Keadaan
kaum Muslimin hingga Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan
pada masa-masa permulaan periode khilâfah, mereka berada di atas manhaj
yang satu, dan jalan yang sama dalam aspek keyakinan dan hukum.
Karenanya, terjalin wifâq ‘ilmi (kesamaan sumber ilmu) dan ittifâq
‘amali (kesatuan amal ) di tengah mereka sehingga mengkondisikan mereka
generasi yang pertama yang paling pantas masuk konteks firman Allâh
Azza wa Jalla berikut:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia [Ali ‘Imrân/3:110].
Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Ayat
ini cakupannya umum berlaku pada seluruh umat Islam, sesuai dengan
masanya masing-masing. Dan sebaik-baik masa umat Islam adalah generasi
yang hidup bersamaan dengan masa diutusnya Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam (para Sahabat Nabi), kemudian generasi selanjutnya
dan kemudian generasi selanjutnya”[1].
Landasan
ajaran agama yang mereka jadikan pijakan mereka ialah Kitâbullâh dan
Sunnah. Mereka menjadikan Kitâbullâh dan Sunnah Rasulullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagai pemutus urusan-urusan mereka. Dengan itu
pula, mereka berhujjah. Mereka tidak berpaling dari nash-nash wahyu dan
tidak pula melawannya. Mereka tidak mengebiri hukum-hukum dari wahyu
dan tidak pula merubah-rubahnya. Tidak ada satu pendapat pun terkait
agama dari seseorang – meskipun memiliki derajat sosial di mata
manusia- yang mereka terima kecuali bila bersesuaian dengan Kitâbullâh
dan Sunnah Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak
bertentangan dengan keduanya.
Demikianlah
karakteristik kehidupan para Sahabat dan generasi Tabi’in yang
memperoleh tarbiyah seperti para Sahabat Radhiyallahu anhum. Hingga
akhirnya tiba masa-masa akhir generasi Sahabat dimana muncul pemikiran
dan ideologi ganjil yang mulai menodai kehidupan nyata umat Islam,
seperti pemikiran keliru tentang sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla dan
takdir-Nya, dalam bentuk menafikan atau menetapkannya dan hanyut tanpa
arah yang lurus dalam nash-nash janji dan ancaman, tikaman terhadap
kredibilitas para Sahabat atau bersikap berlebihan terhadap mereka dan
lain sebagainya yang dahulu tidak pernah ada di tengah umat Islam.
Tidak
berapa lama, pemikiran-pemikiran ini menjelma firqah-firqah
(golongan-golongan) yang masing-masing memiliki maqâlah (ideologi) dan
aqidah yang menyalahi jamâ’atul Muslimin, seperti golongan Khawarij,
Syiah, Mu’tazilah dan Murji`ah. Dan selanjutnya, golongan-golongan
besar ini mulai pecah dan terbagi-bagi dalam sekte-sekte turunan dengan
keyakinan dan aqidah yang berbeda satu dengan yang lain. Dan
masing-masing golongan yang baru itu memvonis sesat atau kafir golongan
lainnya.
Banyaknya
golongan dan sekte ini dengan segala perbedaan dan kontradiksi, namun
semuanya disatukan satu landasan, yaitu bertumpu pada ra`yu (nalar,
akal) dalam merespon nash wahyu dan lebih mendahulukan dorongan hawa
nafsu dalam menentang aturan syar’i. Anehnya, tiada satu golongan dari
golongan-golongan menyimpang tersebut kecuali mengklaim dirinya berada
di atas al-haq (kebenaran), telah mewujudkan tujuan luhur syariat dan
mengaku juga sebagai firqâh nâjiyah dan thâifah manshûrah yang
mendapatkan janji baik dalam hadits :
وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةٌ
Dan umatku akan berpecah-belah menjadi 73 golongan, semuanya berada di dalam Neraka kecuali satu. [HR. At-Tirmidzi no.2643]. dan hadits
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذِلِكَ
Akan
senantiasa ada satu golongan dari umatku yang tegak lurus di atas
al-haq. Tiadanya dukungan dari orang lain tidak berpengaruh buruk
kepada mereka, hingga datang ketetapan Allah, sedang mereka berada
dalam kondisi tersebut. [HR.Muslim no.1920].
Lebih
aneh lagi, masing-masing golongan yang saling bertentangan dan bertikai
lagi saling melaknati yang lain ini, mengaku berlandaskan nash-nash
Kitâbullâh dan Sunnah Rasûlullâh, meskipun sebagian firqah tersebut
juga sudah memalsukan hadits dan membuat-buatnya demi mendukung
keyakinan dan pandangannya, dalam semua yang dinyatakan dan diklaim
oleh mereka. Dan juga menjadikan Kitabullah dan Sunnah sebagai hujjah
untuk membantah golongan lain.
Golongan wa’îdiyyah (Khawarij dan Mu’tazilah yang memvonis pelaku dosa besar akan masuk Neraka selama-lamanya) mempergunakan hujjah (dalil) hadits berikut, “Demi
Allâh ia tidak beriman, demi Allâh ia tidak beriman dan demi Allâh ia
tidak beriman”. Ada yang bertanya, “Siapakah dia wahai Rasûlullâh?”.
Beliau menjawab, “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari
gangguannya”. [HR. Al-Bukhâri no.6016].
Di kutub lainnya, kaum
Murji`ah, golongan yang beranggapan bahwa iman hanyalah membenarkan
dengan hati saja, tanpa diikuti dengan amal perbuatan, berpegangan
dengan hadits:
مَا مِنْ عَبْدٍ قَاَل لاَ إِلَهَ إِلَّا اللهُ ثُمَّ مَاتَ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ
Tidak ada seorang hamba yang berkata lâ ilâha illallâh kemudian ia meninggal kecuali ia akan masuk Surga. [HR. Al-Bukhâri no.5827][2].
Terkait penetapan takdir, kalangan Qadariyah (yang menafikan takdir) berdalil dengan hadits,
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَــــأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصَّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
Setiap anak yang dilahirkan di atas fitrah. Maka dua orang tuanyalah yang akan membuatnya Yahudi, Nasrani atau Majusi. [HR. al-Bukhâri dan Muslim].
Di kutub lain, golongan Jabriyyah yang menetapkan takdir secara ekstrem sehingga menyebut manusia tidak punya kehendak sama sekali, berdalil dengan hadits:
كُلُّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ
Masing-masing akan dimudahkan menuju nasibnya. [HR. al-Bukhâri no.4949].
Kaum musyabbihah yang beranggapan Allâh Azza wa Jalla menyerupai makhluk, berdalil dengan hadits,
خَلَقَ اللهُ آدَمَ عَلَى صُوْرَتِهِ
Allah menciptakan Adam dalam wujud rupa-Nya. [HR. al-Bukhâri no.6227].
Sementara itu, di sisi yang berbeda, kaum mu’aththilah yang menafikan seluruh atau sebagian sifat Allâh Azza wa Jalla berhujjah dengan firman Allâh Azza wa Jalla :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat. [asy-Syûrâ/42:11]).
Dalam kasus lainnya, kaum Syiah mengkafirkan para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan dalih hadits, “Pada
hari Kiamat akan datang kepadaku satu kelompok dari Sahabatku. Mereka
diusir menjauh dari Telaga(ku). Maka aku berkata, Wahai Rabbku itu
adalah para Sahabatku, maka Allâh Azza wa Jalla berfirman,
‘Sesungguhnya engkau tidak tahu apa yang mereka perbuat sepeninggalmu.
Sungguh mereka telah murtad meninggalkan agama’ “. [HR. al-Bukhâri no.6585].
Orang
yang menatap realita di atas mungkin saja akan berdiri kebingungan lagi
terheran-heran sambil berucap, “Mereka masing-masing mengaku
keselamatan hanya ada pada kelompok mereka saja, tidak pada golongan
lain. Dan masing-masing pun punya dalil dari Kitabullah dan Sunnah
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara realitanya mereka
saling berbeda pendapat, bertolak-belakang, dan bertikai, tidak pernah
bersatu”.
Kondisi golongan-golongan itu terlukis pada lantunan syair berikut:
النـَّاسُ شَتـــــــــــــــــَّى وَآَراَءُ مُفَـــــــرَّقَةٌ كُلٌّ يَرَى الْحَقَّ فِيْمَا قَالَ وَاعْتَقَـــدَ
Manusia
itu bermacam-macam dan (mengelurkan) pemikiran-pemikiran yang
berbeda-beda. Masing-masing memandang dirinya di atas kebenaran dalam
pernyataan dan keyakinannya
Maka, di sini hal pertama yang
mesti ditegaskan, bahwa al-Qur`ân adalah kitab yang haq dan Sunnah
Rasul pun haq, sehingga tidak mungkin keduanya menegaskan satu
keyakinan tertentu dan pendapat yang kontradiktif terhadap keyakinan
tersebut secara sekaligus. Sebab, pada prinsipnya, tidak ada saling
pertentangan antara nash-nash al-Qur`ân dan Sunnah yang shahih. Allâh
Azza wa Jalla berfirman:
وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
Kalau kiranya al-Qur`ân itu bukan dari sisi Allâh, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. [an-Nisâ`/4:82].
Ada ungkapan menarik dari Imam Ibnu Katsîr rahimahullah yang mengatakan, “Alhamdulillâh,
seorang mubtadi’ mana saja tidak memiliki sandaran apapun yang shahih
dari ayat-ayat al-Qur`ân, sebab al-Qur`ân datang untuk memperjelas
al-haq dari kebatilan, menerangkan perbedaan antara hidayah dan
kesesatan, tidak ada sedikit pun kontradiksi maupun perbedaan antar
ayat, sebab al-Qur`ân bersumber dari Allâh Azza wa Jalla , turun dari
Dzat Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji”[3].
Kedua,
bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mengabarkan bahwa
firqah nâjiyah itu hanya berjumlah satu saja. Sementara jumlah-jumlah
golongan yang ada mencapai hitungan yang banyak sekali dan
masing-masing mengaku golongan yang selamat dan benar.
Lalu, bagaimanakah bisa dibedakan antara golongan yang lurus dan kelompok batil yang sekedar mengklaim pengakuan kosong belaka?.
Maka
rincian jawabannya ialah bahwa risalah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah risalah penutup dan dakwah yang beliau serukan adalah
dakwah terakhir, maka tidak mungkin terjadi kondisi campur-baur antara
yang haq dengan yang batil tanpa bisa dipisah-pisahkan sehingga
seseorang tidak tahu sama sekali dan tanpa ada seseorang yang sanggup
menemukan kebenaran tersebut. Ini tidak mungkin!.
Untuk
itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membiarkan umat
kehilangan pelita petunjuk dan pegangan. Beliau telah menjelaskan
karakteristik golongan selamat dengan sifat dan ciri yang jelas. Satu
karakter yang tidak ada seorang pun yang menyampaikannya selain
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sifat dan karakter itu
terdapat pada penghujung hadits iftirâqul ummah (perpecahan umat).
Sahabat – generasi yang paling antusias terhadap kebaikan- sudah
menanyakannya kepada Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam agar
menerangkan tentang firqah nâjiyah (golongan selamat). Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam menerangkannya dengan satu jawaban tanpa
mengikat eksistensinya dengan negara, tempat, kota maupun masa. Beliau
hanya menyebutkan karakternya yang spesifik, yaitu, dalam sabdanya:
مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِيْ
“(Mereka adalah orang-orang) yang berada di atas ajaranku dan para Sahabatku hari ini”.
Inilah
barometer untuk menilai kebenaran ucapan, amalan dan
keyakinan-keyakinan dan semua golongan dan madzhab: ‘orang-orang yang
berada di atas ajaranku dan para Sahabatku hari ini’. Seseorang –
siapapun dia - , golongan manapun, sekte apa saja tidak cukup sekedar
mengklaim dirinya selamat sampai mendudukkan dirinya, ucapan-ucapannya,
amal-perbuatan dan keyakinan-keyakinannya di atas timbangan adil ini.
Begitu pula, tidak cukup dengan membawakan dalil dari al-Qur`ân dan
Hadits sebelum berkaca pada pemahaman Sahabat terhadap dua sumber
ajaran Islam tersebut.
مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِيْ adalah
ukuran kebenaran dan sekaligus merupakan manhaj dan jalan yang
mengantar kepada pemahaman Kitâbullâh dan Sunnah Rasûlullâh dengan
pemahaman yang lurus, yang sesuai dengan maksud yang dikehendaki Allâh
Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan itu,
pendalilan dengan Kitâbullâh dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam menjadi tepat.
Adapun
bila standar kebenaran diserahkan kepada siapa saja yang bersuara di
tengah masyarakat, maka tidak terbentuk satu barometer yang dapat
dijadikan sebagai pedoman baku. Kita pun kesulitan untuk mengenali
siapa yang berada di atas al-haq dan siapa yang hanya bermodal
kebatilan, juga kesulitan untuk mengetahui siapa yang berkata benar dan
siapa yang melontarkan omongan tanpa dasar.
مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِيْ juga yang akan membedakan antara Ahli Sunnah wal Jama’ah dari seluruh kelompok dan golongan lain. Nama-nama golongan-golongan di luar Ahli Sunnah wal Jamaa’ah,
biasanya dikenal dengan keyakinan mereka yang baru seperti Qadariyah
(pengingkar qadar/takdir), dan Jabriyah (dari kata jabr, terpaksa.
Mereka berasumsi manusia itu terpaksa dalam beraktifitas layaknya
sehelai bulu yang terbang mengikuti hembusan angin), atau dikenal
dengan perbuatan buruknya semisal Khawârij (yang melakukan
khurûj/pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah) dan Rafidhah
(rafadha bermakna menolak. Mereka menolak khilafah Abu Bakr
Radhiyallahu anhu dan ‘Umar Radhiyallahu anhu), atau namanya dikaitkan
dengan pimpinan, dan pencetus seperti golongan Karrâmiyah[4] dan
Bayâniyah. [5]
Sedangkan
Ahli Sunnah wal Jamâ’ah, mereka dikenal dengan predikat demikian karena
konsistensi dan komitmen mereka dengan Kitâbullâh dan Sunnah Rasulullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak kepada personal, tempat, atau
penisbatan kepada yang lainnya. Allâh Azza wa Jalla mencurahkan hidayah
kepada mereka, Ahli Sunnah wal Jamâ’ah, saat banyak pihak menyimpang
dari al-haq.
Segala
puji bagi Allâh Azza wa Jalla yang telah memberikan hidayah kepada kita
untuk meniti jalan Ahli Sunnah wal Jamâ’ah dan menjauhi hal-hal yang
baru dalam agama yang tidak pernah dikenal oleh Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat beliau yang mulia.
ذَٰلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
Demikianlah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allâh mempunyai karunia yang besar. [al-Jumu’ah/62:4].
Semoga
Allâh Azza wa Jalla memberikan kekuatan istiqamah pada hati kita untuk
memegangi manhaj Ahli Sunnah wal Jama’ah hingga ajal datang menjemput
kita semua. Amin. Wallâhu a’lam.
Diadaptasi dari :
- Manhaj al-Istidlâli ‘ala Masâili al-I’tiqâd ‘inda Ahli as-Sunnah wal Jamâ’ah, ‘Utsmân bin ‘Ali Hasan, Maktabar ar-Rusyd, Cet II Thn.1413H.
- Al-Ghuluw fî ad-dîn ‘Ali bin ‘Abdul ‘Aziz asy-Syibl.
- Manhaj al-Istidlâli ‘ala Masâili al-I’tiqâd ‘inda Ahli as-Sunnah wal Jamâ’ah, ‘Utsmân bin ‘Ali Hasan, Maktabar ar-Rusyd, Cet II Thn.1413H.
- Al-Ghuluw fî ad-dîn ‘Ali bin ‘Abdul ‘Aziz asy-Syibl.
_________________________
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XVII/1434H/2013. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Tafsîru al-Qur`ânil ‘Azhîm 2/93. Lihat riwayat al-Bukhâri no.3650 dan Muslim no.2535.
[2]. Golongan-golongan yang menyimpang akan memanfaatkan dan mencatut dalil-dalil tersebut untuk mendukung kesesatan mereka dan dapat diterima oleh khalayak.
[3]. Tafsîru al-Qur`ânil ‘Azhîm 1/145.
[4]. Para pengikut Muhammad bin Karrâm as-Sijistâni yang menyatakan iman itu cukup dengan mengucapkan kalimat tauhid dengan lisan saja, dan orang itu keimanannya sudah sempurna dan di akhirat ia berada di Surga Na’im.
[5]. Penisbatan kepada nama Bayân bin Sam’ân yang didaulat menjadi nabi oleh para pengikutnya dengan menyelengkan Surat Ali Imrân/3:138.
Oleh
Ustadz Abu Minhal Lc
___________________[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XVII/1434H/2013. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Tafsîru al-Qur`ânil ‘Azhîm 2/93. Lihat riwayat al-Bukhâri no.3650 dan Muslim no.2535.
[2]. Golongan-golongan yang menyimpang akan memanfaatkan dan mencatut dalil-dalil tersebut untuk mendukung kesesatan mereka dan dapat diterima oleh khalayak.
[3]. Tafsîru al-Qur`ânil ‘Azhîm 1/145.
[4]. Para pengikut Muhammad bin Karrâm as-Sijistâni yang menyatakan iman itu cukup dengan mengucapkan kalimat tauhid dengan lisan saja, dan orang itu keimanannya sudah sempurna dan di akhirat ia berada di Surga Na’im.
[5]. Penisbatan kepada nama Bayân bin Sam’ân yang didaulat menjadi nabi oleh para pengikutnya dengan menyelengkan Surat Ali Imrân/3:138.