Oleh
Syaikh Dr Nashir bin Abdul Karim Al’Aql
Syaikh Dr Nashir bin Abdul Karim Al’Aql
Syaikh
Dr Nashir bin Abdul Karim Al-Aql, guru dalam bidang aqidah dan
madzhab-madzhab Al-Mua’asharah Fakultas Ushuluddin di Riyadh, cabang
Universitas Al-Imam Muhammad bin Su’ud Al-Islamiyah, mengatakan bahwa
pembicaraan tentang masalah Al-Hakimiyah termasuk perkara-perkara baru
yang tidak pernah disebut di kalangan Salaf dengan istilah ini. Apabila
kita sodorkan permasalahan ini dengan kaidah-kadiah Salaf dalam hal
nama-nama dan sifat-sifat Allah serta perbuatanNya, maka kita ketahui
bahwa Al-hakimiyah dengan lafadh ini tidak ada asalnya secara syari’at.
Tinggal sebagai lafadh global yang mengandung pengertian banyak. Hal
itu karena nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya serta
perbuatan-perbuatan-Nya adalah perkara ‘taufiqiyah’ (yang hanya
ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya), tidak boleh menamai Allah Ta’ala
atau mensifati-Nya kecuali dengan apa-apa yang Allah mensifati diri-Nya
dengannya atau yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mensifati-Nya dengannya. begitu juga ucapan bahwasanya ‘al-hakimiyah’
merupakan bagian tauhid keempat tidaklah benar karena masalah hakimiyah
mempunyai dua makna.
Pertama.
Kembali pada makna tasyri’ dan perkara syar’i. Hal ini masuk ke dalam tauhid ilahiyah (tauhid ibadah wa tha’ah). Seperti firman Allah.
“Artinya : Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at dari urusan (agama), maka ikutilah syari’at itu…” [Al-Jatsiyah : 18]
Juga firman-Nya.
“Artinya : Dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi kaum yang yakin” [Al-Maidah : 50]
Kedua.
Kembali kepada hukum qadha dan qadar. Hal ini termasuk ke dalam tauhid rububiyah. Seperti firman Allah.
“Artinya : Akan tetapi milik Allah-lah semua perintah” [Ar-Ra’d : 31]
Juga firman-Nya.
“Artinya : Maka bersabarlah dengan hukum Rabbmu” [Al-Qalam : 48]
Demikian
pula sangkaan bahwa ‘al-hakimiyah’ adalah kekhususan ilahiyah yang
paling khusus, tidak ada asalnya dan ini adalah sangkaan yang
diada-adakan. ‘al-hakimiyah’ kadang dimungkinkan untuk makna yang
benar, yaitu dikembalikan kepada lafadh syar’i dan nama-nama Allah dan
sifat-sifatNya yang warid dalam kitab dan sunnah. Dan kadang mungkin
untuk makna yang tidak ada dalil atasnya, maka yang demikian ditolak.
Karena dalam makna ini ‘al-hakimiyah’ merupakan lafadh yang
diada-adakan sebagaimana lafadh-lafadh yang diada-adakan oleh Jahmiyah,
Mu’tazilah dan dasar ilmu kalam seperti ‘wajibul wujud, al-qadim,
at-takwin’ as-shani’ dan lafadh-lafadh lain yang kadang-kadang
mengandung makna haq atau batil atau keduanya sehingga lafadh-lfadah
ini merupakan lafadh yang ‘musykilah’ (mengandung permasalahan). Maka
makna-maknanya yang hak diterima dan dikembalikan kepada lafadh-lafadh
syar’i, dan kita tidak butuh dengan lafadh ‘al-hakimiyah’ atau lainnya.
Sedangkan makna yang batil kita tolak lafadh maupun maknanya.
Tidak
boleh memaksakan lafadh-lafadh tersebut khususnya yang berkaitan dengan
Allah Azza wa Jalla, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya serta
perbuatan-perbuatan-Nya, selama tidak tersebut dalam kitab dan sunnah.
Maka kalau begitu ‘al-hakimiyah’ merupakan lafadh yang bermasalah yang
tidak dibutuhkan agama ini dan akidah tidak tegak di atasnya serta
pemahaman mereka tidak lepas dari sikap yang melampaui batas dalam
makna yang dimaksud menurut mereka. Maka penggunaan kata ‘al-hakimiyah’
lebih utama untuk ditinggalkan.
[Disalin dari Harian Al-Muslimun, Kuwait, no 639, Jum’at , 25 Dzulhijjah 1417H]
[Disalin
dari Majalah Salafy, Edisi XXI/1418/1997 hal. 17-18. Diterbitkan Ponpes
Ihya’us Sunnah, Jl. Kaliurang Km. 15 Pos Pakem, Tromol Pos 8 Pkm Yogya
55582 Yogyakarta]
Sumber: https://almanhaj.or.id/359-masalah-al-hakimiyah-merupakan-perkara-yang-baru.html