Islam Pedoman Hidup: Tidak Wajib Menyamakan Jima’ dalam Poligami

Rabu, 13 April 2016

Tidak Wajib Menyamakan Jima’ dalam Poligami

Ada satu kesalahpahaman yang beredar bahwa jika seseorang ingin berpoligami, ia mesti punya kemampuan berjima’ dalam sehari sejumlah istri yang ia punyai untuk melaksanakan ‘keadilan’ terhadap istri-istrinya tersebut. Atau, ia mesti menggilir jima’ keempat istrinya tersebut secara merata dan sama. Jika satu istri ia jimai sekali, maka yang lain mesti sekali. Jika dua kali, maka yang lain mesti dua kali juga.
Ini keliru, karena jima’ itu mengikuti cinta, dan manusia tidak dibebani kewajiban berbuat ‘adil dalam masalah cinta. Allah ta’ala berfirman :
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri-(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung” [QS. Aali ‘Imraan : 129].
Ibnu Hajar Al-’Asqalanirahimahullah berkata :
قَوْله ( بَاب الْعَدْل بَيْن النِّسَاء ، وَلَنْ تَسْطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْن النِّسَاء )
أَشَارَ بِذِكْرِ الْآيَة إِلَى أَنَّ الْمُنْتَهَى فِيهَا الْعَدْل بَيْنهنَّ مِنْ كُلّ جِهَة ، وَبِالْحَدِيثِ إِلَى أَنَّ الْمُرَاد بِالْعَدْلِ التَّسْوِيَة بَيْنهنَّ بِمَا يَلِيق بِكُلِّ مِنْهُنَّ ، فَإِذَا وَفَّى لِكُلِّ وَاحِدَة مِنْهُنَّ كِسْوَتهَا وَنَفَقَتهَا وَالْإِيوَاء إِلَيْهَا لَمْ يَضُرّهُ مَا زَادَ عَلَى ذَلِكَ مِنْ مَيْل قَلْب أَوْ تَبَرُّع بِتُحْفَةٍ ، ...... قَالَ التِّرْمِذِيّ يَعْنِي بِهِ الْحُبّ وَالْمَوَدَّة ، كَذَلِكَ فَسَّرَهُ أَهْل الْعِلْم ، ...... وَقَدْ أَخْرَجَ الْبَيْهَقِيُّ مِنْ طَرِيق عَلِيّ بْن أَبِي طَلْحَة عَنْ اِبْن عَبَّاس فِي قَوْله ( وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا ) الْآيَة ، قَالَ : فِي الْحُبّ وَالْجِمَاع ، وَعَنْ عَبْدَة بْن عَمْرو السَّلْمَانِيّ مِثْله .
”Perkataan Al-Bukhaariy : Bab Berbuat Adil Diantara Para Istri; Firman Allah : Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku ‘adil diantara istri-istrimu” ; Al-Bukhaariymengisyaratkan dengan menyebutkan ayat tersebut bahwasannya tidak mungkin berbuat ‘adil terhadap mereka semua dalam segala sisi, serta beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam mengisyaratkan dalam hadits di bawahnya bahwa yang dimaksudkan dengan keadilan adalah mempersamakan mereka dalam hal yang layak bagi masing-masing. Apabila suami telah memenuhi kebutuhan pakaian, nafkah, dan jadwal bermalam; maka lebih dari itu tidak mengapa dia lakukan seperti kecenderungan hati, hadiah……..”. At-Tirmidziy mengatakan : ’Yang dimaksud dengannya (kecenderungan) ialah cinta dan kasih sayang. Demikian pula yang ditafsirkan oleh para ulama’…. Al-Baihaqiy telah meriwayatkan sebuah hadits melalui jalan ‘Aliy bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbaasradliyallaahu ‘anhumaa tentang firman Allah : “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku ‘adil diantara istri-istrimu” ; ia (Ibnu ‘Abbaas) berkata : Dalam urusan cinta danjimaa’[1]. Juga diriwayatkan yang semisalnya dari ‘’Abdah[2] bin ‘Amru As-Salmaaniy[3] [Fathul-Baariy, 9/313].
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata :
لَا نَعْلَمُ خِلَافًا بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ ، فِي أَنَّهُ لَا تَجِبُ التَّسْوِيَةُ بَيْنَ النِّسَاءِ فِي الْجِمَاعِ ، وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِك وَالشَّافِعِيِّ وَذَلِكَ لِأَنَّ الْجِمَاعَ طَرِيقُهُ الشَّهْوَةُ وَالْمَيْلُ ، وَلَا سَبِيلَ إلَى التَّسْوِيَةِ بَيْنَهُنَّ فِي ذَلِكَ ، فَإِنَّ قَلْبَهُ قَدْ يَمِيلُ إلَى إحْدَاهُمَا دُونَ الْأُخْرَى ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى : { وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ } قَالَ عَبِيدَةُ السَّلْمَانِيُّ فِي الْحُبِّ وَالْجِمَاعِ .
وَإِنْ أَمْكَنَتْ التَّسْوِيَةُ بَيْنَهُمَا فِي الْجِمَاعِ ، كَانَ أَحْسَنَ وَأَوْلَى ؛ فَإِنَّهُ أَبْلُغُ فِي الْعَدْلِ
“Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa seorang suami tidak wajib adil/menyamakan jimaa’ di antara istri-istrinya. Itulah madzhab Maalik dan Asy-Syaafi’iy. Hal itu dikarenakan jimaa’ dilakukan karena syahwat dan kecenderungan, padahal seseorang tidak mungkin dapat menyamakan hal tersebut di antara istri-istrinya. Sesungguhnya hatinya kadang cenderung pada salah seorang istrinya dibandingkan yang lain. Allah ta’ala berfirman : ‘Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri-(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian’ (QS. Aali ‘Imraan ; 129), ‘Abiidah As-Salmaaniy berkata : ‘Dalam hal cinta dan jimaa’.
Jika memungkinkan untuk menyamakan dua hal tersebut (cinta dan jimaa’), maka itu lebih baik dan lebih utama karena menyampaikan pada keadilan” [Al-Mughniy, 8/149].
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
قَالَ أَصْحَابنَا وَإِذَا قَسَمَ لَا يَلْزَمهُ الْوَطْء وَلَا التَّسْوِيَة فِيهِ بَلْ لَهُ أَنْ يَبِيت عِنْدهنَّ ، وَلَا يَطَأ وَاحِدَة مِنْهُنَّ وَلَهُ أَنْ يَطَأ بَعْضهنَّ فِي نَوْبَتهَا دُون بَعْض ، لَكِنْ يُسْتَحَبّ أَلَّا يُعَطِّلهُنَّ وَأَنْ يُسَوِّي بَيْنهنَّ فِي ذَلِكَ كَمَا قَدَّمْنَاهُ وَاَللَّه أَعْلَم
“Shahabat-shahabat kami berkata : Apabila suami telah membagi (jadwal bermalam), maka tidak wajib baginya menjimai-nya dan berlaku ‘adil dalam masalah itu. Bahkan ia boleh bermalam di sisi istri-istrinya dan tidak menjimai seorang pun diantara mereka. Suami boleh menjimai salah seorang istrinya saat ia bermalam dengannya tanpa menjimai yang lain (ketika jatah bermalam mereka). Akan tetapi, disukai agar ia menjimai istri-istrinya dan menyamakannya di antara istri-istrinya sebagaimana yang telah kami jelaskan. Wallaahu a’lam” [Syarh Shahiih Muslim, 10/46].
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
لكن إن كان يحبها أكثر، ويطأها أكثر، فهذا لا حرج عليه فيه، وفيه أنزل اللّه تعالى‏:‏‏{‏وَلَن تَسْتَطِيعُواْ أَن تَعْدِلُواْ بَيْنَ النِّسَاء وَلَوْ حَرَصْتُمْ‏}‏ ‏[‏النساء‏:‏129‏]‏، أي‏:‏في الحب والجماع،
“Akan tetapi jika ia (suami) mencintainya (istri) lebih banyak (dibanding istrinya yang lain) dan menjima’i-nya lebih banyak (dibandingkan istrinya yang lain), maka ia tidaklah berdosa. Dalam urusan demikian, Allah ta’ala menurunkan ayat : ‘Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri-(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian’ (QS. Aali ‘Imraan ; 129), yaitu : dalam hal cinta dan jimaa’” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 32/269 (32/169)].
Wallaahu a’lamSemoga ada manfaatnya.

[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 01021435/04122013 – 22:55].






[1]    Riwayatnya adalah :
أَخْبَرَنَا أَبُو زَكَرِيَّا بْنُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمُزَكِّي، أنا أَبُو الْحَسَنِ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدُوسٍ، ثنا عُثْمَانُ بْنُ سَعِيدٍ، نا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ صَالِحٍ، عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ صَالِحٍ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: " وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ، قَالَ: فِي الْحُبِّ وَالْجِمَاعِ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Zakariyyaa bin Abi Ishaaq Al-Muzakkiy : Telah memberitakan kepada kami Abul-Hasan Ahmad bin Muhammad bin ‘Abduus : Telah menceritakan kepada kami ‘Utsmaan bin Sa’iid : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah bin Shaalih, dari Mu’aawiyyah bin Shaalih, dari ‘Aliy bin Abi Thalhah, dari Ibnu ‘Abbaasradliyallaahu ‘anhumaa tentang firman-Nya ta’ala : ‘Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri-(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian’ (QS. Aali ‘Imraan ; 129), ia berkata : ‘Dalam hal cinta dan jimaa’” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalamAl-Kubraa7/298 (7/486) no. 14740].
[2]    Yang benar : ‘Abiidah.
[3]    Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، قَالَ: ثنا عَبْدُ الرَّحْمَنِ، قَالَ: ثنا سُفْيَانُ، عَنْ هِشَامِ بْنِ حَسَّانَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ، عَنْ عَبِيدَةَ "وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ، قَالَ: بِنَفْسِهِ فِي الْحُبِّ وَالْجِمَاعِ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyaar, ia berkata : telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Hisyaam bin Hassaan, dari Muhammad bin Siiriin, dari ‘Abiidah tentang ayat : ‘Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri-(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian’ (QS. Aali ‘Imraan ; 129), ia berkata : “Dengan dirinya dalam hal cinta dan jimaa’” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan, 9/285; shahih].

from= http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2013/12/tidak-wajib-menyamakan-jima-dalam.html