MUQODDIMAH
Para
pembaca yang budiman! Semoga
rahmat Allah senantiasa tercurah kepada kita semua.
Dalam
beberapa pembahasan tentang sifat ‘Uluw telah kita sebutkan tentang argumentasi
Ahlussunnah dalam penetapan sifat ‘Uluw bagi Allah. Baik dari ayat-ayat Al
Qur’an, hadits-hadits shahih, perkataan para ulama terkemuka dari kalangan umat
ini, serta dalil ijma’, logika dan Fitrah.
Pada
kesempatan ini, kita akan bahas tentang bantahan Ahlussunnah terhadap hujah dan
argumentasi sesat yang menjadi pegangan para pengingkar sifat ‘Uluw.
Argumentasi mereka terbagi kepada dua macam; pertama argumentasi logika, kedua
argumentasi takwil.
Maka
bahasan ini akan kita bagi kepada dua bagian:
1. Bantahan
terhadap Syubhat ’Aqliyah (argumen logika) para pengingkar sifat ’Uluw.[eBook ini hanya akan membahas bagian ini (syubhat ‘aqliyah). Ibnu Majjah]
2. Bantahan terhadap argumentasi takwil
terhadap ayat dan hadits-hadits yang menetapkan sifat ‘Uluw bagi Allah.
SYUBUHAT ‘AQLIYAH (ARGUMENTASI
LOGIKA)
PARA PENGINGKAR SIFAT ‘ULUW
PARA PENGINGKAR SIFAT ‘ULUW
Para
pengingkar sifat ‘Uluw mencoba menolak dalil-dali yang menetapkan sifat ‘Uluw
bagi Allah dengan logika pikiran mereka sendiri. Diantara logika-logika yang
mereka analogikan dengan akal pikiran mereka adalah seperti berikut:
I.
Logika Pertama: Kalau Allah itu memiliki sifat ‘Uluw berarti Allah itu
memiliki arah dan tempat…?!
Orang-orang
Ahlul kalam berlogika: kalau kita menetapkan
sifat ‘uluw bagi Allah! Berarti kita mengatakan bahwa Allah itu
berada/bertempat pada satu arah (jihah). Sedangakan sifat memiliki
arah/tempat adalah khusus bagi makhluk. Karena arah/tempat itu tercipta setelah
terciptanya makhluk. Hal ini menurut Ahlul kalam melazimkan Allah itu
menyerupai makhluk yang berada/terkungkung dalam arah/tempat tertentu. Pada hal
Allah itu Maha Suci dari menyerupai makhluk-Nya. Barang siapa yang mengatakan
Allah memiliki sifat ‘uluw berarti orang tersebut menyerupakan Allah dengan
makhluk-Nya?!
Jawaban Ahlussunnah untuk
argumentasi mereka tersebut sebagai berikut:
1. Penafian maupun
penetapan kata-kata jihah bagi Allah tidak pernah terdapat baik dalam Al
Qur’an dan sunnah maupun perkataan para ulama salaf. Maka kita tidak boleh
menafikan maupun menetapkan sesuatu sifat terhadap Allah yang tidak disebutkan
Al Qur’an maupun sunnah. Hal ini diharamkan dalam agama Islam karena
berbicara/menisbahkan tentang sesuatu kepada Allah عزّوجلّ tanpa ada dalilnya. Boleh jadi
sesuatu yang dinafikan itu benar adanya, atau sebaliknya boleh jadi juga hal
yang ditetapkan itu tidak benar adanya. Karena masing-masing dari kedua belah
pihak sama-sama tidak memilik argumentasi/dalil atas pernyataanya.
2. Kata-kata jihah
adalah termasuk kalimat yang mujmal (global/samar). Untuk itu perlu
diminta penjelasan dari maksud kalimat tersebut dari sipengucapnya. Kata-kata jihah
bisa berarti jihah (arah/tempat)
makhluk, dan bisa pula berarti jihah yang di luar makhluk. Bila jihah
diartikan (arah/tempat) makhluk, maka jelas Allah tidak bertempat pada
makhluknya. Ahlussunnah tidak pernah memahami bahwa Allah dikungkung atau
berada dalam makhluk-Nya. Akan tetapi bila jihah
diartikan adalah jihah Allah itu sendiri tidak bukan jihah
makhluk, maka Allah berada pada jihah-Nya sendiri yaitu di atas seluruh
makhluk (‘Uluw mutlak). Namun
demikian Ahlussunnah tidak memboleh penggunakan kata-kata jihah untuk
penyebutan sifat ‘Uluw. Karena menimbulkan kesamaran dan membawa perselisihan
disamping itu juga tidak sesuai dengan istilah yang terdapat dalam Al Qur’an
hadits. Tidak satupun dalil dalam Al Qur’an maupun sunnah mempergunakan
kata-kata jihah untuk penyebutan sifat ‘Uluw. Sesunggunya Allah telah
memilih lafaz-lafaz yang sempurna dalam wahyu-Nya, yang tidak ada kesamaran dan
kebatilan di dalamnya. Apakah kita akan merubah
lafaz yang dipilih Allah dan dipilih oleh rasul-Nya?! Ini adalah salah satu
sebab kesesatan orang-orang yahudi yaitu suka merubah-rubah kalimat Allah. Kalimat jihah biasanya
digunakan oleh para Ahlul kalam untuk menyamarkan tentang maksud mereka. Mereka
menamakan sifat ‘Uluw dengan jihah
agar orang-orang awam tertipu dengan tujuan mereka. Maka oleh sebab itu salah satu metode dari manhaj para penentang kebenaran adalah menamakan
kebenaran itu dengan istilah yang dapat membuat orang lari dari kebenaran
tersebut. Seperti
di sini mereka menggunakan istilah jihah
bagi sifat ‘Uluw agar orang-orang awam tertipu dan percaya terhadap apa yang
mereka samarkan tersebut.
3. Suatu hal yang
sangat aneh dari sikap orang-orang Ahlul kalam, mereka menafikan jihah
(arah/tempat) bagi Allah karena jihah adalah makhluk. Akan tetapi pada
waktu yang sama mereka mengakatan bahwa zat Allah عزّوجلّ berada pada setiap jihah
(tempat/ arah)?! Jusru mereka-lah orang-orang Ahlul kalam yang mengatakan bahwa
Allah itu berada dan bertempat dalam makhluk-Nya, bukan Ahlussunnah…! Kemana
logika kalian wahai Ahlul kalam….!!!, jika kalian tidak malu maka katakanlah
dan lakukanlah apa yang kalian mau…?!
II. Logika kedua: Kalau Allah itu
berada di atas ‘Arasy berarti Allah itu butuh kepada ‘Arasy?!
Menurut
logika orang-orang Ahlul kalam jika Allah عزّوجلّ beristiwa’
di atas ‘Arasy, melazimkan Allah itu butuh kepada ‘Arasy dan bila seandainya
‘Arasy tidak ada, maka tentu Allah akan jatuh. Seperti keberadaan orang di atas kapal dan di atas
hewan tunggangan, seandainya kapal tersebut tenggelam maka tenggelam pula orang
yang berada di atasnya, begitu pula seandainya hewan tunggangan tersebut
tergelicir maka sipenunggangnya akan jatuh tersungkur.
Maka
orang-orang Ahlul kalam berkesimpulan menafikan sifat Istiwa’ bagi Allah karena
Allah tidak butuh kepada ‘Arasy. Siapa yang mengatakan Allah عزّوجلّ beristiwa’ di atas ‘Arasy, berarti ia mengatakan Allah itu butuh kepada
‘Arasy.
Jawaban Ahlussunnah untuk
argumentasi mereka tersebut sebagai berikut:
1. Dalam analog dan
perumpamaan yang dibuat oleh orang-orang Ahlul kalam di muka adalah
menyerupakan istiwa’ Allah عزّوجلّ dengan
istiwa’ makhluk, disini awal kesalahan
mereka. Karena mereka memahami dari istiwa’ Allah tersebut seperti istiwa’-nya makhluk di atas makhluk lain.
Hal ini adalah menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk. Untuk menghindari
penyerupaan Allah dengan makhluk, mereka mengingkari istiwa’ Allah dan
mentakwilnya dengan makna yang lain (Istila’). Sedangkan Allah menisbahkan sifat istiwa’ kepada diri-Nya,
artinya istiwa’ Allah tidak seperti istiwa’ makhluk. Sebagaimana Allah عزّوجلّ menisbahkan sifat-sifat lain kepada
diri-Nya, seperti sifat melihat, mendengar dan lainnya. Kita meyakini Allah
mendengar dan melihat akan tetapi penglihatan
dan pendengaran Allah عزّوجلّ tidak
seperti pendengaran dan penglihtan makhluk. Demikian pula sifat istiwa’, Allah
beristiwa’ di atas ‘Arasy akan tetapi istiwa’ Allah tidak seperti istiwa’
makhluk yang bergantung kepada tempat istiwa’-nya.
2. Orang-orang
Ahlussunnah dalam mengimani sifat istiwa’ bagi Allah عزّوجلّ, tidak pernah meyakini bahwa Allah
itu beristiwa’ sebagaimana beristiwa’nya makhluk, apalagi sampai mengatakan
bahwa Allah itu butuh kepada ‘Arasy. Ini adalah tuduhan yang sengaja
dibuat-buat oleh Ahlul kalam agar orang-orang awam lari dari pemahaman Ahlussunnah.
Bagaimana bisa dikatakan Allah عزّوجلّ
butuh pada ‘Arasy, sedangakan ‘Arasy itu sendiri makhluk yang keberadaannya
butuh kepada Allah عزّوجلّ. Siapa saja
yang membaca dan meneliti karangan ulama-ulama Ahlussunnah dalam maslah ini
tidak akan pernah mendapatkan sedikitpun apa yang dituduhkan oleh orang-orang
Ahlul kalam tersebut.
3. Dalam kenyataan
di alam ini, Allah عزّوجلّ menciptakan
sebahagian makhluk di atas sebahagian yang lainnya. Namun tidak mesti butuh
bergantung kepada yang di bawahnya, sekalipun posisinya berada di atas. Seperi
udara/angin berada diatas bumi, ia tidak butuh bergantung kepada bumi. Begitu
juga Awan berada di atas bumi, ia tidak butuh bergantung kepada bumi, sekalipun
ia di atas bumi. Demikian pula langit yang tujuh, salah satu berada di atas
yang lainnya, dan langit pertama berada di atas bumi. Masing-masing tidak butuh
kepada bumi. Buktinya ketika terjadi gempa di bumi, langit pertama tidak jatuh
ke bumi. Jika makhluk
sesama makhluk saja tidak mesti butuh kepada mahkluk lain yang di bawahnya, apa
lagi Allah yang Maha Kaya dan Maha Perkasa, walaupun Allah itu beristiwa’ di
atas ‘Arasy tidak mesti Allah عزّوجلّ itu butuh pada ‘Arasy.
4. Orang-orang
Ahlul kalam mentakwil kata-kata istiwa’ dengan istila’, dengan alasan agar
tidak menyerupakan Allah عزّوجلّ dengan makhluk, karena istiwa’ adalah sifat
makhluk. Di
sini terlihat lagi keanehan orang-orang Ahlul kalam, mereka terperosok kedalam
lobang yang mereka gali sendiri. Karena makhluk-pun bersifat istila’, berarti
orang-orang Ahlul kalam-pun menyerupakan Allah dengan makhluk…?! Kapan
orang-orang Ahlul kalam akan berhenti dari membuat keanehan dalam keyakinan
mereka…?! Mereka menuduh Ahlussunnah menyerupakan Allah dengan makhluk justru
mereka-lah yang menyerupakan Allah dengan makhluk. Sebagaimana kita lihat dalam
analog logika mereka di muka, menyerupakan istiwa’ Allah dengan istiwa’ makhluk
(tasybih). Lalu setelah mereka lakukan takwil terhadap sifat istiwa’
dengan istila’ (ta’thil). Tanpa mereka sadari mereka terjatuh
lagi pada tasybih, karena makhluk-pun memiliki sifat istila’
(tasybih). Betapa indahnya pribahasa ini: “Betapa besar aib atas dirimu,
kamu mencegah sesuatu yang kamu lakukan”.
III.Logika ketiga: Kalau Allah beristiwa’ di atas ‘Arasy!
Berarti Allah memiliki tubuh, setiap yang memiliki tubuh adalah berjasad.
Orang-orang
Ahlul kalam berasumsi: kalau Allah عزّوجلّ itu
beristiwa’ di atas ‘Arasy, tentu Allah itu memiliki tubuh, karena istiwa’
adalah sifat bagi setiap yang bertubuh. Setiap yang bertubuh adalah berjasad.
Sedangkan Allah Maha Suci dari berjasad. Kesimpulannya adalah berarti Allah itu
tidak beristiwa’, karena Allah عزّوجلّ
tidak berjasad.
Jawaban Ahlussunnah untuk
argumentasi tersebut sebagai berikut:
1. Orang-orang
Ahlul kalam mengingkari sifat istiwa’ dengan alasan melazimkan bahwa Allah عزّوجلّ
itu berjasad, karena yang setiap yang istiwa’ adalah bertubuh dan setiap
yang bertubuh mesti berjasad. Demikian analogi argumentasi mereka Ahlul kalam
dalam mengingkari sifat istiwa’ bagi Allah, Dalam analogi mereka tersebut
terdapat beberapa kekeliruan: Justifikasi mereka bahwa setiap yang memiliki
sifat mesti bertubuh, setiap yang memiliki tubuh mesti berjasad, ini adalah
kesimpulan dan analogi yang keliru. Dari mana mereka dapat memastikan kesimpulan
seperti ini? Karena
dalam kenyataan di alam ini, banyak sekali makhluk yang memiliki sifat, akan
tetapi ia tidak bertubuh. Ada pula diantara makhluk yang memiliki sifat dan
tubuh, akan tetapi ia tidak berbentuk
jasad. Sepeti halnya
angin, petir dan kilat memiliki sifat qudrat (kekuatan), akan tetapi
tidak memiliki tubuh dan jasad. Demikian pula malaikat dan jin mereka memiliki
sifat ilmu, qudrat dan kalam (berbicara), mereka memilki tubuh akan
tetapi tidak berjasad. Begitu
pula halnya roh manusia dapat bergerak kemana-mana, akan tetapi tidak berjasad.
Jadi
tidak benar kesimpulan yang dibuat orang-orang Ahlul kalam: bahwa setiap yang
memiliki sifat adalah bertubuh, dan setiap yang memiliki tubuh adalah berjasad.
2. Kalimat jasad
sama seperti kalimat jihah, memiliki pengertian yang samar-samar dan
multi tafsir. Tidak terdapat dalam Al Qur’an maupun dalam sunnah tentang
penetapan dan penafiannya. Jika jasad diartikan bagi setiap sesuatu yang
memilki sifat, maka hal ini tidak bisa dinafikan bagi Allah عزّوجلّ, karena Allah عزّوجلّ memilki sifat. Akan tetapi tidak
boleh digunakan untuk sifat-sifat Allah dengan kalimat jasad, karena
menimbulkan kebimbangan dan perselisihan di tengah-tengah kaum muslimin. Dan bila jasad diartikan bagi setiap
sesuatu yang memilki fostur atau bodi seperti makhluk, maka hal ini tidak boleh
dinisbahkan kepada Allah. Karena sifat-sifat Allah عزّوجلّ tidak serupa dengan sifat-sifat
makhluk.
3. Jika orang-orang
Ahlul kalam berkesimpulan setiap yang memiliki sifat adalah betubuh, dan setiap
yang memilki tubuh adalah berjasad. Barang siapa yang mengatakan Allah عزّوجلّ itu memilki sifat istiwa’ berarti
ia telah mengatakan Allah itu bertubuh. Dan bila ia mengatakan Allah itu
bertubuh berarti ia mengatakan Allah itu berjasad. Barangsiapa yang mengatakan
Allah itu berjasad berarti ia menyerupakan Allah عزّوجلّ dengan makhluk. Disini kita akan menyaksikan kembali orang-orang Ahlul
kalam tersungkur kedalam lubang yang mereka gali sendiri. Orang-orang Ahlul kalam
mengatakan bahwa Allah itu memiliki sifat: wujud
(ada), qudrat, ilmu, melihat, mendengar dan lain-lain. Berarti mereka juga mengatakan Allah عزّوجلّ itu berjasad, karena menurut analogi
mereka setiap yang memiliki sifat mesti bertubuh, setiap yang memiliki tubuh
mesti berjasad. Maka pada akhirnya mereka orang-orang Ahlul kalam juga
menyerupakan Allah عزّوجلّ dengan
makhluk. Bila
mereka berkomentar, sesungguhnya sifat-sifat Allah tersebut tidak serupa dengan
sifat-sifat makhluk. Maka komentar yang sama mesti pula mereka terapkan
terhadap sifat istiwa’, bahwa istiwa’ Allah tidak serupa dengan istiwa’
makhluk. sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang Ahlussunnah wal jama’ah.
IV. Logika keempat: Jika Allah
beristiwa’ di atas ‘Arasy berarti Allah itu menyerupai makhluk.
Orang-orang
Ahlul kalam berasumsi: Jika Allah beristiwa’ di atas ‘Arasy berarti Allah itu
menyerupai makhluk. Pada hal Allah عزّوجلّ itu
tidak serupa dengan makhluk, maka kesimpulannya Allah itu tidak beristiwa’ di
atas ‘Arasy. Karena istiwa’ adalah sifat makhluk.
Jawaban Ahlussunnah untuk
argumentasi tersebut sebagai berikut:
Asumsi
mereka: “Jika Allah beristiwa’ di atas ‘Arasy berarti Allah عزّوجلّ itu menyerupai makhluk”. Ini adalah
asumsi yang salah, karena Allah itu tidak serupa dengan makhluk baik dalam zat
maupun sifat begitu pula dalam perbuatan. Meskipun penyebutan nama terhadap sifat
tersebut sama, akan tetapi hakikat (kaifiyah) dari sifat tersebut jauh
berbeda. Sebagaimana kita meyakini Allah عزّوجلّ itu melihat dan mendengar, akan
tetapi tidak serupa dengan sifat makhluk yang melihat dan mendengar. Demikian
pula dalam sifat ‘Uluw/Istiwa’, Allah beristiwa’ tidak seperti istiwa’-nya makhluk.
Hal
ini bisa juga dijawab dengan dua kaidah yang telah berlalu kita jelaskan dalam
kaidah-kaidah dalam memahami sifat-sifat Allah.
Pertama: bahwa kita mengimani sifat Allah
sebagaimana kita mengimani zat Allah عزّوجلّ.
Allah memiliki zat akan tetapi tidak serupa dengan zat makhluk. Begitu pula
dalam hal sifat, Allah عزّوجلّ memiliki
sifat akan tetapi tidak serupa dengan sifat makhluk, meskipun dari segi
penamaan sama, akan tetapi hakikat masing-masing sifat tersebut berbeda.
Kedua: mengimani sebahagian sifat
sebagaimana mengimani sifat yang lainnya. Sebagaimana kita mengimani sifat
qudrat bagi Allah عزّوجلّ,
bahwa qudrat Allah tidak sama dengan qudrat makhluk. Demikian pula dalam
mengimani sifat istiwa’ bagi Allah عزّوجلّ, bahwa istiwa’ Allah tidak sama
dengan istiwa’ makhluk. Meskipun dalam segi penamaan sama, akan tetapi hakikat
(kaifiyah) masing-masing sifat tersebut berbeda.
V. Logika kelima: Kalau Allah itu
beristiwa di atas ‘Arasy berarti Allah itu melakukan sesuatu yang baru.
Menurut
logika orang Ahlul kalam; setiap sesuatu yang melakukan sesuatu yang baru
adalah baru (makhluk). Dan Allah tidak beristiwa’ karena Allah itu bersifat qodim
(tidak baru). Menetapkan sifat istiwa’ bagi Allah عزّوجلّ berarti menafikan sifat qodim
bagi Allah.
Jawaban Ahlussunnah untuk
argumentasi tersebut sebagai berikut:
1. Logika orang Ahlul kalam di atas jelas
bertentangan dengan ayat-ayat yang menyatakan bahwa Allah berbuat dengan
sekehendak-Nya, baik yang berhubungan dengan sifat-sifat-Nya maupun perbuatan-Nya. Seperti firman
Allah: {إِنَّ
رَبَّكَ فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ} “Sesungguhnya Tuhanmu Maha berbuat terhadap apa yang
Dia kehendaki”. (QS. Huud: 107). Dan firman Allah: {ذُو الْعَرْشِ الْمَجِيدُ. فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ} “Yang
mempunyai ‘Arsy, lagi Maha Mulia, Maha berbuat apa yang dikehendaki-Nya”. (QS.
Al Buruuj: 15-16).
2. Para ulama
membagi sifat Allah kepada dua bentuk: (a) sifat zatiyah, (b) sifat fi’liyah.
Sifat zatiyah
ialah sifat yang senantiasa melekat dengan zat Allah. Adapun sifat fi’liyah
adalah sifat yang dilakukan Allah sesuai dengan kehendak-Nya. Atau dengan kata
lain; sifat fi’liyah kemunculannya sesuai dengan kehendak Allah, Jika Allah
berkehendak sifat tersebut Allah lakukan pada saat Dia kehendaki untuk
melakukannya. Seluruh
sifat-sifat Allah adalah mengikut kepada zat-Nya, meskipun sifat tersebut
dikatakan baru dalam pandangan makhluk, namun tidak berarti bahwa zat Allah
juga baru. Karena Allah عزّوجلّ memiliki
kemampuan untuk melakukan/memiliki sifat tersebut sejak azaly. Akan
tetapi kemunculan sifat fi’liyah tersebut sesuai dengan plihan dan kehendak
Allah عزّوجلّ untuk melakukannya. Diantara contoh tentang sifat
fi’liyah yang disebutkan para ulama adalah: (a) sifat Ar Razq (Yang
memberi rizki), kemunculan sifat ini setelah adanya makhluk yang diber rizki
oleh Allah. (b) sifat Al Ihyaa’ (Yang menghidupkan), kemunculan sifat
ini setelah adanya makhluk yang dihidupkan oleh Allah. (c) sifat Al Imaatah
(Yang mematikan), kemunculan sifat ini setelah adanya makhluk yang dimatikan Allah.
Meskipun
kemunculan sifat-sifat tersebut setelah adanya makhluk, akan tetapi sifat-sifat
tersebut tidak disebut sifat yang baru bagi Allah atau bergantung kepada
makhluk, karena Allah عزّوجلّ memiliki
kemampuan untuk melakukan sifat-sifat tersebut sejak azaly.
Demikian
pula halnya sifat istiwa’, kemunculannya setelah diciptakannya ‘Arasy, akan
tetapi bukan berarti istiwa’ Allah عزّوجلّ
bergantung kepada ‘Arasy tersebut, karena Allah عزّوجلّ memiliki kemampuan untuk melakukan
sifat tersebut sejak azaly.
3. Seandainya sifat istiwa’ bertentangan dengan
sifat qodim (Al Awal) bagi Allah, tentu Allah tidak akan
menetapkan sifat tersebut bagi diri-Nya dalam Al Qur’an sebanyak tujuh kali[1].
Demikian pula Rasulullah صلى الله عليه وسلم tidak akan mungkin mendiamkan hal
itu terhadap umatnya. Pastilah Rasulullah صلى الله عليه وسلم akan menjelaskan kepada para
sahabatnya, berikutnya para sahabat-pun akan menjelaskannya pula kepada para
tabi’in.
Wallahu
A’lam.[]
[1]
Lihat: QS. Al
A’raaf (7): 54, Yunus (10): 3, Ar Ra’d (13): 2, Thohaa (20): 5, Al Furqan (25):
59, As Sajdah (32): 4, Al Hadid (57): 4.
_________________________
dari:
Jawaban Ahlussunnah Terhadap Para
Pengingkar Sifat 'Uluw Bagi Alloh
Oleh : Ustadz Dr. Ali Musri Semjan Putra, MA حفظه الله
Oleh : Ustadz Dr. Ali Musri Semjan Putra, MA حفظه الله