Islam Pedoman Hidup: Sikap seorang mukmin terhadap syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala

Jumat, 15 Januari 2016

Sikap seorang mukmin terhadap syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala


بسم الله الرحمن الرحيم


Agama Islam yang disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan ilmu-Nya yang Mahatinggi serta hikmah dan ketentuan hukum-Nya yang Mahaagung, adalah agama yang sempurna aturan syariatnya dalam menjamin kemaslahatan bagi umat Islam serta membawa mereka meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, serta telah Ku-ridhai Islam itu sebagai agamamu.” (QS. al-Maaidah: 3).

Imam Ibnu Katsir berkata, “Ini adalah nikmat / anugerah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang terbesar bagi umat Islam, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyempurnakan agama ini bagi mereka, sehingga mereka tidak butuh kepada agama selain Islam, juga tidak kepada nabi selain nabi mereka (Nabi Muhammad) shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itulah, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup para nabi dan mengutus beliau kepada (seluruh umat) manusia dan jin, maka tidak ada sesuatu yang halal kecuali yang beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam halalkan (dengan wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala), tidak ada sesuatu yang haram kecuali yang beliau haramkan, dan tidak ada agama kecuali yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam syariatkan. Dan segala sesuatu yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan adalah benar dan jujur, tidak ada kedustaan dan kebohongan padanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala befirman,

وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Telah sempurnalah kalimat Rabb-mu (al-Qur’an), sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-An’aam: 115). Yaitu: (kalimat) yang benar dalam semua beritanya serta adil dalam segala perintah dan larangannya.

Maka ketika Allah telah menyempurnakan agama Islam bagi umat ini, maka (ini berarti) nikmat (yang dilimpahkan-Nya) kepada mereka telah sempurna, oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, serta telah Ku-ridhai Islam itu sebagai agamamu.” Artinya: terimalah dengan ridha agama (Islam) ini bagi dirimu, karena inilah (satu-satunya) agama yang dicintai dan diridhai-Nya, dan dengannya dia mengutus (kepadamu) rasul-Nya yang paling mulia (Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam) dan menurunkan kitab-Nya yang paling agung (al-Qur’an).”[1]

Sikap seorang mukmin terhadap syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala

Di antara ciri utama seorang muslim yang benar-benar beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hari akhir adalah merasa ridha dan menerima dengan sepenuh hati semua ketentuan syariat yang telah ditetapkan oleh AllahSubhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ، وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
Dan tidakkah patut bagi laki-laki dan perempuan yang (benar-benar) beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (QS. al-Ahzaab: 36).

Dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ذاق طعم الإيمان من رضي بالله ربا وبالإسلام ديناً وبمحمد رسولاً
Akan merasakan kelezatan iman (kesempurnaan iman), orang yang ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Rabb-nya dan Islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya.”[2]

Tidak terkecuali dalam hal ini, hukum-hukum Islam yang dirasakan tidak sesuai dengan kemauan/ keinginan sebagian orang, seperti poligami, yang dengan mengingkari atau membenci hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut, bisa menyebabkan pelakunya murtad/ keluar dari agama Islam[3], na’uudzu billahi min dzaalik. Allah Subhanahu wa Ta’alaberfirman menceritakan sifat orang-orang kafir,

ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنزلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ
Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada ketentuan (syariat) yang diturunkan Allah sehingga Allah membinasakan amal-amal mereka.” (QS. Muhammad: 9).

Oleh karena itu, dalam memahami dan melaksanakan syariat Islam hendaknya kita selalu waspada dan behati-hati dari dua senjata utama godaan setan untuk memalingkan manusia dari ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala:

Yang pertama: sikap berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam memahami dan menjalankan ketentuan syariat-Nya, terlebih lagi dalam menjalankan ketentuan syariat yang dirasakan cocok dengan kepentingan hawa nafsu.
Yang kedua: sikap meremehkan dan kurang dalam memahami dan melaksanakan ketentuan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang ini sering terjadi pada sebagian hukum syariat Islam yang dirasakan oleh sebagian orang tidak sesuai dengan kemauan hawa nafsunya.[4]
Salah seorang ulama salaf ada berkata, “Setiap Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan suatu perintah (dalam agama-Nya), maka setan mempunyai dua macam godaan (untuk memalingkan manusia dari perintah tersebut): (yaitu godaan) untuk (bersikap) kurang dan meremehkan (perintah tersebut), dan (godaan) untuk (bersikap) berlebih-lebihan dan melampaui batas (dalam melaksanakannya), dan dia tidak peduli dengan godaan mana saja (dari keduanya) yang berhasil (diterapkannya kepada manusia).”[5]

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, M.A

[1] Tafsir Ibnu Katsir (2/19). [2] HSR. Muslim (no. 34).
[3] Kitab Fadhlu Ta’addudiz Zaujaat (hal. 24).
[4] Kitab Ighaatsatul Lahfan (1/116).
[5] Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab Ighaatsatul Lahfan (1/116).