Fatwa Syaikh Abdul Karim Al Khudhair
Bolehkah ber-ta’abbud (mencari pahala) dengan mencium mushaf Al Qur’an sebagaimana kita ber-ta’abbud ketika mencium hajar aswad?
Mengenai mencium mushaf Al Qur’an, sama sekali tidak ada dalil yang marfu’ dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, juga dari para kibar sahabat Nabi. Berbeda dengan mencium hajar aswad, dalil-dalil tentangnya shahih.
كتاب ربي، كتاب ربي
“kitab Rabb-ku, kitab Rabb-ku“.
Namun atsar ini terdapat inqitha’ (keterputusan sanad) antara Abdullah bin Ummu Mulaikah dengan Ikrimah bin Abi Jahal radhiallahu’anhu.
Karena Abdullah bin Ummu Mulaikah tidak pernah bertemu dengannya, dan
ia bukanlah orang yang diketahui meriwayatkan dari Ikrimah. Oleh karena
itu Al Hafidz Adz Dzahabi mengomentari atsar ini dengan berkata: “mursal“.
Andai kita kesampingkan dulu status sanadnya, atsar ini juga tidak
menunjukkan bolehnya taabbud dengan mencium mushaf. Paling maksimal kita
hanya bisa mengatakan bahwa Ikrimah meletakkan mushaf di wajahnya. Oleh
karena itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa mengatakan:
القيام للمصحف وتقبيله لا نعلم فيه شيئًا
مأثورًا عن السلف، وقد سئل الإمام أحمد عن تقبيل المصحف فقال: ما سمعت فيه
شيئًا، ولكن روي عن عكرمة بن أبي جهل
“Berdiri untuk menghormati mushaf atau mencium mushaf, tidak kami
ketahui adanya riwayat shahih dari para salaf. Imam Ahmad pernah ditanya
mengenai hal ini ia mengatakan: aku tidak pernah mendengar tentangnya
sama sekali, namun diriwayatkan oleh Ikrimah bin Abi Jahal”.
Dan yang juga yang menjadi indikasi kuat lemahnya atsar ini adalah bahwa Ikrimah wafat pada masa khilafah Abu Bakar radhiallahu’anhu.
Dan mushaf belum ada ketika itu, yang ada adalah lembaran-lembarang
yang ada di tangan para sahabat radhiallahu’anhum. Dan berbeda antara
lembaran-lembaran tersebut dengan mushaf, sebagaimana dijelaskan oleh
Ibnu Hajar dalam Fathul Baari.
Adapun mengqiyaskan mencium mushaf dengan mencium hajar aswad, memang
tidak diragukan lagi bahwa mushaf adalah Kalamullah dan ia lebih agung
dari hajar aswad. Namun masalahnya ia adalah qiyas yang tidak shahih,
karena tidak ada qiyas dalam ibadah. Orang yang mencium hajar aswad
mencari pahala dengan hal itu, demikian juga orang yang mencium mushaf.
Padahal tidak ada qiyas dalam ibadah. Oleh karena itu ketika Umar
mencium hajar aswad ia mengatakan:
إني أعلم أنك حجر لا تضر ولا تنفع ولولا أني رأيت النبي -صلى الله عليه وسلم- يقبلك ما قبلتك
“sungguh saya tahu benar bahwa engkau hanyalah batu, tidak
memberi manfaat. Andaikan saya tidak melihat Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam melakukannya, saya tidak akan menciummu” (HR. Bukhari 1597).
Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:
وكل من ألحق منصوصًا بمنصوص يخالف حكمه
فقياسه فاسد، وكل من سوّى بين شيئين أو فرق بين شيئين بغير الأوصاف
المعتبرة في حكم الله ورسوله فقياسه فاسد
“setiap meng-qiyaskan ibadah yang manshush dengan ibadah yang manshush, lalu menyelisihi hukumnya (yang ditunjukkan oleh nash), maka qiyasnya rusak. Dan siapa yang menyamakan dua hal atau membedakan dua hal padahal tidak ada sifat yang mu’tabar dalam hukum Allah dan Rasul-Nya, maka qiyas-nya rusak”.
***
Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/73066
Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel Muslim.or.id