Segala puji bagi Allah, Yang Menetap Tinggi Di
Atas ‘Arsy-Nya. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan
sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir
zaman.
Dalam kesempatan kali ini, kami masih melanjutkan perkataan
ulama masa silam mengenai di manakah Allah. Pembahasan ini memang cukup
panjang. Namun ini semua kami torehkan dalam beberapa tulisan agar semakin memperjelas manakah aqidah yang mesti
diyakini oleh seorang muslim dengan benar. Dari perkataan ulama
masa silam yang akan kami sebutkan, para pembaca Rumaysho.com dapat menilai di
manakah letak kekeliruan abu salafy cs yang
menyatakan bahwa Allah tidak di langit. Yang jelas aqidah yang beliau
usung adalah aqidah orang-orang sesat di masa silam yaitu dari kalangan Jahmiyah, lalu beliau hidupkan kembali.
Semoga tulisan kali ini pun dapat membongkar kedok Jahmiyah dan orang-orang
yang mengikuti pemahaman menyimpang tersebut. Ya Allah, berilah kemudahan dan
tolonglah kami.
Kita dapat saksikan dari perkataan beliau ini, bahwa orang
yang masih ragu Allah di atas langit, ia dimintai taubatnya. Coba perhatikan
secara seksama riwayat berikut ini.
قال ابن أبي حاتم حدثنا علي بن الحسن بن يزيد
السلمي سمعت أبي يقول سمعت هشام بن عبيد الله الرازي وحبس رجلا في التجهم فجيء به
إليه ليمتحنه فقال له أتشهد أن الله على عرشه بائن من خلقه فقال لا أدري ما بائن
من خلقه فقال ردوه فإنه لم يتب بعد
Ibnu Abi Hatim mengatakan, ‘Ali bin Al Hasan bin Yazid As
Sulami telah menceritakan kepada kami, ia berkata, ayahku berkata, “Aku pernah
mendengar Hisyam bin ‘Ubaidillah Ar Rozi –ketika itu beliau menahan seseorang
yang berpemikiran Jahmiyah, orang itu didatangkan pada beliau, lantas beliau
pun mengujinya-. Hisyam bertanya padanya, “Apakah engkau bersaksi bahwa Allah berada di atas ‘Arsy-Nya,
terpisah dari makhluk-Nya.” Orang itu pun menjawab, “Aku tidak mengetahui apa itu terpisah dari
makhluk-Nya.” Hisyam kemudian berkata, “Kembalikanlah ia karena ia masih belum bertaubat.”[2]
Pelajaran dari perkataan Hisyam
ini:
1.
Keyakinan Allah di atas langit wajib diyakini
oleh setiap muslim.
2.
Orang yang tidak meyakini hal ini setelah datang
penjelasan yang begitu gamblang, maka ia harus dimintai taubatnya.
3.
Perlu dipahami bahwa jika kita katakan Allah di
atas langit, bukan berarti Allah di dalam langit atau menempel dengan ‘Arsy
sehingga dapat dipahami bahwa Allah berada
di dalam makhluk. Ini justru pemahaman yang keliru. Yang mesti dipahami
bahwa Allah itu terpisah dari
makhluk-Nya sehingga Allah berada di
atas semua makhluk-Nya dan bukan
berada di dalam langit. Inilah yang diisyaratkan dalam perkataan Hisyam
di atas.
قال محمد بن مخلد العطار حدثنا
الرمادي قال سألت نعيم ابن حماد عن قول الله تعالى هو معكم قال معناه أنه لا يخفى
عليه خافية بعلمه ألا ترى قوله ما يكون من نجوى ثلاثة إلا هو رابعهم الآية
Muhammad bin Mukhlid Al ‘Aththor,
ia mengatakan, Ar Romadi menceritakan kepada kami, ia berkata, “Aku berkata
pada Nu’aim bin Hammad mengenai firman Allah Ta’ala,
هُوَ مَعَكُمْ
“Allah bersama kalian.”
(QS. Al Hadiid: 4). Nu’aim bin Hammad mengatakan bahwa maksud ayat tersebut
adalah, “Tidak ada sesuatu
pun dari ilmu Allah yang samar dari-Nya. Tidakkah kalian memperhatikan firman
Allah,
مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ
“Tiada pembicaraan rahasia
antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya.” (QS. Al
Mujadilah: 7)[4]
Pelajaran penting dari
perkataan Nu’aim bin Hammad:
Makna Allah itu bersama kalian adalah dengan ilmu-Nya dan
bukan dengan Dzat Allah. Sehingga ayat semacam ini bukan menunjukkan
Allah berada di mana-mana.
Disebutkan oleh Adz Dzahabi,
له عقيدة رواها ابن بطة في كتاب
الإبانة وغيره فمما فيها والإيمان بأن الله على عرشه استوى كما شاء وأنه عالم بكل
مكان
Basyr Al Haafi memiliki pemahaman aqidah yang disebutkan oleh Ibnu Battoh dalam
Al Ibanah dan selainnya, di antara perkataan beliau adalah: “Beriman bahwa Allah menetap tinggi
(beristiwa’) di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana yang Allah kehendaki. Namun meski
begitu, ilmu Allah di setiap tempat.”[6]
Pelajaran penting dari Basyr Al
Haafi adalah:
Allah itu menetap tinggi di atas ‘Arsy. Meskipun
jauh, Allah tetap mengetahui setiap tempat di muka bumi karena ilmu-Nya yang
Maha Luas.
قال إبراهيم الحربي فيما صح عنه قال
أحمد بن نصر وسئل عن علم الله فقال علم الله معنا وهو على عرشه
Ibrahim Al Harbi berkata mengenai
perkataan shahih darinya, yaitu Ahmad bin Nashr berkata ketika ditanya mengenai
ilmu Allah, “Ilmu Allah
selalu bersama kita, sedangkan Dzat-Nya tetep menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya.” [8]
Pelajaran penting dari Ahmad bin
Nashr adalah:
Allah tetap menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya bukan di
mana-mana, sedangkan yang bersama kita adalah ilmu Allah.
قال أبو أحمد الحاكم وأبو بكر النقاش المفسر واللفظ له حدثنا أبو
العباس السراج قال سمعت قتيبة بن سعيد يقول هذا قول الأئمة في الإسلام والسنة
والجماعة نعرف ربنا في السماء السابعة على عرشه كما قال جل جلاله الرحمن على العرش
استوى وكذا نقل موسى بن هارون عن قتيبة أنه قال نعرف ربنا في السماء السابعة على
عرشه
Abu Ahmad Al Hakim dan Abu Bakr An
Naqosy Al Mufassir (dan ini lafazh dari Abu Bakr), ia berkata, Abul ‘Abbas As
Siroj telah menceritakan pada kami, ia berkata, aku mendengar Qutaibah bin
Sa’id berkata, “Ini adalah
perkataan para ulama besar Islam, Ahlus Sunnah wal Jama’ah: Kami meyakini bahwa
Rabb kami berada di atas langit ketujuh di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana Allah
Ta’ala berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
وكذا نقل موسى بن هارون عن قتيبة أنه
قال نعرف ربنا في السماء السابعة على عرشه
Begitu pula dinukil dari Musa bin
Harun dari Qutaibah, ia berkata, “Kami
meyakini bahwa Rabb kami berada di atas langit ketujuh, di atas ‘Arsy-Nya.”
Adz Dzahabi setelah membawakan
perkataan Qutaibah, beliau mengatakan, “Inilah Qutaibah sudah dikenal kebesarannya dalam ilmu dan
kejujurannya, beliau menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) mengenai
keyakinan Allah di atas langit”. [11]
Pelajaran dari Qutaibah bin
Sa’id:
Adanya penukilan ijma’
(kesepakatan ulama) mengenai keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah bahwa Allah
berada di ketinggian di atas ‘Arsy-Nya. Setelah ini kita juga akan menemukan
nukilan ijma’ dari Ishaq bin Rohuwyah.
نقل ابن أبي حاتم في تأليفه عن يحيى
بن زكرياء عن عيسى عن أبي شعيب صالح الهروي عن أبي معمر إسماعيل بن إبراهيم أنه
قال آخر كلام الجهمية أنه ليس في السماء إله
Dinukil dari Ibnu Abi Hatim dalam
karyanya, dari Yahya bin Zakariya, dari ‘Isa, dari Abu Syu’aib Sholih Al
Harowiy, dari Abu Ma’mar Isma’il bin Ibrohim, beliau berkata, “Akhir dari perkataan Jahmiyah: Di atas
langit (atau di ketinggian) tidak ada Allah yang disembah.”[13]
Pelajaran dari Abu Ma’mar Al
Qutai’iy:
Keyakinan di atas langit tidak
ada siapa-siapa itulah keyakinan sesat dari Jahmiyah, yang lalu diusung kembali oleh orang belakangan semacam
Abu Salafy cs.
قال شيخ الإسلام أبو إسماعيل الهروي
أنبأنا محمد بن محمد بن عبد الله حدثنا أحمد بن عبد الله سمعت محمد بن إبراهيم بن
نافع حدثنا الحسن بن محمد بن الحارث قال سئل علي بن المديني وأنا أسمع ما قول أهل
الجماعة قال يؤمنون بالرؤية وبالكلام وأن الله عزوجل فوق السموات على عرشه استوى
Syaikhul Islam Abu Isma’il Al
Harowi mengatakan, Muhammad bin Muhammad bin ‘Abdillah menceritakan kepada
kami, Ahmad bin Abdillah menceritakan kepada kami, aku mendengar Muhammad bin
Ibrahim bin Naafi’ mengatakan, Al Hasan bin Muhammad bin Al Harits menceritakan
kepada kami, ia berkata, ‘Ali bin Al Madini ditanya dan aku pun mendengarnya, “Apa perkataan dari Ahlul Jama’ah (Ahlus
Sunnah)?” ‘Ali
bin Al Madini mengatakan, “Mereka
(Ahlus Sunnah) beriman pada ru’yah (Allah akan dilihat), mereka beriman bahwa
Allah berbicara dan Allah berada di atas langit, menetap tinggi (beristiwa’) di
atas ‘Arsy-Nya.”
فسئل عن قوله تعالى ما يكون من نجوى
ثلاثة إلا هو رابعهم فقال اقرأ ما قبله ألم تر أن الله يعلم قد أكثر البخاري في
صحيحه عن علي بن المديني وقال ما استصغرت إلا بين يدي ابن المديني مات في ذي
القعدة سنة أربع وثلاثين ومائتين
Ali bin Al Madini juga ditanya
mengenai firman Allah Ta’ala,
مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى
ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ
“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan
Dia-lah keempatnya.” (QS. Al Mujadilah: 7).
Beliau pun menjawab, “Cobalah
baca awal ayatnya,
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ
Pelajaran dari Ali bin Al
Madini:
Lihatlah pelajaran yang sangat berharga dari ulama Robbani.
Sebagian orang mengira maksud surat Al Mujadilah ayat 7 adalah Allah di
mana-mana. Namun lihat bagaimanakah sanggahan dari Ali bin Al Madini? Cobalah
baca awal ayat, itulah yang dimaksud. Jadi yang dimaksud adalah ilmu Allah yang
di mana-mana dan bukan Dzat Allah.
قال حرب بن إسماعيل الكرماني قلت
لإسحاق بن راهويه قوله تعالى ما يكون من نجوى ثلاثة إلا هو رابعهم كيف تقول فيه
قال حيث ما كنت فهو أقرب إليك من حبل الوريد وهو بائن من خلقه
ثم ذكر عن ابن المبارك قوله هو على
عرشه بائن من خلقه
ثم قال أعلى شيء في ذلك وأبينه قوله تعالى
الرحمن على العرش استوى رواها الخلال في السنة عن حرب
Harb bin Isma’il Al Karmani, ia
berkata bahwa ia berkata pada Ishaq bin Rohuwyah mengenai firman Allah,
مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى
ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ
“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan
Dia-lah keempatnya.” (QS. Al Mujadilah: 7). Bagaimanakah pendapatmu mengenai ayat
tersebut?”
Ishaq bin Rohuwyah menjawab, “Dia itu lebih dekat (dengan ilmu-Nya) dari
urat lehermu. Namun Dzat-Nya terpisah dari makhluk. Kemudian beliau menyebutkan
perkataan Ibnul Mubarok, “Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari
makhluk-Nya.”
Lalu Ishaq bin Rohuwyah
mengatakan, “Ayat yang paling
gamblang dan paling jelas menjelaskan hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Al Khollal meriwayatkannya dalam
As Sunnah dari Harb.[18]
قال أبو بكر الخلال أنبأنا المروذي
حدثنا محمد بن الصباح النيسابوري حدثنا أبو داود الخفاف سليمان بن داود قال قال
إسحاق بن راهويه قال الله تعالى الرحمن على العرش استوى إجماع أهل العلم أنه فوق
العرش استوى ويعلم كل شيء في أسفل الأرض السابعة اسمع ويحك إلى هذا الإمام كيف نقل
الإجماع على هذه المسألة كما نقله في زمانه قتيبة المذكور
“Abu Bakr Al Khollal mengatakan,
telah mengabarkan kepada kami Al Maruzi. Beliau katakan, telah mengabarkan pada
kami Muhammad bin Shobah An Naisaburi. Beliau katakan, telah mengabarkan pada
kami Abu Daud Al Khonaf Sulaiman bin Daud. Beliau katakana, Ishaq bin Rohuwyah
berkata, “Allah Ta’ala
berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ
اسْتَوَى
“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”[19]. Para
ulama sepakat (berijma’) bahwa Allah berada di atas ‘Arsy dan beristiwa’
(menetap tinggi) di atas-Nya. Namun Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang
terjadi di bawah-Nya, sampai di bawah lapis bumi yang ketujuh.[20]
Adz Dzahabi rahimahullah ketika
membawakan perkataan Ishaq di atas, beliau rahimahullah mengatakan,
اسمع ويحك إلى هذا الإمام كيف نقل الإجماع على هذه المسألة كما نقله في زمانه قتيبة المذكور
“Dengarkanlah perkataan Imam yang
satu ini. Lihatlah bagaimana beliau menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama)
mengenai masalah ini. Sebagaimana pula ijma’ ini dinukil oleh Qutaibah di
masanya.”[21]
Pelajaran berharga dari Ishaq
bin Rohuwyah:
1.
Kalau kita katakan Allah di atas langit atau di
atas ‘Arsy-Nya, bukan berarti Allah di dalam langit atau menempel pada
‘Arsy. Lihatlah penjelasan gamblang dari Ishaq bin Rohuwyah bahwa Allah itu
terpisah dari makhluk-Nya, sehingga menunjukkan bahwa Allah bukan berada
di dalam langit.
2.
Ini menunjukkan bahwa pengertian langit tidak
selamanya dengan bentuk langit yang ada di benak kita karena langit sekali
lagi bisa bermakna ketinggian. Jadi jika kita katakan Allah fis samaa’,
itu juga bisa berarti Allah di ketinggian. Karena ini juga menunjukkan
bahwa Allah tidak bersatu dengan makhluk. Mohon bisa dipahami.
3.
Pengertian Allah itu bersama hamba tidak
melazimkan bahwa Allah berada di mana-mana. Allah tetap menetap tinggi
di atas ‘Arsy-Nya, di atas seluruh makhluk-Nya, sedangakan yang berada di
mana-mana adalah ilmu Allah. Dan sekali lagi, bukan Dzat Allah.
4.
Sudah ada dua nukilan ijma’ (kesepakatan ulama)
yang menyatakan bahwa Allah berada di atas langit, di atas seluruh
makhluk-Nya. Sebelumnya pula kami sudah sebutkan adanya ijma’ yang diklaim
oleh Qutaibah dan sekarang oleh Ishaq bin Rohuwyah. Lalu masihkah keyakinan
ijma’ ini disangsikan?
Pembahasan
ini kami cukupkan dulu untuk sementara waktu. Masih banyak perkataan ulama yang
kami nukil lagi dalam posting selanjutnya, terutama dari ulama pakar hadits
semacam Bukhari, Abu Zur’ah dan lainnya. Semoga Allah mudahkan.
Semoga pelajaran-pelajaran berharga yang kami sajikan dalam
tulisan kali ini bisa sebagai sepercik hidayah bagi yang ingin meraihnya. Hanya
Allah yang beri taufik.
___________________________________
Diselesaikan di waktu Maghrib, Jum’at – 9 Jumadil Awwal 1431 H
(23/04/2010), Panggang-GK
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
[2] Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 169. Riwayat
ini juga dikeluarkan oleh Al Haruwi dalam “Dzammul Kalam” (1/120). Lihat
Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 181.
[4] Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 171-172. Sanad
riwayat ini shahih. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 184.