Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala
Rasulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in.
Perlu diketahui bahwa syubhat atau berbagai kerancuan dari Abu Salafy cs yang menyatakan kebenciannya pada dakwah Ahlus Sunnah
Salafiyah sebenarnya hanyalah warisan dari pemahaman aliran sesat Jahmiyah,
akar dari pemahaman mereka. Para ulama secara tegas mewanti-wanti pemikiran
sesat tersebut. Sampai-sampai Adz Dzahabi dalam kitabnya Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil
Ghoffar membawakan berbagai perkataan ulama masa silam yang jelas-jelas
menyatakan bahayanya pemikiran Jahmiyah. Itulah yang akan kami nukil dalam
posting kali ini dan posting selanjutnya. Adz Dzahabi menyebutkan perkataan
ulama besar tersebut untuk membantah perkataan Jahmiyah dan orang-orang yang
mengikutinya, di mana mereka tidak meyakini Allah di atas langit, dan tidak
meyakini Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya.
Juga mungkin masih banyak di antara kita yang ragu dengan
kurang jelas dalam memahami ayat-ayat yang menyatakan bahwa Allah itu bersama
dengan kita atau Allah itu dekat. Semuanya terjawab pula dalam penjelesan
ulama-ulama besar berikut ini. Hanya Allah yang beri taufik kepada Al Haq (kebenaran).
Al Auza’i Abu ‘Amr ‘Abdurrahman bin ‘Amr[1], Seorang Alim di Negeri Syam
di Masanya Berbicara Mengenai Keyakinannya
قال أبو عبد الله الحاكم أخبرني محمد
بن علي الجوهري ببغداد قال حدثنا إبراهيم بن الهيثم البلدي قال حدثنا محمد بن كثير
المصيصي قال سمعت الأوزاعي يقول كنا والتابعون متوافرون نقول إن الله عزوجل فوق
عرشه ونؤمن بما وردت به السنة من صفاته
Abu ‘Abdillah Al Hakim mengatakan, Muhammad bin Ali Al
Jauhari telah mengabarkan kepadaku di Bagdad. Ia mengatakan, Ibrahim bin Al
Haitsam Al Baladi telah menceritakan pada kami. Ia mengatakan, Muhammd
bin Katsir Al Missisiy telah menceritakan pada kami. Ia berkata, aku mendengar
Al Auza’i mengatakan, “Kami dan
pengikut kami mengatakan bahwa Allah ‘azza wa jalla berada di atas ‘Arsy-Nya.
Kami beriman terhadap sifat-Nya yang ditunjukkan oleh As Sunnah.”[2]
وروى أبو إسحاق الثعلبي المفسر قال سئل
الأوزاعي عن قوله تعالى ثم استوى على العرش قال هو على عرشه كما وصف نفسه
Diriwayatkan dari Abu Ishaq Ats Tsa’labi –seorang pakar
tafsir, ia berkata, “Al Auza’i pernah ditanya mengenai firman Allah Ta’ala,
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
‘’Kemudian Allah menetap tinggi
di atas ‘Arsy-Nya”. Al Auza’iy mengatakan, “Allah berada di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana yang Dia sifati bagi
Diri-Nya.”[3]
Muqothil bin Hayyan[4], Seorang Alim di Negeri
Khurosan dan Sezaman dengan Al Auza’i Meyakini Keberadaan Allah di Atas
روى عبد الله بن أحمد بن حنبل في كتاب
السنة له عن أبيه عن نوح بن ميمون عن بكير بن معروف عن مقاتل بن حيان في قوله
تعالى ما يكون من نجوى ثلاثة إلا هو رابعهم قال هو على عرشه وعلمه معهم
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad bin Hambal dalam kitab
As Sunnah-nya, dari ayahnya (Imam Ahmad), dari Nuh bin Maimun, dari Bukair bin
Ma’ruf, dari Muqotil bin Hayyan. Ketika Muqotil membicarakan ayat,
مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى
ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ
“Tiada pembicaraan rahasia
antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya” (QS. Al Mujadilah: 7),
beliau mengatakan, “Allah tetap
berada di atas ‘Arsy-Nya, sedangkan ilmu-Nya yang senantiasa bersama
makhluk-Nya.”[5]
وروى البيهقي بإسناده عن مقاتل بن حيان
قال بلغنا والله أعلم في قوله تعالى هو الأول والآخر هو الأول قبل كل شيء والآخر
بعد كل شيء والظاهر فوق كل شيء والباطن أقرب من كل شيء وإنما قربه بعلمه وهو فوق
عرشه مقاتل هذا ثقة إمام معاصر للأوزاعي ما هو بإبن سليمان ذاك مبتدع ليس بثقة
Diriwayatkan dari Al Baihaqi dengan sanad darinya, dari
Muqotil bin Hayyan. Ia berkata, “Allah-lah yang lebih memahami firman-Nya:
هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآَخِرُ
Huwal awwalu wal akhiru
… (Allah adalah Al Awwal dan Al Akhir …) (QS. Al Hadiid: 3). Makna Al Awwalu adalah sebelum segala sesuatu. Al Akhir adalah setelah
segala sesuatu. Azh Zhohir adalah
di atas segala sesuatu. Al
Bathin adalah lebih dekat dari segala sesuatu. Kedekatan
Allah adalah dengan ilmu-Nya. Sedangkan Allah sendiri berada di atas
‘Arsy-Nya.”
Adz Dzahabi mengatakan, “Muqotil adalah ulama yang tsiqoh
dan dia adalah imam besar yang semasa dengan Al Auza’i.”[6]
روى غير واحد عن معدان الذي يقول فيه
ابن المبارك هو أحد الأبدال قال سألت سفيان الثوري عن قوله عزوجل وهو معكم أينما
كنتم قال علمه
Diriwayatkan lebih dari satu orang dari Mi’dan, yang Ibnul
Mubarok juga mengatakan hal ini. Ia mengatakan bahwa ia bertanya pada Sufyan
Ats Tsauri mengenai firman Allah ‘azza wa jalla,
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا
كُنْتُمْ
“Dia (Allah) bersama kalian di
mana saja kalian berada.” (QS. Al Hadid:
4). Sufyan Ats Tsauri menyatakan bahwa yang dimaksudkan adalah ilmu Allah (yang berada bersama
kalian, bukan dzat Allah, pen).[8]
Seorang Alim Besar Negeri Khurosan, Abdullah
bin Al Mubarok Menyatakan Allah Berada di Atas Langit Ketujuh
صح عن علي بن الحسن بن شقيق قال قلت
لعبد الله بن المبارك كيف نعرف ربنا عزوجل قال في السماء السابعة على عرشه ولا
نقول كما تقول الجهمية إنه هاهنا في الأرض فقيل هذا لأحمد بن حنبل فقال هكذا
هو عندنا
Telah shahih dari ‘Ali bin Al Hasan bin Syaqiq, dia berkata,
“Aku berkata kepada Abdullah bin Al Mubarok, bagaimana kita mengenal Rabb kita
‘azza wa jalla. Ibnul Mubarok menjawab, “Rabb kita berada di atas langit ketujuh dan di atasnya adalah ‘Arsy.
Tidak boleh kita mengatakan sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang Jahmiyah
yang mengatakan bahwa Allah berada di sini yaitu di muka bumi.”
Kemudian ada yang menanyakan tentang pendapat Imam Ahmad bin Hambal mengenai
hal ini. Ibnul Mubarok menjawab, “Begitulah
Imam Ahmad sependapat dengan kami.”[9]
وروى عبد الله بن أحمد في الرد على
الجهمية بإسناده عن ابن المبارك أن رجلا قال له يا أبا عبد الرحمن قد خفت الله من
كثرة ما أدعو على الجهمية
قال لا تخف فإنهم
يزعمون أن إلهك الذي في السماء ليس بشيء
Diriwayatkan dari Abdullah bin Ahmad ketika membantah pendapat Jahmiyah dan beliau
membawakan sanadnya
dari Ibnul Mubarok. Ia ceritakan bahwa ada seseorang yang mengatakan pada Ibnul
Mubarok, “Wahai Abu ‘Abdirrahman (Ibnul Mubarok), sungguh pengenalan tentang
Allah menjadi samar karena pemikiran-pemikiran yang diklaim oleh Jahmiyah.”
Ibnul Mubarok lantas menjawab, “Tidak
usah khawatir. Mereka mengklaim bahwa Allah sebagai sesembahanmu yang
sebenarnya berada di atas langit sana, namun mereka katakan Allah tidak di atas
langit.”[10]
قال عباد بن العوام كلمت بشرا المريسي وأصحابه فرأيت
آخر كلامهم ينتهي إلى أن يقولوا ليس في السماء شيء أرى أن لا يناكحوا ولا
يوارثوا
‘Abbad bin Al ‘Awwam mengatakan, “Aku pernah berkata Basyr
Al Murosi dan pengikutnya, aku pun melihat bahwa mereka mengatakan, “Tidak atas langit tidak ada sesuatu pun.
Aku menilai bahwa orang semacam ini tidak boleh dinikahi dan diwarisi.”[12]
قال الحافظ أبو عبد الرحمن بن الإمام أحمد في
كتاب الرد على الجهمية حدثني عباس العنبري أخبرنا شاذ بن يحيى سمعت يزيد بن هارون
وقيل له من الجهمية قال من زعم أن الرحمن على العرش استوى على خلاف ما يقر في قلوب
العامة فهو جهمي
Al Hafizh Abu ‘Abdirrahman bin Al Imam Ahmad dalam kitab
bantahan terhadap Jahmiyah, ia mengatakan, ‘Abbas Al Ambari telah menceritakan
padaku, ia mengatakan, Syadz bin Yahya telah menceritakan pada kami bahwa ia
mendengar Yazid bin Harun ditanya tentang Jahmiyah. Yazid mengatakan, “Siapa yang mengklaim bahwa Allah Yang Maha
Pengasih menetap tinggi di atas ‘Arsy (Mungkin salah
tuliskah?-dass) namun menyelisih apa
yang diyakini oleh hati mayoritas manusia, maka ia adalah Jahmi.”[14]
قال عبد الرحمن بن أبي حاتم حدثنا أبي قال حدثت
عن سعيد ابن عامر الضبعي أنه ذكر الجهمية فقال هم شر قولا من اليهود والنصارى
قد إجتمع اليهود والنصارى وأهل الأديان مع المسلمين على أن الله عزوجل على العرش
وقالوا هم ليس على شيء
‘Abdurrahman bin Abi Hatim berkata, ayahku menceritakan
kepada kami, ia berkata aku diceritakan dari Sa’id bin ‘Amir Adh Dhuba’I bahwa
ia berbicara mengenai Jahmiyah. Beliau berkata, “Jahmiyah lebih jelek dari Yahudi dan Nashrani. Telah diketahui bahwa
Yahudi dan Nashrani serta agama lainnya bersama kaum muslimin bersepakat bahwa
Allah ‘azza wa jalla menetap tinggi di atas ‘Arsy. Sedangkan Jahmiyah, mereka
katakan bahwa Allah tidak di atas sesuatu pun.”[16]
ابن مهدي قال إن الجهمية أرادوا أن ينفوا أن يكون
الله كلم موسى وأن يكون على العرش أرى أن يستتابوا فإن تابوا وإلا ضربت أعناقهم
‘Abdurrahman bin
Mahdi mengatakan bahwa Jahmiyah menginginkan agar dinafikannya pembicaraan
Allah dengan Musa, dinafikannya keberadaan Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy.
Orang seperti ini mesti dimintai taubat. Jika tidak, maka lehernya pantas
dipenggal.[18]
محمد بن حماد قال سمعت وهب بن جرير يقول إياكم
ورأي جهم فإنهم يحاولون أنه ليس شيء في السماء وما هو إلا من وحي إبليس ما هو إلا
الكفر
Muhammad bin Hammad mengatakan bahwa ia mendengar Wahb bin
Jarir berkata, “Waspadalah dengan
pemikiran Jahmiyah. Sesungguhnya mereka memalingkan makna bahwa di atas langit
sesuatu pun (berarti Allah tidak di atas langit, pen). Sesungguhnya pemikiran
semacam ini hanyalah wahyu dari Iblis. Perkataan semacam tidak lain hanyalah
perkataan kekufuran.”[20]
قال بنان بن أحمد كنا عند القعنبي رحمه الله فسمع
رجلا من الجهمية يقول الرحمن على العرش استوى فقال القعنبي من لا يوقن أن الرحمن
على العرش استوى كما يقر في قلوب العامة فهو جهمي أخرجهما عبد العزيز القحيطي في
تصانيفه والمراد بالعامة عامة أهل العلم كما بيناه في ترجمة يزيد بن هارون إمام
أهل واسط ولقد كان القعنبي من أئمة الهدى حتى لقد تغالى فيه بعض الحفاظ وفضله على
مالك الإمام
Bunan bin Ahmad mengatakan, “Aku pernah berada di sisi Al
Qo’nabi, ia mendengar seorang yang berpahaman Jahmiyah menyebutkan firman
Allah,
الرَّحْمَنُ عَلَى
الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Ar Rahman (yaitu Allah) menetap
tinggi di atas ‘Arsy.”[22] Al Qo’nabi lantas mengatakan, “Siapa yang tidak meyakini Ar Rahman
(yaitu Allah) menetap tinggi di atas ‘Arsy sebagaimana diyakini oleh para
ulama, maka ia adalah Jahmi.”[23]
Al Humaidi[24] (Abdullah bin Az Zubair Al
Qurosyi Al Asadi Al Humaidi), Ulama Besar Makkah, Murid dari Sufyan bin
‘Uyainah, Guru dari Imam Al Bukhari
Al Humaidi mengatakan,
أصول السنة عندنا فذكر أشياء ثم قال وما نطق به
القرآن والحديث مثل وقالت اليهود يد الله مغلولة غلت أيديهم ومثل قوله والسموات
مطويات بيمينه وما أشبه هذا من القرآن والحديث لا نزيد فيه ولا نفسره ونقف على ما
وقف عليه القرآن والسنة ونقول الرحمن على العرش استوى ومن زعم غير هذا فهو مبطل
جهم
Aqidah yang paling pokok yang kami yakini (lalu beliau
menyebutkan beberapa hal): Ayat atau
hadits yang menyebutkan (misalnya tangan Allah, pen),
وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ
اللَّهِ مَغْلُولَةٌ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ
“Orang-orang Yahudi berkata: “Tangan
Allah terbelenggu”, sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu”[25]
Semisal pula firman Allah,
وَالسَّماوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ
بِيَمِينِهِ
“Dan langit digulung dengan
tangan kanan-Nya”[26], dan
juga ayat dan hadits yang semisal itu, kami tidak akan menambah dan kami tidak
akan menafsirkan (bagaimanakah hakekat sifat tersebut). Kami cukup berdiam diri
sebagaimana yang dituntunkan Al Quran dan Hadits Nabawi (yang tidak menyebutkan
hakekatnya). Kami pun meyakini,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ
اسْتَوَى
“Ar Rahman (yaitu Allah) menetap
tinggi di atas ‘Arsy.”[27] Barangsiapa yang tidak meyakini seperti
ini, maka dialah Jahmiyah yang penuh kebatilan.[28]
Kesimpulan dari pembahasan ini:
Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dari masa ke masa telah
menyepakati (berijma’) bahwa Allah
berada di atas ‘Arsy. Dan tidak ada satu pun dari mereka yang
menyatakan bahwa Allah tidak berada di atas ‘Arsy-Nya. Tidak mungkin seorang
pun yang bisa menukil dari para ulama yang ada yang menyatakan bahwa Allah
tidak di atas ‘Arsy-Nya baik secara nash (dalil tegas) atau secara zhahir
(dalil yang mengandung makna lebih kuat).
Pembuktian dari ulama-ulama Ahlus Sunnah dari masa ke masa
masih berlanjut pada posting selanjutnya insya Allah. Begitu pula berbagai
kerancuan yang dikemukakan oleh pengikut Jahmiyah tentang istiwa’ Allah, Allah
ada tanpa tempat, dan lainnya masih berlanjut dalam posting selanjutnya.
Semoga Allah memberi kemudahan.
_________________________________
Diselesaikan ketika waktu Dhuha di
Panggang-GK, 26 Rabi’ul Akhir 1431 H (10/04/2010),
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal (Abu
Rumaysho Al Ambony)
[2] Dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Kitab Al
Asma’ wa Ash Shifat. Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 136. Ibnu Taimiyah
sebagaimana dalam Al Aqidah Al Hamawiyah menyatakan bahwa sanadnya shahih,
sebagaimana pula hal ini diikuti oleh muridnya (Ibnul Qayyim) dalam Al Juyusy
Al Islamiyah.
[5] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 137.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini hasan. Perkataan ini dikatakan
dalam kitab As Sunnah (hal. 71), dikeluarkan oleh Abu Daud dalam Masa-ilnya
(hal. 263) dari Imam Ahmad. Juga diriwayatkan dari Al Lalika-i (2/92/1), Al
Baihaqi (hal. 430-431). Dari riwayatnya tersebut, juga dikatakan dari Adh
Dhohak. Riwayat ini juga adalah riwayat Al Ajuri (hal. 289). Lihat Mukhtashor
Al ‘Uluw, hal. 138.
[6] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 137.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa dalam sanad yang disebutkan oleh Al Baihaqi
(hal. 430-431) terdapat Ismail bin Qutaibah. Ibnu Abi Hatim tidak memberikan
penilaian positif (ta’dil) atau negatif (jarh) terhadapnya. Telah diriwayatkan
pula oleh Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad bin Musa Al Ka’bi, rowi dari atsar
ini darinya. Beliau merupakan guru dari Al Hakim. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw,
hal. 138.
[9] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 149.
Riwayat ini dishahihkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Al Hamawiyah dan Ibnul Qayyim
dalam Al Juyusy. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 152.
[10] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 150.
Syaikh Al Albani mengatakan dikeluarkan dalam As Sunnah (hal. 7) dari Ahmad bin
Nashr, dari Malik, telah mengabarkan kepadaku seseorang dari Ibnul Mubarok.
Seluruh periwayatnya tsiqoh (terpercaya) kecuali yang tidak disebutkan namanya.
Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 152.
[14] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 157.
Abdullah bin Ahmad mengeluarkan dalam As Sunnah (hal. 11-12) dari jalannya.
Namun Adz Dzahabi menyebutkan dari selain kitab itu yaitu dalam kitab Ar Rodd
‘alal Jahmiyah (bantahan terhadap Jahmiyah), Abdullah berkata, Abbas bin Al
‘Azhim Al Ambari telah mengabarkan pada kamim Syadz bin Yahya telah
menceritakan pada kami. Juga riwayat ini dikeluarkan oleh Abu Daud dalam Masail
(hal. 268), ia berkata, Ahmad bin Sinan telah menceritakan pada kami, ia
berkata: Aku mendengar Syadz bin Yahya. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 168.
[18] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal.
159. Dikeluarkan pula oleh Abdullah (hal. 10-11) dari jalannya, disebutkan
secara ringkas. Ibnul Qayyim menshahihkan riwayat ini dalam Al Juyusy. Lihat
Mukhtashor Al ‘Uluw hal. 170.
[20] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal.
159. Atsar ini dishahihkan oleh Ibnul Qayyim dalam Al Juyusy. Lihat Mukhtashor
Al ‘Uluw, hal. 170.
[23] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal.
166. Bunan bin Ahmad tidak mengapa, sejarah hidupnya disebutkan di Tarikh
Bagdad. Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 178.
[28] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal.
168. Ibnu Taimiyah telah menshahihkan atsar ini dari Al Humaidi dalam Kitabnya
“Mufashol Al I’tiqod”. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw hal. 180.