وبتقدير صدقه فقد يكون الذي أخبره بذلك شيطان))
"Adapun
mimpi-mimpi maka banyak atau sebagian besarnya adalah dusta…, yang mengaku
bermimpi pada umumnya pendusta, seandainya dia jujurpun maka terkadang yang
datang kepadanya adalah syetan" (Majmu' Al-Fatawa 27/457-458)
Dengan
demikian dalam menilai sebuah mimpi maka kita harus kembali kepada dalil dari
Al-Quran dan As-Sunnah, apabila
sesuai maka yang dipakai untuk menentukan hukum adalah dalil tersebut bukan
mimpinya; karena hukum-hukum agama tidak
dibangun di atas mimpi.
Dan
apabila mimpi tersebut menyelisihi dalil maka mimpi tersebut ditolak, bagaimanapun keshalihan orang yang bermimpi
tersebut atau bagaimanapun kejelasan apa yang dia lihat; dan kita harus
meyakini bahwa mimpi tersebut dusta dan berasal dari syetan atau hanya sekedar
mimpi kosong belaka.
Faidah (manfaat) mimpi :
Faidah mimpi hanyalah
sebatas peringatan atau kabar gembira, sehingga hal tersebut mendorong dirinya
untuk melakukan yang baik atau meninggalkan yang buruk.
Berkata Asy-Syathiby
rahimahullahu:
((...لأنَّ الرؤيا مِن غيرِ الأنبياء لا يُحْكَمُ بها شرعًا على حالٍ؛ إلاَّ أنْ نَعْرِضَها على ما في أيدِيْنا من الأحكام الشرعِيَّة، فإنْ سَوَّغَتْها عُمِلَ بمقتضاها؛ وإلا وجب تركُها والإعراضُ عنها، وإنما فائدتها البشارةُ والنذارةُ خاصَّةً، وأما استفادةُ الأحكام فلا))
"… Sesungguhnya
mimpi dari selain para Nabi secara syara'i tidak boleh dijadikan landasan untuk
menghukumi perkara apapun; kecuali setelah ditimbang dengan hukum syariat;
apabila diperbolehkan maka bisa diamalkan; bila tidak diperbolehkan maka wajib
ditinggalkan dan berpaling darinya. Faidah dari mimpi tersebut hanyalah memberi kabar gembira atau
peringatan; adapun menentukan sebuah hukum dengannya maka tidak boleh sama
sekali" (Al-I'tisham 2/78)
Berkata
Abdurrahman bin Yahya Al-Mu'allimy (wafat tahun 1386 H) rahimahullahu:
((اتفق أهلُ العلم على أنَّ الرؤيا لا تصلح للحجة، وإنما تبشير وتنبيه، وتصلح للاستئناس بها إذا وافقت حجة شرعية صحيحة))
((اتفق أهلُ العلم على أنَّ الرؤيا لا تصلح للحجة، وإنما تبشير وتنبيه، وتصلح للاستئناس بها إذا وافقت حجة شرعية صحيحة))
"Para ulama telah
bersepakat bahwa mimpi tidak bisa dijadikan hujjah (dalil), mimpi hanyalah
sebatas memberi kabar gembira atau peringatan, dan bisa juga kita ambil ibrah apabila sesuai dengan dalil syar'i yang
shahih" (At-Tankiil 2/242)
Keempat: Cara mengetahui yang halal
dan yang haram, serta mengetahui aqidah dengan mimpi adalah cara yang dipakai
oleh orang nashrani.
Berkata Abu Abdillah Al-Qurthuby
(wafat tahun 671 H) rahimahullahu:
((فإن معظم معتمدهم في أمور دياناتهم إنما هو الإنجيل، ونقله غير متواتر لا سيما والأحداث عندهم في أكثر الأحيان بمنامات يدعونها، يجعلونها أصولاً يعولون عليها))
"Sesungguhnya
sebagian besar keyakinan mereka (orang nashrani) dalam masalah agama
berdasarkan injil yang penukilannya tidak mutawatir, terlebih-lebih dalam
meriwayatkan kejadian-kejadian tersebut kebanyakannya dengan mimpi, kemudian
menjadikan mimpi tersebut sebagai ushul (dalil)" (Al-I'laamu bimaa fii
Diini An-Nashaaraa Minal Fasaadi Wal Auhaam, Al-Qurthuby 2/246)
((كَتَب هذا السِفْرَ صاحبُ الإنجيل يوحنا في عهد إمبراطور الدولة الرومانية الغربية عام 81م إلى 96م. وهو رؤيا منامية ادعاها يوحنا، وادعى أنه أوحى إليه فيها كثير من حقائق الديانة المسيحية، وأحداث المستقبل))
"Kitab (mimpi)
ini ditulis oleh Yohana (penulis injil) di masa Imperatur Romawi Barat tahun 81
Masehi sampai tahun 96 Masehi, kitab ini berisi mimpi-mimpi yang dialami oleh
Yohana, dan dia mengaku bahwasanya wahyu turun kepadanya, mimpi-mimpi tersebut
berisi tentang beberapa hakikat agama nashrani dan kejadian-kejadian yang akan
datang" (Diraasaat Fil Yahuudiyyah wal Masiihiyyah wa Adyaanil Hindi hal.
391)
Wallahu ta'aalaa a'lam.
_____________
Abdullah Roy
Abdullah Roy
from=http://tanyajawabagamaislam.blogspot.in/2012/01/berdalil-dengan-mimpi.html