Islam Pedoman Hidup: Demonstrasi (Bagian Pertama): Ta’shiil (Pondasi) Tentang Haramnya Demonstrasi

Rabu, 02 November 2016

Demonstrasi (Bagian Pertama): Ta’shiil (Pondasi) Tentang Haramnya Demonstrasi

 

Melakukan Demonstrasi Itu Berarti Secara Tidak Sadar LOYAL Kepada Orang KAFIR

LOYAL TANPA SADAR (DEMONSTRASI)

Di antara prinsip ‘Aqidah yang mendasar dalam syari’at Islam adalah prinsip Al-Wala Wal Bara’ (sikap loyal dan berlepas diri). Dalam pembahasan yang luas -berkaitan dengan masalah Al-Wala Wal Bara’ ini- ada satu pasal penting dalam Al-Wala Wal Bara’; yaitu: membenci orang-orang yang dibenci Allah -‘Azza Wa Jalla- dan berlepas diri dari mereka. Seperti: membenci orang kafir, musyrik, komunis, atheis, munafik dan lain-lain. Walaupun mereka tidak menghina islam; mereka wajib dibenci dan kita berlepas diri dari mereka, terlebih lagi jika mereka menghina dan menghujat Islam yang mulia ini.

Namun tanpa disadari, emosi yang meledak dan menggebu dari sebagian kaum muslimin yang berteriak anti kafir penista agama; justru sikap mereka pada hakikatnya loyal kepada orang-orang kafir.

Orang beriman manapun pasti dan harus marah melihat atau mendengar Agamanya dinistakan. Namun jangan sampai salah langkah. Bahkan meninggalkan sunah Nabi yang mulia dalam menasehati pemimpin serta lebih memilih cara-cara orang kafir menasehati pemimpin mereka.

Ketahuilah!! sesungguhnya bentuk loyalitas terhadap orang kafir sangatlah banyak. Di antara bentuk loyalitas kepada mereka adalah tasyabbuh kepada mereka.
Syaikh al-Fauzan berkata:
Di antara bentuk loyalitas yang nampak pada orang kafir

1. Tasyabbuh (menyerupai mereka) dalam pakaian, pembicaraan, dan selainnya.

Karena tasyabbuh (menyerupai mereka) dalam pakaian, pembicaraan dan lainnya menunjukkan kepada kecintaan kepada orang yang ditiru. Oleh sebab itu Nabi shallallahu alaihi wa salam bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ؛ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai satu kaum; maka dia termasuk kaum tersebut.” HR. Abu Daud (no. 4033).

Maka diharamkan Tasyabbuh dengan orang kafir dalam hal yang khusus bagi mereka; berupa: adat kebiasaan mereka, ibadah mereka, sifat dan akhlak mereka; seperti memotong jenggot, memanjangkan kumis, berbicara dengan bahasa mereka, kecuali apabila dibutuhkan dan dalam bentuk pakaian, cara makan dan minum, serta selainnya.” [Al-Walaa Wal Baraa’ Fil Islaam (hlm. 3)]

Yang menjadi titik permasalahannya sekarang ini adalah: menentang kafir penista agama dengan berdemonstrasi. Padahal demonstrasi adalah produk unggulan dari demokrasi, dan demokrasi adalah sistem kufur yang kita -sebagai muslim- wajib berlepas dari dari sistem kufur seperti ini.

Ironis memang, berjuang untuk islam “yang katanya” menolak dan menghujat si kafir dalam satu sisi; tapi justru loyal -pada sisi lain- kepada orang kafir.

Yang lebih aneh bin ajaib adalah: sikap sebagian ikhwan pengajian yang sebagian mereka terombang-ambing dalam fitnah ini, ada yang membolehkan -sampai mencari-cari dalil yang kalau sekiranya ada di ujung dunia pun akan dicarinya; yang pada hakikatnya itu bukanlah dalil-. Atau mencari-cari fatwa serampangan -padahal fatwa ulama Kibar dan Rabbani sudah jelas dan tegas melarang dan mengharamkan demonstrasi-.

Bahkan ada yang sibuk mengambil kesimpulan dari perkataan Da’i -yang dikira sebagai angin segar membenarkan perbuatan mereka-; namun ketika diteliti dan ditanya: ternyata para Da’i itu pun berlepas diri dari kesimpulan dari orang-orang yang mendukung demonstrasi.

Sungguh aneh fenomena yang terjadi akhir zaman ini: sangat banyak peristiwa yang tidak kita dapati di medan Dakwah di masa lalu; ternyata terjadi di zaman kita sekarang. Karena sebab inilah kita akan membahas dalil-dalil haramnya demonstrasi. Karena agama islam tegak dengan Dalil dan Nash; bukan hanya katanya atau menurut saya.

DALIL-DALIL DIHARAMKANNYA DEMONSTRASI 

PERTAMA: DEMONSTRASI MENAFIKAN/MENIADAKAN KESABARAN YANG DIPERINTAHKAN NABI -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- TERHADAP KEZHALIMAN PENGUASA.

Sangat banyak Hadits-Hadits Shahih yang memerintahkan kita bersabar dengan pemerintahan yang zhalim. Dan melakukan demonstrasi adalah menafikan kesabaran tersebut. SENGAJA SAYA BAWAKAN HADITS YANG BANYAK KARENA INILAH MANHAJ: BERPEGANG KEPADA DALIL. KALAUPUN BERPEGANG KEPADA FATWA; MAKA FATWA YANG BERSANDAR PADA DALIL.

Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-:
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً وَأُمُورًا تُنْكِرُونَهَا. قَالُوا: فَمَا تَأْمُرُنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ :أَدُّوا إِلَيْهِمْ حَقَّهُمْ، وَسَلُوا اللَّهَ حَقَّكُمْ

Sesungguhnya sepeninggalku kalian akan melihat atsarah (egoisme pemimpin yang mementingkan diri sendiri) dan perkara-perkara yang kalian ingkari.
Para sahabat berkata: ”Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Tunaikanlah hak mereka, dan mintalah hak kalian kepada Allah!” HR. Al-Bukhari (no. 7052) dan Muslim (no. 4881)
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، عَنْ أُسَيْدِ بْنِ حُضَيْرٍ: أَنَّ رَجُلاً مِنَ الأَنْصَارِ خَلاَ بِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-، فَقَالَ: أَلاَ تَسْتَعْمِلُنِي كَمَا اسْتَعْمَلْتَ فُلاَنًا؟ فَقَالَ: إِنَّكُمْ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِى أَثَرَةً، فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِي عَلَى الْحَوْضِ

Dari Anas bin Malik, dari Usaid bin Hudair: Sesungguhnya ada seorang lelaki dari kalangan Anshar menemui Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- empat mata, kemudian Shahabat itu berkata: “Tidakkah engkau mengangkatku (menjadi pegawai) sebagaimana engkau mengangkat fulan?” Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Sesungguhnya kalian akan melihat pemimpin yang hanya mementingkan diri sendiri, bersabarlah! Sampai kalian bertemu denganku di telaga! HR. Al-Bukhari (no. 6648), Muslim (no. 4885), dan At- Tirmidzi (no. 2189).

عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَائِلٍ الْحَضْرَمِي، عَنْ أَبِيهِ ،قَالَ: سَأَلَ سَلَمَةُ بْنُ يَزِيدَ الْجُعْفِي رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-، فَقَالَ: يَا نَبِي اللَّهِ! أَرَأَيْتَ إِنْ قَامَتْ عَلَيْنَا أُمَرَاءُ؛ يَسْأَلُونَا حَقَّهُمْ، وَيَمْنَعُونَا حَقَّنَا، فَمَا تَأْمُرُنَا؟ فَأَعْرَضَ عَنْهُ، ثُمَّ سَأَلَهُ؛ فَأَعْرَضَ عَنْهُ، ثُمَّ سَأَلَهُ فِي الثَّانِيَةِ أَوْ فِي الثَّالِثَةِ؛ فَجَذَبَهُ الأَشْعَثُ بْنُ قَيْسٍ، وَقَالَ: اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا! فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُم

Dari Alqamah bin Wa-il Al-Hadhrami, dari ayahnya: Bahwa Salamah bin Yazid Al-Ju’fi bertanya kepada Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-:
Wahai Nabi Allah, bagaimana menurutmu apabila tegak di atas kami: pemimpin yang mereka meminta kepada kami hak mereka, dan mencegah kami dari hak kami, apa yang kamu perintahkan kepada kami? Kemudian Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- berpaling darinya. Kemudian dia bertanya lagi; dan Rasulullah berpaling darinya, kemudian bertanya lagi dua atau tiga kali. Kemudian ditariklah dia oleh Al-Ats’ats bin Qais. Dan Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
Dengar dan taatlah kalian kepada pemimpin! Sesungguhnya mereka kewajiban mereka adalah: apa yang dibebankan kepada mereka, dan kewajiban kalian adalah: apa yang dibebankan kepada kalian.” (HR. Muslim (no. 4888).

عن حُذَيْفَةُ بْنُ الْيَمَانِ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ! إِنَّا كُنَّا بِشَرٍّ، فَجَاءَ اللَّهُ بِخَيْرٍ فَنَحْنُ فِيهِ، فَهَلْ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ؟ قَالَ: نَعَمْ. قُلْتُ: هَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الشَّرِّ خَيْرٌ؟ قَالَ: نَعَمْ. قُلْتُ: فَهَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الْخَيْرِ شَرٌّ؟ قَالَ: نَعَمْ. قُلْتُ: كَيْفَ؟ قَالَ: يَكُونُ بَعْدِى أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاي وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتي، وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ. قَالَ: قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ؛ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ

Dari Hudzaifah bin Al-Yaman dia berkata: Wahai Rasulullah sesungguhnya dahulu kami berada dalam keburukan dan Allah datang dengan kebaikan ini dan kami berada di dalamnya. Apakah setelah kebaikan ini ada keburukan?
Beliau menjawab: “Ya.”
Aku bertanya: Apakah setelah keburukan itu ada kebaikan?
Beliau menjawab: “Ya.”
Aku bertanya lagi: Apakah setelah kebaikan itu ada keburukan?
Rasul menjawab: “Ya.”
Aku bertanya lagi: Bagaimana (keburukan itu)?”
Beliau menjawab: “Akan ada setelahku: para imam (pemimpin) yang tidak mengambil petunjuk dariku, dan tidak mengambil Sunnahku. Dan akan ada sekelompok lelaki di antara mereka yang hati mereka adalah hati setan dalam tubuh manusia.” 
Aku bertanya lagi: Apa yang harus aku lakukan apabila aku menemui yang demikian; wahai Rasulullah?
Beliau menjawab: Engkau dengar dan ta’at kepada pemimpin; walaupun dia memukul punggungmu dan mengambil hartamu, maka dengar dan taatlah!” (HR. Muslim (no. 4891)

KEDUA: RASULULLAH -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- TELAH MENGAJARKAN KEPADA KITA CARA MENASEHATI PEMIMPIN, SEDANGKAN DEMONSTRASI BUKANLAH CARA YANG BELIAU AJARKAN

Bukanlah suatu hal yang tersembunyi bagi kalangan pelajar: Hadits tentang Khuthbatul Haajah, dan di antara kandungan Khuthbah tersebut adalah sabda beliau:
وَخَيْرَ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-

Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad -shallallaahu alaihi wa salam-.

Maka tidak layak dan tidak halal bagi seseorang yang mengetahui petunjuk Nabi -shallallaahu alaihi wa salam- dalam suatu hal; kemudian dia mengambil petunjuk dari selain beliau; siapa pun orangnya. Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab -dalam Kitab Tauhid- membawakan sebuah bab:

BARANGSIAPA YANG MENTAATI ULAMA DAN PEMIMPIN DALAM MENGHARAMKAN APA YANG DIHALALKAN ALLAH DAN MENGHALALKAN APA YANG DIHARAMKAN ALLAH; MAKA DIA TELAH MENJADIKAN MEREKA SEBAGAI TUHAN TANDINGAN.

Penulis membawakan atsar dari Ibnu ‘Abbas -radhiyallaahu ‘anhumaa- ketika membantah orang-orang yang membawakan perkataan Abu Bakar dan Umar -radhiyallaahu ‘anhumaa- yang melarang dari Haji Tamaththu’ yang bertentangan dengan ajaran Nabi -shallallaahu alaihi wa salam- yang menganjurkannya:

يُوْشِكُ أَنْ تَنْزِلَ عَلَيْكُمْ حِجَارَةٌ مِنَ السَّمَاءِ؛ أَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ، وَتَقُوْلُوْنَ: قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ

Hampir-hampir kalian dihujani batu dari langit, aku mengatakan: “Rasulullah bersabda”; sedangkan kalian mengatakan “Berkata Abu Bakar dan Umar”. Diriwayatkan oleh Ahmad (no. 3121). Dan Al-Khathib dalam Al-Faqih Wal Mutafaqqih (1/145).

Imam Syafi’i -rahimahullaah- berkata:

أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ مَنْ اسْتَبَانَتْ لَهُ سُنَّةُ رَسُوْلُ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-؛ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ

Para ulama telah ijma’ (sepakat) bahwa barangsiapa yang jelas sunah Rasulullah -shallallaahu alaihi wa salam- baginya; maka tidak boleh baginya untuk meninggalkan Sunnah tersebut dikarenakan mengikuti perkataan seseorang. [Lihat I’laamul Muwaqqi’iin (2/282), karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah-.

Oleh karena itu: lihatlah petunjuk Nabi -shallallaahu alaihi wa salam- dalam menasehati pemerintah. Apabila sudah jelas petunjuk dari beliau; apakah halal bagi kita untuk memilih jalan lainnya?!

PERTAMA: Imam Ahmad (no. 15.333- cet. Muassasah Ar-Risaalah) meriwayatkan kisah ‘Iyadh bin Ghanm ketika menaklukkan kota Daaraa, kemudian dia mencambuk penduduknya, maka marahlah Hisyam bin Hakim kepadanya sampai mengangkat suara dengan keras; sehingga ‘Iyadh pun marah. Kemudian berlalulah beberapa malam.
Kemudian ‘Iyadh didatangi Hisyam bin Hakim untuk meminta ma’af, dan Hisyam berkata:
Tidakkah engkau mendengar Nabi -shallallaahu alaihi wa salam- bersabda: Sesungguhnya di antara manusia yang paling keras adzabnya adalah manusia yang paling keras siksanya kepada manusia lainnya di dunia.”?
Maka ‘Iyadh berkata: Wahai Hisyam bin Hakim, kami telah mendengar apa yang kamu dengar dan melihat apa yang kamu lihat, tidakkah engkau mendengar Rasulullah -shallallaahu alaihi wa salam- bersabda:

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ، فَلاَ يُبْدِ لَهُ عَلاَنِيَةً، وَلٰكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ، فَيَخْلُوَ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ

Barangsiapa yang ingin menasehati penguasa dengan suatu perkara; maka janganlah dia menampakkan dengan terang-terangan. Akan tetapi hendaklah dia mengambil tangannya dan menyepi. Apabila penguasa tersebut menerima; maka itulah maksud yang diinginkan, dan apabila tidak; maka sungguh dia telah melaksanakan kewajibannya.
Sesungguhnya -wahai Hisyam- engkau adalah orang yang lancang, karena engkau lancang kepada penguasa. Tidakkah engkau takut dibunuh oleh penguasa sehingga engkau menjadi orang yang di bunuh oleh Sulthan (pilihan) Allah?!

[Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi ‘Ashim (II/507), Al-Hakim (III/290) dan dishahihkan Al-Imam Al-Albani dalam “Zhilaalul Jannah” (no. 507), serta dihasankan oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dalam ta’liqnya terhadap Musnad Imam Ahmad -semoga Allah merahmati keduanya-. Dan hadits ini adalah maqbul (diterima dan diamalkan), walaupun orang-orang yang benci berupaya untuk mendha’ifkannya.

KEDUA: Imam Ahmad (no. 19415- cet. Muassasah Ar-Risaalah) meriwayatkan kisah Sa’id bin Jumhan bersama ‘Abdullah bin Abi Aufa.
Sa’id bin Jumhan berkata: Aku mendatangi ‘Abdullah bin Abi Aufa dan dia sudah buta matanya. Maka aku mengucapkan salam kepadanya dan dia berkata kepadaku:
Siapa kamu?
Aku berkata: Aku Sa’id bin Jumhan.
Dia berkata: “Apa yang terjadi pada orang tuamu?
Aku berkata: Dibunuh oleh Azariqoh (sekte Khawarij).
Dia berkata: “Semoga Allah melaknat Azariqoh, Rasulullah -shallallaahu alaihi wa salam- bersabda kepada kami:Sesungguhnya mereka adalah anjing Neraka.”
Aku berkata: Azariqoh saja atau seluruh Khawarij?
Dia berkata: Bahkan seluruh Khawarij.”
Aku berkata: Akan tetapi penguasa berbuat zhalim dan melakukan (berbagai kejelekan) kepada manusia.”
Maka dia mengambil tanganku dan mencubit dengan sangat keras, kemudin berkata: “Celaka engkau wahai Ibnu Jumhan! Hendaklah engkau berpegang pada As-Sawaad Al-A’zham (para Shahabat Nabi)!! Hendaklah engkau berpegang pada As-Sawaad Al-A’zham (para Shahabat Nabi)!! Apabila penguasa mendengarkan perkataanmu; maka datangilah rumahnya dan beritahukanlah sesuatu yang kamu ketahui ilmunya. Apabila dia menerima darimu; (maka itu yang diharapkan), dan apabila tidak; maka tinggalkan dia, sesungguhnya engkau tidak lebih mengetahui tentangnya dibandingkan dia sendiri.”

KETIGA: DEMONSTRASI MERUPAKAN BENTUK TASYABBUH (PENYERUPAAN) DENGAN ORANG KAFIR

Tidak diragukan lagi bahwa demonstrasi merupakan produk kafir dan kebiasaan mereka -sebagaimana yang telah saya jelaskan di awal pembahasan-. Maka, janganlah seseorang menganggap remeh masalah Tasyabbuh ini! Karena, menyerupai mereka dalam hal fisik saja akan berakibat dan menyeret seseorang dalam menyerupai dalam hal keyakinan dan hati.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullaah- berkata:Sesungguhnya ikut serta dalam perkara yang nampak (dengan orang kafir) adalah: akan mewariskan kesesuaian dan keserupaan antara dua kubu (yang meniru dan yang ditiru), yang akan menyeret kepada kesamaan dalam akhlak dan amal perbuatan. Dan ini adalah perkara yang bisa dirasakan dengan indera kita. Karena sesungguhnya orang yang memakai pakaian Ahli Ilmu, maka dia akan merasakan dalam hatinya bahwa dia bagian dari mereka. Dan orang yang memakai pakaian tentara; maka dia akan merasakan dalam hatinya ada kesesuaian/kesamaan dalam akhlaknya, dan akhirnya tabiatnya akan menuntut kepada akhlak tersebut; kecuali ada penghalangnya…” [Iqthidhaa’ Ash-Shiraathil Mustaqiim (I/80-82)]

Bagaimana dengan demonstrasi?! Berapa banyak kesamaan dan kesesuaian para pendemo dengan orang kafir??!!

KEEMPAT: MUDHARAT (KEJELEKKAN) YANG DIHASILKAN DARI DEMOSTRASI AMATLAH BANYAK.

Orang yang Faqih adalah orang yang mengetahui ma’alaat (apa yang akan terjadi nantinya ketika berfatwa demikian). Sehingga sebelum berfatwa dan terjadi fitnah; maka orang yang ‘Alim dan Faqih akan mengetahui dampaknya sebelum terjadi fitnah.

Al-Imam Hasan Al-Bashri berkata:

إِنَّ هٰذِهِ الْفِتْنَةَ إِذَا أَقْبَلَتْ؛ عَرَفَهَا كُلُّ عَالِمٍ، وَإِذَا أَدْبَرَتْ؛ عَرَفَهَا كُلُّ جَاهِلٍ

Sesungguhnya fitnah (ujian) ini: apabila akan datang; maka sudah diketahui oleh orang ‘alim, dan apabila telah berlalu; maka barulah orang jahil/bodoh itu mengerti.” [Thabaqaat Ibni Sa’d (VII/166) dan Hilyatul Auliyaa’ (IX/24)]

Al-Imam Asy-Syatibi mengatakan: “Memikirkan buah satu perbuatan adalah hal yang sangat penting dalam pandangan syari’at, baik perbuatan itu benar ataupun salah. Sebab, seorang ‘alim tidak bisa menghukumi secara benar tentang satu perbuatan kecuali setelah melihat buah yang dihasilkan dari perbuatan tersebut -berupa kebaikan atau keburukan-.” [Al-Muwaafaqaat (IV/194)]

Kalau kita anggap demonstrasi hukum asalnya adalah halal saja -misalnya-, namun dampaknya akan buruk; maka harus dilarang, lalu bagaimana kalau sudah haram, dampaknya juga sangat buruk di belakangnya.

DI ANTARA KEBURUKAN DEMONSTRASI ADALAH:

1. Sebagai jalan untuk memberontak kepada penguasa. Dan ini realita yang terjadi dan disaksikan sejarah berulang-ulang -walaupun diingkari oleh pembela demonstrasi-.
‘Abdullah bin’ Ukaim berkata: “Saya tidak akan membantu menumpahkan darah seorang khalifah setelah terbunuhnya Utsman selama-lamanya.”

Ditanyakan kepadanya: “Wahai Abu Ma’bad, apakah engkau membantu (pemberontak) untuk membunuhnya?”

Dia berkata: Saya menilai bahwa menyebutkan keburukan penguasa adalah kunci pembuka untuk menumpahkan darahnya. [Thabaqaat Ibni Sa’ad (VI/115)]

Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullaah- berkata: “Faktor utama terbunuhnya Utsman adalah: celaan kepada gubernur; yang secara otomatis kepada beliau juga yang mengangkat mereka sebagai gubernur.” [Fat-hul Baari’ (XIII/115)]

Lihatlah keadaan pendemo sekarang yang mendemo gubernur:
ما أصبح اليوم البارحة
Mirip sekali kejadian sekarang dengan zaman dahulu!

2. Menyusahkan kaum muslimin lainnya; berupa: menimbulkan kemacetan, sampah dibuang sembarangan dan berserakan, membuat kesulitan kaum muslimin belajar, kerja, dan aktivitas lainnya.

Padahal Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلٰهَ إِلاَّ اللَّهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ

“Iman itu 70 atau 60 cabang lebih, yang paling utama adalah: mengucapkan Laa Ilaaha Illallah, dan yang paling rendah adalah: menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang dari iman” HR. Muslim (no. 162)

Kalau menyingkirkan gangguan di jalan saja termasuk cabang keimanan; maka menyusahkan orang di jalan dan mengganggu jalan mereka: adalah cabang kekufuran.

3. Menimbulkan rasa takut pada masyarakat.

4. Membuka kesempatan untuk menumpahkan darah sesama muslim, dan tindakan kriminalitas lainnya.

5. Meninggalkan Sunnah dan menghidupkan Bid’ah.

6. Ikhtilath (bercampur) dengan lawan jenis.

7. Menimbulkan permusuhan dengan petugas keamanan.

8. Membuang waktu dan harta tanpa hal yang dibenarkan.

9. Berpalingnya umat dari wasilah yang dibolehkan dan dianjurkan syari’at.

10. Melemahnya -bahkan hilangnya- Al-Wala dan Al-Bara’ terhadap tokoh kesesatan dan penyimpangan serta Ahlul Bid’ah.

Bahkan mereka mengatakan:

BIARKAN KAMI!!! UMAT ISLAM SEDANG BERSATU!!!

Di atas apa mereka bersatu!?? Di atas kebenaran?? Atau kebathilan!!!
…تَحْسَبُهُمْ جَمِيْعًا وَقُلُوْبُهُمْ شَتَّى…
“…Engkau kira mereka bersatu padahal hati mereka terpecah belah…” (QS. Al-Hasyr: 14)

11. Membuka jalan bagi Ahlul Bid’ah untuk menyebarkan syi’ar mereka. Lihat saja: mereka pasti membawa bendera partai dan kelompok mereka! Dan ini membawa kepada ashabiyyah (fanatic golongan) versi jahiliyyah.

12. Lama-kelamaan demo akan dianggap ibadah dan mendapatkan pahala dengannya. Dan ini realita, dan kita menyaksikan sendiri perkataan mereka!

13. Hilangnya wibawa pemimpin dengan dihujat dan dicela dihadapan khalayak ramai.

14. Dan lain sebagainya silahkan anda tambah sendiri.

Dengan kerusakan yang banyak ini, apakah masih ragu kalau demo itu haram??
 
Rokok saja anda berteriak dengan lantang kalau itu haram karena banyak mudharat (kejelekan)nya -walaupun memang ada manfaatnya-. Dan keburukan rokok kembali pada individu sendiri dan orang sekelilingnya. Lalu bagaimana dengan demonstrasi yang keburukannya kembali pada khalayak yang banyak -bahkan dalam berbangsa dan bernegara-???!!!

KELIMA: DEMONSTRASI APABILA TERMASUK IBADAH; MAKA IA ADALAH BID’AH, DAN APABILA MASUK KEPADA MU’AMALAH; MAKA IA TERMASUK MU’AMALAH YANG DILARANG/DIHARAMKAN.

Tidak tersembunyi lagi bahwa poster dan ajakan mereka untuk berdemo adalah melakukan JIHAD KONSTITUSIONAL. Kalaulah itu jihad; maka jihad itu memiliki aturan -sebagaimana ibadah lainnya-. Dan tidak pernah dicontohkan bahwa Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- dan para Shahabat beliau berjihad dengan Demonstrasi. Maka kalau dianggap ibadah; maka ia temasuk perbuatan Bid’ah.

Apabila mereka menganggap ini masalah mu’amala -sehingga tidak masuk kategori Bid’ah-; maka kita mengatakan: dalam masalah mu’amalah pun sudah diatur dalam Islam, ada mu’amalah yang halal, dan ada mu’amalah yang haram. Jual beli adalah halal, riba adalah diharamkan, makan ayam adalah halal, makan bangkai adalah haram dan makan babi juga haram, bekerja adalah halal -untuk mencari nafkah-, namun korupsi, suap, mencuri; ini semua diharamkan.

Dengan dalil-dalil di atas (yang menunjukkan haramnya demonstrasi): apakah masih tersisa lagi keyakinan bahwa demonstrasi adalah mu’amalah yang di halalkan!??

KEENAM: FATWA ULAMA BESAR DUNIA

Saya tidak akan membahas panjang lebar masalah fatwa. Karena sudah bertebaran di media sosial dan sangat jelas -alhamdulillaah-. Dan sekali lagi: fatwa itu kita ambil karena sesuai dengan dalil-dalil yang ada. Bukan hanya sekedar mengikuti fatwa dan inilah Manhaj.
___________
Dika Wahyudi Lc.
sumber : https://www.facebook.com/dika.wahyudi.140/posts/763990177088178