Oleh Ustadz Abu Isma’il Muslim al Atsari
(Pengajar Ma’had Ibnu Abbas, Sragen)
Orang yang berniat mencari ilmu yang haq harus memperhatikan dari siapa dia mengambil ilmu. Jangan sampai mengambil ilmu agama dari ahli bid’ah,
karena mereka akan menyesatkan, baik disadari atau tanpa disadari.
Sehingga hal ini akan mengantarkannya kepada jurang kehancuran.
Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah menyatakan, bahwa untuk meraih ilmu ada dua jalan.
- Pertama : Ilmu diambil dari kitab-kitab terpercaya, yang ditulis oleh para ulama yang telah dikenal tingkat keilmuan mereka, amanah, dan aqidah mereka bersih dari berbagai macam bid’ah dan khurafat (dongeng; kebodohan). Mengambil ilmu dari isi kitab-kitab, pasti seseorang akan sampai kepada derajat tertentu, tetapi pada jalan ini ada dua halangan. Halangan pertama, membutuhkan waktu yang lama dan penderitaan yang berat. Halangan kedua, ilmunya lemah, karena tidak dibangun di atas kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip.
- Kedua : Ilmu diambil dari seorang guru yang terpercaya di dalam ilmunya dan agamanya. Jalan ini lebih cepat dan lebih kokoh untuk meraih ilmu.[1]
Akan
tetapi pantas disayangkan, pada zaman ini kita melihat fenomena
pengambilan ilmu dari para ahli bid’ah marak di mana-mana, padahal
perbuatan tersebut sangat ditentang oleh para ulama Salaf. Maka
benarlah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang telah
memberitakan bahwa hal itu merupakan salah satu di antara tanda-tanda
dekatnya kiamat. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ مِنْ أَشْرِاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُلْتَمَسَ الْعِلْمُ عِنْدَ الْأَصَاغِرِ
“Sesungguhnya di antara tanda hari Kiamat adalah, ilmu diambil dari orang-orang kecil (yaitu ahli bid’ah)” [2].
Imam Ibnul Mubarak rahimahullah ditanya : “Siapakah orang-orang kecil itu?”
Beliau menjawab : “Orang-orang
yang berbicara dengan fikiran mereka. Adapun shaghir (anak kecil) yang
meriwayatkan dari kabir (orang tua, Ahlus Sunnah), maka dia bukan
shaghir (ahli bid’ah).[3]
Di dalam riwayat lain, Imam Ibnul Mubarak juga mengatakan: “Orang-orang kecil dari kalangan ahli bid’ah”. (Riwayat al Lalikai, 1/85).
Syaikh Bakar Abu Zaid –seorang ulama Saudi, anggota Komisi Fatwa Saudi Arabia- berkata : “Waspadalah terhadap Abu Jahal (bapak kebodohan), yaitu ahli bid’ah,
yang tertimpa penyimpangan aqidah, diselimuti oleh awan khurafat; dia
menjadikan hawa nafsu sebagai hakim (penentu keputusan) dengan
menyebutnya dengan kata “akal”; dia menyimpang dari nash (wahyu),
padahal bukankah akal itu hanya ada dalam nash? Dia
memegangi yang dha’if (lemah) dan menjauhi yang shahih. Mereka juga
dinamakan ahlusy syubuhat (orang-orang yang memiliki dan menebar
kerancauan pemikiran) dan ahlul ahwa’ (orang-orang yang mengikuti
kemauan hawa nafsu). Oleh karena itulah Ibnul Mubarak menamakan ahli
bid’ah dengan ash shaghir (anak-anak kecil).[4]
Dan tanda hari Kiamat, yaitu “mengambil ilmu dari orang-orang kecil (yaitu ahli bid’ah)” pada
zaman ini benar-benar sudah terjadi dan terus berjalan. Sungguh telah
terbukti sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas. Bahkan
sesuatu yang lebih besar dari itu, yaitu mengambil ilmu agama Islam
dari orang-orang kafir, yakni para dosen yang mengajarkan pengetahuan
tentang Islam di berbagai perguruan tinggi di negara Barat.
Maka
apakah kira-kira komentar para ulama Salaf, jika mereka mengalami zaman
kita ini? Sedangkan mereka adalah orang-orang yang sangat tulus dalam
memberikan nasihat, dan tegas menghadapi berbagai penyimpangan?
Marilah kita renungkan perkataan Imam adz Dzahabi rahimahullah tentang ahli bid’ah pada zaman beliau. Beliau mengatakan:
“Jika
engkau melihat seorang mutakallim (seorang yang zhahirnya muslim tetapi
menggeluti ilmu kalam, mantiq, filsafat, Pen), ahli bid’ah, berkata,
’Tinggalkan kami dari al Kitab (al Qur`an) dan hadits-hadits, dan
datangkanlah akal,’ maka ketahuilah bahwa dia Abu Jahal. Dan jika
engkau melihat seorang salik tauhidi (seorang shufi, Pen)
berkata,’Tinggalkan kami dari naql (wahyu) dan akal, dan datangkanlah
perasaan dan rasa,’ maka ketahuilah bahwa dia adalah iblis yang telah
muncul dengan bentuk manusia, atau iblis telah merasuk padanya. Jika
kamu merasa takut padanya, maka larilah. Jika tidak takut, maka
bantinglah dia, dan tindihlah dadanya, dan bacakan ayat kursi
kepadanya, dan cekiklah dia”.[5]
PERINGATAN PARA ULAMA
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebutkan sifat ulama yang akan
selalu ada sepanjang zaman, sampai waktu yang dikehendaki oleh Allah,
yaitu di dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ : يَنْفُوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ وَتَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ وَ إِنْتِحِالَ الْمُبْطِلِيْنَ
“Ilmu agama ini akan dibawa oleh orang-orang yang lurus pada setiap generasi; mereka akan menolak tahrif (perubahan) yang dilakukan oleh orang-orang yang melewati batas; ta’wil (penyimpangan arti) yang dilakukan oleh orang-orang yang bodoh; dan kedustaan yang dilakukan oleh orang-orang yang berbuat kepalsuan” [6]
Hadits
ini jelas dan tegas menunjukkan sifat-sifat pengemban ilmu agama, yaitu
‘adalah (lurus, istiqamah), maka sepantasnya ilmu itu hanyalah diambil
dari mereka. Oleh karena itu, banyak peringatan ulama tentang memilih
guru agama yang tepat di dalam mengambil ilmu. Berikut ini di antara
perkataan ulama berkaitan dengan hal tersebut.
1). Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu berkata :
اُنْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ هَذَا الْعِلْمَ فَإِنَّمَا هُوَ دِينٌ
“Perhatikanlah dari siapa kamu mengambil ilmu ini, karena sesungguhnya ia adalah agama” [7]
Perkataan
ini juga diriwayatkan dari sejumlah Salafush Shalih, seperti Muhammad
bin Siirin, adh Dhahhak bin Muzahim, dan lain-lain (Lihat muqaddimah
Shahih Muslim).
2). Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata :
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا أَتَاهُمُ الْعِلْمُ مِنْ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ مِنْ أَكَابِرِهِمْ , فَإِذَا أَتَاهُمُ الْعِلْمُ مِنْ قِبَلِ أَصَاغِرِهِمْ , وَ تَفَرَّقَتْ أَهْوَاءُهُمْ , هَلَكُوْا
“Manusia
akan selalu berada di atas kebaikan, selama ilmu mereka datang dari
para sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dari
orang-orang besar (tua) mereka. Jika ilmu datang dari arah orang-orang
kecil (ahli bid’ah) mereka, dan hawa-nafsu mereka bercerai-berai,
mereka pasti binasa” [8].
Dalam riwayat lain disebutkan :
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا أَخَذُوْا الْعِلْمَ عَنْ أَكَابِرِهِمْ , فَإِذَا أَخَذُوْهُ مِنْ أَصَاغِرِهِمْ وَ شِرَارِهِمْ هَلَكُوْا
“Manusia
selalu berada pada kebaikan selama mereka mengambil ilmu dari
orang-orang besar (tua) mereka. Jika mereka mengambil ilmu dari
orang-orang kecil (ahli bid’ah) dan orang-orang buruk (orang fasik) di
antara mereka, maka mereka pasti binasa” [9]
3). Imam Malik rahimahullah berkata :
لاَ يُؤْخَذُ الْعِِلْمُ عَنْ أَرْبَعَةٍ: سَفِيْهٍ مُعلِنِ السَّفَهِ , وَ صَاحِبِ هَوَى يَدْعُو إِلَيْهِ , وَ رَجُلٍ مَعْرُوْفٍ بِالْكَذِبِ فِيْ أَحاَدِيْثِ النَّاسِ وَإِنْ كَانَ لاَ يَكْذِبُ عَلَى الرَّسُوْل صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , وَ رَجُلٍ لَهُ فَضْلٌ وَ صَلاَحٌ لاَ يَعْرِفُ مَا يُحَدِّثُ بِهِ
“Ilmu tidak boleh diambil dari empat orang : (1) Orang bodoh yang nyata kebodohannya, (2) Shahibu hawa` (pengikut hawa nafsu) yang mengajak agar mengikuti hawa nafsunya, (3) Orang yang dikenal dustanya
dalam pembicaraan-pembicaraannya dengan manusia, walaupun dia tidak
pernah berdusta atas (nama) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
(4) Seorang yang mulia dan shalih yang tidak mengetahui hadits yang dia sampaikan.[10]
4). Imam Nawawi rahimahullah berkata menjelaskan ghibah yang dibolehkan :
“Di
antaranya, jika seseorang melihat pencari ilmu sering mengambil ilmu
dari ahli bid’ah atau orang fasik, dan dia khawatir hal itu akan
membahayakan pencari ilmu tersebut, maka dia wajib menasihatinya,
dengan menjelaskan keadaan (guru)nya, dengan syarat dia berniat menasihati”. [Riyadhush Shalihin, al Adzkar, Syarah Muslim].
5).
Disebutkan di dalam kitab Fatawa Aimmatil Muslimin, hlm. 131, susunan
Mahmud Muhammad Khithab as Subki yang berisikan fatwa-fatwa sebagian
ulama Mesir, Syam dan Maghrib mutaqaddimi : “Seluruh imam mujtahidin telah sepakat, bahwa tidak boleh mengambil ilmu dari ahli bid’ah”.
TUJUAN PERINGATAN ULAMA
Syaikh Dr. Ibrahim bin Amir Ruhaili –hafizhahullah- berkata,”Sesungguhnya
para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para tabi’in
sesudah mereka telah memberikan bimbingan untuk mengambil ilmu dari
orang yang ‘adil dan istiqamah. Mereka telah melarang mengambil ilmu
dari orang yang zhalim dan menyimpang. Dan di antara orang yang
menyimpang, yaitu para ahli bid’ah. Sesungguhnya mereka telah
menyimpang dan menyeleweng dari agama dengan sebab bid’ah-bid’ah itu,
maka tidah boleh mengambil ilmu dari mereka. Karena ilmu merupakan
agama, dipelajari untuk diamalkan. Maka jika ilmu diambil dari ahli
bid’ah, sedangkan ahli bid’ah tidak mendasarkan dan menetapkan
masalah-masalah kecuali dengan bid’ah-bid’ah yang dia jadikan agama,
sehingga ahli bid’ah itu akan mempengaruhi murid-muridnya secara ilmu
dan amalan. Sehingga murid-murid itu akan tumbuh di atas bid’ah dan
susah meninggalkan kebid’ahan setelah itu. Apalagi jika belajar dari
ahli bid’ah itu pada masa kecil, maka pengaruhnya akan tetap dan tidak
akan hilang selama hidupnya.”[11]
Syaikh juga menjelaskan, maksud peringatan para ulama ini ada dua. Pertama. Menjaga orang-orang yang belajar dari kerusakan aqidah, karena terpengaruh oleh perkataan dan perbuatan ahli bid’ah. Kedua. Memboikot (mengisolir) ahli bid’ah yang menyerukan bid’ahnya, dengan niat mencegah dan menghentikan mereka dari bid’ah.[12]
Larangan ini berlaku saat situasi memungkinkan. Adapun dalam keadaan terpaksa, boleh belajar kepada ahli bid’ah,dengan tetap waspada dari kesesatan mereka.[13]
Syaikh Bakar Abu Zaid berkata, ”Wahai,
penuntut ilmu. Jika engkau berada dalam kelonggaran dan memiliki
pilihan, janganlah engkau mengambil (ilmu) dari ahli bid’ah, (yaitu) :
seorang Rafidhah (Syi’ah), seorang Khawarij, seorang Murji’ah, seorang qadari (orang yang mengingkari takdir), seorang quburi
(orang yang berlebihan mengagungkan kuburan), dan seterusnya, karena
engkau tidak akan mencapai derajat orang yang benar aqidah agamanya,
kokoh hubungannya dengan Allah, benar pandangannya, mengikuti atsar
(jejak Salaf), kecuali dengan meninggalkan ahli bid’ah dan bid’ah mereka”.[14]
PERINGATAN BELAJAR AGAMA KEPADA ORANG KAFIR!
Setelah
kita mengetahui keterangan di atas, maka selayaknya umat Islam agar
senantiasa jeli dan berhati-hati dalam mengambil ilmu. Sehingga pantas
untuk diperingatkan, yaitu adanya fenomena pada zaman ini dan
sebelumnya, berupa pengambilan ilmu dari orang-orang yang menyimpang,
yaitu para ahli bid’ah, bahkan dari orang-orang kafir! Tidakkah
orang-orang yang mengambil ilmu dari orang-orang kafir itu pernah
membaca atau mendengar firman Allah Azza wa Jalla tentang usaha
orang-orang musyrik untuk memurtadkan umat Islam? Allah Azza wa Jalla
berfirman :
وَلاَ يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرُُ فَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ {217}
“Mereka
tidak henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka (dapat)
mengembalikan kalian dari agama kalian (kepada kekafiran), seandainya
mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kalian dari agamanya,
lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia
amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka,
mereka kekal di dalamnya” [al Baqarah : 217].
Tidakkah
mereka juga pernah mendengar firman Allah Azza wa Jalla tentang
keinginan orang-orang Ahli Kitab yang selalu berkeinginan memurtadkan
umat Islam?
وَدَّكَثِيرُُ مِّنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُم مِّن بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِّنْ عِندِ أَنفُسِهِم مِّن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ {109}
“Sebagian
besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu
kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari
diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran” [al Baqarah : 109]
Apakah
mereka mengira, bahwa keinginan dan usaha orang-orang kafir untuk
memurtadkan umat Islam itu hanyalah pada zaman turunnya ayat-ayat al
Qur`an itu?
Anggapan
seperti itu adalah perkiraan yang salah, karena ayat-ayat itu berasal
dari Allah Yang Maha Tahu dan Maha Bijaksana. Seluruh berita dariNya
adalah haq, baik saat turunnya ayat maupun setelahnya. Maka, hendaklah
mereka memperhatikan sejarah umat Islam, memperhatikan
kejadian-kejadian umat Islam, dahulu dan sekarang. Dengan demikian,
mereka akan mengetahui kebenaran firman Allah tersebut.
Inilah
sedikit keterangan seputar jalan mengambil ilmu. Semoga Allah selalu
membimbing kita kepada ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih.
Sesungguhnya Dia Maha Kuasa dan Bijaksana. Al hamdulillahi Rabbil
‘alamin.
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Diringkas dari Kitabul Ilmi, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah, hlm. 68-69.
[2].
Riwayat Ibnul Mubarak, al Lalikai, dan al Khaththib al Baghdadi.
Dishahihkan oleh Syaikh al Albani di dalam Shahih al Jami’ ash Shaghir,
no. 2203, dan Syaikh Salim al Hilali dalam kitab Hilyatul ‘Alim, hlm.
81.
[3]. Lihat Jami’ Bayanil ‘ilmi, hlm. 246.
[4]. Hilyah Thalibil ‘Ilmi, hlm. 39, karya Syaikh Bakar Abu Zaid.
[5]. Siyar A’lamin Nubala, 4/472, dinukil dari Hilyah Thalibil ‘Ilmi, hlm. 39.
[6].
HR Ibnu ‘Adi di dalam al Kamil, al Baihaqi di dalam Sunan Kubra, Ibnu
‘Asakir di dalam Tarikh Dimsyaq, Ibnu Hibban di dalam ats Tsiqat, Abu
Nu’aim di dalam Ma’rifatush Shahabat, Ibnu Abdil Barr di dalam at
Tamhid, al Khath-thib di dalam Syaraf Ash-habul Hadits, dan lain-lain. Hadits
ini diriwayatkan lebih dari 10 sanad, sehingga saling menguatkan.
Dishahihkan oleh Imam Ahmad, dihasankan oleh Syaikh Salim al Hilali di
dalam Hilyatul ‘Alim al Mu’allim, hlm. 77, juga oleh Syaikh Ali bin
Hasan di dalam Tashfiyah wat Tarbiyyah.
[7].
Riwayat al Khaththib al Baghdadi di dalam al Kifayah, hlm. 121. Dinukil
dari Mauqif Ahli Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa` wal Bida`, hlm.
686, karya Dr. Ibrahim bin Amir Ruhaili.
[8].
Riwayat Imam Ibnul Mubarak di dalam az Zuhud, hlm. 281, hadits 815.
Dinukil dari kitab Asy-rathus Sa’ah, hlm. 184, karya Syaikh Yusuf bin
Abdullah bin Yusuf al Wabil.
[9]. Jami’ Bayanil ‘Ilmi, hlm. 248. Dinukil dari Mauqif Ahli Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa` wal Bida`, hlm. 687.
[10]. Jami’ Bayanil ‘Ilmi, hlm. 348. Dinukil dari Mauqif Ahli Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa` wal Bida`, hlm. 688.
[11]. Mauqif Ahli Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa` wal Bida`, hlm. 686, karya Syaikh Ibrahim ar Ruhaili.
[12]. Lihat Mauqif Ahli Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa` wal Bida`, hlm. 693.
[13]. Lihat Mauqif Ahli Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa` wal Bida`, hlm. 685-695.
[14]. Hilyah Thalibil ‘Ilmi, hlm. 40.