Oleh
Syaikh Bakr bin Badullah Abu Zaid
Di
dalam petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik berupa perkataan,
perbuatan maupun ketetapan, menghitung dzikir adalah dengan jari-jemari tangan
[1], bukan dengan selainnya. Dan itu dilakukan oleh para Sahabat Radhiyallahu
‘anhum, serta diikuti oleh orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai
zaman kita ini, sehingga hal itu merupakan ajaran yang telah tetap, dan
merupakan perbuatan yang selalu diwariskan turun-temurun oleh umat dalam rangka
meneladani Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada kita, bahwa dzikir seorang
hamba kepada Rabb-Nya dengan tahlil, tasbih, takbir, tahmid dan ta’zhim terbagi
menjadi dua bagian, yaitu:
1. Muthlaq (tanpa
batasan), sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“… Laki-laki dan
perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah…” [Al-Ahzab : 35]
Firman-Nya juga:
“Wahai orang-orang yang
beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah dengan dzikir yang
sebanyak-banyaknya.” [Al-Ahzab: 41]
2.
Muqayyad (diatur dengan suatu batasan) sesuai dengan
keadaan, waktu, dan tempat. Yang paling banyak disebutkan adalah dzikir seratus
kali, seperti: Tahlil seratus kali, tasbih seratus kali, kemudian dzikir
‘Subhaanallah, Alhamdulillaah, Allaahu Akbar” masing-masing 33x, lalu
disempurnakan menjadi seratus kali dengan membaca tahlil.
Segala
puji bagi Allah, karena kaum muslimin terus-menerus melakukan hitungan dzikir
yang diberkahi ini, mereka menghitungnya dengan jari-jemari kedua tangan atau
tangan kanan saja, tanpa memerlukan alat lain, baik berupa kerikil, biji-bijian
tasbih yang sudah diketahui maupun dengan alat-alat tasbih modern.
Inilah
yang sesuai dengan prinsip kemudahan Islam dan syari’atnya, dimana hukum Allah
pasti sesuai dengan kemampuan hamba-Nya, meskipun status sosial mereka
berbeda-beda. Dan ini merupakan metode syari’at yang diberkahi dalam pemberian
kemudahan, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan
para Sahabatnya, untuk melihat awal dan akhir bulan (29 hari-pent.) atau
menyempurnakannya (30 hari-pent.) dalam penentuan awal dan akhir suatu bulan,
meskipun hal itu berhubungan erat dengan dua rukun Islam, yaitu: Puasa dan
Haji. Allah juga tidak membebankan kepada hamba-hamba-Nya lebih dari itu, baik
berupa hisab, mengamati bintang dan peredarannya.
Maka
dari itu, ketika nampak di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa
sebagian Sahabatnya Radhiyallahu ‘anhum menghitung dzikir dengan kerikil (jika
seandainya riwayatnya benar), maka Nabi segera menunjukkan kepada mereka, bahwa
tuntunan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menghitung dzikir adalah
dengan menggunakan jari-jemari tangan. Hal itu merupakan sarana yang
disyari’atkan dan tidak ada yang lainnya, serta hal itu lebih baik dan lebih
utama, sesuai dengan firman Allah Ta’la tentang kenikmatan ahli Surga:
“Penghuni-penghuni
Surga pada hari itu paling baik tempat tinggalnya dan paling indah tempat
istirahatnya.” [Al-Furqaan : 24]
Firman
Allah ini termasuk bab penggunaan kata yang (maknanya) lebih ketika kelompok
yang lain tidak mendapatkan apa-apa (wallaahu a’lam), karena tidak ada kebaikan
sedikit pun yang ada di dalam peristirahatan dan tempat tinggal penduduk
Neraka, seperti firman Allah Ta’ala:
“Apakah
Allah lebih baik ataukah apa yang mereka persekutukan dengan Dia?!” [An-Naml:
59] [2]
Maka,
tidak ada sarana yang disyari’atkan untuk menghitung dzikir, kecuali dengan
jari-jemari tangan.
[Disalin dari buku “As-Subhah : Taariikhuhaa wa
Huk-muhaa”, Edisi Indonesia Adakah Biji Tasbih Pada Zaman Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Penulis Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Footenotes
[1]. Telah saya simpulkan di dalam buku “Laa Jadiida fii Ahkaa-mish Shalaah”, bahwa yang dimaksud adalah jari-jemari kedua tangan, dan riwayat tentang [jari-jemari tangan kanannya] adalah syaadz (ganjil).
[2]. Tafsiir as-Sa’di (I/473).