Segala
puji bagi Allah, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan
sahabatnya.
Syubhat zaman kuno masih saja dimunculkan oleh orang yang
hidup di abad ke-21. Demikianlah syubhat yang muncul saat ini apalagi
digembar-gemborkan di dunia maya yang sedikit sekali yang mengcounternya.
Sebagian syubhatnya adalah kalau kita menetapkan Allah di atas langit, maka
mereka menyanggah, “Kalau gitu Allah punya tempat dong!” Gitu ujar mereka.
Kalau saudara lihat tulisan berikut ini akan jelaskan
syubhat kuno yang dimunculkan oleh mereka. Syubhat ini sudah disinggung oleh
ulama masa silam seperti Al Karmani. Semoga tulisan ini semakin menarik untuk
dikaji.
قال الحاكم في ترجمته حدثنا يحيى العنبري حدثنا أحمد بن سلمة حدثنا
محمد بن أسلم قال قال لي عبد الله بن طاهر بلغني أنك لا ترفع رأسك إلى السماء فقلت
ولم وهل أرجو الخير إلا ممن هو في السماء
Al Hakim dalam biografinya mengatakan, Yahya Al ‘Anbari
menceritakan pada kami, Ahmad bin Salamah menceritakan kepada kami, Muhammad
bin Aslam menceritakan kepada kami, beliau berkata, “’Abdullah bin Thohir
berkata padaku, “Telah sampai padaku
berita bahwa engkau enggan mengangkat kepalamu ke arah langit.”
Muhammad bin Aslam menjawab, “Tidak
demikian. Bukankah aku selalu mengharap kebaikan dari Rabb yang berada di atas
langit?”[2]
حدث عبد الوهاب بن عبد الحكيم الوراق بقول ابن عباس ما بين السماء
السابعة إلى كرسيه سبعة آلاف نور وهو فوق ذلك ثم قال عبد الوهاب من زعم أن
الله ههنا فهو جهمي خبيث إن الله عزوجل فوق العرش وعلمه محيط بالدنيا والآخرة
‘Abdul Wahhab bin ‘Abdil Hakim Al Warroq menceritakan
perkataan Ibnu ‘Abbas, “Di antara
langit yang tujuh dan kursi-Nya terdapat 7000 cahaya. Sedangkan Allah berada di
atas itu semua.” Kemudian ‘Abdul Wahhab berkata, “Barangsiapa yang mengklaim bahwa Allah itu
di sini (di muka bumi ini), maka Dialah Jahmiyah yang begitu jelek. Allah ‘azza
wa jalla berada di atas ‘Arsy, sedangkan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu
di dunia dan akhirat.”
Adz Dzahabi menceritakan, bahwa pernah ditanya pada Imam
Ahmad bin Hambal, “Alim mana lagi yang
jadi tempat bertanya setelah engkau?” Lantas Imam Ahmad menjawab, “Bertanyalah pada ‘Abdul Wahhab bin Al
Warroq”. Beliau pun banyak memujinya. [4]
Pelajaran penting:
Dari perkataan ‘Abdul Wahab Al Warroq ini dapat kita melihat
bahwa Allah bukan berada di muka bumi ini, namun Allah berada di atas ‘Arsy.
Barangsiapa yang meyakini Allahh di muka bumi ini, dialah pengadopsi paham
Jahmiyah yang sesat.
قال عبد الرحمن بن محمد الحنظلي الحافظ أخبرني حرب بن إسماعيل
الكرماني فيما كتب إلي أن الجهمية أعداء الله وهم الذين يزعمون أن القرآن مخلوق
وأن الله لم يكلم موسى ولا يرى في الآخرة ولا يعرف لله مكان وليس على عرش ولا كرسي
وهم كفار فأحذرهم
‘Abdurrahman bin Muhammad Al Hanzholi Al Hafizh berkata,
Harb bin Isma’il Al Karmani menceritakan padaku terhadap apa yang ia tulis
padaku, “Sesungguhnya Jahmiyah
benar-benar musuh Allah. Mereka mengklaim bahwa Al Qur’an itu makhluk. Allah
tidak berbicara dengan Musa dan juga tidak dilihat di akhirat. Mereka sungguh
tidak tahu tempat Allah di mana, bukan di atas ‘Arsy, bukan pula di atas
kursi-Nya. Mereka sungguh orang kafir. Waspadalah terhadap pemikiran sesat
mereka.”
Adz Dzahabi mengatakan bahwa Harb Al Karmani adalah seorang
ulama besar di daerah Karman di zamannya. Ia mengambil ilmu dari Ahmad dan
Ishaq.[6]
Pelajaran penting:
Penisbatan tempat bagi Allah tidaklah ada petunjuknya dari
Allah dan Rasul-Nya, tidak pula ditunjukkan oleh perkataan sahabat dan
selainnya. Yang sepantasnya adalah kita tidak menyatakan Allah memiliki tempat
agar tidak membuat orang salah sangka. Namun yang dimaksud dari perkataan di
atas adalah penjelasan Al Karmani selanjutnya, “Mereka sungguh tidak tahu tempat Allah di mana, bukan di atas
‘Arsy, bukan pula di atas kursi-Nya”.[7]
قال عثمان الدارمي في كتاب النقض على بشر المريسي وهو مجلد سمعناه من
أبي حفص بن القواس فقال قد إتفقت الكلمة من المسلمين أن الله فوق عرشه فوق سمواته
وقال أيضا إن الله تعالى فوق عرشه يعلم ويسمع من فوق العرش لا تخفى عليه خافية من
خلقه ولا يحجبهم عنه شيء
‘Utsman Ad Darimi berkata dalam kitabnya “An Naqdu ‘ala
basyr Al Marisi” dan kitab tersebut sudah berjilid, kami mendengarnya dari Abu
Hafsh bin Al Qowus, ia berkata, “Para
ulama kaum muslimin telah sepakat bahwa Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, di atas
langit. ” Beliau pun berkata, “Allah berada di atas ‘Arsy-Nya. Namun Allah Maha Mengetahui dan Maha
Mendengar (segala sesuatu) dari atas ‘Arsy-Nya, tidak ada satu pun makhluk yang
samar bagi Allah, dan tidak ada sesuatu pun yang terhalangi dari-Nya.”[9]
Pelajaran penting:
Dari perkataan ‘Utsman Ad Darimi di sini kita dapatkan lagi
satu klaim ulama yang menyatakan bahwa Allah di atas ‘Arsy-Nya adalah ijma’
(kesepakatan) para ulama. Sebagaimana klaim ijma’ ini telah kita temukan pada
perkataan Ishaq bin Rohuwyah, Qutaibah, dan Abu Zur’ah Ar Rozi. Lantas
masihkah ijma’ ini dibatalkan hanya dengan logika yang dangkal?! Renungkanlah!
Adz Dzahabi mengatakan,
وممن لا يتأول ويؤمن بالصفات
وبالعلو في ذلك الوقت الحافظ أبو محمد عبد الله بن عبد الرحمن السمرقندي الدارمي
وكتابه ينبيء بذلك
“Di antara ulama
yang tidak mentakwil (memalingkan makna) dan benar-benar beriman dengan sifat
Allah al ‘Uluw (yaitu Allah berada di ketinggian) saat ini adalah Al Hafizh Abu
Muhammad ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman As Samarqindi Ad Darimi. Dalam kitab beliau
menjelaskan hal ini.”[11]
Pelajaran penting:
Di antara buktinya adalah Ad Darimi membawakan dalam
akhir-akhir kitabnya, “Bab memandang Allah Ta’ala” dan Bab “Kejadian di hari
kiamat dan turunnya Rabb”. Ini jelas menunjukkan bahwa beliau meyakini Allah
berada di ketinggian dan bukan berada di muka bumi ini sebagaimana klaim
orang-orang yang sesat.
قال الإمام العلم أبو محمد عبد الله بن مسلم بن قتيبة الدينوري صاحب
التصانيف الشهيرة في كتابه في مختلف الحديث نحن نقول… وكيف يسوغ لأحد
أن يقول إن الله سبحانه بكل مكان على الحلول فيه مع قوله الرحمن على العرش استوى
ومع قوله إليه يصعد الكلم الطيب كيف يصعد إليه شيء هو معه وكيف تعرج الملائكة
والروح إليه وهي معه
Al Imam Al ‘Alam Abu Muhammad ‘Abdullah bin Muslim bin
Qutaibah Ad Dainuri –penulis kitab yang terkenal yaitu Mukhtalaf Al Hadits-
berkata, kami mengatakan, “Bagaimana
dibolehkan seseorang mengatakan bahwa Allah ada di setiap tempat (di mana-mana)
sampai-sampai bersatu dengan makhluk, padahala
Allah Ta’ala berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ
اسْتَوَى
“(Yaitu) Rabb Yang Maha Pemurah
yang menetap tinggi di atas ‘Arsy .” (QS. Thoha : 5). Dan Allah Ta’ala juga
berfirman,
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ
الطَّيِّبُ
“Naik kepada Allah kalimat yang
thoyib” (QS. Fathir: 10). Bagaimana mungkin dikatakan bahwa sesuatu naik
kepada Allah sedangkan Allah dikatakan di mana-mana?! Bagaimana mungkin pula
dikatakan bahwa Malaikat dan Ar Ruh (Jibril) naik kepada-Nya lalu dikatakan
bahwa Allah bersama makhluk-Nya (di muka bumi)?!
Ibnu Qutaibah kembali mengatakan,
قال ولو أن هؤلاء رجعوا إلى فطرتهم وما ركبت عليه ذواتهم من معرفة
الخالق لعلموا أن الله عزوجل هو العلي وهو الأعلى وأن الأيدي ترفع بالدعاء إليه
والأمم كلها عجميها وعربيها تقول إن الله في السماء ما تركت على فطرها
“Seandainya
orang-orang (yang meyakini Allah ada di mana-mana) kembali pada fitroh mereka
dalam mengenal Sang Kholiq, sudah barang tentu mereka akan mengetahui bahwa
Allah Maha Tinggi, berada di ketinggian. Buktinya adalah ketika berdo’a tangan
diangkat ke atas. Bahkan seluruh umar baik non Arab maupun Arab meyakini bahwa
Allah di atas langit, inilah fitroh mereka yang masih bersih.”
Beliau selanjutnya mengatakan,
قال وفي الإنجيل أن المسيح عليه السلام قال للحواريين إن أنتم غفرتم
للناس فإن أباكم الذي في السماء يغفر لكم ظلمكم أنظروا إلى الطير فإنهن لا يزرعن
ولا يحصدن وأبوكم الذي في السماء هو يرزقهن ومثل هذا في الشواهد كثير قلت قوله
أبوكم كانت هذه الكلمة مستعملة في عبارة عيسى والحواريين وفي المائدة وقالت اليهود
والنصارى نحن أبناء الله وأحباؤه
“Disebutkan dalam
Injil bahwa Al Masih (‘Isa bin Maryam) ‘alaihis salam berkata kepada
(murid-muridnya yang setia) Al Hawariyyun, “Jika kalian memaafkan orang lain,
sungguh Rabb kalian yang berada di atas langit akan mengampuni kezholiman
kalian. Lihatlah pada burung-burung, mereka tidak menanam makanan, Rabb
mereka-lah yang berada di langit yang memberi rizki pada mereka.”[13]
Pelajaran penting:
1.
Ibnu Qutaibah ingin menyanggah pendapat yang
menganggap bertentangan antara ayat-ayat yang menyatakan Allah di ketinggian,
di atas ‘Arsy-Nya dengan ayat-ayat yang menyatakan Allah bersama makhluk-Nya.
Kedua ayat ini jelas tidak bertentangan. Allah tetap menetap tinggi di atas
‘Arsy, sedangkan ilmu Allah yang di mana-mana dan bukan Dzat-Nya.
2.
Keberadaan Allah di atas seluruh makhluk-Nya
adalah sudah menjadi fitroh manusia. Orang yang berkeyakinan berbeda dari hal
ini, itulah yang sungguh aneh, karena ia sendiri yang keluar dari fitrohnya.
3.
Umat sebelum Islam –semacam di masa Nabi Isa-
sudah mengakui bahwa Allah berada di atas langit.
Ketika Abu ‘Isa At Tirmidzi menyebutkan hadits Abu Hurairah,
إِنَّ اللَّهَ يَقْبَلُ الصَّدَقَةَ وَيَأْخُذُهَا بِيَمِينِهِ
فَيُرَبِّيهَا
Abu ‘Isa At Tirmidzi kemudian berkata,
وَقَدْ قَالَ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ فِى هَذَا
الْحَدِيثِ وَمَا يُشْبِهُ هَذَا مِنَ الرِّوَايَاتِ مِنَ الصِّفَاتِ وَنُزُولِ
الرَّبِّ تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا
قَالُوا قَدْ تَثْبُتُ الرِّوَايَاتُ فِى هَذَا وَيُؤْمَنُ بِهَا وَلاَ
يُتَوَهَّمُ وَلاَ يُقَالُ كَيْفَ هَكَذَا رُوِىَ عَنْ مَالِكٍ وَسُفْيَانَ بْنِ
عُيَيْنَةَ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُبَارَكِ أَنَّهُمْ قَالُوا فِى هَذِهِ
الأَحَادِيثِ أَمِرُّوهَا بِلاَ كَيْفٍ. وَهَكَذَا قَوْلُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ
أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ.
Tidak sedikit dari ulama yang mengatakan
tentang hadits ini dan yang semisalnya yang membicarakan tentang sifat turunnya
Rabb tabaroka wa ta’ala setiap malam ke langit dunia. Mereka katakan bahwa
riwayat-riwayat semacam ini adalah shahih, mereka mengimaninya, tidak salah
paham, dan mereka tidak menanyakan bagaimanakah hakekat dari sifat tersebut.
Demikianlah yang diriwayatkan dari Malik, Sufyan bin ‘Uyainah, ‘Abdullah bin Al
Mubarok, mereka katakan bahwa kami mengimaninya tanpa menanyakan bagaimanakah
hakekat sifat tersebut. Demikianlah yang dikatakan oleh para ulama Ahlus Sunnah
wal Jama’ah.
وَأَمَّا الْجَهْمِيَّةُ فَأَنْكَرَتْ هَذِهِ الرِّوَايَاتِ
وَقَالُوا هَذَا تَشْبِيهٌ. وَقَدْ ذَكَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِى غَيْرِ
مَوْضِعٍ مِنْ كِتَابِهِ الْيَدَ وَالسَّمْعَ وَالْبَصَرَ فَتَأَوَّلَتِ
الْجَهْمِيَّةُ هَذِهِ الآيَاتِ فَفَسَّرُوهَا عَلَى غَيْرِ مَا فَسَّرَ أَهْلُ
الْعِلْمِ وَقَالُوا إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَخْلُقْ آدَمَ بِيَدِهِ. وَقَالُوا إِنَّ
مَعْنَى الْيَدِ هَا هُنَا الْقُوَّةُ. وَقَالَ إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ
إِنَّمَا يَكُونُ التَّشْبِيهُ إِذَا قَالَ يَدٌ كَيَدٍ أَوْ مِثْلُ يَدٍ أَوْ سَمْعٌ
كَسَمْعٍ أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ. فَإِذَا قَالَ سَمْعٌ كَسَمْعٍ أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ
فَهَذَا التَّشْبِيهُ وَأَمَّا إِذَا قَالَ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى يَدٌ
وَسَمْعٌ وَبَصَرٌ وَلاَ يَقُولُ كَيْفَ وَلاَ يَقُولُ مِثْلُ سَمْعٍ وَلاَ
كَسَمْعٍ فَهَذَا لاَ يَكُونُ تَشْبِيهًا وَهُوَ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِى
كِتَابِهِ (لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ ).
Adapun Jahmiyah, mereka mengingkari riwayat
semacam ini dan mengatakan orang yang menetapkannya sebagai musyabbihah (yang
menyerupakan Allah dengan makhluk). Ketika Allah Ta’ala menyebutkan di tempat
yang lain dalam Al Qur’an, misalnya menyebut tangan, pendengaran dan
penglihatan, Jahmiyah pun mentakwil (menyelewengkan) maknanya dan mereka
menafsirkannya tanpa mau mengikuti penjelasan para ulama tentang ayat-ayat
tersebut. Jahmiyah malah mengatakan bahwa Allah tidaklah menciptakan Adam
dengan tangan-Nya. Jahmiyah katakan bahwa makna tangan adalah quwwah
(kekuatan). Ishaq bin Ibrahim mengatakan bahwa yang dimaksud tasybih
(menyerupakan Allah dengan makhluk) adalah seperti perkataan tangan Allah
seperti atau semisal tangan ini, pendengaran Allah seperti atau semisal
pendengaran ini, Jika dikatakan demikian, barulah disebut tasybih. Namun jika
seseorang mengatakan sebagaimana yang Allah Ta’ala katakan bahwa Allah memiliki
pendengaran, penglihatan, dan tidak dikatakan hakekatnya seperti apa, tidak
dikatakan pula bahwa penglihatan Allah semisal atau seperti ini, maka ini
bukanlah tasybih. Menetapkan sifat semacam itu, inilah yang dimaksudkan firman
Allah Ta’ala,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Allah tidak semisal dengan
sesuatu pun. Allah itu Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syura:
11)[16]
Al Hafizh Abu Ja’far Muhammad bin ‘Utsman bin Muhammad bin
Abi Syaibah Al ‘Abasi, muhaddits Kufah di masanya, di mana beliau telah menulis
tentang masalah ‘Arsy dalam seribu
kitab, beliau berkata,
ذكروا أن الجهمية يقولون ليس بين الله وبين خلقه حجاب وأنكروا العرش
وأن يكون الله فوقه وقالوا إنه في كل مكان ففسرت العلماء وهومعكم يعني علمه ثم
تواترت الأخبار أن الله تعالى خلق العرش فاستوى عليه فهو فوق العرش متخلصا من خلقه
بائنا منهم
Jahmiyah berkata bahwa antara Allah dan makhluk-Nya sama
sekali tidak ada pembatas. Jahmiyah mengingkari ‘Arsy dan mengingkari
keberadaan Allah di atas ‘Arsy. Jahmiyah katakan bahwa Allah berada di setiap
tempat. Padahal para ulama menafsirkan ayat (وهومعكم),
Allah bersama kalian, yang dimaksud adalah dengan ilmu Allah. Kemudian juga
telah ada berbagai berita mutawatir (yang melalui jalan yang amat banyak) bahwa
Allah menciptakan ‘Arsy, lalu beristiwa’ (menetap tinggi) di atasnya. Allah
benar-benar di atas ‘Arsy, namun Allah terpisah atau tidak menyatu dengan
makhluk-Nya.[18]
Masih
ada lagi perkataan ulama lainnya yang hidup di tahun 300-an Hijriyah. Moga
Allah mudahkan untuk membahas dalam tulisan selanjutnya.
Semoga sajian ini bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi
ni’matihi tatimmush sholihaat.
_______________________________
Riyadh-KSA, 20 Rabi’ul Awwal 1432 H (23/02/2011)
[7] Demikian dijelaskan oleh Syaikh Al Albani ketika
menjelaskan perkataan Al Harb Al Karmani di atas.
[13] Lihat Al ‘Uluw, hal. 196 dan Mukhtashor Al ‘Uluw,
hal. 216-217. Catatan: Istilah “abukum” (ayah kalian) untuk menyebut Allah yang
digunakan di masa Isa dan sudah tidak berlaku lagi untuk umat Islam. Demikian
dijelaskan oleh Adz Dzahabi.