Suatu hari sahabat
Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
membaca ayat :
( اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ
اللّهِ )
“Mereka menjadikan
ulama’-ulama’ dan pendeta-pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah ”
(Surat At Taubah 31),
Merasa ada yang
janggal dan kurang sesuai dengan apa yang ia alami semasa menjadi pemeluk agama
Nasrani, segera ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan berkata:
Sesungguhnya dahulu
kami tidak pernah menyembah para pendeta dan ahli ibadah di antara kami.
Menanggapi
pertanyaan sahabatnya ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
( أَلَيْسَ يُحَرِّمُونَ مَا أَحَلَّ اللهُ فَتُحَرِّمُونَهُ،
وَيُحِلُّونَ مَا حَرَّمَ الله فَتُحِلُّونَهُ؟!)
”Bukankah mereka
mengharamkan sesuatu yang Allah halalkan, kemudian kalianpun turut
mengharamkannya, dan mereka menghalalkan sesuatu yang Allah haramkan, lalu
kalianpun turut menghalalkannya?!”
Sahabat Adi menjawab
: Benar.
Selanjutnya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
(فَتِلْكَ عِبَادَتُهُمْ)
”Itulah wujud
peribadatan kepada mereka”. (Hadits riwayat Ahmad dan At Tirmizi).
Jadi, melek dalil
dan melek argumentasi tuh penting, ndak asal nurut agar tidak terjerumus dalam
praktek kultus buta kepada sesama manusia, yaitu dengan mengikuti pendapat
tokoh yang telah terbukti secara meyakinkan menyimpang dari dalil. Bila ndak,
maka ngaku atau ndak ngaku, sadar atau ndak sadar, berniat atau ndak berniat,
maka sejatinya telah terjerumus pada praktek penyembahan sesama manusia.
Muhammad Arifin Badri, حفظه الله تعالى