Oleh
Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari
Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari
Ini
adalah sub kajian yang sangat penting yang membantah anggapan orang
yang dangkal akal dan ilmunya, jika bid’ah atau ibadah yang mereka buat
diingkari dan dikritik, sedang mereka mengira melakukan kebaikan, maka
mereka menjawab : “Demikian ini bid’ah ! Kalau begitu, mobil bid’ah, listrik bid’ah, dan jam bid’ah!”
Sebagian
orang yang memperoleh sedikit dari ilmu fiqih terkadang merasa lebih
pandai daripada ulama Ahli Sunnah dan orang-orang yang mengikuti
As-Sunnah dengan mengatakan kepada mereka sebagai pengingkaran atas
teguran mereka yang mengatakan bahwa amal yang baru yang dia lakukan
itu bid’ah seraya dia menyatakan bahwa “asal segala sesuatu adalah diperbolehkan”.
Ungkapan seperti itu tidak keluar dari mereka melainkan karena kebodohannya tentang kaidah pembedaan antara adat dan ibadah. Sesungguhnya kaidah tersebut berkisar pada dua hadits.
Pertama : Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Artinya : Barangsiapa melakukan hal yang baru dalam urusan (agama) kami ini yang tidak ada di dalamnya, maka amal itu tertolak”.
Hadits ini telah disebutkan takhrij dan syarahnya secara panjang lebar.
Kedua : Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam peristiwa penyilangan serbuk sari kurma yang sangat masyhur. “Artinya : Kamu lebih mengetahui tentang berbagai urusan duniamu”
Hadits ini terdapat dalam Shahih Muslim (1366) dimasukkan ke dalam bab dengan judul : “Bab
Wajib Mengikuti Perkataan Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam Dalam
Masalah Syari’at Dan Yang Disebutkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
Tentang Kehidupan Dunia Berdasarkan Pendapat”, dan ini merupakan penyusunan bab yang sangat cermat
Atas
dasar ini maka sesungguhnya penghalalan dan pengharaman, penentuan
syari’at, bentuk-bentuk ibadah dan penjelasan jumlah, cara dan
waktu-waktunya, serta meletakkan kaidah-kaidah umum dalam muamalah
adalah hanya hak Allah dan Rasul-Nya dan tidak ada hak bagi ulil amri [1]
di dalamnya. Sedangkan kita dan mereka dalam hal tersebut adalah sama.
Maka kita tidak boleh merujuk kepada mereka jika terjadi perselisihan.
Tetapi kita harus mengembalikan semua itu kepada Allah dan Rasul-Nya.
Adapun
tentang bentuk-bentuk urusan dunia maka mereka lebih mengetahui
daripada kita. Seperti para ahli pertanian lebih mengetahui tentang apa
yang lebih maslahat dalam mengembangkan pertanian. Maka jika mereka
mengeluarkan keputusan yang berkaitan dengan pertanian, umat wajib
mentaatinya dalam hal tersebut. Para ahli perdagangan ditaati dalam
hal-hal yang berkaitan dengan urusan perdagangan.
Sesungguhnya
mengembalikan sesuatu kepada orang-orang yang berwenang dalam
kemaslahatan umum adalah seperti merujuk kepada dokter dalam mengetahui
makanan yang berbahaya untuk dihindari dan yang bermanfaat darinya
untuk dijadikan santapan. Ini tidak berarti bahwa dokter adalah yang
menghalalkan makanan yang manfaat atau mengharamkan makanan yang
mudharat. Tetapi sesungguhnya dokter hanya sebatas sebagai pembimbing
sedang yang menghalalkan dan mengharamkan adalah yang menentukan
syari’at (Allah dan Rsul-Nya), firmanNya. “Artinya : Dan menghalalkan bagi mereka segala hal yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala hal yang buruk” [Al-Araf : 157] [2].
Dengan
demikian anda mengetahui bahwa setiap bid’ah dalam agama adalah sesat
dan tertolak. Adapun bid’ah dalam masalah dunia maka tiada larangan di
dalamnya selama tidak bertentangan dengan landasan yang telah
ditetapkan dalam agama [3].
Jadi, Allah membolehkan anda membuat apa yang anda mau dalam urusan
dunia dan cara berproduksi yang anda mau. Tetapi anda harus
memperhatikan kaidah keadilan dan menangkal bentuk-bentuk mafsadah
serta mendatangkan bentuk-bentuk maslahat.” [4]
Adapun kaidah dalam hal ini menurut ulama sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyah [5] adalah : “Sesungguhnya amal-amal manusia terbagi kepada : Pertama, ibadah yang mereka jadikan sebagai agama, yang bermanfaat bagi mereka di akhirat atau bermanfaat di dunia dan akhirat. Kedua, adat yang bermanfaat dalam kehidupan mereka. Adapun kaidah dalam hukum adalah asal dalam bentuk-bentuk ibadah tidak disyari’atkan kecuali apa yang telah disyariatkan Allah. Sedangkan hukum asal dalam adat [6] adalah tidak dilarang kecuali apa yang dilarang Allah”.
Dari keterangan diatas tampak dengan jelas bahwa tidak ada bid’ah dalam masalah adat, produksi dan segala sarana kehidupan umum”.
Hal
tersebut sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Mahmud Syaltut dalam
kitabnya yang sangat bagus, Al-Bid’ah Asabbuha wa Madharruha (hal. 12
–dengan tahqiq saya), dan saya telah mengomentarinya sebagai berikut, “Hal-hal
tersebut tiada kaitannya dengan hakikat ibadah. Tetapi hal tersebut
harus diperhatikan dari sisi dasarnya, apakah dia bertentangan dengan
hukum-hukum syari’at ataukah masuk di dalamnya”.
Di
sini terdapat keterangan yang sangat cermat yang diisyaratkan oleh Imam
Syathibi dalam kajian yang panjang dalam Al-I’tisham (II/73-98) yang
pada bagian akhirnya disebutkan, “Sesungguhnya
hal-hal yang berkaitan dengan adat jika dilihat dari sisi adatnya, maka
tidak ada bid’ah di dalamnya. Tetapi jika adat dijadikan sebagai ibadah
atau diletakkan pada tempat ibadah maka ia menjadi bid’ah”.
Dengan
demikian maka “tidak setiap yang belum ada pada masa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan juga belum ada pada masa Khulafa Rasyidin
dinamakan bid’ah. Sebab setiap ilmu yang baru dan bermanfaat bagi
manusia wajib dipelajari oleh sebagian kaum muslimin agar menjadi
kekuatan mereka dan dapat meningkatkan eksistensi umat Islam.
Sesungguhnya
bid’ah adalah sesuatu yang baru dibuat oleh manusia dalam bentuk-bentuk
ibadah saja. Sedangkan yang bukan dalam masalah ibadah dan tidak
bertentangan dengan kaidah-kaidah syari’at maka bukan bid’ah sama
sekali” [7]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Qawa’id An-Nuraniyah Al-Fiqhiyah (hal. 22) berkata, “Adapun
adat adalah sesuatu yang bisa dilakukan manusia dalam urusan dunia yang
berkaitan dengan kebutuhan mereka, dan hukum asal pada masalah tersebut
adalah tidak terlarang. Maka tidak boleh ada yang dilarang kecuali apa
yang dilarang Allah. Karena sesungguhnya memerintah dan melarang adalah
hak prerogratif Allah. Maka ibadah harus berdasarkan perintah. Lalu
bagaimana sesuatu yang tidak diperintahkan di hukumi sebagai hal yang
dilarang?
Oleh
karena itu, Imam Ahmad dan ulama fiqh ahli hadits lainnya mengatakan,
bahwa hukum asal dalam ibadah adalah tauqifi (berdasarkan dalil). Maka,
ibadah tidak disyariatkan kecuali dengan ketentuan Allah, sedang jika
tidak ada ketentuan dari-Nya maka pelakunya termasuk orang dalam firman
Allah.
“Artinya : Apakah mereka mempunyai para sekutu yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak dizinkan Allah?” [Asy-Syuraa : 21]
Sedangkan hukum asal dalam masalah adat adalah dimaafkan (boleh). Maka, tidak boleh dilarang kecuali yang diharamkan Allah.
“Artinya : Katakanlah.
Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu,
lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.
‘Katakanlah, ‘Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini)
ataukah kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” [Yunus : 59]
Ini adalah kaidah besar yang sangat berguna. [8]
Yusuf
Al-Qaradhawi dalam Al-Halal wal Haram fil Islam (hal.21) berkata,
“Adapun adat dan muamalah, maka bukan Allah pencetusnya, tetapi
manusialah yang mencetuskan dan berinteraksi dengannya, sedang Allah
datang membetulkan, meluruskan dan membina serta menetapkannya pada
suatu waktu dalam hal-hal yang tidak mendung mafsadat dan mudharat”.
Dengan mengetahui kaidah ini [9],
maka akan tampak cara menetapkan hukum-hukum terhadap berbagai kejadian
baru, sehingga tidak akan berbaur antara adat dan ibadah dan tidak ada
kesamaran bid’ah dengan penemuan-penemuan baru pada masa sekarang.
Dimana masing-masing mempunyai bentuk sendiri-sendiri dan masing-masing
ada hukumnya secara mandiri.
[Disalin
dari kitab Ilmu Ushul Al-Fiqh Al-Bida’ Dirasah Taklimiyah Muhimmah Fi
Ilmi Ushul Fiqh, edisi Indonesia Membedah Akar Bid’ah,Penulis Syaikh
Ali Hasan Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, Penerjemah Asmuni
Solihan Zamakhsyari, Penerbit Pustaka Al-Kautsar]
__________
Foote Note
__________
Foote Note
[1]. Maksudnya ulama dan umara
[2]. Ushul fil Bida’ was Sunan : 94
[3]. Ini batasan yang sangat penting, maka hendaklah selalu mengingatnya!
[4]. Ushul fil Bida’ was Sunan : 106
[5]. Al-Iqtidha II/582
[6]. Lihat Al-I’tiham I/37 oleh Asy-Syatibi.
[7]. Dari ta’liq Syaikh Ahmad Syakir tentang kitab Ar-Raudhah An-Nadiyah I/27
[8]. Sungguh Abdullah Al-Ghumari dalam kitabnya “Husnu At-Tafahhum wad Darki” hal. 151 telah mencampuradukkan kaidah ini dengan sangat buruk, karena menganggap setiap sesuatu yang tidak terdapat larangannya yang menyatakan haram atau makruh, maka hukum asal untuknya adalah dipebolehkan. Dimana dia tidak merincikan antara adat dan ibadah. Dan dengan itu, maka dia telah membantah pendapatnya sendiri yang juga disebutkan dalam kitabnya tersebut seperti telah dijelaskan sebelumnya.
[2]. Ushul fil Bida’ was Sunan : 94
[3]. Ini batasan yang sangat penting, maka hendaklah selalu mengingatnya!
[4]. Ushul fil Bida’ was Sunan : 106
[5]. Al-Iqtidha II/582
[6]. Lihat Al-I’tiham I/37 oleh Asy-Syatibi.
[7]. Dari ta’liq Syaikh Ahmad Syakir tentang kitab Ar-Raudhah An-Nadiyah I/27
[8]. Sungguh Abdullah Al-Ghumari dalam kitabnya “Husnu At-Tafahhum wad Darki” hal. 151 telah mencampuradukkan kaidah ini dengan sangat buruk, karena menganggap setiap sesuatu yang tidak terdapat larangannya yang menyatakan haram atau makruh, maka hukum asal untuknya adalah dipebolehkan. Dimana dia tidak merincikan antara adat dan ibadah. Dan dengan itu, maka dia telah membantah pendapatnya sendiri yang juga disebutkan dalam kitabnya tersebut seperti telah dijelaskan sebelumnya.
[9]. Lihat Al-Muwafaqat II/305-315, karena di sana terdapat kajian penting dan panjang lebar yang melengkapi apa yang ada di sini.
Sumber: https://almanhaj.or.id/2136-antara-adat-dan-ibadah.html