Khutbah Pertama:
اَلْحَمْدُ
لِلَّهِ عَلَى نِعَمِهِ الَّتِي لَا تُحْصَى وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ
إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ فِي رُبُوْبِيَتِهِ
وَإِلَهِيَتِهِ وَأَسْمَائِهِ الْحُسْنَى وَأَشْهَدُ أَنَّ محمداً
عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أُسْرِيَ بِهِ لَيْلاً مِنَ المَسْجِدِ الحَرَامِ
إِلَى المَسْجِدِ الأَقْصَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ
وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ البِرِّ وَالتَّقْوَى وَسَلَّمَ تَسْلِيْماً
كَثِيْراً.
أَمَّا
بَعْدُ: أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا اللهَ تَعَالَى، تَمَسَّكُوْا
بِدِيْنِكُمْ، وَلِتَجْتَمِعَ كَلِمَتُكُمْ، وَاحْذَرُوْا مِنْ كَيْدِ
أَعْدَائِكُمْ مِنَ الكُفَّارِ وَالمُنَافِقِيْنَ، فَإِنَّ الْكُفَّارَ
وَالْمُنَافِقِيْنَ مُنْذُ أَنْ بَعَثَ اللهُ رَسُوْلَه محمداً صلى الله
عليه وسلم وَهُمْ يُحَاوِلُوْنَ زَعْزَعَةَ هَذَا الدِّيْنِ
وَيُرِيْدُوْنَ ارْتِدَادَ المُسْلِمِيْنَ عَنْ دِيْنِهِمْ، قَالَ
تَعَالَى: (وَلا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ
دِينِكُمْ إِنْ اسْتَطَاعُوا) (البقرة:217)،
Ibadallah,
Bertakwalah
kepada Allah dengan sebenar-benar takwa. Karena takwalah yang menjadi
penyelamat seseorang pada kehidupan hakiki kelak.
Ibadallah,
Kalimat La ilaha illa Allah yang diucapkan oleh seorang Muslim memiliki makna yang sangat agung. Diantara maknanya adalah mengesakan Allah Azza wa Jalla dengan ketaatan dalam menghalalkan apa yang Allah Azza wa Jalla halalkan dan mengharamkan apa yang Allah Azza wa Jalla haramkan.
Maka barangsiapa mentaati selain Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam menghalalkan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala haramkan dan mengharamkan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala halalkan, sedangkan dia mengetahui hal itu, berarti dia telah menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ketaatan.
Allah Azza wa Jalla berfirman
memberitakan tentang orang-orang Yahudi dan Nashara yang telah
mengangkat orang-orang ‘alim dan rahib-rahib mereka sebagai
“tuhan-tuhan” selain Allah. Dia Azza wa Jalla berfirman :
اتَّخَذُوا
أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَٰهًا
وَاحِدًا ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Mereka
menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb
selain Allah, dan (juga mereka menjadikan Rabb) al-Masih putera
Maryam; padahal mereka hanya disuruh beribadah kepada Ilah Yang Maha
Esa; tidak ada Ilah (yang berhak diibadahi) selain Dia. Maha suci Allah
dari apa yang mereka persekutukan. (at-Taubah/9:31).
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,
“Arbab adalah jama’ dari rabb, artinya: Pengatur dan Pemilik. (Bentuk)
pengaturan (Allah) ada dua macam: pengaturan yang berkaitan dengan
taqdir dan pengaturan yang berkaitan dengan syari’at. Barangsiapa
mentaati Ulama’ dalam menyelisihi perintah atau keputusan Allah dan
Rasul-Nya, maka dia telah menjadikan mereka sebagai rabb selain Allah
dengan penilaian pengaturan yang berkaitan dengan syari’at, karena dia
menilai mereka sebagai para pembuat syari’at, dan menilai pembuatan
syari’at itu sebagai syari’at yang diamalkan”.
Ayat ini dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat ‘Adi bin Hatim radhiyallahu anhu sebagai berikut:
عَنْ
عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَفِي عُنُقِي صَلِيبٌ مِنْ ذَهَبٍ فَقَالَ يَا عَدِيُّ اطْرَحْ
عَنْكَ هَذَا الْوَثَنَ وَسَمِعْتُهُ يَقْرَأُ فِي سُورَةِ بَرَاءَةَ
((اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ
اللَّهِ)) قَالَ أَمَا إِنَّهُمْ لَمْ يَكُونُوا يَعْبُدُونَهُمْ
وَلَكِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا أَحَلُّوا لَهُمْ شَيْئًا اسْتَحَلُّوهُ
وَإِذَا حَرَّمُوا عَلَيْهِمْ شَيْئًا حَرَّمُوهُ
Dari ‘Adi bin Hatim, dia berkata, “Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sedangkan pada leherku ada (kalung) salib yang terbuat dari emas. Maka
beliau bersabda, ‘Hai ‘Adi, buanglah berhala itu darimu!” Dan aku
mendengar beliau membaca (ayat al-Qur’an) dalam surat Bara’ah
(at-Taubah, yang artinya), “Mereka (orang-orang Yahudi dan Nashrani)
menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb
(tuhan-tuhan) selain Allah”, beliau bersabda, ‘Sesungguhnya mereka itu
(para pengikut) tidaklah beribadah kepada mereka (orang-orang alimnya
dan rahib-rahib mereka). Akan tetapi jika mereka (orang-orang alimnya
dan rahib-rahib mereka) menghalalkan sesuatu untuk mereka, merekapun
menganggap halal. Jika mereka (orang-orang alimnya dan rahib-rahib
mereka) mengharamkan sesuatu untuk mereka, merekapun menganggap haram”.
(HR. Tirmidzi, no: 3095; dihasankan oleh Syaikh al-Albani)
Di dalam riwayat yang lain dengan lafazh :
عَنْ
عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي عُنُقِي صَلِيبٌ مِنْ ذَهَبٍ
فَسَمِعْتُهُ يَقُوْلُ (اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ
أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّه)ِ قَالَ: قُلْتُ: يَارَسُوْلَ اللهِ!
إِنَّهُمْ لَمْ يَكُونُوا يَعْبُدُونَهُمْ. قَالَ: أَجَلْ , وَلَكِنْ
يُحِلُّوْنَ مَا حَرَّمَ اللهُ فَيَسْتَحِلُّونَهُ وَيُحَرِّمُوْنَ
عَلَيْهِمْ مَا أَحَلَّ اللهُ فَيُحَرِّمُوْنهُ , فَتِلْكَ عِبَادَتُهُمْ
لَهُمْ
Dari ‘Adi bin Hatim radhiyallahu anhu, dia berkata: “Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sedangkan pada leherku terdapat (kalung) salib yang terbuat dari emas.
‘Adi bin Hatim juga berkata: “Dan aku mendengar beliau membaca (ayat
al-Qur’an, yang artinya), “Mereka (orang-orang Yahudi dan Nashrani)
menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb
(tuhan-tuhan) selain Allah”. ‘Adi bin Hatim berkata, ‘Wahai Rasûlullah,
sesungguhnya mereka itu (para pengikut) tidaklah beribadah kepada
mereka (orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka)”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ya, akan tetapi mereka (orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka)
menghalalkan apa yang Allah haramkan, lalu merekapun menganggapnya
halal. Dan mereka (orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka)
mengharamkan apa yang Allah halalkan, lalu merekapun menganggapnya
haram. Itulah peribadahan mereka (para pengikut) kepada mereka (para
pendeta)”. (HR. al-Baihaqi).
Al-Baihaqi juga meriwayatkan dari Abul Bakhtari, dia berkata :
سُئِلَ
حُذَيْفَةُ بْنُ الْيَمَانِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ هَذِهِ الْأَيَةِ
((اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ
اللَّه)ِ أَكَانُوْا يُصَلُّوْنَ لَهُمْ ؟ قَالَ: لاَ, وَلَكِنَّهُمْ
كَانُوْا يُحِلُّوْنَ لَهُمْ مَا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِمْ
فَيَسْتَحِلُّونَهُ وَيُحَرِّمُوْنَ عَلَيْهِمْ مَا أَحَلَّ اللهُ لَهُمْ
فَيُحَرِّمُوْنهُ, فَصَارُوْا بِذَلِكَ أَرْبَابًا
Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu anhu ditanya
tentang ayat ini (yang artinya), “Mereka (orang-orang Yahudi dan
Nashrani) menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai
rabb-rabb (tuhan-tuhan) selain Allah”. Apakah mereka (para pengikut
itu) melakukan shalat kepada mereka (para pendeta)? Beliau radhiyallahu anhu menjawab,
“Tidak ! Akan tetapi mereka (orang-orang alimnya dan rahib-rahib
mereka) menghalalkan apa yang Allah haramkan atas mereka, lalu
merekapun menganggapnya halal. Dan mereka (orang-orang alimnya dan
rahib-rahib mereka) mengharamkan apa yang Allah halalkan, lalu
merekapun menganggapnya haram. Sehingga dengan sebab itu jadilah mereka
(para pendeta) sebagai rabb-rabb (tuhan-tuhan)”. (HR. al-Baihaqi).
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata, “ar-Rabi’ bin Anas berkata, ‘Aku bertanya
kepada Abul ‘Aliyah, ‘Bagaimana rububiyah yang ada pada Bani Israil
(yakni para pengikut yang menjadikan para pendeta sebagai tuhan-pen) ?’
Beliau menjawab, “Rubûbiyah (pada mereka) itu adalah bahwa mereka
mendapati dalam kitab Allah apa-apa yang diperintahkan dan dilarang
buat mereka, lalu mereka mengatakan, “Kita tidak akan mendahului para
pendeta kita dengan sesuatupun. Apa yang mereka perintahkan kepada
kita, kita laksanakan, dan apa yang mereka larang, kita tinggalkan,
karena perkataan mereka.” Mereka meminta nasehat kepada manusia (para
tokoh mereka-pent) dan membuang kitab Allah di belakang punggung
mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menjelaskan bahwa peribadahan para pengikut itu kepada para pendeta
adalah dalam hal menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal,
bukan dengan melakukan shalat dan puasa untuk para pendeta (dan bukan
pula-red) berdo’a kepada mereka dari selain Allah. Inilah peribadahan
(penyembahan) kepada manusia. Dan itu peribadahan kepada harta. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskannya. Dan Allah Azza wa Jalla menyebutkan bahwa itu merupakan kemusyrikan dengan firman-Nya.
لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Tidak
ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa
yang mereka persekutukan. (at-Taubah/9:31)”. (Majmû’ Fatawa, 7/66)
Tentang syirik taat ini, Allah Azza wa Jalla juga menyebutkan dalam firman-Nya :
وَلَا
تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ
لَفِسْقٌ ۗ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَىٰ أَوْلِيَائِهِمْ
لِيُجَادِلُوكُمْ ۖ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
Dan
janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah
ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah
suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada
kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti
mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.
(al-An’am/6:121)
Ayat ini dijelaskan oleh sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhu, sebagai berikut:
عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ
يُذْكَرْ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ قَالَ خَاصَمَهُمْ الْمُشْرِكُونَ
فَقَالُوا مَا ذَبَحَ اللَّهُ فَلَا تَأْكُلُوهُ وَمَا ذَبَحْتُمْ
أَنْتُمْ أَكَلْتُمُوهُ
Dari Ibnu ‘Abbas tentang firman Allah Azza wa Jalla (yang
artinya), “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang
tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya”, beliau radhiyallahu anhu berkata:
“Orang-orang musyrik membantah orang-orang beriman, mereka mengatakan,
“Apa yang Allah sembelih, kamu tidak mau memakannya, sedangkan apa yang
kamu sembelih sendiri kamu memakannya”. (HR. an-Nasai).
Imam as-Sindi rahimahullah menjelaskan
maksud hadits ini dalam syarah beliau, “Yaitu orang-orang musyrik
membantah orang-orang beriman, mereka menunjukkan dalil kebatilan agama
umat Islam dengan mengatakan, ‘Kamu (umat Islam) mengharamkan
penyembelihan Allah, yaitu bangkai, namun kamu menghalalkan
penyembelihan kamu. Ini perkara yang jauh (dari kebenaran)!” Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan
firman-Nya (yang artinya), “Dan janganlah kamu memakan…al-Ayat” untuk
membantah syubhat tersebut. Kesimpulan jawabannya adalah bahwa
penyembelihan itu menjadi halal hanyalah karena disebut nama Allah
padanya, sementara bangkai tidak disebut nama Allah padanya, sehingga
bangkai menjadi haram.”
Ibnul A’rabi rahimahullah berkata,
“Seorang Mukmin menjadi musyrik hanya dengan sebab mentaati orang
musyrik dalam keyakinannya yang merupakan tempat kekafiran dan
keimanan. Jika dia mentaatinya dalam perbuatan, sedangkan keyakinannya
selamat selalu di atas tauhid dan pembenaran, maka dia orang yang
bermaksiat, maka fahamilah itu di seluruh tempat (dalam Alquran)”.
Al-Qurthubi rahimahullah berkata,
“Ayat ini menunjukkan bahwa barangsiapa menghalalkan sesuatu dari
apa-apa yang Allah haramkan maka dia menjadi musyrik. Allah Azza wa Jalla telah
mengharamkan bangkai secara tegas, maka jika ada seseorang menerima
hukum halalnya bangkai dari selain Allah, maka dia telah berbuat
syirik”.
Az-Zajjaj rahimahullah mengatakan, “Dalam firman Allah Azza wa Jalla (yang
artinya), “Jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah
menjadi orang-orang yang musyrik”, merupakan dalil bahwa semua orang
yang menghalalkan apa yang Allah haramkan, atau mengharamkan apa yang
Allah halalkan, maka dia orang musyrik. Dia dinamakan musyrik karena
dia menetapkan hakim (pembuat hukum) selain Allah Azza wa Jalla , inilah perbuatan syirik”.
بَارَكَ
اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعْنَا بِمَا فِيْهِ
مِنَ البَيَانِ وَالذِّكْرِ الحَكِيْمِ، أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا
وَاَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ المُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ
ذَنْبٍ فَاسْتَغْفِرُوْهُ وَتُوْبُوْا إِلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ
الرَحِيْمُ.
Khutbah Kedua:
اَلْحَمْدُ
لِلَّهِ عَلَى فَضْلِهِ وَإِحْسَانِهِ وَالشُكْرُ لَهُ عَلَى تَوْفِيْقِهِ
وَامْتِنَانِهِ وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا
شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ محمدا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْراً،
أَمَّا بَعْدُ: أَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوْا اللهَ تَعَالَى
Ibadallah,
Yang
perlu diketahui bahwa ketaatan dalam menghalalkan yang haram dan
mengharamkan yang halal itu ada perincian hukum bagi pelakunya.
Syaikhul Islam rahimahullah menjelaskan
masalah ini dengan gamblang dengan perkataannya, “Mereka ini,
orang-orang yang menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka
sebagai rabb-rabb (tuhan-tuhan), yang mana mereka taati dalam
menghalalkan apa-apa yang Allah haramkan, dan mengharamkan apa-apa yang
Allah halalkan, ada dua macam :
Pertama,
mereka (para pengikut) itu tahu bahwa para pendeta telah mengganti
agama Allah, lalu mereka mengikuti para pendeta itu dalam pergantian
ini. Sehingga mereka meyakini penghalalan apa yang Allah haramkan dan
pengharaman apa yang Allah halalkan, karena mengikuti pemimpin-pemimpin
mereka, padahal mereka tahu bahwa para pemimpin mereka menyelisihi
agama para Rasul, maka ini adalah sebuah kekafiran. Allah dan Rasul-Nya
telah menghukuminya sebagai kemusyrikan, walaupun para pengikut ini
tidak melakukan shalat dan tidak bersujud untuk para pemimpin mereka.
Maka barangsiapa mengikuti orang lain dalam menyelisihi agama, padahal
dia tahu itu menyelisihi agama, dan dia meyakini apa yang dikatakan
orang lain itu, tidak meyakini apa yang telah dikatakan oleh Allah dan
Rasul-Nya, maka dia menjadi orang musyrik seperti mereka (Yahudi dan
Nashara).
Kedua,
bahwa keyakinan dan iman mereka dengan pengharaman yang halal dan
penghalalan yang haram itu tetap, akan tetapi mereka (para pengikut)
mentaati mereka (para pemimpin) dalam bermaksiat kepada Allah,
sebagaimana yang dilakukan oleh seorang Muslim ketika melakukan
kemaksiatan dengan tetap meyakini bahwa itu sebuah kemaksiatan, maka
mereka ini memiliki hukum sebagaimana pelaku maksiat semacam mereka.
Kemudian
orang yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram itu,
jika dia seorang mujtahid yang berniat mengikuti Rasul, akan tetapi
kebenaran yang sebenarnya samar baginya, sementara dia juga bertaqwa
kepada Allah sesuai dengan kemampuannya, maka orang ini tidak akan
disiksa oleh Allah dengan sebab kesalahannya, bahkan Allah memberinya
pahala atas ijtihadnya, yang dengannya dia telah mentaati Rabbnya.
Tetapi
orang yang mengetahui bahwa itu menyalahi apa yang dibawa oleh Rasul,
kemudian dia tetap mengikuti kesalahannya itu, dan dia menyimpang dari
perkataan Rasul, maka orang ini mendapatkan bagian dari kemusyrikan
yang dicela oleh Allah Azza wa Jalla.
Apalagi jika dia mengikutkan hawa-nafsunya, membelanya dengan lidah dan
tangannya, padahal dia tahu bahwa orang yang diikuti itu menyelisihi
Rasul, maka ini merupakan kemusyrikan yang pelakunya berhak mendapatkan
hukuman atasnya”.
Setelah
kita mengetahui penjelasan-penjelasan di atas, maka alangkah banyaknya
manusia di zaman ini yang terjerumus ke dalam penyimpangan ini, baik
mereka sadari atau tidak mereka sadari. Hanya Allah Tempat memohon
pertolongan.
واعلموا
أن الله أمركم بأمر بدأ فيه بنفسه فقال سبحانه: (إِنَّ اللَّهَ
وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً) [الأحزاب:56]،
اَللَّهُمَّ
صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ
وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنْ خُلَفَائِهِ اَلرَّاشِدِيْنَ اَلأَئِمَّةِ
المَهْدِيِّيْنَ أَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ وَعَنِ
الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ وَعَنِ التَّابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ
بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ
وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالمُشْرِكِيْنَ وَدَمِّرْ
أَعْدَاءَ الدِّيْنَ، وَاجْعَلْ هَذَا البَلَدَ آمِناً مُسْتَقِرّاً
وَسَائِرَ بِلَادِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَةً يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ،
اَللَّهُمَّ مَنْ أَرَادَ الإِسْلَامَ وَالمُسْلِمِيْنَ بِسُوْءٍ
فَأَشْغَلَهُ بِنَفْسِهِ وَاصْرِفْ عَنَّا كَيْدَهُ وَاكْفِنَا شَرَّهُ
إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٍ، اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ وُلَاةَ
أُمُوْرِنَا وَاجْعَلْهُمْ هُدَاةَ مُهْتَدِيْنَ غَيْرَ ضَالِّيْنَ وَلَا
مُضِلِّيْنَ اَللَّهُمَّ اَصْلِحْ بِطَانَتَهُمْ وَأَبْعَدْ عَنْهُمْ
بِطَانَةَ السُّوْءِ وَالمُفْسِدِيْنَ اَللَّهُمَّ أَمِدَّهُمْ بِعَوْنِكَ
اَللَّهُمَّ وَفِّقْهُمْ بِتَوْفِيْقِكَ اَللَّهُمَّ اجْعَلْ عَمَلَهُمْ
خَالِصًا لِوَجْهِكَ وَاجْعَلْهُ فِيْ صَالِحِ الإِسْلَامِ
وَالمُسْلِمِيْنَ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ
العَلِيْمُ.
عبادَ
الله، (إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي
الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنْ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ
يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ* وَأَوْفُوا بِعَهْدِ اللَّهِ إِذَا
عَاهَدْتُمْ وَلا تَنقُضُوا الأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيدِهَا وَقَدْ
جَعَلْتُمْ اللَّهَ عَلَيْكُمْ كَفِيلاً إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا
تَفْعَلُونَ) [النحل:90-91]، فاذكروا اللهَ يذكرْكم، واشكُروه على نعمِه
يزِدْكم ولذِكْرُ اللهِ أكبرُ، واللهُ يعلمُ ما تصنعون.
(Diadaptasi dari tulisan Ustadz Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari di majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XV/1433H/2012M).
from=https://khotbahjumat.com/4478-jangan-taati-ulama-dalam-hal-dosa-dan-maksiat.html