Di antara
hal-hal yang diingkari oleh para ulama salaf adalah perdebatan, perselisihan,
serta berbantah-bantahan dalam masalah halal dan haram. Perbuatan ini bukanlah
merupakan kebiasaan para imam Islam (kalangan salaf). Ia hanyalah kebiasaan
yang diada-adakan setelah mereka, sebagaimana yang dilakukan oleh fuqahaa’ ‘Iraq
dalam permasalahan khilafiyyah antara Syafi’iyyah dan
Hanafiyyah. Mereka menulis buku-buku tentang khilaaf dan
memperluas pembahasannya, serta memperpanjang perdebatan di dalamnya. Semua itu
adalah muhdats yang tidak ada asalnya (dalam Islam). Akan
tetapi hal itu telah menjadi bagian ilmu mereka hingga menyibukkan mereka
dari ilmu yang bermanfaat.
Para ulama salaf
telah mengingkari dan membantah kebiasaan perdebatan/berbantah-bantahan (yang
dilakukan sebagian orang) melalui hadits marfu’ dalam
kitab Sunan :
ما ضل قوم بعد
هدى إلا أوتوا الجدل ثم قرأ (ما ضَرَبوهُ لَكَ إِلّا جَدَلاً بَل هُم قَومٌ
خَصِمون)
“Tidaklah sesat suatu kaum setelah mereka berjalan di atas
petunjuk, kecuali setelah mereka terjatuh dalam perdebatan”. Kemudian beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam membaca ayat “Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu
melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka
bertengkar” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3250, Ibnu
Majah no. 48, Al-Haakim 2/447-448, Ahmad 5/252, dan Ath-Thabaraniy dalam Al-Kabiir no.
8067; dishahihkan oleh Al-Albaniy dalam Shahiihul-Jaami’ no.
5633].
Berkata sebagian
salaf :
إذا أراد الله
بعبد شراً أغلق عنه باب العمل وفتح له باب الجدل
“Apabila Allah menginginkan seorang hamba dengan
keburukan, maka Ia akan menutup pintu amal dan membuka pintu perdebatan baginya” [Diriwayatkan oleh Abu
Nu’aim dalam Al-Hilyah 8/361 dan Al-Khathiib dalam Iqtidlaaul-‘Ilmi hal.
80 dari perkataan Al-Khurkiy].
Maalik (bin
Anas) berkata :
أدركت أهل هذه
البلدة وإنهم ليكرهون هذا الإكثار الذي فيه الناس اليوم: يريد المسائل
“Aku telah menemui penduduk negeri ini (yaitu Madinah)
dimana mereka membenci satu hal yang banyak dilakukan orang-orang di hari ini –
yang beliau maksudkan adalah al-masaail (yaitu perdebatan masalah fiqh)” [Diriwayatkan
oleh Al-Khathiib dalam Al-Faqih wal-Mutafaqqih 2/9].
Sering pula
didapati beliau (Al-Imam Malik) mencela orang yang banyak bicara dan berfatwa.
Beliau berkata :
يتكلم أحدهم كأنه
جمل مغتلم يقول هو كذا هو كذا بهدر في كلامه
“Banyak di antara mereka yang berbicara seperti
(bicaranya) onta. Ia menyatakan : ‘Hal ini begini dan begitu’ – dimana
perkataannya itu tidak ada faedahnya”.
Malik juga tidak
menyukai menjawab dalam banyak permasalahan, dimana beliau berkata :
قال اللَهُ عز
وجل (وَيَسأَلونَكَ عَنِ الرّوحِ قُلِ الرّوحُ مِن أَمرِ رَبّي) فلم يأته في ذلك
جواب
“Allah ‘azza
wa jalla telah berfirman : ‘Dan mereka bertanya kepadamu
tentang ruh. Katakanlah: "Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku’ (QS.
Al-Israa’ : 85). Di situ Allah tidak memberikan jawaban (atas pertanyaan
mereka)”.
Pernah dikatakan
kepada Maalik : “Bolehkan seorang yang berilmu tentang sunnah berdebat dengan
ilmunya itu ?”. Maka beliau menjawab :
لا ولكن يخبر
بالسنة فان قبل منه وإلا سكت
“Tidak boleh. Namun yang mesti ia lakukan adalah
menyampaikan sunnah. Jika diterima, maka itu baik; dan jika tidak, hendaklah ia
diam”.
Maalik juga
berkata :
المراء والجدال
في العلم يذهب بنور العلم
“Perdebatan
dan berbantah-bantahan dalam ilmu akan menghilangkan cahaya ilmu”.
المراء في العلم
يُقسي القلب ويورث لضعن
“Berbantah-bantahan
dalam masalah ilmu dapat menyebabkan kerasnya hati dan membuahkan kebencian”.
Dan bila
ditanyakan kepada beliau persoalan, sering dijawab dengan kata-kata : “Aku
tidak tahu”. Begitu pula Al-Imam Ahmad melakukannya sebagaimana dilakukan
Al-Imam Malik.
Telah
diriwayatkan tentang larangan banyak pertanyaan, bertanya dalam masalah-masalah
yang pelik (mengada-ada), dan bertanya mengenai sesuatu yang belum terjadi;
yang jika diuraiakan satu-persatu akan menjadi panjang pembahasannya. Bersamaan
dengan itu, banyak perkataan salaf dan para imam seperti Maalik, Asy-Syaafi’iy,
Ahmad, dan Ishaaq adanya satu penegasan mengenai sumber fiqh dan dasar-dasar
hukum dalam satu perkataan yang ringkas, dipahami maksudnya, tanpa harus
dijelaskan panjang lebar. Dalam perkataan mereka terdapat pula bantahan
terhadap pendapat-pendapat yang menyelisihi sunnah dimana bantahan-bantaha
tersebut disampaikan dengan isyarat yang halus dan ungkapan yang baik sehingga
mudah untuk dipahami, daripada disampaikan perkataan panjang lebar lagi
bertele-tele versi ahli kalam yang datang setelah mereka. Dan bahkan perkataan
para ahli kalam yang panjang lebar itu tidak mengandung faedah/kebenaran sama
sekali dibandingkan perkataan salaf dan para imam meskipun disampaikan secara
ringkas.
Para ulama salaf
sering diam dan tidak memperdulikan banyaknya perdebatan dan perbantahan. Hal
itu mereka lakukan bukan karena bodoh dan lemah (dalam hujjah), namun justru
karena ilmu yang mereka miliki dan rasa takut kepada Allah ta’ala.
Adapun orang-orang yang sering memperluas permasalahan setelah kaum salaf,
bukan berarti mereka mempunyai satu kekhususan ilmu dibandingkan yang lain.
Mereka lakukan itu karena rasa senang terhadap kalam dan sedikitnya rasa wara’ (dalam
agama). Sebagaimana dikatakan Al-Hasan saat mendengar satu kaum yang tengah
melakukan perdebatan :
هؤلاء قوم ملوا
العبادة وخف عليهم القول وقل ورعهم فتكلموا
“Mereka adalah
satu kaum yang telah bosan beribadah (kepada Allah), menganggap remeh
perkataan, dan sedikitnya rasa wara’. Maka mereka banyak
berbicara..” [Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Az-Zuhd hal. 272
dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah2/156].
Mahdiy bin
Maimun berkata :
سمعت محمد بن
سيرين وما رآه رجل ففطن له فقال إني أعلم ما يريد إني لو أردت أن أماريك كنت
عالماً بأبواب المراء: وفي رواية قال أنا أعلم بالمراء منك ولكني لا أماريك
“Aku mendengar
Muhammad bin Siiriin berkata saat didebat seseorang dan memahami maksud
perkataan orang itu : ‘Sesungguhnya aku mengetahui apa yang kamu inginkan,
Kalau saja aku ingin mendebatmu, maka aku telah mengetahui tentang cara-cara
berdebat – dalam riwayat lain: Aku lebih mengetahui perdebatan dibanding kamu – Namun aku tidak
mau berdebat denganmu” [Diriwayatkan oleh Al-Ajurriy dalam Asy-Syarii’ahhal.
61-62].
Ibrahim
An-Nakha’iy berkata :
ما خاصمت قط
“Aku tidak
pernah sama sekali berdebat”.
‘Abdul-Kariim
Al-Hauriy berkata :
ما خاصم ورع قط
“Seorang yang wara’ tidak akan pernah melakukan perdebatan”.
Ja’far bin
Muhammad berkata :
إياكم والخصومات
في الدين فإنها تشغل القلب وتورث النفاق.
“Jauhilah oleh kalian berbantah-bantahan dalam masalah
agama, karena dapat menyibukkan hati dan membuahkan kemunafikan”
[Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalamAl-Hilyah 3/48].
‘Umar bin
‘Abdil-‘Aziiz pernah berkata :
إذا سمعت المراء
فاقصر
“Apabila engkau mendengar perdebatan, maka tinggalkanlah”.
من جعل دينه
عرضاً للخصومات أكثر الثقل
“Barangsiapa
yang menjadikan agamanya sebagai ajang perdebatan, niscaya banyak
beban/kesukaran yang menimpanya”.
إن السابقين عن
علم وقفوا وببصرنا قد كفوا وكانوا هم أقوى على البحث لو بحثوا
“Sesungguhnya orang-orang terdahulu telah diam karena ilmu
mereka. Dan kami menyaksikan mereka menahan diri (dalam perdebatan), padahal
mereka adalah orang-orang yang kuat dalam pembahasan jika mereka mau
membahasnya…”.
Dan masih banyak
lagi perkataan salaf dalam masalah ini.
Akan tetapi,
orang-orang yang datang kemudian banyak terpedaya oleh kondisi yang ada. Mereka
mengira bahwa barangsiapa yang banyak berbicara dan hebat dalam berdebat dalam
masalah-masalah agama, maka ia adalah orang yang paling berilmu (dalam hal yang
ia bicarakan) dibanding selainnya. Padahal permasalahannya tidaklah demikian.
Lihatlah apa yang ada pada shahabat besar dan ulamanya seperti Abu Bakr, ‘Umar
(bin Al-Khaththaab), ‘Aliy (bin Abi Thaalib), Mu’adz (bin Jabal), Ibnu Mas’uud,
dan Zaid bin Tsaabit; bagaimanakah keadaan mereka ? Perkataan mereka lebih
sedikit dibandingkan perkataan Ibnu ‘Abbas, padahal mereka lebih berilmu
dibandingkannya (Ibnu ‘Abbas). Perkataan tabi’iin lebih banyak
dibandingkan generasi shahabat, padahal para shahabat lebih berilmu
dibandingkan mereka (tabi’in). Begitu pula perkataan tabi’ut-tabi’iin yang
lebih banyak dibandingkan tabi’in, padahal tabi’in lebih
berilmu dibandingkan mereka (tabi’ut-tabi’in). Ilmu tidaklah diukur
berdasarkan banyaknya riwayat dan perkataan, namun ilmu itu adalah cahaya yang
dimasukkan ke dalam hati yang dengannya seseorang dapat mengenal kebenaran,
membedakan antara yang haq dan yang baathil; kemudian
hal itu dikatakan dalam ungkapan yang ringkas dan padat untuk mencapai maksud
yang dikehendaki.
Salah satu
keistimewaan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah bahwa
beliau dikarunia jawaami’ul-kalim (perkataan ringkas, namun
padat maknanya). Dan beliau meringkas perkataannya.
Oleh karena itu,
telah diriwayatkan adanya pelarangan dalam banyak perkataan dan memperluas
: qiila wa qaala. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah
bersabda :
إن اللَه لم يبعث
نبيا إلا مبلغاً وأن تشقيق الكلام من الشيطان
“Sesungguhnya
Allah tidaklah mengutus seorang nabi pun kecuali sebagai penyampai (wahyu Allah
kepada manusia). Dan sesungguhnya membagus-baguskan perkataan termasuk dari
syaithan”.
Maksudnya : Nabi
hanyalah berbicara sesuai kadar yang dapat dipahami dari risalah yang
dibawanya. Adapun memperbanyak perkataan dan membagus-baguskannya adalah
tercela. Adalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila
berkhutbah, maka khutbahnya tidak terlalu panjang dan juga tidak terlalu pendek
(pertengahan). Dan ketika beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata,
jika ada orang yang hendak menghitung jumlah kata-katanya, niscaya ia dapat
menghitungnya. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga
bersabda :
إن من البيان
سحراً
“Sesungguhnya
sebagian dari bayan (penjelasan dengan kata-kata yang indah) adalah sihir”.
Beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam mengucapkannya hanya untuk pencelaan, bukan pujian.
Barangsiapa yang memperhatikan konteks hadits, niscaya akan mengambil
kesimpulan sebagaimana yang telah dikemukakan. Dalam riwayat At-Tirmidziy dan
yang lainnya dari ‘Abdullah bin ‘Amr secara marfu’ disebutkan
:
إن اللَه ليبغض
البليغ من الرجال الذي يتخلل بلسانه كما تتخلل البقرة بلسانها
“Sesungguhnya Allah membenci laki-laki yang memperindah
perkataannya dimana ia memutar lidahnya sebagaimana seekor sapi memutar
lidahnya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/165, Abu Dawud no. 5005, At-Tirmidzi
no. 2853, dan Al-Baihaqiy dalamSyu’abul-Iman 2/180; dishahihkan
oleh Al-Albaniy dalam Ash-Shahiihah no. 880].
Dan masih banyak lagi
riwayat-riwayat hadits yang semakna dengan ini, baik melalui jalur periwayatan
yang marfu’ maupun mauquf dari ‘Umar, Sa’d,
Ibnu Mas’uud, ‘Aisyah, dan yang lainnya dari kalangan shahabat. Untuk itu wajib diyakini bahwa tidaklah setiap orang
yang mempunyai retorika penyampaian yang memikat, maka ia adalah orang yang
lebih berilmu dibanding orang yang tidak sepertinya.
[Dari perkataan Al-Haafidh Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah (w.
795 H) dalam Fadllu ‘Ilmis-Salaf ‘alal-Khalaf, Maktabah
Ruuhul-Islaam, http://www.islamspirit.com – Abu Al-Jauzaa’ dalam keheningan malam pertengahan pekan pertama
bulan Ramadlan 1430 H di Ciomas Permai].
Teks
asli :
ومما أنكره أئمة السلف الجدال والخصام والمراء في مسائل الحلال والحرام
أيضاً ولم يكن ذلك طريقة أئمة الإسلام: وإنما أحدث ذلك بعدهم كما أحدثه فقهاء
العراقين في مسائل الخلاف بين الشافعية والحنفية وصنفوا كتب الخلاف ووسعوا البحث
والجدال فيها وكل ذلك محدث ل أصل له وصار ذلك علمهم حتى شغلهم ذلك عن العلم
النافع.
وقد أنكر ذلك السلف وورد في الحديث المرفوع في السنن : ما ضل قوم بعد هدى
إلا أوتوا الجدل ثم قرأ ما ضَرَبوهُ لَكَ إِلّا جَدَلاً بَل هُم قَومٌ خَصِمون).
وقال بعض السلف : إذا أراد الله بعبد شراً أغلق عنه باب العمل وفتح له باب الجدل.
وقال مالك : أدركت أهل هذه البلدة وإنهم ليكرهون هذا الإكثار الذي فيه الناس اليوم: يريد المسائل وكان يعيب كثرة الكلام والفتيا ويقول يتكلم أحدهم كأنه جمل مغتلم يقول هو كذا هو كذا بهدر في كلامه وكان يكره الجواب في كثرة المسائل ويقول قال اللَهُ عز وجل (وَيَسأَلونَكَ عَنِ الرّوحِ قُلِ الرّوحُ مِن أَمرِ رَبّي) فلم يأته في ذلك جواب. وقيل له الرجل يكون عالماً بالسنن يجادل عنها قال لا ولكن يخبر بالسنة فان قبل منه وإلا سكت: وقال المراء والجدال في العلم يذهب بنور العلم وقال المراء في العلم يُقسي القلب ويورث الضعن: وكان يقول في المسائل التي يسئل عنها كثيراً لا أدري: وكان الإمام أحمد يسلك سبيله في ذلك.
وقال مالك : أدركت أهل هذه البلدة وإنهم ليكرهون هذا الإكثار الذي فيه الناس اليوم: يريد المسائل وكان يعيب كثرة الكلام والفتيا ويقول يتكلم أحدهم كأنه جمل مغتلم يقول هو كذا هو كذا بهدر في كلامه وكان يكره الجواب في كثرة المسائل ويقول قال اللَهُ عز وجل (وَيَسأَلونَكَ عَنِ الرّوحِ قُلِ الرّوحُ مِن أَمرِ رَبّي) فلم يأته في ذلك جواب. وقيل له الرجل يكون عالماً بالسنن يجادل عنها قال لا ولكن يخبر بالسنة فان قبل منه وإلا سكت: وقال المراء والجدال في العلم يذهب بنور العلم وقال المراء في العلم يُقسي القلب ويورث الضعن: وكان يقول في المسائل التي يسئل عنها كثيراً لا أدري: وكان الإمام أحمد يسلك سبيله في ذلك.
وقد ورد النهي عن كثرة المسائل وعن أغلوطات المسائل وعن المسائل قبل وقوع
الحوادث وفي ذلك ما يطول ذكره: ومع هذا ففي كلام السلف والأئمة كمالك والشافعي
وأحمد وإسحاق التنبيه على مأخذ الفقه ومدارك الأحكام بكلام وجيز مختصر يفهم به
المقصود من غير إطالة ولا إسهاب: وفي كلامهم من رد الأقوال المخالفة للسنة بألطف
إشارة وأحسن عبارة بحيث يغني ذلك من فهمه عن إطالة المتكلمين في ذلك بعدهم بل ربما
لم يتضمن تطويل كلام من بعدهم من الصواب في ذلك ما تضمنه كلام السلف والأئمة مع
اختصاره وإيجازه فما سكت من سكت من كثرة الخصام والجدال من سلف الأمة جهلا ولا
عجزاً ولكن سكتوا عن علم وخشية للَّه. وما تكلم من تكلم وتوسع من توسع بعدهم
لاختصاصه بعلم دونهم ولكن حباً للكلام وقلة ورع كما قال الحسن وسمع قوما يتجادلون
هؤلاء قوم ملوا العبادة وخف عليهم القول وقل ورعهم فتكلموا.
وقال مهدي بن ميمون سمعت محمد بن سيرين وما رآه رجل ففطن له فقال إني أعلم
ما يريد إني لو أردت أن أماريك كنت عالماً بأبواب المراء: وفي رواية قال أنا أعلم
بالمراء منك ولكني لا أماريك وقال إبراهيم النخعي ما خاصمت قط وقال عبد الكريم
الحوري ما خاصم ورع قط وقال جعفر بن محمد إياكم والخصومات في الدين فإنها تشغل
القلب. وتورث النفاق.
وكان عمر بن عبد العزيز يقول إذا سمعت المراء فاقصر وقال من جعل دينه عرضاً
للخصومات أكثر الثقل وقال أن السابقين عن علم وقفوا وببصرنا قد كفوا وكانوا هم
أقوى على البحث لو بحثوا وكلام السلف في هذا المعنى كثير جداً.
وقد فتن كثير من المتأخرين بهذا فظنوا أن من كثر كلامه وجداله وخصامه في مسائل الدين فهو أعلم ممن ليس كذلك. وهذا جهل محض. وانظر إلى أكابر الصحابة وعلمائهم كأبي بكر وعمر وعلي ومعاذ وابن مسعود وزيد بن ثابت كيف كانوا. كلامهم أقل من كلام ابن عباس وهم أعلم منه وكذلك كلام التابعين أكثر من كلام الصحابة والصحابة أعلم منهم وكذلك تابعوا التابعين كلامهم أكثر من كلام التابعين والتابعون أعلم منهم. فليس العلم بكثرة الرواية ولا بكثرة المقال ولكنه نور يقذف في القلب يفهم به العبد الحق ويميز به بينه وبين الباطل ويعبر عن ذلك بعبارات وجيزة محصلة للمقاصد.
وقد كان النبي صلي الله عليه وسلم أوتي جوامع الكلم واختصر له الكلام اختصاراً ولهذا ورد النهي عن كثرة الكلام والتوسع في القيل والقال( وقد قال النبي صلى الله عليه وسلم : أن اللَه لم يبعث نبيا إلا مبلغاً وأن تشقيق الكلام من الشيطان. يعني أن النبي إنما يتكلم بما يحصل به البلاغ. وأما كثرة القول وتشقيق الكلام فإنه مذموم. وكانت خطب النبي صلى الله عليه وسلم قصداً. وكان يحدث حديثاً لو عده العاد لأحصاه. وقال أن من البيان سحراً. وإنما قاله في ذم ذلك لا مدحاً له كما ظن ذلك من ظنه ومن تأمل سياق ألفاظ الحديث قطع بذلك وفي الترمذي وغيره عن عبد الله بن عمرو مرفوعاً ; أن اللَه ليبغض البليغ من الرجال الذي يتخلل بلسانه كما تتخلل البقرة بلسانها. وفي المعنى أحاديث كثيرة مرفوعة وموقوفة على عمر وسعد وابن مسعود وعائشة وغيرهم من الصحابة فيجب أن يعتقد أنه ليس كل من كثر بسطة للقول وكلامه في العلم كان أعلم ممن ليس كذلك.
وقد فتن كثير من المتأخرين بهذا فظنوا أن من كثر كلامه وجداله وخصامه في مسائل الدين فهو أعلم ممن ليس كذلك. وهذا جهل محض. وانظر إلى أكابر الصحابة وعلمائهم كأبي بكر وعمر وعلي ومعاذ وابن مسعود وزيد بن ثابت كيف كانوا. كلامهم أقل من كلام ابن عباس وهم أعلم منه وكذلك كلام التابعين أكثر من كلام الصحابة والصحابة أعلم منهم وكذلك تابعوا التابعين كلامهم أكثر من كلام التابعين والتابعون أعلم منهم. فليس العلم بكثرة الرواية ولا بكثرة المقال ولكنه نور يقذف في القلب يفهم به العبد الحق ويميز به بينه وبين الباطل ويعبر عن ذلك بعبارات وجيزة محصلة للمقاصد.
وقد كان النبي صلي الله عليه وسلم أوتي جوامع الكلم واختصر له الكلام اختصاراً ولهذا ورد النهي عن كثرة الكلام والتوسع في القيل والقال( وقد قال النبي صلى الله عليه وسلم : أن اللَه لم يبعث نبيا إلا مبلغاً وأن تشقيق الكلام من الشيطان. يعني أن النبي إنما يتكلم بما يحصل به البلاغ. وأما كثرة القول وتشقيق الكلام فإنه مذموم. وكانت خطب النبي صلى الله عليه وسلم قصداً. وكان يحدث حديثاً لو عده العاد لأحصاه. وقال أن من البيان سحراً. وإنما قاله في ذم ذلك لا مدحاً له كما ظن ذلك من ظنه ومن تأمل سياق ألفاظ الحديث قطع بذلك وفي الترمذي وغيره عن عبد الله بن عمرو مرفوعاً ; أن اللَه ليبغض البليغ من الرجال الذي يتخلل بلسانه كما تتخلل البقرة بلسانها. وفي المعنى أحاديث كثيرة مرفوعة وموقوفة على عمر وسعد وابن مسعود وعائشة وغيرهم من الصحابة فيجب أن يعتقد أنه ليس كل من كثر بسطة للقول وكلامه في العلم كان أعلم ممن ليس كذلك.
from=http://abul-jauzaa.blogspot.co.id/2009/08/salaf-dan-perdebatan.html