Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rasul junjungan; Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Sudah
menjadi watak manusia untuk mencintai keindahan, kesenangan,
kebahagiaan, atau yang senada dengannya, karena memang manusia
diciptakan dengan dilengkapi hawa nafsu. Oleh karena itu, setiap yang
berbau enak pasti digandrunginya. Itu tidak bisa dipungkiri. Harta,
tahta dan wanita adalah tiga hal yang tidak akan pernah sepi dari para
pengejarannya. Pesta, perayaan, senang-senang, dan hura-hura adalah
sesuatu yang akan selalu melekat pada diri manusia.
Sesuai
fitrahnya, manusia memang bergerak karena dorongan syahwatnya. Ia akan
berusaha mewujudkan apa yang diinginkannya, dan memenuhi apa yang
menjadi hasrat kesenangannya. Apa yang diinginkannya akan selalu tampak
indah di matanya. Perhatikanlah firman Allah ‘Azza wa Jalla berikut (yang artinya),
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ
مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلۡبَنِينَ وَٱلۡقَنَٰطِيرِ ٱلۡمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلۡفِضَّةِ
وَٱلۡخَيۡلِ ٱلۡمُسَوَّمَةِ وَٱلۡأَنۡعَٰمِ وَٱلۡحَرۡثِۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلۡحَيَوٰةِ
ٱلدُّنۡيَاۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسۡنُ ٱلۡمََٔابِ ١٤
Dijadikan indah pada (pandangan)
manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita,
anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan,
binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga) (Q.s. Âli ‘Imran [3]: 14).
Nah,
begitulah manusia diciptakan memiliki rasa suka. Suka wanita, suka
anak, dan suka harta. Rasa suka itu bukan monopoli kalangan tertentu.
Semua jenis manusia punya rasa itu. Baik laki-laki maupun perempuan.
Tua, muda, sama saja. Kaya, miskin, sehat, sakit, tak ada bedanya.
Semuanya punya. Itulah fitrah. Oleh karenanya, ia tidaklah tercela jika
memenuhi hasrat rasa sukanya itu. Yang tercela adalah apabila ia
berlebih-lebihan dalam hasratnya dan memperturutkan hawa nafsunya.
Camkanlah hadis Nabi Muhammad Saw berikut ini.
عن
أنس رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ثلاث مهلكات:
شُحٌّ مُطَاعٌ، وَهَوًى مُتَّبَعٌ، وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بنفْسِهِ.
Dari Anas radhiallahu’anhu. berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah bersabda, “Tiga hal yang mencelakakan: sifat pelit yang diikuti; hawa nafsu yang dituruti; dan rasa bangga terhadap diri sendiri” (HR. Baihaqi. Syaikh Albani menghasankan hadis ini).
Namun,
masih saja manusia lebih senang memperturutkan hawa nafsunya. Demi
kesenangan, apa pun akan dilakukannya. Dunia memang tampak menyenangkan
dan selalu lekat dengan yang berbau kesenangan: wanita, kekuasaan,
perhiasan, permainan, dan lain-lain. Bahkan, sedari dulu pun pergulatan
hidup manusia tidak lepas dari itu-itu saja. Gara-gara wanita,
Al-Baghawi menyebutkan dalam kitab Tafsirnya Ma’âlim at-Tanzîl, bahwa si Qabil, anak laki-laki nabi Adam ‘Alaihissalam tega membunuh saudaranya sendiri Habil, demi merebut si cantik Iqlima.
Gara-gara kekuasaan, At-Thabari mencantumkan dalam kitabnya Jâmi’ al-Bayân,
bahwa Walid bin Mus’ab, si Fir’aun Mesir, mengeluarkan perintah
pembunuhan massal bayi laki-laki, karena takut kelak di antara
bayi-bayi itu ada yang merebut kekuasaannya. Gara-gara kekayaan, Ibnu
Katsir mengabadikan dalam kitab Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîmnya, bahwa si Qarun, konglomerat di zaman nabi Musa ‘Alaihissalam itu
menjadi congkak dan sombong. Ketika diingatkan agar tidak bertingkah
demikian, bukannya insyaf, justru kecongkakan dan kesombongannya
semakin menjadi-jadi. Lalu Allah benamkan dirinya beserta seluruh harta
kekayaannya ke dalam perut bumi, hingga tak tersisa sedikit pun.
Begitu
pula intrik-intrik yang terjadi di sepanjang sejarah manusia, selalu
berkutat di situ-situ saja. Perseteruan antar preman, tawuran massal
antar kampung, perkelahian antar anak bangsa, bahkan peperangan antar
negara, juga seringkali disebabkan oleh hal-hal tersebut. Memang
menyenangkan menjadi seorang pemenang. Lalu apa hasil yang dicapai dari
sebuah kemenangan? Kesenangan, mungkin itulah yang akan mereka ucapkan.
Tapi kesenangan yang seperti apa? Hakiki? Tentu bukan! Tidak seberapa
lama kemudian kesenangan itu juga akan hilang. Karena kesenangan
tersebut bersifat semu, tidak hakiki.
Lihatlah,
bagaimana kesudahan Qabil setelah berhasil membunuh Habil? Apa yang
terjadi pada Fir’aun setelah melenyapkan semua bayi laki-laki? Dan apa
yang didapat Qarun setelah memamerkan kekayaannya? Bukankah kesenangan?
Ya, kesenangan-lah yang mereka dapatkan, namun hanya sesaat. Setelah
itu, mereka ditimpa kesusahan yang teramat, hasil dari apa yang mereka
perbuat.
Sebab, kesenangan hakiki itu tempatnya ada di hati,
hati yang tersentuh oleh cahaya ilahi. Seberapa banyak orang yang
berharta namun tidak bahagia? Seberapa sering dijumpai orang yang
bertahta namun tidak tenang hidupnya? Dan tidak jarang kita jumpai
orang yang beristri cantik namun hidupnya sengsara. Orang lain
menganggap hidupnya senang, namun dirinya mendapati batinnya
‘berteriak’ karena tersiksa oleh derapan rasa kekosongan yang
berkepanjangan.
Sebaliknya,
tidak sedikit orang yang hidupnya melarat, untuk sekedar makan saja ia
kesusahan, tetapi secara batin ia bahagia. Tidak jarang pula orang yang
istrinya tidak begitu cantik tetapi ia berbahagia dengan hidupnya. Apa
pasal? Karena ia telah menemukan ketenangan di dalam hatinya. Sesuatu
yang tidak bisa didapatkan dari harta, tahta, dan wanita. Ya, itulah
keimanan. Itulah kebahagiaan yang sebenarnya.
Penyair Arab pernah berdendang,
Tidak kutemukan kebahagiaan pada kumpulan harta
Namun pada ketakwaan kutemui makna bahagia
Rasa takwa sebaik-baik bekal simpanan
Di sisi Tuhan pun ia mendapat tambahan
Ya, kebahagiaan itu hanya akan diperoleh dengan ketakwaan, keimanan dan amal salih.
Bukan dengan tumpukan harta, kebesaran tahta, ataupun kecantikan
wanita. Sebab semua itu semu. Maka sungguh celakalah orang yang menjual
agamanya demi kebahagiaan yang tidak hakiki, menjual akhiratnya demi
kepuasan hawa nafsu. Hanya kegundahan, kesedihan dan kesempitanlah yang
akan didapatkannya. Allah ‘Azza wa Jalla mengingatkan;
وَمَنۡ أَعۡرَضَ عَن
ذِكۡرِي فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةٗ ضَنكٗا وَنَحۡشُرُهُۥ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ
أَعۡمَىٰ ١٢٤
Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta (Q.s. Thâhâ [20]: 124).
Sekali
lagi, kebahagiaan hanya akan didapatkan dengan keimanan. Sebab sesiapa
yang merasakan nikmatnya iman, niscaya akan merasakan manisnya
kebahagiaan yang hakiki. Sesuatu yang membuatnya merasa hidup dengan
dada lapang, hati tenang, dan ketentraman batin.
Camkanlah kata-kata Ibnu Taimiyah yang dinukil ad-Dimasyqi dalam Ar-Raddu al-Wâfirnya berikut ini,
Sesungguhnya
di dunia ini ada sebuah surga, siapa pun yang tidak masuk ke dalamnya,
niscaya ia tidak akan masuk surga akhirat. Ada seseorang yang
mengingatkanku tentang apa yang diperbuat musuh-musuh terhadapku. Maka
aku katakan padanya, ‘Surga dan tamanku ada di dadaku, ia akan tetap
selalu menyertaiku ke mana pun aku pergi
Penulis: Abu Hasan Abdillah, BA., MA.
Artikel Muslim.Or.Id
Sumber: https://muslim.or.id/24675-agar-dunia-tak-memenjara-1.html