Oleh
Ustadz Nur Kholis bin Kurdian Lc
Di
era globalisasi ini, dunia betul-betul terasa kecil seperti bola.
Berita dari ujung dunia dalam hitungan detik dapat disebarkan ke
seluruh penjuru, melalui situs-situs internet maupun jejaring sosial. Akan tetapi, tidak semua berita yang disebar tersebut benar dan baik untuk dikonsumsi masyarakat.
Terkadang berita itu bohong belaka, mengandung unsur fitnah dan
hasutan, dan ada pula yang membuat kerdil hati kaum Muslimin. Amat
disayangkan, ada di antara pengguna dari kaum Muslimin yang mudah
mengutip dan menyebarkannya kepada yang lain, tanpa memperhatikan
kebenaran dan madharat sebuah berita. Tulisan ini akan membahas
etika-etika yang seharusnya dilakukan oleh seorang Muslim dalam
menyebarkan berita berdasarkan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
JANGAN MUDAH MENYEBARKAN SETIAP BERITA
Hendaknya
seorang Muslim berhati-hati dalam berbicara dan berbuat, jangan mudah
menyebarkan setiap berita yang didengar atau yang dibaca, tanpa
mengetahui kebenarannya, karena perbuatan tersebut madharatnya lebih
besar dan tercela. Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebut orang
yang seperti itu dengan sebutan pendusta dalam hadits.
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
Cukup seseorang itu dikatakan pendusta jika ia mudah menyebarkan setiap berita yang ia dengar. [Shahih Muslim no.4]
Disamping perbuatan tersebut menyebabkan si pelaku mendapatkan predikat pendusta, hal itu juga merupakan sebuah perbuatan yang juga dibenci oleh Allah Azza wa Jalla, karena masuk dalam penyebaran desas-desus. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
إِنِّ اللهَ كَرِهَ لَكُمْ ثَلاَثاٌ : قِيلَ وَقَالَ ، وَإِضَاعَةَ المَالِ ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla membenci tiga perkara : menyebarkan desas-desus, menghambur-hamburkan harta, banyak pertanyaan yang tujuannya untuk menyelisihi jawabannya. [Shahih al-Bukhari no. 1477, Lihat Shahih Muslim no. 1715]
LAKUKAN KLARIFIKASI TERLEBIH DULU
Seorang
Muslim jika ingin menyebarkan suatu berita, hendaknya ia mengecek
kembali kebenarannya sebelum menyebarkannya. Mungkin saja, berita
tersebut bersumber dari orang fasik atau pendusta atau musuh Islam atau sekedar dugaan belaka, yang efek negatifnya mungkin bisa merugikan si penyebar berita itu sendiri atau kaum Muslimin.
Abu
Mas’ud Radhiyallahu anhu pernah ditanya, “Apa yang pernah engkau
dengarkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang prasangka atau dugaan?. Ia menjawab, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
بِئْسَ مَطِيَّةُ الرَّجُلِ زَعَمُوا
Dugaan-dugaan adalah sejelek-jelek sandaran seseorang.[Sunan Abu Dawud no. 4972. Hadits Shahih lihat Ash-Shahihah no.866]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ
فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ
مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Wahai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa
berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan
musibah kepada suatu kaum karena kebodohanmu, yang menyebabkan kamu
menyesal atas perbuatanmu itu.[Al-Hujurat/49:6]
PIKIRKANLAH SISI POSITIF DAN SISI NEGATIFNYA
Lihatlah
bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika memberikan
kabar kepada Muadz bin Jabal Radhiyallahu anhu tentang hak Allah Azza
wa Jalla atas hamba-Nya dan hak hamba atas Allah Azza wa Jalla.
Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa hak
Allah Azza wa Jalla atas hambaNya adalah hendaknya mereka menyembah-Nya
dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu, dan hak hamba atas Allah
Azza wa Jalla adalah tidak menyiksa hamba yang bertauhid dan tidak
menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, kemudian ketika Muadz Radhiyallahu
anhu meminta ijin kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
mengabarkan hal itu kepada yang lainnya. Akan tetapi Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya dengan bersabda.
لاَ تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوا
Jangan
kamu beritakan hadits ini kepada mereka, (dikhawatirkan salah paham),
sehingga merasa cukup dengan tauhid dalam hati dan meninggalkan amal
shalih.[Shahih al-Bukhari no. 2856, Lihat shahih Muslim no. 49]
Di sini, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memikirkan madharat dan fitnah yang akan terjadi
jika umatnya yang waktu itu belum siap mendengarkan hadits tersebut
lalu mendengarnya, karena tidak semua orang memiliki pemahaman seperti
Muadz Radhiyallahu anhu, dan tidak semua orang dapat memahami hadits
tersebut dengan pemahaman positif. Akhirnya Beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam melarang menyampaikan hadits tersebut kepada yang lainnya.
Tindakan
tersebut adalah tindakan yang arif dan bijaksana, tidak seperti
tindakan sebagian orang yang mudah menyebarkan perkataan seseorang
dengan tanpa melihat sisi madharatnya, sehingga menimbulkan fitnah yang
tidak karuan akibatnya. Hasbunallahu wani’mal wakil.
BERSIKAPLAH TENANG, JANGAN TERBURU-BURU
Ketika mendapatkan suatu berita, janganlah kita terburu-buru menyebarkannya.
Mari kita bersikaplah bijak dan tenang, karena sesungguhnya sikap
tenang itu terpuji. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda.
التَّأَنَّي مَنَ اللَّهِ، وَالْعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ
Sikap tenang itu dari Allah Azza wa Jalla, sedangkan sikap tergesa-gesa adalah dari setan. [Hadits hasan, Lihat Ash-Shahihah no. 1795]
Dalam
hal ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan
contoh kepada umat. Saat itu, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
hendak menyerang orang-orang kafir Quraisy di Makkah. Akan tetapi
berita ini dibocorkan oleh Hathib bin Abi Balta’ah Radhiyallahu anhu
secara sembunyi-sembunyi melalui surat yang ia tulis. Singkat cerita,
setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan surat tersebut.
Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya dan
bertanya-tanya kepadanya, “Kenapa kau lakukan ini, wahai Hathib?”.
Di sini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tergesa-gesa
menghukumnya atau langsung membunuhnya disebabkan perbuatan kufur
tersebut. Akan tetapi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan
terlebih dahulu sebab yang melatarbelakangi perbuatannya itu. Kemudian
Hathib Radhiyallahu anhu menjawab, “Wahai
Rasulullah, meskipun aku dekat dengan mereka tapi aku bukan dari
mereka. Aku melakukan ini bukan karena aku benci dan keluar dari Islam,
akan tetapi aku meninggalkan kerabatku di Makkah. Aku tidak ingin kalau
mereka di sakiti oleh orang-orang Quraisy. Aku lakukan ini agar
kerabat-kerabatku selamat dari gangguan mereka. Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam pun memakluminya. Tatkala Umar bin Khaththab
Radhiyallahu anhu meminta izin kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam untuk memenggal kepala Hathib, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab.
إِنَّهُ
قَدْ شَهِدَ بَدْرًا، وَمَا يُدْرِيْكَ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَكُونَ قَدِ
اطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ : اعْمَلُوامَا شِئْتُمْ فَقَدْ
غَفَرْتُ لَكُمْ
Dia
pernah ikut berjihad di Perang Badar, Wahai Umar!. Dan ketahuilah bahwa
Allah ketika melihat para pasukan Perang Badar, Dia Azza wa Jalla
berfirman, “Lakukanlah apa saja yang kalian mau, maka sesungguhnya Aku telah mengampuni dosa-dosa kalian”.[Shahih al-Bukhari no. 3007]
Semoga
Allah Azza wa Jalla senantiasa memberikan taufiq, hidayah dan
inayah-Nya kepada kita semua, sehingga bisa mengamalkan
petunjuk-petunjuk Nabi-Nya yang mulia.
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIX/1436H/2015. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak
Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
Sumber: https://almanhaj.or.id/5936-petunjuk-nabi-shallallahu-alaihi-wa-sallam-dalam-menyebarkan-berita.html