1. Bersegera menuju masjid.
عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ((إذا كان يوم الجمعة كان على كل باب من أبواب المسجد ملائكة يكتبون الأول فالأول، فإذا جلس الإمام طووا الصحف، وجاءوا يستمعون الذكر)).
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila hari Jum’at tiba, maka di setiap pintu masjid terdapat malaikat yang mencatat siapa saja yang hadir lebih dahulu (untuk menghadiri shalat Jum’at). Apabila imam telah duduk (di atas mimbar), mereka menutup lembaran catatan kitab untuk turut mendengarkan adz-dzikr (khutbah)”.[1]
وعنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ((من اغتسل يوم الجمعة غسل الجنابة ثم راح، فكأنما قرب بدنة، ومن راح في الساعة الثانية، فكأنما قرب بقرة، ومن راح في الثالثة، فكأنما قرب كبشا أقرن، ومن راح في الساعة الرابعة، فكأنما قرب دجاجة، ومن راح في الساعة الخامسة، فكأنما قرب بيضة، فإذا خرج الإمام حضرت الملائكة يستمعون الذكر)).
Dan darinya (Abu Hurairah) pula, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Barangsiapa yang mandi pada hari Jum’at seperti mandinya ketika janabah, kemudian pergi seawal mungkin (untuk melaksanakan shalat Jum’at), seakan-akan ia berkurban dengan seekor onta. Barangsiapa yang pergi shalat Jum’at pada waktu yang kedua, seakan-akan ia berkurban dengan seekor sapi. Barangsiapa yang pergi shalat Jum’at pada waktu yang ketiga, seakan-akan ia berkurban dengan seekor kambing. Barangsiapa yang pergi shalat Jum’at pada waktu yang keempat, seakan-akan ia berkurban dengan seekor ayam. Dan barangsiapa yang pergi shalat Jum’at pada waktu yang kelima, seakan-akan ia berkurban dengan sebutir telur. Apabila imam telah hadir (untuk berkhutbah), para malaikat pun hadir untuk mendengarkan khutbah”.[2]
2. Datang dan mendekat kepada imam.
وعن سمرة بن جندب أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ((احضروا الذكر، وادنوا من الإمام، فإن الرجل لا يزال يتباعد حتى يؤخر في الجنة وإن دخلها)).
Dari Samurah bin Jundub radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Hadirilah khutbah dan mendekatlah kepada imam. Sesungguhnya ada seorang laki-laki yang senantiasa menjauhkan diri darinya, hingga ia pun diakhirkan menuju surga walaupun ia (ditakdirkan) memasukinya”.[3]
3. Berjalan kaki menuju masjid tanpa berkendaraan, kecuali jika ada hajat.
عن أوس بن أوس أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ((من اغتسل يوم الجمعة وغسَّل، وغدا وابتكر، ومشى ثم لم يركب، ودنا من الإمام، وأنصت ولم يلغ : كان له بكل خطوة عمل سنة صيامها وقيامها)).
Dari Aus bin Aus, bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Barangsiapa yang mandi dan keramas pada hari Jum’at, bersegera pergi (menuju masjid) dengan berjalan kaki tanpa berkendaraan, mendekat kepada imam, diam dan tidak berkata-kata sia-sia : maka baginya pada setiap langkahnya itu pahala amal setahun, (yaitu) puasa dan shalatnya”.[4]
وعن عباية بن رفاعة قال : أدركني أبو عبس وأنَ ذاهب إلى الجمعة فقال : سمعتُ النبي صلى الله عليه وسلم يقول : ((من اغبرَّت قدماه في سبيل الله حرَّم الله على النار)).
Dari ‘Ubaayah bin Rifaa’ah, ia berkata : “Abu ‘Absin pernah mendapatiku ketika aku hendak pergi menuju shalat Jum’at. Maka ia berkata : “Aku pernah mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Barangsiapa yang kakinya berdebu di jalan Allah, niscaya Allah akan haramkan baginya api neraka”.[5]
4. Melaksanakan shalat tahiyyatul-masjid sebelum duduk.
فعن جابر قال : دخل رجل يوم الجمعة - والنبي صلى الله عله وسلم يخطب - فقال : ((أصليتَ؟)). قال : لا، قال : ((فصلِّ ركعتين)) وفي لفظ ((قم فاركع ركعتينوتجوز فيهما))
Dari Jaabir ia berkata : “Seorang laki-laki masuk ke masjid pada hari Jum’at – dan Nabi shallalaahu ‘alaihi wa sallam saat itu sedang berkhutbah - . Maka beliau bertanya : ‘Apakah engkau sudah shalat (tahiyyatul-masjid) ?’. Ia menjawab : ‘Belum’. Beliau pun bersabda : ‘Shalatlah dua raka’at’.[6] Dalam lafadh yang lain :‘Berdiri, dan shalatlah dua raka’at’.
Hadits di atas terdapat petunjuk bahwa jika ada seseorang yang telah duduk namun belum melaksanakan shalat, maka disunnahkan ia berdiri untuk mengerjakannya, meskipun imam sedang berkhutbah. Hendaknya ia meringankan (mempercepat) shalatnya tersebut. Diperbolehkan baginya untuk menambah jumlah raka’at shalat sunnah sesuai kesanggupannya jika imam belum berkhutbah menurut jumhur ‘ulama[7] berdasarkan hadits Salmaan :
ثُمَّ يُصلِّ ما كتب له ثم يُنصت إذا تكلَّم الإمام إلا غفر له ما بينه وبين الجمعة الأخرى
“Kemudian ia melakukan shalat sesuai apa yang telah ditetapkan baginya (= yaitu sesuai dengan kesanggupannya - Abu Al-Jauzaa’), lalu diam saat imam berkhutbah, niscaya ia akan diampuni dosanya antara Jum’at tersebut sampai Jum’at yang lainnya”.[8]
Faedah : Tidak ada shalat sunnah qabliyyah Jum’at.
Apabila adzan telah selesai dikumandangkan, tidak diperbolehkan sama sekali bagi seorang pun berdiri melakukan shalat[9]. Ini adalah pendapat yang paling shahih (benar) di kalangan ulama, diantaranya adalah Hanafiyyah, Maalik, Asy-Syafi’iy dan kebanyakan shahabat-shahabatnya – dimana hal ini diseleisihi oleh An-Nawawi dan yang lainnya - , dan inilah yang masyhur dalam madzhab Ahmad. Pendapat inilah yang ditunjukkan oleh As-Sunnah, bahwasannya ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam keluar dari rumahnya dan saat telah sampai di atas mimbar, maka Bilal langsung mengumandangkan adzan shalat Jum’at. Jija adzan telah selesai, maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memulai khutbah tanpa mengerjakan shalat terlebih dahulu. Demikianlah yang telah berlaku. Oleh sebab itu, kapan waktu mereka mengerjakan shalat sunnah ? Barangsiapa yang beranggapan bahwa ketika Bilal selesai mengumandangkan adzan, mereka (para shahabat) semuanya berdiri melakukan shalat dua raka’at, maka ia adalah orang yang paling jahil terhadap sunnah.
Dan yang menguatkan hal ini adalah hadits Ibnu ‘Umar, ia berkata :
صليتُ مع رسول الله صلى الله عليه وسلم سجغتين قبل الظهر، وسجدتين بعد الظهر، وسجدتين بعد المغرب، وسجدتين بعد العشاء، وسجدتين بعد الجمعة.
“Aku pernah shalat bersama Rasulullah shalllallaahu ‘alaihi wa sallam dua raka’at sebelum Dhuhur, dua raka’at setelah Dhuhur, dua raka’at setelah Maghrib, dua raka’at setelah ‘Isya’, dan dua raka’at setelah Jum’at”.[10]
Ini adalah nash sharih (jelas/terang) bahwasannya shalat Jum’at di sisi shahabat adalah shalat yang berdiri sendiri, terpisah dengan shalat Dhuhur. Ketika tidak disebutkan adanya shalat sunnah kecuali setelahnya, dapat diketahui tidak ada shalat sunnah yang dilaksanakan sebelum shalat Jum’at. Wallaahu a’lam.
5. Tidak melakukan tahalluq (membuat halaqah-halaqah) atau pertemuan pengajian sebelum shalat Jum’at.
Didasarkan pada hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya :
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن الشراء والبيع في المسجد، وأن تُنشد فيه الضالة، وأن ينشد فيه الشِّعر، ونهى عن التحلق مثل الصلاة يوم الجمعة.
“Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli di dalam masjid, mengumumkan barang yang hilang, melantunkan syair, dan beliau juga melarang mengadakan halaqah-halaqah sebelum shalat Jum’at”.[11]
Tahalluq di sini mempunyai dua makna, yaitu secara lughawiy (bahasa) dan syar’iy(syari’at). Makna secara lughawiy dari tahalluq adalah : sekumpulan orang yang duduk melingkar seperti lingkaran pintu. Sedangkan tahalluq adalah bentuk aktif dari kata halaqah yang artinya sengaja melakukan hal itu.
Sedangkan istilah syar’iy : berkumpul untuk satu pelajaran (pengajian) walaupun ia tidak duduk secara melingkar. Dan kedua arti ini masuk dalam larangan hadits.[12]
6. Menghadapkan wajah pada imam saat menyampaikan khutbah.
Disunnahkan bagi makmum untuk menghadapkan wajahnya kepada imam saat menyampaikan khutbah. Tidak ada riwayat shahih marfu’ yang menjadi dasar, namun telah tsabit dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma :
أنه كان لا يقعد الإمام حتى يستقبله
“Bahwasannya ketika imam tidak sedang duduk, maka ia (Ibnu ‘Umar) menghadapkan wajah kepadanya.[13]
وعن أنس إنه جاء يوم الجمعة فاستند إلى الحائط، واستقبل الإمام.
Dari Anas bahwasannya ketika ia datang (ke masjid) pada hari Jum’at, maka ia bersandar ke sebuah tiang menghadap kepada imam”.
At-Tirmidzi berkata (2/283) :
والعمل على هذا عند أهل العلم من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم وغيرهم، يستحبون استقبال الإمام إذا خطب.
“Para ulama dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan yang lainnya mengamalkan hadits ini, yaitu menyukai untuk menghadap imam ketika ia sedang berkhutbah” [selesai].
7. Diam dan tidak berbicara untuk mendengarkan khutbah.
Telah berlalu hadits Salmaan bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda :
لا يغتسل الرجل يوم الجمعة.....ثم يُنصت إذا تكلَّم الإمام إلا غفر له ما بينه وبين الجمعة الأخرى
“Tidaklah seseorang mandi pada hari Jum’at……. lalu diam saat imam berkhutbah, niscaya ia akan diampuni dosanya antara Jum’at tersebut sampai Jum’at yang lainnya”.[14]
عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : ((إذا قلت لصاحبك يوم الجمعة : أنصت - والإمام يخطب، فقد لغوت)).
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Apabila engkau berkata pada hari Jum’at : ‘Diamlah’ – sedangkan waktu itu imam sedang berkhutbah, sungguh engkau telah berbuat sia-sia”.[15]
Dan pada hadits ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya secara marfu’ :
...ومن لغا وتخطَّى رقاب الناس، كانت له ظهرًا.
“Dan barangsiapa yang berbuat sia-sia dan melangkahi pundak-pundak manusia, maka wajib baginya shalat Dhuhur”.[16]
yaitu : berkurang pahalanya, dan tidak terwujud baginya pahala Jum’at secara sempurna.
Jumhur ulama berpendapat tentang haramnya pembicaraan makmum sebagian terhadap sebagian yang lainnya.
Faedah :
Pertama : Apabila sebagian makmum berbincang-bincang satu dengan yang lainnya, maka diperbolehkan menyuruhnya diam dengan isyarat. Dari Anas ia berkata :
بينما رسول الله صلى الله عليه وسلم يومًا قائمًا يخطب على المنبر، قام رجل فقال : متى قيام الساعة يا نبي الله ؟ فسكت عنه، وإشار الناس إليه : أن اجلس، فأبى...
“Pada satu hari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri berkhutbah di atas mimbar. Lalu berdirilah seorang laki-laki dan bertanya : “Kapankah datangnya hari kiamat wahai Nabi Allah ?”. Beliau diam atas pertanyaan tersebut. Maka orang-orang memberikan isyarat kepadanya agar ia duduk, namun ia enggan…”.[17]
Aku katakan : Dapat ditambahkan atas hal ini adalah menjawab salam pada orang yang memberi salam. Tidak diperbolehkan menjawabnya kecuali dengan isyarat.
Kedua : Perkataan kepada imam (khathiib) diperbolehkan saat berlangusngnya khutbah untuk satu hajat (keperluan). Sama saja apakah ia memulai pembicaraan atau menjawab/merespon terhadap apa yang dikatakan oleh imam (khathiib). Hal itu didasarkan oleh hadits Anas radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
أتى أعرابي من أهل البدو إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو يخطب يوم الجمعة فقال : يا رسول الله، هلكت الماشية....
“Seorang Arab Baduwi datang kepada Rasululah shallallaahu ‘alaihi wa sallam saat beliau sedang berkhutbah di hari Jum’at. Ia berkata : ‘Wahai Rasulullah, telah binasa/mati hewan-hewan ternak…”.[18]
Dalam kisah Salik Al-Ghaththafaaniy ketika ia masuk masjid kemudian duduk – sedangkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam saat itu sedang berkhutbah – beliau bertanya : ‘Apakah engkau sudah shalat dua raka’at ?’. Ia menjawab : ‘Belum’. Beliau bersabda : ‘Berdirilah, kemudian shalatlah dua raka’at”.[19]
8. Tidak diperbolehkan melangkahi pundak-pundak orang-orang (yang telah duduk) dan memisahkan antara dua orang.
عن عبد الله بن بسر قال : جاء رجل يتخطّى رقاب الناس، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ((اجلس، فقد آذيت وآنيت)).
Dari ‘Abdullah bin Busr radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Datang seorang laki-laki yang melangkahi pundak-pundak manusia. (Saat melihat itu) Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Duduklah, sungguh engkau telah menyakiti dan memisahkan (orang-orang yang telah duduk)”.[20]
Telah berlalu hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radliyallaahu ‘anhuma :
...ومن لغا وتخطَّى رقاب الناس، كانت له ظهرًا.
“Dan barangsiapa yang berbuat sia-sia dan melangkahi pundak-pundak manusia, maka wajib baginya shalat Dhuhur”.[21]
Dikecualikan dari ancaman ini adalah jika ia mendapati tempat yang kosong di antara dua orang karena kelalaian ini datang dari mereka, bukan dari orang yang melangkah. Maka hukumnya tidak haram. Begitu juga jika ia berpaling keluar karena satu hajat, kemudian ia ingin kembali menuju tempatnya semula.
Pada hadits Salmaan secara marfu’ :
.....ثم راح فلم يفرِّق بين اثنين، صلى ما كُتب له، ثم إذا خرج الإمام أنصت، غفر له ما بينه وبين الجمعة الأخرى
“Kemudian ia pergi (ke masjid) tanpa memisahkan dua orang (yang telah duduk), melakukan shalat apa yang telah ditetapkan baginya, kemudian jika imam telah keluar ia diam; niscaya akan diampuni dosanya antara Jum’at itu dengan Jum’at yang lainnya”.[22]
Termasuk memisahkan antara dua orang adalah duduk di antara keduanya, menyuruh pergi salah satu diantara keduanya serta duduk di tempatnya . Dan bisa juga dimutlakkan pada melangkahi mereka berdua saja. Dalam hal melangkahi terkadang ada tambahannya, yaitu mengangkat kedua kakinya di atas kepala-kepala mereka dan pundak-pundak mereka.
9. Tidak membuat orang berdiri kemudian duduk di tempatnya.
عن جابر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ((لا يقيمن أحدكم أخاه يوم الجمعة ثم يخالف إلى مقعده فيقعد فيه، ولكن يقول : أفسحوا)).
Dari Jaabir, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Janganlah salah seorang di antara kalian membuat berdiri saudaranya pada hari Jum’at, kemudian ia menggantikannya duduk di tempat duduknya. Namun hendaknya ia mengatakan : ‘Bergeserlah…”.[23]
Perkataan beliau : “bergeserlah” dilakukan selama imam belum berbicara (dalam khutbahnya). Namun jika sudah berbicara, maka ia memberikan isyarat kepadanya.
10. Barangsiapa yang mengantuk, hendaklah ia bergeser dari tempat duduknya semula.
عن ابن عمر قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : ((إذا نعس أحدكم [في مجلسه يوم الجمعة] فليتحول من مجلسه ذلك [إلى غيره])).
Dari Ibnu ‘Umar ia berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apabila salah seorang di antara kalian mengantuk (di tempat duduknya pada hari Jum’at), hendaklah ia bergeser dari tempt duduknya itu (ke tempat yang lain)”.[24]
Hikmah yang terkandung pada perintah bergeser/pindah dari tempatnya semula adalah bahwa dengan bergerak akan menghilangkan rasa kantuk. Atau mungkin hikmahnya adalah berpindah dari tempat yang membuatnya lalai dengan kantuknya tersebut. Hal itu apabila ia tidak merasa berat untuk melakukannya.[25]
11. Apakah diperbolehkan ihtibaa’ saat khutbah berlangsung ?
Ada sebuah riwayat dari Mu’adz bin Anas, dari ayahnya :
أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن الحبوة يوم الجمعة والإمام يخطب.
“Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang kami duduk ihtibaa’pada hari Jum’at saat imam sedang berkhutbah”.[26]
Status hadits tersebut di perselisihkan, namun yang rajih adalah dla’if. Oleh karena itu, kebanyakan ulama memberikan rukhshah untuk melakukan duduk ihtibaa’(saat khutbah berlangsung).
Al-Ihtibaa’ adalah : Seseorang yang menjadikannya kedua kaki (lutut) sebagai sandaran, menutupi kedua lututnya dengan bajunya, atau mengikat kedua tangannya di atas kedua lututnya dengan sengaja. Ibnul-Atsir berkata : “Beliau melarang duduk ihtibaa’, karena ihtibaa’ dapat menyebabkan kantuk sehingga tidak dapat mendengarkan khutbah. Bahkan kadangkalau ia menyebabkan wudlunya hilang/batal”.
Aku katakan : Jika demikian, maka meninggalkan duduk ihtibaa’ lebih diutamakan dengan syarat hadits tersebut shahih. Wallaahu a’lam.
12. Apabila ia mengingat – saat khutbah berlangsung – shalat fardlu yang ia telah tinggalkan atau ia tertidur : Barangsiapa yang tertidur, maka ia harus segera berdiri dan mengqadlanya. Hal itu didasarkan oleh hadits Anas, bahwasannya Nabishalallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
من نسي صلاة [أو نام عنها] فليصلها إذا ذكرها لا كفارة لها إلا ذلك.
“Barangsiapa lupa untuk shalat (atau ia tertidur di dalamnya), hendaklah ia segera shalat begitu mengingatnya. Apabila ia telah mengingatnya, maka tidak ada kaffarat baginya kecuali yang demikian itu”.[27]
[Diambil oleh Abu Al-Jauzaa’ dari Shahih Fiqhis-Sunnah oleh Abu Malik Kamal As-Sayyid, 1/577-579, 588-591; Maktabah At-Taufiqiyyah].
[1] Shahih; diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 3211 dan Muslim no. 850.
[2] Shahih; diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 881 dan Muslim no. 850.
[3] Hasan; diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1108 dan Ahmad (5/10).
[4] Shahih; diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 496, An-Nasa’iy (3/95), Abu Dawud no. 345, dan Ibnu Majah no. 1087.
[5] Shahih; diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 907.
[6] Shahih; diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 930 dan Muslim no. 875.
[7] Syarh Muslim oleh An-Nawawiy (3/385).
[8] Shahih; diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 883.
[9] Kecuali jika ia datang ke masjid setelah adzan selesai dikumandangkan, maka diperbolehkan baginya melaksanakan shalat tahiyyatul-masjid, kemudian ia duduk. Atau jika ia lupa mengerjakannya.
[10] Shahih; diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 1172.
[11] Shahih; diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1079 dan yang lainnya.
[12] Lihat : Al-Lum’ah fii Hukmil-Ijtimaa’ li-Darsi Qablal-Jum’ah oleh Muhammad Musa Nashr.
[13] Hasan; diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq no. 5391, dan dari jalan Ibnul-Mundzir (4/74), serta dan Al-Baihaqi (3/199).
[14] Shahih; diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 883.
[15] Shahih; diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 934 dan Muslim no. 851.
[16] Hasan; diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 347 dan Ibnu Khuzaimah no. 1810.
[17] Shahih; diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 6167, Ibnul-Mundzir no. 1807, dan Ibnu Khuzaimah no. 1796.
[18] Shahih, diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 1029.
[19] Shahih; telah lalu takhrij hadits ini.
[20] Hasan; diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1118, An-Nasa’iy (3/103), dan Ahmad (4/188).
[21] Hasan; diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 347 dan Ibnu Khuzaimah no. 1810.
[22] Shahih; telah berlalu takhrij-nya.
[23] Shahih; diriwayatkan oleh Muslim no. 2177 dan Ahmad (3/295). Dan yang semisal dengannya terdapat dalam Shahihain dari hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma.
[24] Hasan dengan keseluruhan jalannya; diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1119, At-Tirmidzi no. 526, Ahmad (2/22), dan yang lainnya.
[25] Nailul-Authaar (3/298).
[26] Dla’if; diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1110, At-Tirmidzi no. 514, dan Ahmad (3/439).
[27] Shahih; diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 597 dan Muslim no. 684.
from=http://abul-jauzaa.blogspot.co.id/2009/06/yang-seharusnya-dilakukan-makmum-dari.html