Oleh
DR.Sulaiman bin Salimullah ar-Ruhaili حَفِظَهُ الله
KEMATIAN RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM BAGI PARA SAHABAT
Akhirnya,
manusia termulia itupun menghembuskan nafasnya yang terakhir. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat. Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam Rasûlullâh, kekasih Allâh itu
wafat dalam pangkuan istri tercinta Aisyah Radhiyallahu anhuma.
Setelah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
wafat, seluruh kota Madinah al-munawwarah terasa gelap gulita. Ketika
itu, Abu Bakr tidak sedang berada di dekat Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Radhiyallahu anhu sedang
berada di rumahnya. Umar bin Khatthab Radhiyallahu anhu sangat terpukul
mendengar berita kematian Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dia berdiri sembari menyuarakan ketidak
percayaannya mendengar kematian Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dia Radhiyallahu anhu mengatakan, “Demi
Allâh! Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak wafat.”
Dalam
riwayat Imam Ahmad disebutkan bahwa Umar bin Khatthab Radhiyallahu anhu
yang tidak percaya tentang berita wafatnya Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berkata, “Sesungguhnya
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak wafat,
akan{kata akan mungkin kurang tepat=dass} Rabbnya telah mengirim utusan kepadanya sebagaimana Allâh
Azza wa Jalla telah mengirim utusan-Nya kepada Musa lalu dia
meninggalkan kaumnya selama empat puluh hari. Demi Allâh! Saya
yakin Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan
hidup sehingga Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memotong
tangan-tangan dan lisan orang-orang munafik yang mengira atau
mengatakan bahwa Muhammad telah wafat.[1]
Dalam
suasana mencekam akibat ketidak percayaan Umar bin Khatthab
Radhiyallahu anhu, Abu Bakr Radhiyallahu anhu datang ke tempat
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah
mendengar kematian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau
Radhiyallahu anhu tanpa banyak bicara langsung menuju ke jenazah
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ditutup
dengan kain. Abu Bakr Radhiyallahu anhu menyingkap bagian kain yang
menutupi wajah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, lalu menangis. Abu Bakr Radhiyallahu anhu mencium kening
Rasûlullâh sambil menangis. Abu Bakr Radhiyallahu anhu
mengatakan:
بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي طِبْتَ حَيًّا وَمَيِّتًا
Demi bapak dan ibuku! Engkau tetap wangi ketika masih hidup dan juga setelah wafat.
Dalam
hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa Abu Bakr
Radhiyallahu anhu setelah mencium kening Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah wafat, beliau
Radhiyallahu anhu menangis dan mengatakan:
بِأَبِي أَنْتَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ لَا يَجْمَعُ اللَّهُ عَلَيْكَ مَوْتَتَيْنِ أَمَّا الْمَوْتَةُ الَّتِي كُتِبَتْ عَلَيْكَ فَقَدْ مُتَّهَا
Demi
bapakku! Wahai Nabi Allâh Azza wa Jalla! Allâh Azza wa
Jalla tidak akan mengumpulkan padamu dua kali kematian. Sekarang
kematian yang telah ditetapkan Allâh Azza wa Jalla untukmu telah
engkau lalui.
Lalu
beliau Radhiyallahu anhu keluar menemui Umar bin Khatthab Radhiyallahu
anhu dan berusaha menenangkan beliau, namun tidak berhasil. Akhirnya
Abu Bakr Radhiyallahu anhu membiarkan Umar Radhiyallahu anhu dalam
ketidakpercayaannya lalu beliau Radhiyallahu anhu menghadapkan wajahnya
ke arah para Sahabat. Beliau mengawali pembicaraannya dengan membaca
tasyahhud lalu mengatakan:
أَمَّا
بَعْدُ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَدْ مَاتَ وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللَّهَ فَإِنَّ اللَّهَ حَيٌّ لَا
يَمُوتُ
Amma
ba’du, barangsiapa yang menyembah Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah wafat. Dan barangsiapa yang menyembah
Allâh Azza wa Jalla, maka sesungguhnya Allâh maha hidup
dan tidak akan mati.
Lalu Abu Bakr Radhiyallahu anhu membaca ayat:
إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ
Sesungguhnya kamu akan mati dan mereka akan mati. [Az-Zumar/39:30]
dan juga membaca ayat:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ ۚ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا ۗ وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ
Muhammad
itu tidak lain hanyalah seorang rasul. Sungguh telah berlalu sebelumnya
beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik
ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang maka dia
tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada Allâh sedikit pun.
Dan Allâh akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. [Ali ‘Imrân/3:144]
Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma mengatakan:
وَاللَّهِ
لَكَأَنَّ النَّاسَ لَمْ يَكُونُوا يَعْلَمُونَ أَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ
حَتَّى تَلَاهَا أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَتَلَقَّاهَا مِنْهُ
النَّاسُ
Demi
Allâh! Seakan semua orang tidak ada yang mengetahui bahwa
Allâh telah menurunkan ayat tersebut sampai Abu Bakr Radhiyallahu
anhu membacakannya (kala itu), dan manusia mengambil ayat tersebut
darinya.[2]
Umar
Radhiyallahu anhu mengatakan, “Demi Allâh! Sesungguhnya aku
seakan-akan belum pernah mendengar ayat ini sampai aku mendengar Abu
Bakr Radhiyallahu anhu membaca ayat ini. Sehingga saya lemas,
saya tidak kuat berdiri dengan kedua kakiku dan jatuh ke tanah, ketika
Abu Bakr Radhiyallahu anhu membacakan ayat tersebut. Saat itu, saya
yakin bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah wafat. Para Sahabat yang mendengar berita ini pun ikut menangis
di masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pada
hari Selasa, sehari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam wafat, para Sahabat hendak menyiapkan segala sesuatu untuk
pemakaman Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Saat hendak memandikan jenazah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, mereka kebingungan dan berselisih, apakah mereka harus membuka
pakaian Rasûlullâh sebagaimana yang biasa mereka lakukan
saat memandikan jenazah yang lain ataukah mereka memandikan jenazah
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tanpa melepaskan baju
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Dalam keadaan seperti itu,
Allâh Azza wa Jalla mendatangkan rasa kantuk kepada mereka semua,
kemudian mereka mendengar ada orang yang menyuruh mereka untuk
memandikan jenazah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
tanpa melepas pakaian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tidak ada seorangpun diantara para Sahabat yang mengetahui, siapakah
orang yang berbicara itu? Akhirnya, Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu
anhu memandikan jenazah Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan dibantu oleh beberapa orang Sahabat
lainnya. Mereka membasahi jenazah Beliau Radhiyallahu anhu dengan
lembut tanpa melepas baju yang dikenakan Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ali bin Abi Thalib
Radhiyallahu anhu mendapatkan kemuliaan untuk menggosok-gosok
jasad Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan lembut. Ali
Radhiyallahu anhu bercerita, “Saya terus memperhatikan jenazah
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
detail, saya tidak mendapatkan apapun. Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu selalu dalam keadaan baik,
ketika masih hidup maupun ketika sudah wafat.”
Setelah
dimandikan, jenazah Rasûlullâh dikafankan dengan tiga lapis
kain berwarna putih. Beliau tidak dipakaikan baju dan juga surban. Lalu
para Sahabat menyalati Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sendiri-sendiri tanpa ada seorang imam yang mengimami mereka. Shalat
jenazah diawali oleh kaum laki-laki dewasa, kemudian anak-anak kecil,
lalu para wanita dan terakhir para budak. Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam dimakamkan pada Rabu ditempat Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat yaitu di rumah ummul Mukminin
Aisyah Radhiyallahu anhuma yang berada di luar masjid Nabawi kala itu.
Ketika hendak menggali kubur Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam, para para Sahabat kembali berselisih pendapat
tentang bagaimana kuburan Rasûlullâh? Apakah dibuatkan
lahat, atau hanya dibuatkan sebuah lubang begitu saja? Pada saat itu,
di Madinah ada dua penggali kubur, yang satu menggali dengan membuat
lahat, sementara yang satu lagi hanya berupa lubang biasa saja. Karena
tidak bisa memutuskan, akhirnya para Sahabat sepakat untuk melakukan
shalat Istikharah untuk memohon petunjuk kepada Allâh Azza wa
Jalla lalu setelah mereka itu mereka mengirim utusan kepada dua orang
penggali kuburan itu, siapapun diantara dua orang ini yang datang, maka
dialah yang menggali kubur Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan caranya sendiri. Ternyata yang lebih
dahulu datang adalah orang yang biasa menggali kuburan dengan
ditambahkan lahat. Akhirnya kuburan Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam dibuatkan lahat.
Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dimakamkan dengan beralaskan sebuah
kain merah, kemudian setelah itu, sebuah batu ditancapkan di atasnya.
Kuburan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditinggikan sekitar
satu jengkal dari tanah semula. Setelah pemakaman selesai, Anas
Radhiyallahua anhu lewat didepan rumah Fathimah binti
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Fathimah
Radhiyallahu anhuma berkata kepada Anas Radhiyallahua anhu,
“Wahai Anas! Apakah kalian sanggup menimbunkan pasir ke jenazah
Rasûlullâh?!”
Wahai
saudara-saudaraku, kaum Muslimin dan Muslimat! Setiap orang yang
meninggal dunia itu memiliki warisan. Namun Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak mewariskan atau tidak meninggalkan dirham
apalagi dinar, tidak juga kambing atau unta. Para Nabi itu tidak boleh
diwarisi. Harta yang mereka tinggalkan ketika mereka meninggal dunia
menjadi sedekah, bukan harta yang diwariskan. Ketika wafat, Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan warisan yang begitu
agung. Mestinya, semua kaum Muslimin berlomba-lomba untuk
mendapatkannya. Tidak boleh ada seorang pun yang dihalanginya dari
warisan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut juga tidak
boleh menghalangi jika ada orang terus ingin mendapatkan tambahan dari
warisannya. Semua kaum Muslimin berhak mengambil apapun yang mereka
kehendaki dari warisan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tersebut. Diantara manusia, ada yang mengambilnya untuk dirinya
sendiri, ada juga yang menolong orang lain untuk mendapatkannya,
dengan mendukung dan menyokong sekolah-sekolah,
ma’ad-ma’had dan mejelis-majelis yang mengajarkan al-haq.
Itulah ilmu yang merupakan warisan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang tidak akan pernah habis dan tidak akan pernah hilang sampai
hari kiamat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَإِنَّ
الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ
يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا، وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ
أَخَذَهُ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
Sesungguhnya
para Ulama itu adalah pewaris para Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, dan sesungguhnya para Nabi itu tidak meninggalkan dinar juga
tidak dirham, namun mereka hanya mewariskan ilmu. Barangsiapa yang
mengambilnya, berarti dia telah mengambil bagian yang banyak
PELAJARAN PENTING
Kaum
Muslimin! sesungguhnya apa yang kita bahas tadi tentang kematian
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan
hal yang sangat besar yang telah menimpa umat. Dan apa yang telah
disampaikan dari awal sampai akhir tentang kematian
Rasûlullâh adalah bersumber dari riwayat yang shahih, tidak
ada satupun yang saya sampaikan dari riwayat yang dha’if apalagi
palsu. Semoga kita bisa mengambil dan memetik pelajaran dari kisah
kematian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
dan tidak diragukan lagi, bahwa semua kejadian terkait wafatnya
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengandung
pelajaran penting bagi kita. Saya sudah menyampaikannya dengan panjang
lebar, karena pembahasan ini memang harus dibahas dengan panjang lebar
dan tidak boleh ada rasa bosan untuk mengikutinya. Bagaimana mungkin
ada rasa bosan yang menghinggapi hati seseorang yang sedang menyimak
kisah kematian orang yang sangat dicintainya yaitu
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun
supaya lebih bermanfaat, saya menyebutkan beberapa pelajaran penting.
Diantara pelajaran penting yang bisa kita ambil dari kisah kematian
Nabi Muhammad adalah:
- ◘ Setiap Mukmin harus mengambil pelajaran dari kisah kematian Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau adalah khalîlullâh (kekasih Allâh), meski demikian, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap mengalami kematian. Jika seandainya ada orang yang berhak hidup kekal di dunia, tentu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam diantara yang berhak untuk kekal di dunia. Akan tetapi, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam justru mengalami kematian, bahkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kedudukannya sebagai seorang Nabi, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengalami sakaratul maut yang luar biasa.
Bagaimana
mungkin kita tidak mengambil pelajaran dari kisah wafatnya Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?! Beliau adalah rasul
termulia dan imam bagi semua orang yang bertakwa.
Setelah
menyimak dan membaca kisah ini, masih adakah orang yang menyangka
atau meyakini bahwa dia tidak akan mati??? Demi Allâh! Rabbnya
Ka’bah! Tidak akan ada seorang pun yang kekal hidup di dunia.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
Setiap jiwa pasti akan mengalami kematian. [Ali Imran/3:185]
Maka,
berbahagialah orang yang bisa mengambil pelajaran dari kisah ini serta
sudah mulai melakukan persiapan untuk menghadapi kematian yang pasti
akan mendatanginya! Dia melakukan persiapan terus-menerus sebelum
terlambat, karena kedatangan malaikat pencabut nyawa tanpa didahului
pemberitahuan. Betapa banyak orang yang kita cintai meninggal dihadapan
kita, padahal sebelumnya dia berharap bisa mengikuti pemakaman orang
tuanya. Namun takdir menetapkan lain, justru dialah yang dimakamkan
oleh kedua orang tuanya.
Bahkan
terkadang ada orang yang tidur seranjang dengan orang yang dicintainya
dan berharap mereka menikmati udara segar bersama-sama ketika mereka
bangun. Namun kenyataan berkata lain, salah seorang diantaranya,
meninggal di atas kasurnya.
Ada juga orang yang meninggal dunia mendadak.
Sungguh!
Wahai saudara-saudaraku! Kematian itu tidak jauh dari kita. Terkadang
ada orang yang sedang berbicara, namun sebelum sempat menyelesaikan
pembicaraannya, tiba-tiba kematian datang menghampirinya, sehingga dia
pun mati mendadak.
Oleh
karena itu, wahai saudara-saudaraku! Hendaklah kita mengambil pelajaran
dari semua peristiwa kematian. Jadilah orang yang cerdas. Yaitu orang
yang senantiasa mengingat kematian, lalu dia berpegang teguh dengan
Islam serta mengetahui sebuah hakikat bahwa kehidupan akhirat itu jauh
lebih baik dan lebih kekal daripada kehidupan dunia.
- ◘ Pelajaran yang kedua adalah ta’ziyatul Muslimin (menghibur hati kaum Muslimin) ketika tertimpa musibah atau bisa meringan beban mereka ketika menerima musibah yang berat. Jika kita tertimpa penyakit, maka ingatlah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, khalilullah juga mengalami sakit keras. Jika kita merasa sedih karena kehilangan orang yang kita cintai, maka ingatlah kita pernah merasakan kesedihan yang tiada tara karena kehilangan orang yang paling kita cintai yaitu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kesedihan akibat dari kehilangan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih berat dibandingkan rasa sedih akibat ditinggal oleh siapapun di dunia ini bahkan oleh semua orang. Dengan ini, beban kesedihan kita akan sedikit berkurang. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ أَيُّمَا أَحَدٍ مِنَ النَّاسِ، أَوْ مِنَ
الْمُؤْمِنِينَ أُصِيبَ بِمُصِيبَةٍ، فَلْيَتَعَزَّ بِمُصِيبَتِهِ بِي
عَنِ الْمُصِيبَةِ الَّتِي تُصِيبُهُ بِغَيْرِي، فَإِنَّ أَحَدًا مِنْ
أُمَّتِي لَنْ يُصَابَ بِمُصِيبَةٍ بَعْدِي أَشَدَّ عَلَيْهِ مِنْ
مُصِيبَتِي
Wahai
manusia! Siapapun diantara manusia atau kaum Mukminin yang tertimpa
musibah, maka hendaklah dia menghibur dirinya dengan musibah yang
menimpanya akibat kematianku untuk menghilangkan kesedihannya akibat
musibah yang menimpanya karena kematian orang selainku. Karena
sesungguhnya, tidak ada seorangpun dari umatku yang akan tertimpa
musibah yang lebih dahsyat daripada musibah kematianku
(Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam)
- ◘ Pelajaran terpenting lainnya yaitu tentang keagungan tauhid yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dakwahkan selama hidupnya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan di akhir hayatnya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikianlah
seharusnya kaum Muslimin yang mendapatkan taufiq dari Allâh Azza
wa Jalla. Mereka akan terus bersemangat agar tetap menjadi orang-orang
yang terus mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla. Mereka akan terus
mengamalkan dan mendakwahkan tauhid sampai kematian datang
menjemputnya. Mereka mencintai semua orang yang
mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla dan menjadikan dirinya sebagai
bagian dari mereka. Dia senantiasa bermunajat kepada Rabbnya agar
diberi keteguhan hati untuk tetap berada di atas tauhid sampai
meninggal dunia.
- ◘ Pelajaran lain yang tidak kalah penting yaitu penjelasan tentang hukum membangun masjid di atas kubur juga tentang hukum memasukkan kuburan ke dalam lingkungan masjid. Dari kisah wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kita tahu bahwa perbuatan membangun masjid di atas kuburan adalah perbuatan dosa besar, bahkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut para pelaku perbuatan tersebut sebagai makhluk terburuk dan berhak mendapat laknat dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Apakah
mungkin ada seorang Mukmin merasa nyaman hatinya untuk melakukan apa
yang dilarang oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam?? Padahal larangan tersebut Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam sampaikan pada saat Beliau mengalami sakit keras, dan Beliau
memberikan peringatan itu berulang-ulang, karena khawatir fitnah ini
akan menimpa umatnya. Dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam meskipun sebagai makhluk termulia, Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak dikuburkan di dalam masjid. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dikuburkan di tempat Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, yaitu di rumah Aisyah
Radhiyallahu anhuma yang berada di luar masjid. Ketika Utsman bin Affan
Radhiyallahu anhu meluaskan masjid Nabawi, Utsman Radhiyallahu anhu
tidak memasukkan kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke
dalam Masjid Nabawi. Beliau Radhiyallahu anhu memperluas masjid
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke arah
semua sisi, kecuali kearah sisi kuburan Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Setelah
itu, sebagian penguasa Bani Umayyah melakukan kesalahan yang telah
memasukkan kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke dalam
masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun yang perlu
diingat, bahwa hujjah itu bukan berada pada perbuatan seseorang, tetapi
hujjah hanya ada pada sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan perbuatan para Sahabatnya Radhiyallahu anhum. Oleh karena itu,
wajib bagi setiap Muslim yang lebih meninggikan risalah
Rasûlullâh daripada adat nenek moyangnya untuk menjauhi
perbuatan ini sejauh-jauhnya.
Kemudian,
jika didapati ada sebuah kuburan di dalam masjid, maka hendaklah kita
perhatikan. Jika masjid itu ada sebelum kuburan, maka kita wajib
menggali kuburan tersebut dan memindahkannya ke tempat pemakaman umum.
Dan jika kuburan tersebut ada sebelum masjid, maka kita wajib
merobohkan masjid tersebut dan membiarkan kuburan itu ditempatnya.
Karena dia lebih berhak terhadap tempat itu daripada masjid yang ada
setelahnya.
Sebagai
pengetahuan tambahan tentang bagaimana menyikapi masjid yang ada
kuburannya. Ketahuilah, jika ada masjid dan didalam nya ada kuburan,
bukan berarti semua orang boleh menghancurkan masjid tersebut dengan
seenaknya. Dia harus menyampaikan hal ini kepada penguasa setempat atau
disampaikan kepada para pengurus yang bertanggungjawab terhadap masjid
tersebut. Sehingga mereka berkesempatan untuk memperbaiki segala
sesuatu agar selaras dengan syari’at yang dibawa oleh
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
- ◘ Pelajaran terakhir dari peristiwa wafatnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ingin saya sampaikan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia biasa yang mengalami sakit sebagaimana manusia lain mengalami sakit. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengalami kematian sebagaimana manusia yang lain mengalami kematian. Hanya saja, Allâh Azza wa Jalla telah memuliakannya dengan risalah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah manusia biasa yang tidak layak untuk disembah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang rasul yang wajib untuk ditaati dan yang wajib untuk diikuti. Kita tidak boleh bersikap berlebihan terhadap Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun juga kita tidak boleh meremehkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kewajiban kita sebagai kaum Muslimin adalah memposisikan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada posisi yang semestinya, sehingga kita tidak mencederai tauhid yang merupakan hak Allâh Azza wa Jalla .
PENUTUP
Saya
sudah menyampaikan masalah ini dengan panjang lebar, karena materi ini
sangat penting. Sebenarnya, masih banyak yang ingin saya sampaikan,
namun saya harus mengakhirinya karena waktu yang singkat.
Saya
memohon kepada Allâh Azza wa Jalla agar berkenan menjadi apa yang
saya sampaikan pada kesempatan ini bermanfaat bagi diri saya sendiri
dan bagi semua yang bisa menyimak atau membaca sajian ini.
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XIX/1436H/2015. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 08157579296,
Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] HR. Ahmad/ al-Fath ar-Rabbani (21/241-242)
_______
Footnote
[1] HR. Ahmad/ al-Fath ar-Rabbani (21/241-242)
[2] HR. Al-Bukhari
Sumber: https://almanhaj.or.id/6280-detikdetik-menjelang-wafatnya-rasulullah-shallallahu-alaihi-wa-sallam-2.html