
Tanya : Benarkah pembagian bid’ah menjadi lughawi dan syar’i merupakan pembagian
yang dilakukan Wahabi, khususnya ketika mereka mengatakan perkataan bid’ah yang
diucapkan ‘Umar tentang shalat tarawih maksudnya adalah bid’ah secara lughawi
?.
Jawab : Wahabi –terlepas dari pembicaraan apakah setuju
atau tidak setuju dengan istilah ini-, jika yang Anda maksudkan adalah
orang-orang yang menokohkan Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah, Ibnul-Qayyim, dan
Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahumullah, maka itu tidak benar.
Tidak benar perkataan itu dibuat-buat oleh orang-orang
Wahabi.
Pembagian bid’ah dari sisi lughawiy dan syari’iy telah
disebutkan oleh para ulama kita, khususnya ketika mereka menjelaskan makna bid’ah
secara lughawiy yang secara ringkasnya adalah segala
sesuatu yang tidak ada di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mencakup
yang tercela dan terpuji; sedangkan bid’ah secara syar’iy adalah
khusus untuk makna yang tercela. Makna kedua inilah yang terdapat dalam banyak
nash yang mencela bid’ah dalam agama[1].
Al-Haafidh
Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy rahimahullah berkata:
و " الْمُحْدَثَات " بِفَتْحِ الدَّالّ جَمْع مُحْدَثَة وَالْمُرَاد
بِهَا مَا أُحْدِث ، وَلَيْسَ لَهُ أَصْل فِي الشَّرْع وَيُسَمَّى فِي عُرْف
الشَّرْع " بِدْعَة " وَمَا كَانَ لَهُ أَصْل يَدُلّ عَلَيْهِ الشَّرْع
فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ ، فَالْبِدْعَة فِي عُرْف الشَّرْع مَذْمُومَة بِخِلَافِ
اللُّغَة فَإِنَّ كُلّ شَيْء أُحْدِث عَلَى غَيْر مِثَال يُسَمَّى بِدْعَة سَوَاء
كَانَ مَحْمُودًا أَوْ مَذْمُومًا
“Dan al-muhdatsaat’ adalah jamak dari
kata muhdats. Yang dimaksud dengannya adalah segala sesuatu yang
baru/diadakan, tidak ada asalnya dalam syari’at, dan kemudian dinamakan
dalam ‘urf syari’at dengan bid’ah. Adapun segala sesuatu yang
mempunyai asal yang ditunjukkan oleh syari’at, maka itu bukan bid’ah. Maka,
bid’ah dalam ‘urf syar’iy adalah tercela. Berbeda halnya
dengan bid’ah secara bahasa, karena segala sesuatu yang diadakan tanpa ada
contoh sebelumnya dinamakan bid’ah, baik terpuji maupun tercela”
[Fathul-Baariy, 13/253].
وَأَمَّا " الْبِدَع " فَهُوَ جَمْع بِدْعَة وَهِيَ كُلّ شَيْء
لَيْسَ لَهُ مِثَال تَقَدَّمَ فَيَشْمَل لُغَة مَا يُحْمَد وَيُذَمّ ، وَيَخْتَصّ
فِي عُرْف أَهْل الشَّرْع بِمَا يُذَمّ وَإِنْ وَرَدَتْ فِي الْمَحْمُود فَعَلَى
مَعْنَاهَا اللُّغَوِيّ
“Adapun al-bida’, maka ia adalah jamak dari kata bid’ah,
yaitu segala sesuatu yang tidak ada contoh sebelumnya. Secara bahasa, bid’ah
meliputi segala sesuatu, baik yang terpuji maupun yang tercela. Dan
dikhususkan dalam ‘urf (peristilahan) ahlusy-syar’I
(ulama syari’at) untuk sesuatu yang tercela saja. Seandainya bid’ah digunakan dalam pujian, maka maknanya
adalah (bid’ah) lughawiy” [idem, 13/278].
Al-Haafidh
Ibnu Katsiir rahimahullah berkata:
والبدعة على قسمين: تارة تكون بدعة شرعية، كقوله: فإن كل محدثة بدعة، وكل بدعة
ضلالة. وتارة تكون بدعة لغوية، كقول أمير المؤمنين عمر بن الخطاب رضي الله عنه عن
جمعه إياهم على صلاة التراويح واستمرارهم: نعْمَتْ البدعةُ هذه
“Dan bid’ah tebagi menjadi dua macam. Kadang ia
menjadi bid’ah yang syar’iy seperti sabda Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam : ’Sesungguhnya setiap hal yang baru (muhdats) adalah bid’ah, dan
setiap bid’ah adalah kesesatan’. Dan
kadang menjadi bid’ah lughawiyyah (=bid’ah secara bahasa),
seperti perkataan Amiirul-Mukminiin‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu
‘anhu dalam usahanya untuk mengumpulkan orang-orang dalam shalat tarawih dan
terus menerus melakukannya : ‘Sebaik-baik bid’ah adalah ini” [Tafsiir Ibni
Katsiir, 1/398].
Al-Haafidh
Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah berkata:
فقوله صلى الله عليه وسلم : (( كلُّ بدعة ضلالة )) من جوامع الكلم لا يخرج عنه
شيءٌ ، وهو أصلٌ عظيمٌ من أصول الدِّين ، وهو شبيهٌ بقوله : (( مَنْ أَحْدَثَ في
أَمْرِنا ما لَيسَ مِنهُ فَهو رَدٌّ )) ، فكلُّ من أحدث شيئاً ، ونسبه إلى الدِّين
، ولم يكن له أصلٌ من الدِّين يرجع إليه ، فهو ضلالةٌ ، والدِّينُ بريءٌ منه ،
وسواءٌ في ذلك مسائلُ الاعتقادات ، أو الأعمال ، أو الأقوال الظاهرة والباطنة .
وأما ما وقع في كلام السَّلف مِنِ استحسان بعض البدع ، فإنَّما ذلك في البدع
اللُّغوية ، لا الشرعية ، فمِنْ ذلك قولُ عمر رضي الله عنه لمَّا جمعَ الناسَ في
قيامِ رمضان على إمامٍ واحدٍ في المسجد ، وخرج ورآهم يصلُّون كذلك فقال : نعمت
البدعةُ هذه .
“Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Setiap
bid’ah adalah kesesatan’ termasuk jawaami’ul-kalim [2], yang
tidak keluar dari keumumannya. Dan ia
merupakan pokok yang agung dari pokok-pokok agama, dan menyerupai
sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Barangsiapa yang
mengada-adakan dalam perkara agama kami yang tidak ada di dalamnya, maka
tertolak’. Maka setiap orang yang
mengadakan sesuatu, lalu ia menisbatkannya kepada agama dan perkara tersebut
tidak ada asalnya dari agama, maka kembali kepadanya (yaitu : kesesatan) dan
agama pun berlepas diri darinya. Baik pada perkara keyakinan maupun amalan, yang dhahir maupun yang
batin.
Adapun
yang ada dalam perkataan salaf yang menganggap baik sebagian bid’ah, maka
itu hanyalah ada pada bid’ah lughawiyyah (secara bahasa), bukan
syar’iyyah (secara syari’at). Yang termasuk dalam bagian tersebut adalah
perkataan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu ketika ia mengumpulkan
orang-orang untuk shalat tarawih di bulan Ramadlaan dengan satu imam di masjid,
serta orang-orang setelah mereka pun keluar melakukannya juga : ‘Sebaik-baik bid’ah
adalah ini” [Jaami’ul-‘Ulum wal-Hikam,
hal. 597 – tahqiq : Al-Fahl].
Perkataan Ibnu
Rajab tersebut juga disitir oleh Al-Mubaarakfuriy dalam Tuhfatul-Ahwadziy 7/439-440.
Jika
kita perhatikan, kata bid’ah itu bisa ditinjau dari dua segi, yaitu dari segi
bahasa dan segi syari’at. Perbuatan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu yang
mengumpulkan orang-orang dalam shalat tarawih dengan satu imam di masjid bukan
termasuk bid’ah, karena ia ada contohnya sebelumnya dari perbuatan Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam berhenti melakukannya karena khawatir shalat tersebut
akan diwajibkan kepada mereka, sebagaimana sabdanya:
أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ شَأْنُكُمُ اللَّيْلَةَ،
وَلَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ صَلَاةُ اللَّيْلِ، فَتَعْجِزُوا
عَنْهَا
“Amma ba’du,
sesungguhnya keadaan kalian tidaklah samar bagiku di malam tersebut (= yaitu
iman dan semangat kalian dalam beribadah), akan tetapi aku merasa khawatir
(ibadah ini) akan diwajibkan kepada kalian, lalu kalian tidak sanggup
melakukannya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 882 dan Muslim
no. 761].
Ketika beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam wafat dan syari’at
telah sempurna, maka ‘illat tersebut di atas tidak ada. Tidak ada
kewajiban selain apa yang diwajibkan oleh beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam semasa hidupnya[3]. Oleh
karena itu, pensyari’atan pelaksanaan shalat taraawih kembali
pada keumuman sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ
قِيَامُ لَيْلَةٍ
”Sesungguhnya,
seseorang yang shalat bersama imam hingga selesai, maka dihitung baginya shalat
semalam suntuk” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1375,
At-Tirmidziy no. 806 dan ia berkata : ‘Hasan shahih’, An-Nasaa’iy no. 1364
& 1605, Ibnu Maajah no. 1327, dan yang lainnya; shahih[4]].
Suata perkara
yang ditinggalkan atau tidak ada dilakukan di jaman Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam karena adanya faktor penghalang, kemudian hal itu
dilakukan sepeninggal beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam karena
faktor penghalangnya sudah tidak ada; maka itu bukan termasuk bid’ah
secara syari’iy. Contohnya adalah shalat tarawih berjama’ah di masjid
sebagaimana dilakukan (kembali) oleh ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu
‘anhu. Contoh lain adalah pengumpulan mushhaf di
jaman Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu.[5]
Dengan
demikian, perkataan ‘Umar : ‘Sebaik-baik bid’ah adalah ini’, bukan
dalam konteks makna syar’iy, namun lughawiy sebagaimana dikatakan
para ulama di atas. Bisa dikatakan sebagai bid’ah yang terpuji.
Lain halnya
jika ada orang yang melakukan halaqah-halaqah dzikir berjama’ah khusus yang
dipimpin oleh orang tertentu, maka ini bid’ah dalam makna syari’iy (tercela)
sehingga dicela oleh Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu. Begitu pula
ketika ada orang yang mengucapkan shalawat ketika bersin, maka ini juga bid'ah
sehingga diingkari oleh Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa. Tidak
ada faktor penghalang bagi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk
melakukan dua perbuatan, namun kenyataannya beliau tidak melakukannya. Tidak
ada ruang bid’ah hasanah/mahmuudah dalam perkara ini.
Intinya, pembagian
bid’ah menjadi lughawi dan syar’i ini bukan produk orang-orang Wahabi, tapi
memang berdasarkan penjelasan para ulama. Dan itu memang tepat sebagaimana
konteksnya.
Wallaahu
a’lam.
[abul-jauzaa’
– perumahan ciomas permai – 13052015 – 00:09].
_____________________
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا،
قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أَحْدَثَ
فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
Dari
‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : Telah bersabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa yang
mengada-adakan dalam perkara agama kami yang tidak ada di dalamnya, maka
tertolak” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2697 dan Muslim no.
1718].
dalam riwayat
lain dibawakan dengan lafadh:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ
عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang
beramal dengan satu amalan yang tidak ada keterangannya dari kami, maka
tertolak” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1718].
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ،
قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ
احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلَا صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ، حَتَّى كَأَنَّهُ
مُنْذِرُ جَيْشٍ، يَقُولُ: صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ ، وَيَقُولُ: بُعِثْتُ أَنَا
وَالسَّاعَةَ كَهَاتَيْنِ، وَيَقْرُنُ بَيْنَ إِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ
وَالْوُسْطَى ، وَيَقُولُ: أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ
اللَّهِ، وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا،
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Dari Jaabir bin
‘Abdillah, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila
sedang berkhutbah, mata beliau memerah, suaranya keras dan kemarahan beliau
memuncak, seakan-akan beliau sedang memperingatkan pasukan (dari musuh). Beliau
bersabda : "Hendaklah kalian selalu waspada di waktu pagi dan petang. Aku
diutus, sementara antara aku dan hari kiamat adalah seperti dua jari ini (yakni
jari telunjuk dan jari tengah)". Kemudian beliau melanjutkan: "Amma ba'du.
Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk
adalah petunjuk Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam. Seburuk-buruk
perkara adalah perkara yang diada-adakan, dan setiap bid'ah adalah kesesatan"
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 867].
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
مَسْعُودٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
إِنَّمَا هُمَا اثْنَتَانِ: الْكَلَامُ، وَالْهَدْيُ، فَأَحْسَنُ الْكَلَامِ
كَلَامُ اللَّهِ، وَأَحْسَنُ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ، أَلَا وَإِيَّاكُمْ
وَمُحْدِثَاتِ الْأُمُورِ، فَإِنَّ شَرَّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ
مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Dari ‘Abdullah
bin Mas’uud : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
: “Sesungguhnya hanya ada dua hal : perkataan dan petunjuk. Maka
sebaik-baik perkataan (kalaam) adalah Kalaamullah (Al-Qur’an), dan sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ketahuilah,
waspadalah kalian terhadap perkara-perkara baru. Sesungguhnya seburuk-buruk
perkara adalah hal-hal baru (yang diada-adakan), setiap hal baru adalah bid'ah,
dan setiap bid'ah adalah kesesatan” [Diriwayatkan oleh Ibnu
Maajah no. 46; shahih].
عَنِ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى
اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ
يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي
وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا
وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ
فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Dari ‘Irbaadl
bin Saariyyah : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam : “Aku nasihatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, mendengar
dan taat meskipun (yang memerintah kalian) seorang budak Habsyiy. Siapa saja
yang hidup di antara kalian sepeninggalku nanti, akan menjumpai banyak
perselisihan. Wajib atas kalian untuk berpegang pada sunnahku dan sunnah dan
sunnah para khalifah yang mendapatkan hidayah dan petunjuk. Berpegang teguhlah
dengannya dan gigitlah ia erat-erat dengan gigi geraham. Waspadalah
kalian terhadap hal-hal yang baru, karena setiap hal-hal yang baru adalah
bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan” [Diriwayatkan
oleh Abu Daawud no. 4607; shahih].
فيه أن قيام رمضان سنة من سنن
النبي عليه السلام مندوب إليها مرغب فيها ولم يسن منها عمر إلا ما كان رسول الله
يحبه ويرضاه وما لم يمنعه من المواظبة عليه إلا أن يفرض على أمته وكان بالمؤمنين
رؤوفا رحيما صلى الله عليه و سلم فلما علم عمر ذلك من رسول الله وعلم أن الفرائض
في وقته لا يزاد فيها ولا ينقص منها أقامها للناس وأحياها وأمر بها وذلك سنة أربع
عشرة من الهجرة صدر خلافته
“Dalam hadits terdapat faedah bahwa shalat (tarawih) di
bulan Ramadlaan termasuk diantara sunnah-sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam, disunnahkan dan dianjurkan untuk melakukannya. ‘Umar tidaklah
men-sunnah-kannya, karena perbuatan tersebut merupakan sesuatu yang dicintai
dan diridlai oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam (sehingga
‘Umar sekedar menghidupkannya – Abul-Jauzaa’). Tidak ada halangan bagi beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam untuk terus melakukannya, kecuali karena khawatir akan
diwajibkan kepada umatnya, sedangkan beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam adalah orang yang sayang terhadap kaum mukminiin. Ketika ‘Umar
mengetahui hal itu dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa
kewajiban-kewajiban di masanya tidak akan bertambah dan berkurang (karena
Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam telah wafat), maka ia (‘Umar)
mendirikannya, menghidupkannya, dan memerintahkannya melakukan shalat tarawih
berjama’ah bersama orang-orang. Peristiwa itu terjadi tahun 14 hijriyyah di
masa pemerintahannya” [Al-Istidzkaar, 1/62-63].
[4]
Silakan baca artikel : Mana yang Lebih Utama : Shalat Tarawih Berjama’ah di
Masjid atau di Rumah ?.
[5]
Dulu di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hal ini
tidak dilakukan karena masih adanya penghalangnya, yaitu masih banyaknya
shahabat yang menghapal Al-Qur’an sehingga Al-Qur’an masih terjaga. Namun
ketika terjadi perang Yamaamah dan banyak penghapal Al-Qur’an yang gugur, maka
faktor penghalangnya yang sebelumnya eksis menjadi tidak ada. Ada
faktor pendorong untuk melakukannya, yaitu menjaga Al-Qur’an. Dapat dibaca
artikel terkait : Apakah Setiap Amal yang Tidak Dilakukan di Jaman Nabi
Disebut Bid'ah ?.
from=http://abul-jauzaa.blogspot.co.id/2015/05/pembagian-bidah-secara-syari-dan.html